Oleh: Abuzar Al Ghifari
Tidarislam.co- Banyak sekali ayat suci Al Quran maupun Hadits Nabi Muhammad SAW menerangkan tentang ilmu. keseluruhan dari wahyu tersebut menyatakan bahwa ilmu memiliki keutamaan salah satunya adalah orang berilmu berada pada posisi “istimewa” disisi Allah SWT lihat Surah Al Mujadalah Ayat 11. Oleh karenanya Islam menyuruh kepada umatnya untuk mencari ilmu. Perintah mencari ilmu merefleksikan akan sebab mengapa kita harus mencari ilmu. Setidaknya menurut penulis ada 3 sebab diperintahkan mencari ilmu, sebagai berikut:
- Agar terhindar dari kebodohan dan Islam sangat anti dengan kebodohan. Surah An Nahl ayat 78 menjelaskan bahwa manusia keluar dari perut ibunya dalam kondisi tidak mengetahui alias “bodoh”. Ayat tersebut jelas menyatakan tidak ada manusia yang baru terlahir dari perut ibunya dalam kondisi intelektual maupun pintar, pasti semuanya dalam kondisi “kebodohan”. Termasuk pula diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi untuk merubah manusia yang sebelumnya berada pada kondisi “kegelapan” atau “kebodohan” menuju terang benderang alias penuh dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Kondisi “kebodohan” yang dialami masa sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW dikenal dengan “jahiliyah”. Masa Jahiliyah merupakan kondisi yang sangat buruk, banyak perbuatan tanpa adanya akhlak. Manusia saat itu “asyik” menumpahkan darah, mengubur bayi hidup-hidup hingga kehormatan wanita tiada harganya. Kondisi demikian “parah” menjadikan manusia utusan Allah SWT yaitu Nabi Muhammad SAW diutus sebagai sosok pembawa Risalah Ilahi agar membawa manusia ke jalan yang digariskan.
- Sebab kedua dengan kita mencari ilmu pastinya akan muncul rasa (khasyah) atau takut kepada Allah SWT. Surah Fathir ayat 28 menjelaskan bahwa di antara Hamba Allah SWT yang paling takut kepadanNYA hanya orang-orang berilmu atau “Ulama”. Menurut penulis Ayat ini setidaknya menunjukan bahwa ilmu yang diperoleh harus mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ilmu yang membawa kita menuju sifat khasyyah atau rasa takut berarti ilmu tersebut masuk kategori “bermanfaat”, karena ilmu ada yang tidak memberikan manfaat jika menjadikan pemiliknya jauh dari Allah SWT.
- Tujuan ketiga dari mencari ilmu ialah membangun peradaban bumi, membimbing manusia ke jalan yang benar sehingga menjadi negeri yang aman, damai dan sejahtera atau Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Pada hakekatnya tujuan dari penciptaan manusia di bumi sebagai “khalifah” hal tersebut diceritakan Al Quran saat Adam berada di Surga. Allah SWT mengajarkan ilmu kepada Adam. Oleh karena Adam memiliki ilmu, Allah SWT menyuruh Malaikat dan Iblis agar bersujud kepada Adam. Namun Iblis enggan bersujud karena merasa dirinya lebih tinggi dari Adam sedangkan Malaikat taat dan patuh kepada Allah SWT. Tidak mungkin Malaikat diperintah Allah SWT bersujud kepada Adam kecuali ia telah memiliki ilmu, hal demikian dikatakan Syeikh Muhammad Awwamah di kitab Ma’alim Irsyadiyah Li Sinaah Thalib Al Ilm. Ini menurutnya bukti dari hadits Nabi SAW menyatakan bahwa Malaikat meletakkan “Sayap-sayapnya” kepada penuntut ilmu. Banyak pendapat Ulama hadits memaknai hadits tersebut salah satunya adalah Malaikat Takzim kepada penuntut ilmu. Oleh karenanya, Malaikat taat kepada Allah SWT dan bersujud kepada Adam. Salah satu buktinya Adam diajarkan Allah SWT ilmu dapat ditemukan pada Surah Al Baqarah, Allah SWT mengajarkan Adam Asmaa sehingga mampu memperoleh ilmu dariNYA. Oleh sebab itu, Allah SWT menugaskan Adam menjadi Khalifah di bumi untuk menjadikannya aman dan sentosa. Ilmu sebagai bekal Adam untuk menjadikan kehidupan di Bumi penuh dengan keberkahan karena aman dan damai. Di beberapa hadits disebutkan bahwa orang berilmu merupakan “pewaris” para Nabi dan Rasul yang tujuannya membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, maksud dari “pewaris” ialah penerus dan yang melanjutkan perjuangan Rasulullah SAW. Dapat dibayangkan jika kondisi bumi tidak didapatkan orang berilmu, tentunya akan “keos” berujung mengakibatkan kebinasaan.
Dari ketiga tujuan di atas sebab mengapa manusia diperintahkan mencari ilmu menunjukan posisi strategis yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Ilmu diibaratkan Al Quran seperti payung untuk berteduh dari cuaca panas yang dibaratkan sebagai kebodohan. Ilmu diibaratkan pula seperti cahaya yang menerangi bumi dari kegelapan, adapun “kegelapan” ibaratnya adalah “kebodohan” lihat Surah Fathir Ayat 19-22.
Jika berbicara ilmu penulis memahaminya sebagai “cahaya” alias abstrak atau yang tidak terlihat oleh mata manusia. Hal ini dikatakan Imam Waki’ kepada Imam Syafi’i sebagai muridnya bahwa ilmu adalah cahaya dan tidak dapat diperoleh bagi pelaku maksiat. Ilmu memiliki perbedaan dengan pengetahuan, yang membedakannya adalah ilmu merupakan “cahaya” yang Allah letakkan pada hati manusia. Suatu saat “cahaya” tersebut akan hilang dari hati seseorang tatkala jauh dari Allah SWT. Ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Al Quran bahwa saat kita bertakwa kepada Allah SWT, maka ilmu akan datang atau Allah akan “membimbing” menuju ilmu lihat Surah Al Baqarah ayat 282.
Syeikh Yusri Jabr ulama Al Azhar Mesir mengatakan:
“ilmu adalah pemahaman kuat bukan dengan banyaknya pengetahuan. Pemahaman kuat dihasilkan dari “cahaya” pada hati seseorang, dengan demikian melahirkan pemahaman kuat sehingga mudah untuk membaca, menelaah, menghafal dan seterusnya.”
Dari sini terlihat jelas bahwa ilmu dan pengetahuan memiliki perbedaan mendasar antara keduanya. Ilmu yang diibaratkan “cahaya” dan Allah letakkan pada hati seseorang, menghasilkan pemahaman kuat terhadap sesuatu hingga akhirnya mengantarkan kepada kedekatan kepada Allah SWT. Adapun pengetahuan, sesuatu yang diperoleh dengan hafalan maupun bacaan terhadap buku, surat kabar, artikel dan lainnya tanpa adanya bimbingan guru dan pemahaman kuat. Karena saat seseorang membaca belum tentu faham, begitu pula menghafal sebagai andalannya akan merasakan kesulitan saat diminta untuk menjelaskan. Penulis tidak menafikan pentingnya hafalan namun perlu digarisbawahi mengandalkan hafalan tidak sepenuhnya benar melainkan perlu dibarengi pemahaman. Ilmu yang dihafalkan lalu difahami dengan baik dan benar akan tertancap kuat pada hati seseorang. Jika demikian, kapan dan dimana pun ia akan mampu menjelaskan ilmu. kita tidak ingin ilmu hanya sekedar dihafalkan saat ujian di sekolah, selesai ujian ia hilang dan pergi dari pemiliknya.
Baca juga: Keulamaan sebagai Kompetensi Keilmuan
Untuk mendapatkan ilmu harus melalui guru Rabbani yang diartikan sebagai sosok ber-ilmu, lalu mengajarkan kepada orang lain dan mengamalkannya. Sedangkan pengetahuan dapat diperoleh tanpa adanya proses transmisi ilmu antara guru dan murid. Proses transmisi ilmu antara guru dengan murid menjadikan ilmu tidak sekedar diraih tanpa proses usaha atau kesungguhan. Meraih pengetahuan dapat dilakukan dengan membaca surat kabar, buku tertentu, artikel dan lain-lain sehingga hal demikian tidak harus membutuhkan guru alias dapat dilakukan otodidak tanpa bimbingan guru. Namun kebiasaan demikian tidak relevan saat mempelajari kitab Turats yang membutuhkan bimbingan guru itu pun tidak bisa sembarangan. Memahami khazanah Islam masa klasik tentunya secara “bahasa” tidak sama dengan generasi saat ini. Kitab Turats meski ringkas namun memuat makna yang luas dan mendalam sehingga membutuhkan guru atau Syeikh yang dikenal bereputasi. Tak khayal jika warisan intelektual ulama silam dapat dikembangkan ulama selanjutnya melalui penerjemahan, Syarah atau komentar, Ta’liq komentar terhadap Syarah, Hasyiyah dan sebagainya. Ini semua menunjukan kayanya khazanah keilmuwan Ulama klasik yang membuat peradaban ilmu di kalangan Islam tidak dapat dipandang sebelah mata.
Dari beberapa hal penting di atas disebutkan oleh Musthafa Ridho melalui bukunya At Thuruq Al Manhajiyyah fi Tahshil Al Ulum As Syar’iyyah beberapa rukun ilmu yang harus diketahui. Rukun ilmu menurutnya terdiri dari 5 bagian, pertama; adalah guru. untuk memperoleh ilmu tidak dapat dilakukan secara otodidak tanpa “bantuan” guru. Keutamaan guru sebagai sandaran pada proses mencari ilmu menjadi keharusan dan tidak dapat ditinggalkan. Oleh karena dalam Islam ada namanya “Sanad” atau mata rantai silsilah dari ilmu yang diperoleh seseorang. Sanad pula sebagai “bukti” akan keilmuwan.
Bagian kedua; murid atau seseorang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmu istilahnya pada teori pendidikan disebut sebagai peserta didik atau murid. Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Thalabul ilmi faridhatun ala kulli Muslimin” kata tholab disini diartikan secara bahasa ialah sebagai proses meraih sesuatu disertai kesungguhan. Oleh karenanya ilmu yang hendak digapai tidak dapat diperoleh tanpa adanya kesungguhan serta niat dan tulus ikhlas.
Ketiga; buku. Kajian ilmu yang selalu dilakukan diberbagai tempat harus mengacu kepada buku yang menjadi pegangannya. Atau bisa juga beberapa referensi dipadukan menjadi satu seperti karya ilmiah dalam bentuk power point yang biasa terjadi belakangan ini. keempat; lingkungan kondusif. Siapa pun orangnya namun tidak didukun lingkungan kondusif pada proses transmisi ilmu maka hasilnya akan tidak optimal. Melihat sejarah peradaban ilmu masa silam seperti di Baghdad, kondisi keilmuwan dimasa saat itu menghasilkan banyak tokoh ilmuwan dunia. Seperti Imam Syafi’I meski bukan berasal dari Baghdad namun pernah merasakan tradisi ilmu disana. Imam Ahmad bin Hanbal berasal dari Baghdad dikenal ulama yang memiliki karya fenomenal yaitu “Al Musnad” dan seterusnya. Kelima; kurikulum. Bagian ini menunjukan kepada kita bahwa ilmu dapat dilalui dengan langkah dan perencanaan terukur. Tidak mungkin ilmu dipelajari dari yang sulit lalu ke yang mudah, jika demikian maka proses transmisi ilmu tidak bersandar kepada kurikulum dan perencanaan terukur.
Rukun ilmu di atas sebagai petunjuk bahwa proses transmisi ilmu tidak serta merta dilakukan tanpa adanya unsur dan elemen di atas. Keberadaan guru, murid, buku, lingkungan kondusif hingga kurikulum tidak dapah dihindari oleh siapa pun yang hendak meraih ilmu. Tidak mungkin alias mustahil jika ada guru tanpa murid, begitu pula adanya murid tanpa bimbingan guru. keduanya saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Begitu pula dengan adanya buku pegangan, lingkungan kondusif hingga kurikulum sebagai bagian terpenting. Pada intinya rukun ilmu yang 5 harus dilakukan secara keseluruhan. Bersambung……..
Dr. Abuzar Al-Ghifari, Lc. M.A., merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Bogor dan dosen di Universitas Darunnajah Jakarta.
