Republika dan Narasi Minoritas Muslim*

Tidarislam.co – Republika merupakan salah satu representasi media Islam terpopuler di Indonesia. Sebagai media Islam besar, Republika bersaing dengan media-media Islam yang lain dan media yang lebih sekuler. Meski identik dengan media komunitas muslim urban, tetapi seiring peralihannya pada platform online (republika.id dan republika.co.id), media ini dapat dijangkau siapa saja.

Dalam rilisnya, media Republika pernah memperoleh posisi tertinggi sebagai media cetak Islam yang paling banyak dibaca dengan persentase 13 % dibandingkan media Islam lain seperti Sabili (9 %), Ummi (8 %), Hidayatullah (8 %), Annida (6 %), Buletin DDII (6 %), Suara Muhammadiyah (6 %), Pelita (6 %), Al-Islam HTI (4 %), dan Tarbawi (4 %). Media ini juga menjadi media cetak paling banyak diminati dan dijadikan rujukan masyarakat tentang Islam (2010).

Berkiprah selama lebih dari sepertempat abad, media ini mampu mempertahankan posisi sebagai media Islam terbesar di tengah persaingan pasar. Media nasional umat Islam ini memiliki visi: “menjadikan Harian Umum Republika sebagai koran umat yang terpercaya dan mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas, dan profesional, namun mempunyai prinsip dalam keterlibatannya menjaga persatuan bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman rahmatan lil ‘alamin”.

Sejak pertama kali menerbitkan pemberitaan perdana pada 4 Januari 1993, Republika sudah memasuki tengah dasawarsa ketiga. Media ini menjunjung semangat Islam modern, moderat, kebangsaan dan kerakyatan dan tetap mencoba menampilkan diri sebagai media Islam yang inklusif.

Kilas Balik Republika

Proses lahirnya harian Republika hingga menjadi media nasional umat Islam terpopuler saat ini tergolong rumit. Lahir dalam konteks politik pers yang semi-tertutup, diiringi bayang-bayang otoritarianisme dalam dunia pers di masa Orde Baru. Hubungan antara pemerintah dan civil-society yang kurang harmonis pada masa 80-an memberikan dampak yang merugikan bagi kemajuan pers Indonesia, khususnya pers Islam, terbukti dengan sensorship dan tekanan yang diberikan terhadap pemberitaan-pemberitaan yang bernuansa Islam. Bayang-bayang tersebut kian nyata dengan peristiwa pembredelan terhadap beberapa pers media nasional pada tahun 1994-an. Sertifikasi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) waktu itu menjadi ganjalan yang dirasa sangat sulit mewujudkannya.

Namun umat Islam merasakan kebutuhan yang besar terhadap media modern yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi mereka. Sejak lama, banyak pihak menginginkan pers Islam modern, yang dapat bersanding seperti Kompas dan Tempo, dan menjadi surat kabar bagi komunitas umat muslim, meskipun tidak harus dengan ‘label dan bendera Islam’. Meskipun demikian, untuk memenuhi kebutuhan akan sebuah sarana pers, dan untuk menyalurkan idealisme pemikiran Islam, pada waktu itu, tidak semudah membalik telapak tangan mengingat situasi politik yang kompleks.

Kemunculan media dengan afiliasinya kepada agama tertentu pada masa itu memang menjadi hal yang umum, dan menjadi bagian dari realitas politik-keagamaan. Sebelumnya ada media Abadi dan Pelita, yang berlatar belakang Islam, tetapi dianggap kurang terasa dan bermakna eksistensinya dan kurang berpengaruh secara kultural dan politik. Meskipun begitu, saat Republika berdiri, keduanya juga sudah cukup lama tidak eksis lagi. Ada juga media Sinar Harapan, yang kemudian berubah menjadi Suara Pembaruan, yang merepresentasikan media umat Kristen. Sementara harian Kompas merupakan harian yang pada awalnya lebih banyak berafiliasi dengan umat Katolik. Dalam konteks pertautan politik agama dan media ini, David T. Hill bahkan mencatat, bahwa aspirasi untuk melahirkan media Republika merupakan bagian dari ambisi politik “Revivalisme Islam”, dengan sentimen mayoritas-minoritas, yang seolah umat Islam sebagai mayoritas justru dikuasai dan dihegemoni oleh media umat minoritas dalam hal informasi dan pemberitaan (Hill, 1995: 126).

Pada awalnya, Republika bisa terbit dan mengudara secara legal setelah mengambil alih SIUUP dari Berita Buana, kemudian menginduk kepada perusahaan PT Abdi Bangsa, dimana saham utama dalam bisnis ini adalah masih pada ICMI. Sejak awal, persisnya 17 Agustus 1995, Republika telah menerbitkan harian versi online, yang kontennya tidak berbeda dari harian cetak, hanya saja portal berita dalam Republika Online (ROL) tersebut menyajikan informasi baik teks, audio maupun video. Republika lah yang memiliki versi media online pertama yang menyajikan berita-beritanya dengan media berbasis hipermedia dan hiperteks. Kemudian setelah Republika, baru disusul oleh media-media lain dengan versi onlinenya masing-masing.

Sejak tahun 2000, dan seiring dengan melemahnya pengaruh ICMI, saham perusahaan ini sebagian besar beralih kepada Mahaka Media. Ketika PT Abdi Bangsa menjadi perusahaan Induk, Republika menjadi sub perusahaan bernama PT Republika Media Mandiri. Meskipun kepemilikan Republika berganti-ganti, tetapi tidak mengalami perubahan dalam hal visi dan misi. Sampai sekarang, harian ini diterbitkan oleh Republika Media Mandiri dan menjadi harian umum bagi pembacanya. Republika Online juga masih selalu menampilkan berita-berita setiap hari baik versi bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (https://www.republika.co.id/.)

Selain faktor kebutuhan dan idealisme, kelahiran Republika juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa elemen: organisasi ICMI, kaum jurnalis muda profesional khususnya dari media Tempo, dan tokoh-tokoh cendekiawan Islam di Indonesia.

Pertama, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berjasa di dalam membidani dan menyokong media baru Islam tersebut. ICMI merupakan lembaga yang dibentuk sebagai wadah bagi cendekiawan muslim, sejak diinisiasi di bawah “patronase” Letnan Jendral (purn) Alamsyah Ratu Prawiranegara di Bogor dan Letjen (purn) Tirtosudiro di Makassar, hingga akhirnya pada tahun 1990 di Malang, melalui forum ilmiah oleh 500 peserta bertajuk “Membangun masyarakat Indonesia abad 21”, dan dibuka oleh Presiden Soeharto, ICMI resmi berdiri. B.J. Habibie dikukuhkan sebagai ketua organisasi ini. Momentum lahirnya ICMI dengan peresmiannya oleh Soeharto pada waktu itu menjadi simbol akan ‘restu politik’ bagi ICMI untuk menampung aspirasi dan menjadi wadah tempat berkumpulnya para cendekiawan muslim yang beraviliasi dengan berbagai macam aliran dan oranisasi masyarakat.

Dari perspektif politik Islam Indonesia, lahirnya ICMI menjadi bagian dari proses pertumbuhan umat Islam di Indonesia menuju masyarakat yang lebih demokratis. Dalam konteks hubungan Islam dan Negara di Indonesia, ini terjadi pada fase yang ‘inklusif’ dan ‘akomodatif’, yang lebih menonjolkan aspek harapan daripada politik konfrontatif-ideologis. Fase sejak 1990 ini ditandai dengan tampilnya “santri kampus”, kaum intelektual, dan para cendekiawan muslim (Karim, 1995:108).

ICMI dilengkapi dengan perangkat organisasi CIDES (Center for Information and Development), yang berfungsi mendorong transformasi sosial dan mewujudkan visi-misi ICMI, serta membangun opini publik yang maju dan berwawasan terbuka. Sebagaimana ditulis dalam portalnya, satu satu peran signifikansi lembaga ICMI dalam melahirkan Republika adalah berkat eksistensinya, izin penerbitan yang pada saat itu tidak mudah untuk didapatkan, namun berkat akses kekuasaan yang dimiliki ICMI hingga menembus Presiden, izin penerbitan media baru tersebut akhirnya bisa didapatkan (http://icmi.or.id/organisasi/sejarah).

Kedua, terwujudnya media ini banyak dimotori oleh tokoh-tokoh wartawan profesional muda yang memprakarsai lahirnya sebuah media baru, seperti Farid Gaban, Abdul Rachman, Budiono Dharsono, Parni Hadi, Andi Makmur Makka, Tommy Tamtomo, dan lain-lain. Mereka adalah para wartawan professional yang sebelumnya bekerja di majalah Tempo, dan telah memiliki wawasan dan keterampilan jurnalisme yang sangat mumpuni. Mereka dimotori oleh Zaim Uchrowi yang telah mengambil langkah-langkah sebelumnya untuk merealisasikan ide media baru. Tapi redaksi Republika sendiri dipimpin oleh Parni Hadi, seorang wartawan senior yang pernah bekerja di kantor berita Antara. Dengan kehadiran mereka, ICMI, sebagai wadah para cendekiawan yang akan melahirkan media baru itu, mendapatkan pasokan sumber daya manusia yang lebih dari cukup (Bahar, 1995:159).

Ketiga, sumber daya manusia harian, para tokoh yang mempopulerkan Republika melalui tulisan-tulisannya. Pada awal-awal penerbitannya, Republika sudah menjadi basis penyaluran aspirasi dan diskusi wacana keislaman yang hangat. Hal itu tak lepas dari nama-nama para penulis yang berkontribusi khususnya melalui rubrik mingguan Dialog Jumat. Sederet nama penulis beken adalah para intelektual muslim terkemuka, di antaranya Nurcholis Madjid, Quraish Shihab, Haidar Baqir, Amien Rais, Dawam Raharjo, Adi Sasono, Soetjipto Wirosardjojo, Hamid Basyaib, Sinansari Ecip, Nasir Tamara, dan lain-lain. Nama-nama mereka dicantumkan dalam box name redaksional Republika. Kebanyakan mereka adalah para aktivis, birokrat, penulis dan pemikir yang aktif di ICMI. Rata-rata, mereka memiliki wawasan keislaman yang kosmopotian, yang demokratis, toleran, terbuka dan inklusif, selaras semangat mereka sebagai kaum muda. Pada awal-awal eksistensinya tersebut, dengan pemikiran tokoh-tokoh yang cemerlang dan terbuka, Republika dipandang sebagai satu-satunya media muslim yang mengusung pemikiran “Islam Kosmopolitan”, yang digerakkan oleh tokoh-tokoh muda dan cendekiawan-cendekiawan muslim ternama seperti Nurcholish Madjid dkk.

Pasca Reformasi, media-media Islam menghadapi banyak tantangan, tidak hanya dinamika politik Islam, tetapi juga arus pasar yang menuntut pragmatisme, dan peran media semakin terdisrupsi oleh perkembangan teknologi digital yang tak terelakkan. Media juga berhadapan dengan pengaruh ideologi-ideologi Islam baru yang mempengaruhi pola dan wacana dalam penerbitan.

Pengaruh ini memaksa media-media Islam beradaptasi dengan situasi baru. Ketika spirit Islam kosmopolitanisme, setidaknya menurut beberapa pengamat, semakin beralih ke media besar seperti Tempo yang menampilkan media yang kritis terhadap persoalan-persoalan diskriminasi dan ketidakadilan, media Islam seperti Republika masih mempertahankan rubrik berbeda tentang minoritas muslim.

Islam Digest

Di tengah transformasinya menuju kemandirian dan sekaligus transformasi ideologis, Republika memodifikasi konten-konten pemberitaannya. Republika melakukan pembaharuan konten agar lebih menarik. Salah satu pembaharuan yang paling penting  itu adalah penambahan ruang bagi berita-berita yang memuat kondisi kehidupan dan perjuangan minoritas muslim di luar negeri, yakni minoritas muslim di negara-negara non-muslim, dan seringkali luput dari perhatian.

Islam Digest merupakan menu tambahan setiap pekan yang dihadirkan oleh redaksi Republika versi cetak dengan format baru dan dengan porsi halaman yang lebih banyak. Menu Islam Digest sendiri sebetulnya memuat informasi-informasi seputar khasanah keislaman, baik tentang kondisi masyarakat muslim maupun informasi literatur-literatur keislaman, seperti sejarah bangsa-bangsa muslim, tokoh-tokoh muslim klasik, kitab-kitab referensi Islam, kelompok-kelompok keyakinan muslim, organisasi-organisasi muslim di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain sebagainya.

Namun salah satu konten yang sering dimuat Islam Digest adalah tentang perkembangan minoritas muslim di negara-negara non-muslim. Mereka adalah kelompok minoritas yang eksis sebagai minoritas di tengah negara mayoritas non-muslim dengan segala dinamika dan tantangan sosial, politik, budaya. Melalui menu ini Republika memberikan sorotan tentang problem minoritas di berbagai tempat seperti problem budaya sekuler, hubungan dengan agama lain dan pemerintah, pembatasan hak-hak beribadah, Islamophobia, hingga diskriminasi rasial dan agama. Di setiap negara memiliki problematikannya sendiri-sendiri bagi komunitas muslim.

Isu minoritas, sebut saja kelompok partisipan, mendominasi pemberitaan Islam Republika tentang kelompok minoritas agama. Penulis mencoba melihat pemberitaan terbaru yang bersifat daring dan diterbitkan pada catur wulan terakhir tahun 2018, mulai dari bulan April hingga Juli. Berita-berita daring adalah berita yang diambil persis dari versi cetak. Dari 100 berita yang muncul dengan mesin pencari berita dengan kata kunci “minoritas”, berita yang paling sering dan paling banyak muncul adalah berita minoritas muslim partisipan di Islam Digest ini, bahkan mendominasi hampir berita-berita terkait elemen minoritas yang lain. Berita ini mengabarkan tentang bagaimana kehidupan masyarakat muslim di luar negeri berpartisipasi dalam ruang publik di sana. Situasi sosial seringkali tidak memihak kepada mereka, sebab secara administratif dan budaya sangat jauh berbeda kondisinya dengan negara mayoritas Islam seperti di Indonesia, sehingga kerap muncul pembatasan hak, diskriminasi dan perilaku intoleran.

Sebagai contoh yang paling terbaru adalah kehidupan minoritas di Jerman. Islam Digest memberitakan bahwa jumlah komunitas muslim di Jerman mengalami perkembangan pesat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, perkembangan kuantitas itu tidak diiringi pula dengan perubahan dari sisi kualitas, mengingat mereka masih saja terbentur dengan keterbatasan hak-hak politik. Selain soal peribadatan, hubungan dengan komunitas sosial budaya yang lain juga terkadang menimbulkan permasalahan, terkait relasi dengan komunitas sekuler, kekhawatiran akan tindak terorisme, urusan sipil pembagian jam kerja untuk ibadah shalat bagi pekerja, pemakaian hijab di ruang publik, perayaan khusus hari raya, sampai pada masalah makanan halal. Setiap tempat memiliki kompleksitas permasalahannya sendiri-sendiri.

Dalam sebuah artikel berita yang serupa bertajuk “Pakar: Islam di Jerman semakin Kuat” yang diterbitkan pada Selasa 10 Juli 2018 11:13 WIB juga diinformasikan, bahwa dalam dua dekade terakhir, jumlah warga muslim di Jerman semakin meningkat, dan menjadi agama terbesar nomor dua di Jerman dengan jumlah pemeluk mencapai lima persen dari total populasi. Terlebih sejak serangan teror 9/11 di Amerika Serikat, Islam semakin menjadi wacana di ruang publik dan membuat orang semakin ingin mengenal Islam lebih jauh. Masuknya Islam banyak dipengaruhi oleh orang-orang imigran dari Timur Tengah. Para pemeluk Islam juga banyak yang berasal dari kelas-kelas menengah seperti guru, sehingga membuat muslim semakin populer. Namun, perkembangan ini rupanya tidak diikuti dengan tingkat keberpihakan secara politik, sehingga pembangunan sarana peribadatan umum khususnya masjid masih sangat sulit karena mereka tidak dikenai pajak kepada negara karena statusnya sebagai minoritas.

Selain minoritas muslim di Eropa, salah satu kelompok muslim marginal dan menjadi minoritas dari segi apapun, yang menjadi pemberitaan lebih masif oleh Republika adalah tentang komunitas bangsa Palestina (meski tidak semua bangsa palestina adalah muslim) yang diinvasi oleh Yahudi-Zionis. Eksistensi warga muslim Palestina kenyataannya menjadi “minoritas” paling rentan di tengah konflik geopolitik hari ini. Isu konflik Israel-Palestina ini adalah konflik berdarah yang panjang dan paling banyak menyita perhatian kaum muslim, termasuk dunia internasional, dan menggugah perasaan emosional untuk jangka waktu yang cukup lama. Stevy, jurnalis senior Republika, mengungkapkan kepada penulis, bahwa Republika sendiri sangat berkomitmen di dalam pemberitaan isu Palestina, bukan sekedar hanya tuntutan hati nurani kemanusiaan, tetapi juga keharusan keberpihakan dalam perjuangan ideologis sebagai sesama muslim.

Bagaimanapun, komunitas warga Arab Palestina, baik di Israel sendiri maupun di Jalur Gaza kini sangat merasakan menjadi minoritas setelah 80 persen lebih tanah Palestina telah hilang diokupasi dan menjadi milik Israel sejak klaim kemerdekaan tahun 1948. Berdasarkan laporan dari Republika sendiri, kini hanya tersisa 11% wilayah Palestina di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Terlebih setelah Israel meresmikan status mereka sebagai sebuah “negara-bangsa” melalui undang-undang, membuat warga Palestina menjadi kian termarginalkan dan terasing di tanahnya sendiri.

Apa yang dilakukan Republika dengan pemberitaan minoritas muslim partisipan di berbagai negara dan benua tersebut merupakan bentuk lain dari “politik keberpihakan” terhadap sesama kelompok ideologi Islam, dan menjadi “penyeimbang wacana” tentang minoritas Islam.

Republika memberikan informasi bahwa masih banyak minoritas muslim di luar negeri yang menjadi komunitas marginal dan terdiskriminasi di tengah masyarakat non-muslim. Mereka juga merasakan keinginan yang sama untuk survive di dalam kehidupan yang saling toleransi dan anti terhadap perlakuan diskriminasi. Berbeda dengan kelompok minoritas di dalam negeri yang pemberitaannya bersifat insidental, seperti kerusuhan Cikeusik, kelompok Ahmadiah di Indonesia, minoritas Kristen, dan lain-lain, berita tentang minoritas muslim hampir datang setiap minggu dalam edisi Islam Digest. Seolah-olah ini adalah menu utama dari menu mingguan ini untuk menunjukkan wajah kosmopolitanisme yang berbeda.

Khasanah tentang perkembangan minoritas muslim di luar negeri sepertinya memiliki daya tarik tersendiri, bukan hanya mampu menciptakan simpati pembaca sebagai sesama muslim terhadap problem-problem sosial minoritas muslim, di satu sisi, tetapi juga, di sisi lain, mampu menciptakan gambaran tentang kondisi kehidupan di negara-negara maju. Hal ini, mungkin, mengingat banyak pembaca Republika merupakan kalangan kelas menengah perkotaaan, yang identik memiliki pandangan yang lebih metropolitan dan lebih “melek” terhadap wacana dunia global.

Penulis: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti agama di LIPI (sekarang BRIN)

* Tulisan ini merupakan catatan dari kerja penelitian lapangan yang penulis lakukan tahun 2018 tentang media-media keislaman di Indonesia.  

Baca juga: Jurnalisme Islam di Indonesia dan Malaysia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *