Oleh: Abuzar Al Ghifari
Jika berbicara Pesantren tidak akan pernah habis terurai kajiannya. Pesantren merupakan lembaga atau institusi pendidikan Islam paling tua di Indonesia.[1] Istilah Pondok yang biasa disandingkan telah ada sebelum tahun 60-an sebagai pusat pendidikan Pesantren di Jawa dan Madura.[2] Penyebutan Pesantren hanya di Jawa dan Madura karena beberapa daerah di Nusantara memiliki istilah berbeda namun sama substansinya. Contohnya di Aceh istilah yang beredar disana adalah Dayah, di Sumatera Barat istilahnya Surau. Dayah dan Surau lembaga pendidikan Islam klasik yang berada di pulau Sumatera namun serupa dengan Pesantren. Kesemuanya fokus kepada pendidikan keagamaan atau pendidikan yang menghasilkan ulama.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa Surau merupakan tempat ibadah yang bentuknya seperti masjid kecil namun fungsinya tidak sebatas tempat beribadah shalat melainkan berfungsi sebagai lembaga pendidikan dasar agama seperti Kuttab. Surau ini kebanyakan berada di pedesaan meski ditemukan pula di perkotaan. Masyarakat desa mengharuskan anak laki-laki[3] mereka berada di Surau untuk belajar ilmu agama dasar. Biasanya mereka menginap, dari sini Surau menyerupai dengan Pesantren.[4] Jadi, Surau sebagai lembaga pendidikan dasar keagamaan yang ada di Sumatera Barat atau Minangkabau, pola pengajarannya masih bersifat tradisional, metodenya lebih kepada sorogan seperti kebanyakan Pesantren Salaf atau Tradisional di Pulau Jawa.
Namun semakin berubahnya zaman maka berubah pula keberadaan Surau hingga ada ditemukan yang memodernisasikan sistem pendidikannya. Contoh kasus Surau Jembatan Besi yang berubah menjadi Pesantren Thawalib. Surau ini merupakan rintisan Syaikh Abdullah Ahmad pasca kepulangan pengembaraan menuntut ilmu di Mekkah. Selesai pengembaraannya fokus merintis Surau dengan diadakan pengajaran ilmu agama menggunakan metode Halaqah atau Sorogan. Surau Jembatan Besi sebuah panggilan dimana ada masjid berjarak 300-meter dari jembatan dan nantinya menjadi cikal bakal Pesantren Thawalib. [5]
Di Jawa Timur ada istilah “langgar” semacam masjid kecil namun memiliki fungsi yang tidak berbeda dengan Surau di Minangkabau. langgar menunjukan kepada “mushalla” dan biasanya digunakan untuk shalat lima waktu. Namun selain digunakan shalat berjamaah sebagai tempat pendidikan dasar keagamaan. Istilah langgar banyak dikenal oleh masyarakat Jawa Timur dan Madura. Seperti penulis jelaskan sebelumnya, langgar berfungsi tidak jauh berbeda dengan Surau di Sumatra Barat Minangkabau, tentunya sebagai lembaga pendidikan Islam klasik di Indonesia. Menurut beberapa catatan sejarah, langgar serupa dengan Surau dan hasil dari proses Islamisasi.
Boleh dikatakan, baik itu Pesantren, Langgar hingga Surau merupakan hasil Islamisasi dari tradisi yang ada di Hindu dan Budha. Bangunan Surau dan Langgar sangat dikenal oleh masyarakat Hindu Budha sehingga keterkaitannya cukup erat.[6]
Menurut penulis, proses Islamisasi Langgar dalam catatan sejarah yang dikaitkan dengan Hindu dan Budha dapat dikatakan demikian dalam konteks Indonesia, tidak secara global. Perdebatan pakar sejarah Indonesia tentang awal agama yang masuk Nusantara tidak dapat dikesampingkan. Untuk sementara dapat dimaklumi bahwa Pesantren, Surau, hingga Langgar merupakan hasil proses Islamisasi, dan telah ada sebelum Islam masuk Nusantara, meski terkait hal ini, masih perlu dilakukan kajian lebih mendalam.
Sejarah Pondok Pesantren
Penyandingan antara kata “Pondok” dan “Pesantren” mempertegas fungsinya. Semisal istilah “pondok” berasal dari bahasa Arab yaitu “funduq” yang artinya ialah hotel. Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa “Pondok” diartikan dengan tempat tinggal ataupun asrama. Penyebutan demikian karena pelajar atau biasa disebut dengan istilah “santri” tinggal dan bermukim di asrama selama berinteraksi dengan kyai.[7] Ini menjadi ciri khas pola pendidikan di Pesantren dimana asrama menjadi elemen Pesantren selain kyai, masjid, pelajaran Kitab Kuning dan santri.
Menurut Mujammil Qomar, integrasi pondok dan Pesantren adalah suatu keniscayaan. Dari terminologi keduanya memiliki kesamaan namun ditemukan perbedaan. Istilah “pondok” lebih dimaknai dengan pemondokan atau asrama, adapun “Pesantren” difahami sebagai tempat mempelajari agama namun tidak ditemukan pemondokan atau asrama. Hal ini ia tambahkan seperti Pesantren Kilat yang biasa diadakan di sekolah-sekolah non asrama, menurutnya tidak dapat disamakan dengan Pesantren. Sebabnya adalah pelajar yang yang berasal dari sekolah umum hanya mengikuti kegiatan ini pada beberapa waktu yang singkat atau “sekedarnya” sebagai ajang memperkenalkan kehidupan Pesantren. Jadi singkat kata, Pesantren diidentikan dengan tempat belajar agama Islam melalui kitab klasik, pelajarnya tidak berada atau menginap di dalamnya. Adapula pelajar yang sekolah umum namun ia belajar di luar waktunya di Pesantren.[8] Bagi penulis fenomena saat ini seperti ada istilah santri “kalong” yang hanya berada di Pesantren saat mengaji sisanya belajar di sekolah umum atau berprofesi sebagai pekerja tertentu.
Istilah “Pesantren” diambil dari kata “santri” ketambahan awal pe dan akhiran an. Menunjukkan kepada tempat pelajar yang mengkaji ilmu agama. Istilah “santri” sendiri versi kamus bahasa Indonesia ialah orang yang mendalami ajaran Islam. Oleh karena itu, istilah “Pesantren” dianggap sebuah tempat atau Institusi Pendidikan keagamaan yang khusus mengajarkan ajaran Islam.[9] Secara spesifik Pesantren lebih banyak mengajarkan ajaran Islam sebagai pedoman hidup yang nantinya disebarkan ke masyarakat. Ini menjadi tugas Pesantren selain berfungsi sebagai pendidikan, juga untuk menyebarkan ajaran Islam.
Hal ini dilakukan oleh Wali Songo saat menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Tersebarnya Islam di Nusantara melalui dakwah Wali Songo tidak dapat dipisahkan dari peran Pesantren. Oleh karenanya eksistensi Pesantren di Indonesia patut untuk mendapat pengakuan oleh elemen bangsa. Selama ini dipandang sebelah mata oleh sebagian orang eksistensi Pesantren bisa jadi karena minimnya literasi sejarah dan peran Pesantren di tengah masyarakat. Pengertian “Pesantren” yang dipadukan dengan istilah “pondok” diambil dari sudut bahwa institusi ini berasal dari Arab.
Adapula yang mengatakan Pesantren merupakan sistem pendidikan yang diadopsi dari ajaran Hindu karena istilah “santri” berasal dari bahasa Sansakerta yaitu shastri yang artinya adalah melek huruf. Ada juga mengartikan santri berasal dari bahasa Jawa cantrik yang artinya asisten guru atau pendeta.[10] Secara spesifik menunjukan kepada sudut lain dalam pemaknaan Pesantren yang dianalisis dari sisi sejarahnya. Penulis melihat pola pendidikan Pesantren ada sedikit kesamaan dengan “Perguruan Bela Diri Shaolin” yang berasal dari agama Buddha. Para pelajar yang keseluruhannya mendalami beladiri berada di asrama. Selain itu diajarkan ajaran agama Buddha sebagai bekal saat menjalani kehidupan.[11] Dari kedua perspektif seolah-olah dikatakan bahwa Pesantren bukan berasal dari Islam.
Penggunaan asrama di dunia pesantren untuk lebih efektif dalam penanaman nilai-nilai keislaman kepada santri. Pendidikan asrama menjadi inti dari pendidikan Pesantren. keberadaannya tidak dapat tergantikan, hal ini untuk lebih kondusif interaksi kyai dan santri. Pola asuh di asrama yang berada di dalam Pesantren terbukti menghasilkan orang hebat yang nantinya menjadi ancaman serius dimasa kolonialisme.[12] Pendidikan Asrama menjadi konsep Pendidikan Nasional oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa. Jadi pola pendidikan Pesantren menerapkan interaksi antara guru atau kyai dan santri berada di satu tempat yang dinamakan asrama menjadi konsep pendidikan Nasional menurut Ki Hajar Dewantara.[13] Lantas jika pemerintah tidak mengakui Pesantren masuk dalam sistem pendidikan Nasional, tentunya telah terjadi distorsi sejarah.
Pembatasan masyarakat Nusantara untuk pergi ke kota suci Mekkah dan Madinah diterapkan dimasa penjajahan Belanda sebagai upaya mempersempit ruang interaksi dengan ulama dunia. Kita mengetahui peran strategis Mekkah dan Madinah 2 kota suci yang menghasilkan ulama besar dari Nusantara seperti Syeikh Mahfudz Termasi, Syeikh Yasin Fadhani, Syeikh Hasyim Asy’ari, KH. Ahman Dahlan, Syeikh Khatib Minangkabawi dan lainnya.[14]
Kedatangan masyarakat Nusantara ke Haramain untuk menunaikan haji dilanjutkan menuntut ilmu. Mereka rela bertahun-tahun mukim disana guna mengejar ilmu keagamaan. Memang secara khusus peran Haramain sangat kuat di mata umat Islam Nusantara. Sejak lama kurang lebih tahun 1500-an sudah ada dari masyarakat Nusantara yang bepergian ke Haramain selain menunaikan haji mereka belajar agama Islam. Namun dalam sejarahnya, keterlibatan masyarakat Nusantara dalam bentuk pemberontakan terhadap kolonial, hingga akhirnya berakibat pada pembatasan berkunjung ke tanah suci.[15]
Bepergian ke tanah suci tidak hanya digunakan untuk ibadah haji semata, ada hal penting yaitu menuntut ilmu. Memang secara fakta yang melakukan pencarian ilmu agama dari kalangan kaum muda. Mereka rela berada di tanah suci bertahun-tahun lamanya. Bahkan ada pula lama disana hingga menjadi pengajar di masjidil Haram.[16]
Kaum Muda di Minangkabau, misalnya, merantau atau meninggalkan kampung halamannya demi mencari pengalaman baru terutama dengan tujuan mencari ilmu. Merantau dalam tradisi Minangkabau suatu keniscayaan, dengan demikian anak muda Minang berkembang kepribadiannya. Selepas pulang dari rantauan diharapkan menjadi pelopor perubahan untuk masyarakatnya. Hal ini terjadi pada perantau Minang yang bepergian ke luar negeri baik Timur Tengah maupun Eropa. Saat mereka pulang ke kampung halamannya tidak sedikit yang menjadi pelopor perubahan sosial dengan mendirikan lembaga pendidikan seperti Surau maupun terlibat dalam perpolitikan di tanah air.[17]
Kita bisa mengambil contoh seperti Syeikh Abdullah Ahmad, Syeikh Khatib Minangkabawi, Syeikh Yasin Fadani, dan lainnya. Mereka adalah pelopor bidang keagamaan yang namanya masih dikenang hingga saat ini. Tokoh Minang yang bergerak di politik dan merupakan jebolan pendidikan Barat adalah wakil Presiden pertama Muhammad Hatta. Penulis mengatakan Hatta merupakan didikan Belanda atau Eropa karena lama berada disana menuntut ilmu hingga pulang ke tanah air menjadi tokoh koperasi dan menjabat wakil Presiden pertama bersama Sukarno sebagai presidennya.[18]
Kajian Pesantren yang penulis lakukan secara holistik dengan pendekatan historis dapat diambil benang merahnya, bahwa:
Institusi ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua, memiliki kekhasan dari lembaga pendidikan lainnya, serta mengakar di tengah masyarakat. Penulis katakan demikian karena keberadaan pesantren berawal dari masyarakat, dalam hal ini kyai. Sosok ulama yang memiliki pengetahuan keagamaan yang luas, membuat pengaruh ilmunya diminati oleh para pecinta ilmu agama. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya untuk pergi menimba ilmu. Kebanyakan di antara mereka mendengar langsung keistimewaan sosok kyai dengan keluasan ilmu. Ini menjadi faktor adanya kemunculan Pesantren di tengah masyarakat.
Kehadiran pesantren pra Islam merupakan adopsi dari ajaran Hindu maupun Budha seperti hadirnya Surau di Minangkabau. Menurut penulis ini ada benarnya menurut konteks keindonesiaan tidak secara general. Maksudnya adalah, secara historis, jauh sebelum adanya Nusantara yang kemudian hari berubah menjadi Indonesia, telah muncul keberadaan Suffah yang dirintis oleh Nabi SAW, dan ini menjadi bukti sejarah yang otentik dan sulit untuk dibantah. Suffah merupakan lembaga pendidikan Islam klasik pertama dalam sejarah Islam. Nabi-nabi sebelumnya belum ditemukan bukti sejarah yang mengarah kehadiran lembaga pendidikan di zamannya.
Kemunculan Pesantren dikatakan pula diawali dengan sosok kyai memiliki ilmu keagamaan yang luas. Santri yang haus terhadap ilmu agama berdatangan dari berbagai daerah menuju rumah kyai. Semakin lama bertambah santri yang belajar di rumah kyai dan tidak dapat menampung jumlahnya. Kyai kemudian mengajak santrinya untuk membuat asrama yang terbuat dari bambu. Tujuannya sebagai tempat tinggal santri karena mereka berdatangan dari daerah jauh.
Selain adanya pemondokan asrama untuk santri, didapati pula sekitar rumah kyai dan asrama adanya masjid.[19] Masjid ini digunakan untuk mengadakan pengajian dengan menggunakan sistem sorogan. Biasanya yang diajarkan ialah kitab kuning atau kitab klasik karya ulama Nusantara maupun Timur Tengah. Jika tidak ada pemondokan atau asrama maka sangat menyulitkan santri mengingat jarak rumahnya yang berjauhan. Melihat kondisi Pesantren kebanyakan berada di pedesaan yang berbeda dengan kondisi perkotaan banyak ditemukan kost maupun penginapan. Hal ini sangat berbeda jauh dari pedesaan. Oleh karenanya pemondokan atau asrama menjadi keharusan.[20]
Fungsi asrama selain tempat pemondokan juga karena asrama berfungsi sebagai ajang pembentukan karakter. Kyai Suharto mengibaratkan asrama di Pesantren bagaikan Gua yang mirip dengan kisah pemuda Kahfi. Mereka pemuda yang memiliki daya iman sehingga Allah SWT memberikan petunjuk. Asrama dan pemondokan yang diibaratkan sebagai Gua atau kahfi merupakan kawah Candradimuka calon pejuang agama Allah di masa mendatang. Oleh karenanya pemondokan atau asrama harus ditata dengan baik terutama dijadikan sebagai miliu pendidikan.[21]
Disini, boleh dikatakan, bahwa salah satu keistimewaan pendidikan Pesantren bertumpu kepada keberadaan asrama agar menjadikan proses pendidikan kyai dengan santri dilakukan dengan mudah dan kondusif.[22] Meskipun didapatkan juga beberapa elemen Pesantren selain asrama dan kyai, yaitu adanya santri, masjid, pelajaran kitab kuning, namun proses pendidikan asrama yang berada di Pesantren banyak dicontoh pula oleh lembaga pendidikan modern.
Transformasi dan Modernisasi Pesantren
Saat ini fenomena sekolah Islam yang menerapkan asrama atau boarding school banyak ditemukan di berbagai tempat. Sekolah Islam yang didominasi pelajaran umum namun berubah menjadi sekolah yang menerapkan asrama telah menjadi fenomena baru saat ini. Sekolah ini ada yang sifatnya Umum dan ada pula berbasis Madrasah. Keduanya, sekolah Umum dan Madrasah, telah melakukan transformasi, bahkan ditemukan memiliki asrama. Transformasi lembaga pendidikan Nasional yang sebelumnya tidak menerapkan asrama, dan kini telah menerapkan sistem asrama, merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan berbasis asrama sangat relevan dan penting terutama berorientasi kepada penanaman karakter maupun adab.
Pendidikan karakter yang berbasis asrama sesungguhnya sudah menjadi konsep pada Taman Siswa yang dirintis Ki Hajar Dewantara. Beberapa penelitian menyebutkan konsep Taman Siswa menggunakan metode Among dalam membangun karakter. Konsep Among ini menggunakan sistem asrama untuk lebih efektif terhadap peran menumbuhkan karakter siswa.[23] Pola asuh di Taman Siswa Ki Hajar Dewantara sangat relevan dan menjadi model untuk pendidikan Nasional saat ini. Selain itu Taman Siswa memiliki asas dan dasar yang menjadi patokan dan harus difahami oleh pendidik maupun peserta didik. Ternyata yang menjadi kesuksesan pola asuh pada lembaga ini ialah asas dan dasar menjadi pedoman oleh segenap peserta didik, sehingga proses pendidikan berada pada arah yang digariskan lembaga. Ini menjadi pangkal kesuksesan Taman Siswa dan menjadi percontohan untuk kemajuan pendidikan Nasional.[24]
Penulis melihat model pendidikan asrama sangat berperan penting terhadap pertumbuhan karakter anak didik. Kemunculan sekolah Umum yang berbasis asrama merupakan hasil transformasi dari modernisasi lembaga Pesantren di Indonesia. Pengaruh pendidikan karakter yang diterapkan Pesantren menjadi “magnet” tersendiri terhadap transformasi lembaga pendidikan Nasional.
Transformasi lembaga pendidikan tidak hanya pada sekolah atau Madrasah yang bukan berbasis asrama. Ditemukan pula transformasi pada Pesantren yang sebelumnya bersistem Salaf atau Tradisional, kemudian menjadi modern maupun perpaduan keduanya. Pesantren yang berubah dari sisi sistem pendidikannya dipicu karena arus modernisasi. Selain itu lahirnya sistem pendidikan modern yang diterapkan Pesantren maupun Sekolah terjadi karena faktor lembaga pendidikan yang dirintis bangsa kolonial lebih mendominasi pada tataran prospek pekerjaan dan berdampak signifikan terhadap lulusan Pesantren. Polarisasi masyarakat di masa penjajahan Belanda sangat kental. Masyarakat terkelompokkan secara signifikan. Selain itu, pekerja di pemerintahan Hindia Belanda dari masyarakat pribumi ber-lulusan lembaga pendidikan Belanda. Akibatnya saat itu, kondisi kaum santri merasa “terkucilkan” alias susah untuk masuk dan bekerja di pemerintahan. Hal ini berakibat panjang terhadap eksistensi Pesantren terutama masuk pada sistem pendidikan Nasional.
Pandangan masyarakat luas terhadap keberadaan Pesantren masih jauh dari yang diharapkan. Marginalisasi kaum santri terutama Pesantren masa kolonial sangat berpengaruh kuat saat ini. Kuatnya hegemoni bangsa penjajah pada bumi Nusantara hingga berdampak terhadap marginalisasi Pesantren membuat tokoh bangsa dan para kyai berfikir mencarikan solusinya. Sampai kepada pengambilan sikap para tokoh untuk menghadirkan Pesantren maupun Sekolah Muhammadiyah yang memadukan “sistem sekuler” pendidikan Belanda namun berjiwa Islami. Jadi dampak hegemoni penjajahan Belanda terutama lembaga yang dibangunnya berakibat pada hadirnya Pesantren berbasis pendidikan Modern dan Madrasah. [25]
Sejarah mencatat sekolah Umum yang memadukan pelajaran agama ialah Sekolah Muhammadiyah. Adapun Pesantren yang menggunakan sistem modern adalah Pondok Pesantren Darussalam Gontor.[26] Modernisasi sistem pendidikan di Pesantren Gontor menjadi pemicu kehadiran Pesantren-pesantren berbasis Modern di Indonesia. Boleh dikatakan Pesantren berbasis modern atau dapat pula kita katakan “kiblatnya” ke Gontor berjumlah banyak di Indonesia. Pesantren tersebut banyak didirikan oleh alumni Gontor yang sudah tersebar di Indonesia. Jumlahnya tidak sedikit, Pesantren-pesantren di bawah naungan asosiasi Forum Pesantren alumni Gontor. Salah satu contohnya Pesantren yang berkiblat ke Gontor seperti Pesantren Darunnajah, La Tansa, Darul Qolam, dan lain-lain. Pesantren ini ada yang menggunakan sistem KMI tanpa membuka program seperti Tsanawiyah dan Aliyah. Program KMI menyerupai atau satu level dengan MTS dan MA. Adapula Pesantren alumni Gontor yang memadukan antara kurikulum Pesantren dengan kurikulum pemerintah.
Pesantren yang memodernisasi sistem pendidikannya diawali dengan kehadiran Pesantren Darussalam Gontor. Namun dalam sejarahnya, kehadiran Gontor membawa sistem pendidikan modern diawali pertama kali oleh sekolah rintisan Muhammadiyah. Bedanya adalah Gontor merupakan Pesantren pertama yang bersistem modern, sedangkan sekolah Muhammadiyah memadukan sistem “sekolah sekuler” yang datang dari kaum kolonial dengan disandingkan pelajaran agama. Sekolah Muhammadiyah merupakan hasil dari upaya KH. Ahmad Dahlan menjawab tantangan zaman saat itu karena lembaga pendidikan keagamaan saat itu termarginal oleh kehadiran sekolah Belanda.[27] Jadi sekolah Muhammadiyah memadukan sistem sekuler dan agama sebagai sikap yang dilakukan saat itu.[28]
Dalam hal ini, KH Ahmad Dahlan banyak terinspirasi oleh tokoh Pan Islamisme Rasyid Ridho yang saat itu pernah dijumpai di Haramain saat menunaikan haji.[29] Hemat penulis, perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh gerakan Pan Islamisme yang digelorakan oleh Jamaluddin Al Afghani,[30] Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho. Gerakan ini awalnya muncul karena kondisi Negara Islam di dunia berada di bawah cengkraman penjajahan. Kondisi saat itu perlu diakui kuatnya cengkraman bangsa penjajah terhadap Negara Muslim dunia. Oleh karena itu, lahirlah spirit menghadirkan lembaga pendidikan modern yang diinisiasi oleh Muhammadiyah dan Gontor yang basisnya Pesantren. Dan ini menjadi sebab kemunculan lembaga-lembaga pendidikan modern di dunia. Wallahu a’lam……
Catatan:
[1] Penulis mengatakan Pesantren sebagai institusi pendidikan tertua karena masuknya ke Indonesia seiring dengan masuknya Islam. Jika kita mengkaji lebih lanjut sejarah masuknya Islam didapatkan perdebatan antar sarjana dan intelektual. Pada dasarnya kehadiran Pesantren sebelum masa kemerdekaan ataupun datangnya penjajah. Keberadaan Pesantren dikatakan oleh sebagian sarjana telah ada sejak proses penyebaran agama Islam oleh Wali Songo. Ponkok Pesantren pertama yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim karena ia merupakan wali pertama dari 9 lainnya. Lihat M. Nawa Syarif Fajar Sakti, Santri Ducation Antara Tradisi dan Modernisasi di Era Revolusi Industri, Jakarta: Kompas-Gramedia, cet 1, 2020, hlm 54.
[2]Muhammad Takdir, Modernisasi Kurikulum Pesantren Konsep dan Metode Antroposentris, Yogyakarta: IRCiSoD, cet 1, 2018, hlm 21.
[3] Dalam ketentuan adat Minangkabau, anak laki-laki tidak memiliki kamar di rumah orang tuanya melainkan harus berada di Surau. Keberadaannya di Surau tidak untuk sekedar tinggal namun mempelajari ajaran Islam yang mendasar. Lihat M. Nawa Syarif Fajar Sakti dkk, Santri Ducation Antara Tradisi dan Modernisasi di Era Revolusi Industri, Jakarta: Kompas-Gramedia, cet 1, 2020, hlm 51.
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Medornisasi, Banten: PPIM UIN Jakarta, cet 1, 2017, hlm 28.
[5] Irwan Natsir dkk, Sejarah Perguruan Thawalib Padang Panjang, Padang Panjang: Yayasan Thawalib Padang Panjang, cet 1, 2021, hlm 2.
[6] Mohammad Kosim dkk, Pendidikan Langgar di Tengah Arus Modernisasi Pendidikan Islam, Madura: STAIN Pamekasan Madura, cet 1, 2010, hlm 23.
[7] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, cet 9, 2015, hlm 79.
[8] Mujammil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm 2.
[9] M. Nawa Syarif Fajar dkk Sakti, Santri Ducation Antara Tradisi dan Modernisasi di Era Revolusi Industri, Jakarta: Kompas-Gramedia, cet 1, 2020, hlm 50.
[10]Marwan Dasopang, Perjuangan Politik Menegakkan Eksistensi Pesantren, Depok: LP3ES, cet 1, 2023, hlm 28.
[11] Penulis mengatakan demikian hasil dari perenungan terhadap Bela Diri Shaolin yang sering terlihat di layar lebar. Hal tersebut sekilas memperlihatkan asrama sebagai tempat penempaan untuk menghasilkan biksu dengan dibekali bela diri.
[12] Sejak zaman kolonial pesantren tidak hanya sebagai tempat pendidikan. Namun di sisi lain sebagai tempat perlawanan terhadap kaum penjajah. Dari situ Belanda mulai mencurigai basis perlawanan yang bermuara di Pesantren. Basis Pesantren berada di pedesaan, sehingga masyarakat disana mampu disatukan oleh kyai-kyai Pesantren. Pertanyaan besar mengapa terjadi perlawanan dari kalangan pesantren? Jawabannya adalah saat itu terjadi kegagalan dari perlawanan kalangan kerajaan sehingga para kyai mengambil alih perlawanan tersebut. Muncul Resolusi Jihad yang pernah diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari salah satunya. Lihat Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama dan Santri Resolusi Jihad, Ciputat: Pustaka Kompas, cet 3, 2014, hlm 55. Kyai Mahrus Ali mengatakan wajib berjihad untuk mengusir kaum penjajah tanah air. Kondisi demikian menukil pendapat Syeikh Hasyim Asy’ari yang mengatakan menjadi fardhu kifayah saat melawan pendudukan penjajah di suatu tempat. Lihat Mahrus Ali, Hujjatu Ahli As Sunnah wa Al Jama’ah, Depok: Maktbah At Turmusi li At Turats, cet 1, 2024, hlm 9.
[13] Ki Hajar Dewantara berupaya memadukan antara dua sisi yaitu pola pendidikan Barat (belanda) dengan Pesantren. Jadi model pendidikan Taman Siswa hasil dari perpaduan keduanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa beliau banyak terinspirasi dari tokoh Barat seperti Froebel dan Montessori dan tokoh India Rabindranath Tagore. Hasil dari inspirasi tersebut menghasilkan konsep pendidikan yang menitikberat kepada Patriotisme dan persamaan derajat. Lihat Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020 hlm 130.
[14] Kepergian Umat Islam Nusantara menunaikan haji ke Mekkah yang saat itu menjadi tujuan bagi pengembara ilmu agama membuat terjadinya pertemuan antar cendekiawan dari berbagai pelosok dunia. Dengan ini masyarakat Nusantara yang bepergian ke Mekkah mendapatkan cakrawala pandangan keagamaan baik sifatnya sufistik maupun progresif. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Tmur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18, Depok: Prenada Media Group, cet 3, 2018, hlm 56.
[15] Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020 hlm 55.
[16] Ulama Nusantara banyak menjadi pengajar di Mekkah, Yaman dan lainnya sebagai fakta akan kelebihan yang dimiliki oleh kita. Silahkan dapat dilihat dan ditanyakan ulama tersohor saat ini seperti Syeikh Ali Jum’ah, mantan Mufthi Mesir yang kaya ilmunya ternyata sanad keilmuwannya tersambung kepada Syeikh Isa bin Yasin Al Fadhani. Masih banyak lagi jika kita mau mengkajinya lebih dalam. Lihat Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara, Tangerang Selatang: Pustaka Afid Jakarta, cet 2, 2019, hlm 25.
[17] Taufik Abdullah, Sekolah dan Politik Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat 1927-1933, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, cet 1, 2018, hlm 28.
[18] Silfia Hanani dan Susi Ratna Sari, Bung Hatta dan Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Ar Ruz Media, cet 1, 2018, hlm 35.
[19] Amal Fathullah dkk, Napak Tilas Perjuangan Pesantren di Orde Reformasi, Magenta Prima Warma, cet 1, 2022.
[20] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, cet 9, 2015, hlm 83.
[21] Ahmad Suharto, Al Khawatir Al Fesbukiyah Bunga Rampai Refleksi Pemikiran Keislaman dan Kepesantrenan, Yogyakarta: Penerbit Namela, cet 1, 2021, hlm 56.
[22] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet 1, 2012, hlm 76.
[23] Sita Acetylena, Pendidikan Karakter ki Hajar Dewantara, Malang: Madani, cet 1, 2018, hlm 42.
[24] Sita Acetylena, Pendidikan Karakter ki Hajar Dewantara, Malang: Madani, cet 1, 2018, hlm 42.
[25] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Prenada Media Group, cet 1, 2012, hlm 75.
[26] Ridjaluddin, KH. Imam Zarkasyi dan Modernisasi Pendidikan, Jakarta: Pusat Kajian Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah PROF. Dr. Hamka, hlm 55.
[27] Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan; Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif, Jakarta: PT Grameedia Pustaka Utama, cet 1, 2020, hlm 118.
[28] Mua’arif, Modernisasi Pendidikan Islam; Sejarah dan Perkembangan Kweeschool Moehammadijah 1923-1932, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, cet 1, 2012, hlm 66.
[29] Mua’arif, Modernisasi Pendidikan Islam; Sejarah dan Perkembangan Kweeschool Moehammadijah 1923-1932, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, cet 1, 2012, hlm 64.
[30] Buya Hamka banyak menceritakan kisah Jamaluddin Al Afghani di salah satu bukunya. Menurutnya Jamaladdin Al Afghani tokoh Pan Islamisme yang sangat terkenal baik kalangan Barat maupun Timur. Banyak pengalaman yang pernah dilewati tokoh satu ini. Perjalanan intelektualnya dimulai dari asuhan ayahnya hingga pergi ke tanah Hindustan atau India. Hamka, Said Jamaludddin Al Afghany, Jakarta: Bulan Bintang, cet 2, 1981, hlm 8.
* Dr. Abuzar Al Ghifari, Lc.,M.A., merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Parung Bogor, Pesantren Darunnajah Jakarta, Dosen di Universitas Darunnajah Jakarta, dan peneliti di Pusat Pengembangan Pesantren dan Wakaf Universitas Darunnajah.
Baca juga artikel terkait pesantren:
- Menengok Kurikulum dan Aktivitas Pesantren Gontor
- Pesantren dan Masa Depan Indonesia
- Pesantren, Feodalisme, dan Transformasi Sosial Keagamaan
- Arsitek sebagai Perpaduan Teknik dan Mistik: Renungan dari Pesantren Pabelan
- Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren di Masa Pembangunan dan Kemajuan Iptek
- Tradisi Khataman Kitab Kuning di Pesantren