Oleh: Rohmatul Izad
Tidarislam.co – Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, istilah ‘feodal’ biasanya merujuk pada perilaku-perilaku relasional antara atasan dan bawahan, penguasa dan yang dikuasai, serta berkaitan dengan hubungan yang bersifat superior dan inferior. Biasanya, yang dimaksud atasan atau penguasa dalam budaya feodal adalah orang-orang yang ‘selalu ingin dan harus dihormati’. Sekarang, kata ‘feodal’ menjadi sangat negatif akibat citra dan dampak yang ditimbulkannya.
Feodalisme adalah budaya warisan masa lalu yang merujuk pada sistem otoritas kekuasaan di mana sang penguasa memiliki kewenangan penuh atas apa yang dikuasai, bisa berupa penguasaan atas tanah, harta, alat produksi, maupun penguasaan atas bahawan yang menggarap hak milik yang dimiliki oleh si tuan. Budaya feodal sebetulnya bersifat alami, tetapi ia menjadi bersifat negatif ketika ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat semena-mena.
Budaya feodal sendiri lahir dalam iklim sosial-politik yang bersifat monarki, artinya budaya ini lahir akibat dari penerapan sistem kekuasaan tunggal yang tersentral pada individu. Dulu, wujud feodalisme bisa berbentuk kerajaan, dan sistem kerajaan ini berdampak pada relasi tuan (raja) dan budak (rakyat). Selanjutnya, relasi tuan-budak ini juga berimplikasi pada berbagai sistem kebudayaan seperti antara memilik lahan dan rakyat yang menggarapnya.
Sistem feodal ini pada akhirnya melahirkan budaya kekuasaan absolut yang membuat si tuan dapat berlaku semena-mena, merasa benarnya sendiri, dan harus dipatuhi dalam keadaan apapun. Kepatuhan dan ketundukan menjadi kata kunci bagi terwujudnya budaya feodal di masyarakat.
Pertanyaannya, apa hubungan antara feodalisme dan pesantren? Benarkah pesantren adalah lembaga keagamaan yang sangat kental bernuansa feodal sehingga menghambat transformasi sosial-keagamaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu tahu apa itu pesantren dan tradisi macam apa yang dilestarikan di dalamnya.
Pesantren, Monarki, dan Ketaatan Absolut
Telah umum diketahui bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat kuat melestarikan tradisi. Yang dimaksud tradisi di sini adalah mempelajari warisan keilmuan masa lalu dan dibumbui dengan berbagai praktik kesopanan yang khas antara guru dan murid. Umumnya, sistem sosial-politik di pesantren bersifat monarkis dan menjadikan sosok kiai atau pemilik pesantren sebagai tokoh sentral yang bersifat absolut.
Pesantren sendiri adalah cakar budaya dan tempat bersemayamnya para ulama, namun tidak hanya itu, pesantren juga berfungsi untuk mencetak kader-kader ulama yang akan dipersiapkan dikemudian hari untuk menjaga dan menyiarkan agama Islam kepada masyarakat secara luas. Pada titik ini, pesantren memiliki fungsi yang sangat penting bagi keberlanjutan agama dan regenerasi bagi pengembangan agama Islam.
Namun demikian, dibalik itu semua, pesantren juga memiliki tradisi khas yang bersifat feodalistik; misalnya, ketaatan mutlak pada sosok kiai, gus atau ustadz, relasi superior antara kiai dan santri, sehingga melahirkan ketidaksetaraan antara guru dan murid. Meski ini sering dipahami sebagai tradisi yang baik, yakni bentuk ketaatan kepada guru, sebagaimana pula diajarkan dalam agama, tetapi tradisi ini seringkali menjerembab dan melahirkan pengkultusan yang berlebihan dan tidak masuk akal antara guru dan murid.
Atas nama slogan ‘sami’na wa atho’na’ (kami mendengar dan kami taat), seringkali pesantren telah melanggengkan sistem kekuasaan yang absolut seolah guru atau kiai tidak pernah berbuat salah dan dosa layaknya nabi (maksum). Memang, harus diakui bahwa skolan ini ada benarnya, dan dalam beberapa aspek sangat baik untuk mendidik moral santri, tetapi, disadari atau tidak, ini seringkali menjadi pagar beton yang membuat murid tidak berdaya ketika, misalnya, ada guru atau kiai yang berbuat salah, dan tidak berani menegur atau mengkritik.
Pada akhirnya, relasi tuan-budak sangat kental antara kiai-santri, dan ini menjadikan santri tidak memiliki kekuasaan apapun untuk mengoreksi atau memperbaiki keadaan. Padahal, itu semua hanya tradisi dan bukan prinsip moral murni yang benar-benar harus menjadi pegangan. Kendati ada kesadaran egalitarianism antara guru dan murid, biasanya kesadaran ini hanya bersifat hipokrit atau kepura-puraan dan tidak berdaya dengan praktik keseharian yang sesungguhnya.
Pesantren dan Feodalisme Keagamaan
Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), yang paling berbahaya dari budaya feodalisme adalah praktik feodalisme berbalut agama. Hal ini dianggap lebih berbahaya karena feodalisme agama lebih banyak mengedepankan kesopansantunan ketimbang kebenaran itu sendiri. Dalam feodalisme berbalut agama, seorang tokoh agama dipahami sebagai sosok yang suci, wajib ditaati apapun perintahnya, dan seorang murid tidak boleh mengkritik.
Kita harus mengakui bahwa di berbagai pesantren di Indonesia, ada banyak sekali kasus-kasus kekerasan, seperti kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, hal ini terjadi lantaran sang murid atau santri seringkali tidak berdaya dengan keadaan dan memilih untuk taat begitu saja.
Yang paling berbahaya dari perilaku kekerasan seksual itu adalah seringkali sang guru memuat alasan-alasan religius untuk membenarkan tindakannya. Misalnya yang terbaru kasus seorang kiai di kabupaten Trenggalek Jawa Timur yang mencabuli banyak santrinya dengan alasan yang sangat tidak logis, katanya, yang mencabuli bukan dirinya secara fisik, tetapi sosok lain yang ada dalam dirinya, dan masih banyak kasus lain serupa.
Terlepas dari itu, tampilnya figur kiai yang begitu absolut tidak lepas dari kultur yang dibangun di pesantren yang sangat bercorak ‘sentralistik feodal’, semua kebijakan ada di tangan kiai, para pengurus pondok dan santri hanya eksekutor kebijakan. Berbagai tata tertib dan peraturan dibuat sesuai kehendak kiai yang sering tanpa adanya musyawarah. Makanya tidak heran bila ada sebutan bahwa kiai adalah raja-raja kecil, dan tidak jarang bagi yang melangar aturannya seringkali mendapat hubungan di luar batas pola pendidikan yang membebaskan.
Kebijakan yang dibuat kiai dengan sekehendaknya sendiri sesungguhnya juga bukan tanpa masalah, misalnya dalam satu pesantren ada beberapa kiai, bila setiap kiai memiliki kebijakan sendiri-sendiri yang berbeda dengan kiai lain, seringkali ini menjadi kebijakan yang tumpang tindik dan membingungkan bagi santri, hingga akhirnya membuat program-program kepesantrenan menjadi amburadul dan tidak tertib.
Dalam perspektif teori relasi kuasa dari Michel Foucault, relasi kiai-santri menggambarkan ketidakberdayaan di salah satu pihak, dan membuat pihak yang satunya memiliki kekuasaan sentralistik yang absolut. Sehingga kebenaran, moralitas, dan sebagainya didefinisikan sebagai dengan kepentingan dan soso kiai tersebut. Dalam konteks ini, ada relasi yang timpang di mana kebenaran menjadi tidak objektif dan bias.
Pesantren dan Transformasi Sosial
Saya menduga bahwa salah satu faktor penghambat kemajuan dan transformasi sosial keagamaan yang lebih progresif di lingkungan pesantren adalah karena adanya tradisi feodalistik yang terlalu mengkultuskan sesosok tokoh tertentu yang bercorak individualistik. Misalnya, manajemen pengelolaan pesantren tidak bersifat egaliter dan masing-masing unit kepengurusan tidak berperan sesuai kapasitasnya, justru berbagai kebijakan hanya terfokus pada satu tokoh saja. Apa dampak negatifnya? Jelas, ini akan menghambat berbagai pikiran yang progresif untuk berkembang dan tidak ada kesempatan bagi ide-ide lain untuk diajukan.
Menurut Moslem Abdurrahman, upaya transformasi pesantren sulit dikembangkan karena terbentur feodalisme para kiai lokal. Keadaan ini tentu akan merugikan pesantren hanya karena mempertahankan posisi ketokohan yang dianggap suci tak tersentuh. Adanya berbagai kultur dan sub kultur di pesantren yang dianggap sangat ideologis sering menjadi penghambat pemajuan. Tentu, tidak semua pesantren mengalami ini, ada begitu banyak pesantren yang telah maju, tetapi masalah feodalisme masih menjadi PR besar.
Memang harus diakui bahwa sistem sosial-politik pesantren yang bercorak monarki memiliki keistimewaan tersendiri, sistem inilah yang sesungguhnya membuat pesantren tetap lestari dan eksis hingga sekarang. Setiap pesantren, terutama pesantren yang berafiliasi dengan NU, biasanya hak miliknya jatuh di tangan kiai atau pendirinya, dan ini diwariskan hingga anak cucu. Tetapi, bila watak feodalisme tidak diubah, maka akan sulit bagi pesantren untuk bertransformasi menjadi lembaga keagamaan yang lebih maju.
Selain itu, keberadaan pesantren yang lebih banyak berada di area pedesaan membuat mereka sulit bersentuhan dengan modernitas dan berbagai kemajuan lainnya, seperti industrialisasi, teknologi komunikasi, dan sebagainya. Ini semua makin mempersempit peluang pesantren untuk terbuka pada kemajuan. Misalnya, ketika program literasi digital telah banyak berkembang di kampus-kampus, di pesantren belum terdengar dengungnya. Padahal, melek literasi menjadi kunci utama bagi pemajuan lembaga pendidikan, baik umum maupun keagamaan.
Lagi-lagi, kiai atau pemilik pesantren yang tidak melek dengan modernisasi dan globalisasi, akan makin membuat institusi pesantren makin tertinggal dengan lembaga-lembaga lainnya. Padahal, akan makin mantab bila lembaga keagamaan dapat bersaing pula dengan lembaga-lembaga lain. Dan ini bisa diwujudkan melalui manajemen pengelolaan yang baik, terutama di ranah kebijakan yang harus diorientasikan pada kontekstualisasi antara ajaran Islam dengan berbagai tuntutan zaman yang terus berubah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kunci utama bagi pemajuan pesantren adalah membongkar otoritas kuasa yang sentralistik dan menumbuhkan sistem manajerial yang lebih baik pada berbagai aspeknya. Dengan manajemen pengelolaan yang baik dan melibatkan berbagai unit kepesantren, yang artinya adalah pengelolaan melalui sistem dan bukan ketokohan, lembaga keagamaan ini dapat didorong pada pemajuan yang lebih maksimal, mulai dari pengembangan digitalisasi pendidikan, industrialisasi dan bisnis, serta membangun sistem kepemimpinan yang egaliter. Hanya dengan ini, pesantren berpeluang besar untuk maju, menjadi lembaga yang mandiri secara ekonomi, dan menjadi garda terdepan pencetak kader keulamaan di masa depan.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
One thought on “Pesantren, Feodalisme, dan Transformasi Sosial Keagamaan”