Oleh: Rohmatul Izad
Tidarislam.co – Sebagai salah satu pendekatan dalam studi Islam kontemporer, mazhab revisionis bukanlah sebentuk pendekatan yang lahir dari tradisi pemikiran Islam murni, artinya ia tidak lahir dari pergolakan umat Islam terhadap kajian agamanya. Pendekatan ini lahir dalam tradisi akademik Barat yang semula merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji agama Kristen, termasuk kajian terhadap kitab suci Bible.
Dalam tiga dekade terakhir, mazhab revisionis cukup mendominasi dalam studi agama-agama dunia, terutama kajian terhadap agama Kristen dan Islam. Tujuan utama mazhab ini adalah untuk menentang validitas asal-usul agama yang telah ditulis selama berabad-abad dan mencoba melakukan revisi terhadap asal-usul agama tersebut dengan mendasarkan pada sumber-sumber sezaman terhadap objek yang dikajinya.
Misalnya, ketika kelompok revisionis ingin menggali asal-usul agama Islam, mereka tidak bertumpu pada sumber-sumber yang ditulis jauh setelah Islam datang, mereka lebih tertarik menggali sumber-sumber otoritatif yang sudah ada sejak kedatangan Islam tersebut, sehingga mereka berusaha melacak historisitas Islam berdasarkan sumber historis yang lebih meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan ilmu sejarah.
Menurut Mun’im Sirry dalam bukunya berjudul Islam Revisionis (2018), sejak terbitnya karya besar sarjana Inggris Jhon Wansbrough, Qur’anic Studies (1977) dan The Sectarian Milieu (1978), model kesarjanaan yang mempersoalkan asumsi-asumsi dan kesimpulan lama tentang Islam (lebih tepatnya, kemunculan Islam sebagai agama) mulai menemukan momentum. Karena sifatnya yang cenderung merevisi pandangan umum yang sudah diterima luas, kesarjanaan baru ini kemudian dikenal dengan sebutan “madzhab revisionis” (revisionist school).
Baca juga: Asal-Usul Islam dan Kristen dalam Kesarjanaan Revisionis
Memang, Wansbrough bukan orang pertama yang menawarkan kesarjanaan kritis. Pada 1989, sarjana Hungaria, Ignas Goldziher, menerbitkan karyanya yang berpengaruh luas, Muhamedanische Studien, yang menghentak kajian Islam. Goldziher memperlihatkan, sejumlah hadits Nabi yang diterima luas oleh kaum Muslim sebenarnya merefleksikan perkembangan belakangan menyusul kontroversi legal dan doktinal selama dua abad pasca meninggalnya Nabi Muhammad.
Namun demikian, Wansbrought memang bisa dikatakan “nabinya” madzhab revisionis. Bukan karena gagasan-gagasannya yang sangat radikal, tetapi sebagian besarnya karena ia mengajukan sebuah pertanyaan yang menohok ke jantung kajian kritis historis kelahiran Islam. Yakni, bukti apa yang kita miliki untuk mendukung keyakinan kita? Untuk sekian lama pertanyaan tentang bukti (evidence) semacam ini tidak ditanyakan dalam studi Islam karena sumber-sumber Muslim umumnya diterima secara taken for granted. Karya-karya ulama Muslim awal dianggap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Sarjana abad kesembilan belas asal Prancis, Ernest Renan, begitu yakin kita mengetahui Nabi Muhammad melebihi pengetahuan kita tentang Yesus. Dalam bukunya “Mahomet et les Origines de I’Islamisne” (1851), Renan mengemukakan bahwa, berbeda dengan Kristen, Islam lahir dalam sinaran sejarah yang terang-benderang. Persis pada titik inilah, madzhab revisionis mulai mempertanyakan ulang historiografi Islam, apakah memang benar kemunculan Islam secara jelas sudah tergambar dalam teks-teks sejarah? Adakah bukti-bukti yang dapat mengantarkan kita pada pemahaman yang utuh tentang sejarah Islam tersebut?
Dalam buku Kontroversi Islam Awal (2013), Mun’im Sirry membagi ada tiga pendekatan yang dimiliki oleh madzhab revisionis dalam pengkajian Islam; pertama, pendekatan kritik sumber, para prinsipnya, pendekatan ini mengakui bahwa sumber-sumber Muslim mengandung data-data historis yang bisa ditelusuri dengan metode tertentu. Kedua, pendekatan kritik tradisi, pendekatan ini berangkat dari soal periwayatan atau bagaimana suatu informasi ditransmisikan dari satu generari ke generasi berikutnya. Ketiga, pendekatan skeptis, pendekatan ini boleh dibilang menolak sama sekali adanya informasi faktual dan data-data historis dalam korpus Islam.
Baca juga: Surat Nabi Muhammad SAW kepada Raja Oman
Terlepas dari itu, harus disadari bahwa sejak awal, para tokoh “revisionis” ini menyatakan bahwa mereka menaruh perhatian pada kemapanan tradisi “historis-kritis” pada studi kitab suci Kristen yang muncul sejak sekitar awal abad kesembilan belas. Namun, ada perbedaan antara konteks sejarah pada studi Perjanjian Baru di satu sisi, dan pada studi al-Qur’an di sisi lain. Di sini tampak jelas bahwa tradisi kesarjanaan revisionis dengan tradisi “historis-kritisnya” sebenarnya lahir dari peradaban dan pergolakan internal dalam tradisi Kristen.
Artinya, kesadaran historis-kritis yang lahir dari madzhab revisionis mula-mula merupakan respons terhadap tradisi agama Kristen dan berbagai pergolakan intelektual-religius di dalamnya. Karena sifat kajian ini adalah ilmiah dan objektif, maka studi ini dipakai oleh para sarjana Barat untuk menelusuri sejarah perbandingan agama-agama, termasuk Islam, dan tentu saja berimplikasi pada penyingkapan historiografi Islam yang selanjutnya juga akan berimplikasi pada studi sejarah terhadap teks al-Qur’an.
Terlepas apakah orang setuju atau tidak terhadap pendekatan yang diusung oleh mazhab revisionis, pendekatan ini sangatlah berguna dalam menggali historisitas atau asal-usul Islam. Mengingat sumber-sumber tulisan mengenai sejarah Islam sebagian besar ditulis jauh setelah Islam datang, dan seringkali umat Islam sekedar meyakini saja apa yang ditulis dalam sumber-sumber tersebut tanpa mengkaji ulang secara kritis apakah memang gambaran Islam awal benar-benar sesuai dengan apa yang dicitrakan dalam sumber-sumber tersebut.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta