Keutamaan Ilmu dan Ulama (Bagian 2)

Oleh: Abuzar Al Ghifari*

Tidarislam.co- Pada bagian sebelumnya, penulis telah memaparkan definisi ilmu serta keutamaannya. Seorang ulama karena keilmuwannya menjadi pewaris Nabi Muhammad SAW. Pewaris Nabi disini bukan seolah umat Nabi Muhammad SAW mendapatkan warisan harta, melainkan “warisan” perjuangan menyampaikan ajaran Islam pasca wafatnya. Karena itu pula malaikat “bersujud” kepada Adam, untuk menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan di antara para hamba Allah SWT.

Selain itu, ilmu memiliki keutamaan, dan di sisi lain terdapat tujuan untuk meraihnya. Salah satu tujuan diperintahkan menuntut ilmu agar manusia tidak berada pada belenggu kebodohan. Islam sangat anti dengan “kebodohan” karena itu bagian dari musuh besar. Al-Quran berbicara tentang keutamaan dan tujuan meraih ilmu bagi manusia dengan membawa manusia dari kondisi “kebodohan” yang sering kita dengar sebagai “kegelapan”.

Di pembahasan sebelumnya, ilmu memiliki rukun seperti Islam dan Iman yang dikenal dengan rukun Iman dan Islam. Namun ada hal penting untuk diketahui, bahwa juga ilmu memiliki pembagiannya. Beberapa ulama seperti Imam Al Ghazali dan Imam Nawawi telah membaginya. Namun ulama yang paling banyak dikenal membagi ilmu ialah Imam Al Ghazali. Bahkan ada pula yang menuduh Imam Al Ghazali sebagai tokoh yang telah mendikotomi ilmu. Pernyataan tersebut sangat tidak beralasan, karena beliau lebih tepatnya melakukan klasifikasi ilmu untuk memudahkan kita memahami pembagian ilmu.

Saat akan mempelajari ilmu Syariat atau dapat disebut dengan ilmu agama, seorang penuntut ilmu harus memahami terlebih dahulu pembagian ilmu Syariat secara umum yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu ilmu Maqashid atau Ghayah dan ilmu Washilah atau Alat. Ilmu Maqashid atau Ghayah ialah ilmu-ilmu yang membahas hukum Syariat terkait dengan perbuatan Mukallaf yang terdiri dari 3 ilmu penting. Karena ilmu Syariat ada yang berkaitan dengan persoalan keyakinan; ilmu yang membahas ihwal keyakinan tersebut ialah ilmu Aqidah. Ada pula ilmu yang berkaitan dengan perbuatan dzahir atau nampak pada manusia; ilmu yang membahas hal ini ialah ilmu Fikih.

Bagian ketiga ilmu berkaitaan dengan perbuatan Bathin atau perbuatan yang tidak nampak pada manusia. Ilmu yang membahas hal ini ialah Tasawwuf. Ketiga ilmu tersebut, dari Aqidah, Fikih, dan Tasawwuf merupakan ilmu yang masuk kategori ilmu Maqashid. Akan tetapi, menurut penulis, ilmu yang masuk kategori ilmu Maqashid tidak terbatas kepada 3 ilmu saja seperti disebutkan sebelumnya. Ilmu Bahasa Arab contohnya termasuk kategori Ilmu Maqashid, karena sebagai pintu masuk memahami ilmu-ilmu keislaman lainnya.

Adapun ilmu Washilah ialah ilmu yang dipelajari sebagai upaya memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ilmu ini dapat membuat seseorang mampu memahami ilmu Maqashid yang disebutkan sebelumnya, yakni Aqidah, Fikih dan Taswwuf. Contohnya adalah untuk memahami ilmu Fikih seharusnya dipelajari pula ilmu Ushul Fikih. Maka siapa pun yang ingin menjadi ahli Fikih diharuskan memahami ilmu Ushul Fikih.

Menurut penulis, ilmu Ushul Fikih diibaratkan seperti “mesin” yang memproduksi bahan tertentu untuk menghasilkan suatu “produk”, yang dapat kita ibaratkan “produk” tersebut adalah ilmu Fikih. Jadi ilmu Ushul Fikih merupakan “alat” menghasilkan “produk” hukum dan terhimpun dari hasil produksi tersebut pada ilmu Fikih. Maka sangat naif siapa pun hendak menjadi ahli Fikih namun tidak mau mempelajari ilmu Ushul Fikih.

Begitu pula Hadits Nabi Muhammad SAW menjadi rumpun ilmu Maqashid atau Ghayah, sehingga kita harus mempelajari terlebih dahulu yang namanya ilmu Musthalah Hadits, karena dengan demikian kita akan diperkenalkan dengan berbagai istilah pada kajian Hadits terutama membedakan klasifikasi hadits antara yang dhaif, maudhu’, mauquf, munqati’, ilmu Ilal, ilmu Jarah wa Ta’dil. Begitu pula Bahasa Arab, menjadi keharusan untuk memahami Bahasa Arab dengan mempelajari ilmu yang mampu memahaminya seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lainnya. Maka tidak mungkin terjadi seseorang mahir dan pakar Bahasa Arab tanpa mempelajari Nahwu, Sharaf, Balaghah dan seterusnya.

Baca juga bagian sebelumnya: Keutamaan Ilmu dan Ulama (Bagian 1)

Dari pembahasan sebelumnya terdapat pembagian ilmu Syariat atau ilmu keislaman menjadi 2 bagian. Pertama, ilmu Maqashid atau Ghayah, dan kedua, ilmu Washilah atau Alat. Ilmu Maqashid menjadi bagian dari ilmu yang masuk dalam kategori pokok atau primer. Adapun ilmu Washilah atau Alat menjadi kategori sekunder karena sebagai “alat” dan cara menuju ilmu Maqashid maupun Ghayah. Keduanya, ilmu Maqashid atau Ghayah dengan ilmu Washilah dan Alat, tidak dapat dipisahkan, melainkan menjadi kesinambungan satu sama lain.

Jika antara ilmu Maqashid dan Washilah ada upaya dikotomis, maka hasilnya tidak akan pernah mencapai titik ideal. Satu sama lain saling memperkuat dan mendukung karena pada hakekatnya kedua ilmu yang dipelajari baik itu Maqashid dan Washilah merupakan upaya memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW secara komprehensif. Sangat tidak benar dan beralasan jika ada orang yang menganggap memahami Al-Quran dan Hadits cukup membaca “terjemahannya”. Hal ini dapat dikatakan sebagai “gagal faham” karena kandungan Al-Quran dan Hadits tidak semudah yang dibayangkan, sehingga perlu mengeksplor hal penting seperti Asbab Nuzul, Nasakh Mansukh, Mujmal, Bayan, Amm, Khass, Muthlaq dan Muqayyad yang ini semua tidak ditemukan kecuali mempelajari ilmu Tafsir. Dalam ilmu Hadits terdapat Asbab Wurud, Dhaif, Munqati’, Maudhu’, Jarah dan Ta’dil. Maka untuk memahami Al-Quran dan Hadits menjadi keharusan mempelajari ilmu Washilah atau Alat agar dapat memahami keduanya dengan baik.

Kedua ilmu antara Maqashid atau Ghayah maupun Washilah dan Alat merupakan cara untuk memahami ilmu Syariah dengan benar sesuai urutannya. Tentu, ilmu Maqashid atau Ghayah menjadi tujuan yang hendak dicapai. Sebagai cara agar mencapai tujuan membutuhkan ilmu yang namanya Washilah atau Alat. Kedua ilmu Washilah maupun Maqhasid merupakan pembagian atau klasifikasi ilmu dalam memahami ilmu Syariah. Klasifikasi tersebut memudahkan para penuntut ilmu saat akan memulai mempelajari ilmu Syariah dengan baik dan benar agar tidak terjadi kekeliruan apalagi “gagal faham”.

Lembaga pendidikan Islam di Indonesia, dalam hal ini adalah pesantren, telah menggabungkan antar keduanya yaitu ilmu Washilah atau Alat dengan Maqashid maupun Ghayah. Keduanya dianggap penting karena bernilai sama-sama mengantarkan menuju pemahaman ajaran Islam secara benar. Oleh karena itu, jika ada pesantren atau lembaga pendidikan Islam tidak mengajarkan kitab Turats bahkan dianggap sebagian orang lemah dalam memahami Turats, harus dilihat terlebih dahulu “role” atau model pendidikannya. Boleh jadi lembaga pendidikan atau pesantren tersebut hanya mengajarkan ilmu Washilah atau Alat yang ibaratnya sekedar diberi “kunci” untuk masuk ruangan luas. Ibarat “ruangan luas” diartikan siswa maupun santri hanya dibekali ilmu dengan kategori Washilah maupun Alat, selebihnya mereka akan mengembangkan keilmuwannya saat berada di luar pasca lulus. Akan tetapi, tidak semua lembaga pendidikan atau pesantren hanya mengajarkan ilmu Washilah atau Alat saja, ada juga yang mengajarakan keduanya yaitu ilmu Maqashid maupun Ghayah dan ilmu Washilah secara bersamaan. Dapat dikatakan yang demikian kembali kepada kurikulum maupun metode yang digunakan, meski tujuannya tetap sama yaitu izzatul Islam.

Keanekaragam pesantren maupun lembaga pendidikan tidak serta-merta dapat kita anggap cacat pada proses pendidikan maupun transmisi keilmuwannya. Itu semua kembali kepada orientasi maupun model dan corak yang dipilih sebagai bentuk ijtihad. Satu sama lain tidak boleh saling mencela karena dapat berakibat perselisihan bahkan “sentiment”. Pastinya setiap metode, maupun model dan corak dari orientasi pendidikan yang dipilih memiliki kelebihan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Eksistensi Pesantren saat ini memiliki beberapa varian baik itu pesantren salaf, modern, hingga perpaduan keduanya, tidak dapat dibenturkan, melainkan saling membangun peradaban bersama-sama dalam rangka memakmurkan dunia menuju Ridha Ilahi.

 Baca juga: Keulamaan sebagai Kompetensi Keilmuan

Begitu pula tudingan miring terhadap beberapa ulama seperti Hujjatul Islam Imam Al Ghazali yang memiliki karya fenomenal Ihya Ulumuddin yang dianggap memuat hadits dhaif. Anggapan seperti ini menunjukan seolah-olah Imam Al Ghazali lemah secara keilmuwan dalam bidang hadits. Pernyataan dan tudingan tersebut tepatnya tidak mendasar. Ulama terdahulu sebelum masuk kategori pakar dalam bidang tertentu. Mereka telah melewati berbagai disiplin ilmu baik itu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Fikih, Ushul Fikih, Hadits, Tafsir dan lainnya. Ilmu Maqashid atau Ghayah dan Washilah maupun Alat telah mereka lewati, lalu setelah itu masuk pada fase berupa “kepakaran”. Jadi, jika ada Ulama memiliki kepakaran dalam bidang tertentu, tidak dapat dianggap  “lemah” pada bidang lainnya. Dapat dipastikan semua ilmu baik itu Maqashid atau Ghayah dan Washilah telah mereka lalui dengan baik.

Dalam Islam tidak ditemukan adanya dikotomi ilmu, ulama terdahulu telah memberikan contoh seperti Ibn rusyd Ulama dari Andalusia; selain pakar Filsafat, juga ahli dalam bidang fikih. Karya fenomenalnya yang dipelajari di berbagai pesantren yaitu Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid. Imam Al Ghazali pakar bidang Tasawwuf, Kalam, Filsafat, Fikih, Ushul Fikih, Tafsir. Ibn Sina pakar dalam bidang kedokteran, karyanya menjadi rujukan kedokteran di Barat. Ali pula di bidang Filsafat, Mantiq hingga seorang filsuf. Masih banyak ulama dan intelektual muslim memiliki multi talenta dalam berbagai bidang keilmuwan sehingga tertulis dan terkenang hingga harum namanya pada sejarah peradaban manusia. Bersambung…….

Dr. Abuzar Al-Ghifari, Lc. M.A., merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Bogor dan dosen di Universitas Darunnajah Jakarta.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *