Tidarislam.co – Dalam sebuah acara haul Mbah Syahid, pendiri dan pengasuh Pesantren Alhamdulillah Kemadu, yang terkenal dengan julukan “Kiai Alhamdulillah”, KH Zulfa Musthofa mengajak kita untuk merefleksikan tentang hakikat keulamaan, dan belajar dari keilmuan Mbah Syahid atau KH Ahmad Syahid Sholihun. Karena beliau, menurutnya, termasuk ulama yang dapat menjadi panutan penguasaan kompetensi ilmu yang sesungguhnya di Indonesia.
Sesungguhnya ulama adalah sebuah kompetensi, kemampuan, atau kapasitas, dan bukan sebuah profesi. Kompetensi keulamaan itu ditunjukkan dengan penguasaan ilmu secara luas, mencakup ilmu-ilmu syariat seperti fikih, usul fikih, bahasa Arab, bahkan juga termasuk juga ilmu hakikat.
Ulama, dengan demikian, adalah mereka yang menguasai ilmu secara mendalam, baik apa yang disebut ulum naqliyah maupun ulum aqliyah. Orang dianggap ulama, antara lain, karena memiliki reputasi penguasaan ilmu yang mumpuni dalam bidang ilmu naqliyah, seperti ilmu fikih, ushul fikih, ilmu tafsir, ilmu hadist, atau ilmu nahwu. Di Jawa, misalnya, ada ulama terkenal seperti KH. Kholil bin Harun Kasingan Rembang yang ahli bidang ilmu nahwu atau gramatika bahasa Arab, sehingga dikenal sebagai Imam Sibawaih dari Jawa.
Mereka yang memiliki kapasitas keilmuan yang mendalam di luar itu, dalam kategori ilmu aqliyah, seperti matematika, fisika, biologi, psikologi, sejatinya juga dapat disebut ulama. Mereka orang-orang ‘dzu ‘ilmin’, atau memiliki ilmu. Dua bidang ilmu itu sesungguhnya tidak dibeda-bedakan.
Yang perlu dikoreksi, sebagian orang di masyarakat kita ada yang menganggap keilmuan ulama hanya dibatasi pada penguasaan ulum naqliyah, sehingga kemudian meremehkan ulum aqliyah. Di masyarakat kita dahulu ada yang menganggap bahwa kita tidak perlu ulum aqliyah karena “ora dadi pitakon kubur” (tidak menjadi pertanyaan Malaikat dalam kubur).
Baca juga: Keseimbangan Berislam: Fikih dan Tasawuf dalam Satu Tarikan Nafas
Para ulama-ulama rujukan kita dahulu sesungguhnya telah mencontohkan kompetensi dan penguasaan ilmu yang luas. Di samping ilmu-ilmu naqliyah, mereka juga berusaha mempelajari ilmu-ilmu aqliyah. Walhasil, mereka tidak hanya menguasai ilmu naqliyah, tapi juga menguasai ilmu aqliyah, seperti ilmu matematika, kedokteran, biologi, hingga filsafat, bahkan ilmu-ilmu yang dekat dengan psikologi.
Mereka, ulama-ulama terdahulu, menggabungkan penguasaan antara ulum naqliyah dan ulum aqliyah, karena keduanya saling melengkapi, dan ilmu aqliyah justru melengkapi dan menyempurnakan keilmuan naqliyah. Imam al-Ghazali, misalnya, juga termasuk ulama yang memperhatikan ilmu kedokteran dalam menguraikan ilmu secara lebih sempurna dalam kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin.
Juga kita bisa merujuk pada keulamaan Imam Syafi’i, yang menguasai berbagai macam bidang ilmu, bahkan ilmu yang mungkin dikatakan langka, yakni ilmu firasah atau ilmu firasat. Ilmu semacam ini ada yang bersifat kasbi, artinya bisa dipelajari seperti ilmu psikologi, ada juga yang bersifat wahbi, atau pemberian dari Allah.
Imam Syafii, sebagai orang yang alim, setelah menimba ilmu bertahun-tahun, beliau merasa perlu menyempurnakan keilmuannya dengan mempelajari ilmu firasah. Untuk itu, beliau sampai berguru ilmu firasah secara khusus kepada salah satu ulama firasah di Yaman. Setelah merasa cukup, Imam Syafii, kembali untuk mengajar, hingga ia tidak hanya dikenal reputasinya sebagai ulama paripurna yang menguasai ilmu fikih dan ushul fikih, ditambah lagi ilmu-ilmu aqli, termasuk ilmu firasah.
Alkisah, ketika Imam Malik pertama kali menemui Imam Syafii ketika hendak menimba ilmu kepada beliau, Imam Malik sudah mengenalinya berdasarkan pertimbangan firasah yang dimilikinya, bahwa kelak muridnya akan menjadi orang berilmu yang besar. Dan ternyata benar.
Ada juga ilmu firasah yang bersifat wahbi, sebagai cahaya ilmu yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambanya yang dikehendaki-Nya, dan tidak diberikan kepada orang lain. Imam Suyuti, dalam kitabnya, al-Kanzul al-Madfun fil Fulki al-Masyhun, sesungguhnya juga menjelaskan berbagai macam hal tentang keilmuan firasah ini. Dalam istilah ulama kita, Mbah Soleh Darat, ilmu semacam ini disebutnya sebagai ilmu katuranggan.
Disinilah, kita juga dapat belajar dari keulamaan Mbah Syahid, yang termasuk ulama yang menguasai ilmu secara luas, di samping menguasai ilmu-ilmu naqliyah, atau ilmu syariat, juga memiliki penguasaan luas terhadap ilmu tasawuf dan ilmu aqli, termasuk juga di dalamnya ilmu firasah. Sosok ulama seperti Mbah Syahid, adalah termasuk yang kuat dalam ilmu firasah.
Keluasan penguasaan ilmu ini menjadikan beliau dikenal orang ‘alim, tetapi juga ‘arif, yang memiliki kekuatan ‘ainul basyirah’. Dengan kata lain, beliau sangat menguasai ilmu firasah yang tidak hanya melihat fenomena dengan penglihatan lahir atau ‘ainul bashar’, tetapi juga yang terpenting dengan nalar batiniah, dengan mata batinnya atau ‘ainul basyiroh’ yang tajam.
Reputasi Mbah Syahid, dengan keilmuannya itu, dihormati banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan Muhammadiyah, sebut saja Amien Rais, yang juga menghormati beliau. Hal itu karena beliau dikenal sebagai salah satu ulama sepuh yang ‘arif’, yang memiliki basyirah yang kuat.
Mengutip sebuah syair Arab: “Qulubul ‘arifin laha ‘uyunun, taro ma la yuro linnadzirina”, bahwa mata hati seorang yang ‘arif’ mampu melihat apa saja yang tak tampak dalam penglihatan mata lahiriah banyak orang.
Figur keulamaan seperti dimiliki Mbah Syahid, yang luas ilmunya, ikhlas, dan rendah hati, kini semakin langka. Dengan kelakarnya, KH Zulfa Musthofa mengkritik, sayangnya banyak orang mengaku ulama sekarang ini yang menjadikan keilmuan sebagai profesi, tidak lagi mengutamakan keilmuan yang sempurna, apalagi dengan ilmu bashirah, tetapi mendahulukan penglihatan segala sesuatu dengan pertimbangan ‘ainul bisyaroh’, alias ‘wani piro’?
*dipetik dari sambutan KH. Zulfa Mustofa dalam sebuah Haul Mbah Syahid atau KH Ahmad Syahid di Pondok Alhamdulillah, Kemadu, Rembang, dinarasikan ulang dengan editing oleh Tim Redaksi Tidarislam.co
Baca juga: Ithaf Dzaki: Dasar Kaidah Memasuki Ilmu Hakikat
Lihat juga:
Syekh Nawawi Banten
KH Hasyim Asy’ari
KH Ahmad Dahlan
One thought on “Keulamaan sebagai Sebuah Kompetensi Keilmuan”