Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi
Tidarislam.co- Karel Adriaan Steenbrink, merupakan seorang akademisi dan peneliti par excellence dari Belanda. Selain ahli dalam teologi Katolik, ia juga banyak meneliti tentang Islam, khususnya di Indonesia. Terakhir ia menjabat sebagai professor emeritus bidang teologi intercultural di Utrecht University.
Boleh dikatakan, Karel Steenbrink adalah seorang orientalis yang meneliti Islam. Namun, paradigma tentang orientalisme hari ini tidak seperti dahulu, yang mengkaji agama lain dengan pendekatan kritis untuk tujuan membandingkan dan mencari kelemahan agama lain. Kini banyak kajian orientalis tidak lagi bernuansa apologetik, melainkan lebih ditujukan untuk penguatan pemahaman antar budaya dan tradisi keagamaan. Menurut Sahiron Syamsuddin, yang ahli dalam bidang kajian al-Quran di Eropa, Karel Steenbrink termasuk dalam orientalis kontemporer yang menggunakan paradigma interpretatif dan lebih apresiatif terhadap Islam.
Sejak 70-an, Karel Steenbrink sudah banyak melakukan penelitian di Indonesia untuk penelitian disertasi, termasuk menjadi peneliti tamu di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia juga menjadi dosen tamu di IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN Syarif Hidayatullah. Karena lama di Indonesia, ia mampu berbicara bahasa Indonesia dengan fasih. Juga menguasai bahasa Arab. Dalam beberapa kesempatan berbincang langsung, penulis menyaksikan bahwa ia mengetahui cukup banyak informasi tentang turats keislaman.
Dalam sebuah forum konferensi di Belanda, penulis mendapat kesempatan berbincang kembali dengan Karel Steenbrink bersama Sahiron Syamsuddin, dan ia masih menceritakan memorinya tentang riset di pesantren di Indonesia. Riset pesantren ini adalah satu riset paling penting dan monumental yang pernah ia lakukan di Indonesia. Buku hasil penelitiannya, Pesantren, Madrasah, Sekolah, menjadi salah satu kontribusi penting terhadap Pesantren Studies dan menjadi rujukan utama sarjana Indonesia ketika berbicara tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia.
Salah satu yang tak pernah bisa terlupakan adalah penelitian lapangannya di Pesantren Gontor. Sebagai seorang teolog Katolik, ia merasa terhormat bisa ‘nyantri’ beberapa bulan di Gontor. Memang di Gontor banyak santri dari luar negeri, tetapi reputasinya sebagai seorang “teolog Katolik” menjadikannya seperti santri spesial di Gontor, sehingga dengan itu ia bisa berdialog secara leluasa dengan Kyai Imam Zarkasyi, pemimpin Gontor. Pengalamannya mengaji, berwudhu, dan shalat, serta adegan diskusinya yang intim tentang keyakinan Islam dan Kristen dengan Kyai Zarkasyi sering ia sampaikan di berbagai forum. Tak heran, jika banyak yang berkomentar: “Ngajinya Islam, Imannya Katolik”. Biarlah urusan keyakinan menjadi rahasia saya dengan Tuhan, ujarnya!
Baca juga: Asal Usul Islam Kristen dalam Kesarjanaan Revisionis
Penelitian Karel Steenbrink dalam studi agama melahirkan banyak karya tulis dalam bahasa Indonesia, antara lain: Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern (1987, IAIN Sunan Kalijaga) Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (1986, terjemahan disertasi, Jakarta, LP3ES); Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, abad ke-19 (1984, Jakarta Bulan Bintang); Dutch Colonialism and Indonesian Islam. Contacts and Conflicts (Amsterdam, Rodopi 1993; reprint 2006; terjemahan: Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam, Bandung, Mizan 1994; reprint 2017, Yogyakarta: Gading); Catholics in Indonesia, 1808-2010 (tiga jilid, 2003, 2007, 2015, Leiden: KITLV/Brill; terjemahan Indonesia: Orang-orang Katolik di Indonesia, Maumere: Penerbit Ledalero 2006-2018).
Selain buku di atas, yang menarik, meskipun sebagai seorang Katolik, Karel juga menulis mengenai tafsir al-Qur’an, sebuah upaya yang belum tentu seorang akademisi muslim sendiri melakukannya. Beberapa karya tafsirnya antara lain: Mengenai Nabi Adam (1998), Juz ‘Amma (2002, bahasa Belanda), dan Surat Al-Baqara (2011). Yang terakhir, ia menulis The Jesus verses of the Qur’an (2011; Hyderabad: The Henry Martin Institute). Penulis kebetulan mendapatkan kehormatan untuk terlibat menerjemahkan dan mengedit versi Bahasa Indonesia tersebut, yang kemudian diterbitkan dengan judul: Nabi Isa dalam al-Qur’an. Sebuah interpretasi Outsider atas al-Qur’an (Yogyakarta: Suka Press, 2015)
Karya The Jesus Verses of the Quran ini sangat menarik karena memiliki arti penting dalam konteks dialog antaragama untuk memperkuat harmoni dan perdamaian. Karya ini, menurut penulis, menawarkan 3 hal yang sangat signifikan bagi pemahaman keagamaan yang inklusif.
Pertama, penekanan pada konteks historis al-Quran. Pada bagian pendahuluan, Karel menekankan pentingnya melihat pada konteks historis pada masa al-Quran diturunkan. Ia menjelaskan, misalnya, adanya ragam gereja Kristen pada masa kenabian Muhammad. Begitu pula ragam bentuk politeisme pada masa itu, termasuk di Arab sendiri. Karel memberikan penggambaran bahwa sekte kelompok Kristen sendiri pada masa itu sangat beragam, seperti utamanya kelompok Gereja Bizantium (Roma), kelompok Nestorian (Persia), kelompok Abessinia (Ethiophia), kelompok Koptik (Mesir), dan kelompok Monofisit (Syiria).
Dengan demikian, kelompok Kristen di sekitar masa dan tempat Nabi Muhammad SAW boleh jadi juga mengindikasikan pada kelompok Kristen tertentu. Sehingga konsep-konsep yang sensitif seperti trinitas, boleh jadi tidak mengacu kepada kelompok Kristen tertentu, mengingat dalam Kristen sendiri konsep ‘politeisme’ tersebut saat itu menjadi polemik dan dipertentangkan. Ada juga sekte Kristen yang menolak politeisme dan percaya pada monoteisme. Kelompok politeisme Arab saat itu pun juga beragam, sehingga kritik al-Quran terhadap politeisme mengacu kepada politeisme Arab, khususnya, atau politeisme secara umum. Dengan konteks tersebut, kita dapat lebih hati-hati dalam memahami pesan dan objek utama diturunkannya sebuah ayat al-Quran ketika mengkritik tentang politeisme.
Bagian ini memiliki signifikansi metodologis bagi pengembangan studi agama (religious studies), khususnya kajian teks, melalui pendekatan kontekstual (contextual approach). Kelemahan dalam penelitian keagamaan seringkali adalah mengabaikan konteks suatu teks agama seperti al-Quran, dan hanya melihat teks dari sisi kebahasaan atau makna literer semata, sehingga mengabaikan makna-makna kontekstual suatu pesan agama yang sangat fundamental dalam teks.
Baca juga: Mengenal Beberapa Manuskrip al-Quran Tertua
Kedua, penggambaran al-Quran tentang Yesus. Disini Karel berusaha menampilkan penggambaran al-Quran tentang sosok Yesus atau Isa yang memiliki beberapa kemuliaan. Ia membahas ayat-ayat tentang Yesus sesuai urutan surat dalam al-Quran. Dengan begitu, ia mendapati 17 topik bahasan tentang Isa sesuai dengan konteksnya masing-masing. Gambaran paling komprehensif terletak pada surat Maryam dan surat Ali Imron. Pada setiap topiknya, Karel memberikan komentar, dan tak jarang pula mengutip dari teks-teks tafsir dalam Islam, seperti tafsir Tabari, tafsir Jalalain, tafsir Jami’ al-Bayan, tafsir al-Mizan, tafsir Al-Azhar, dan juga informasi-informasi pembanding dalam tradisi biblikal.
Ketiga, relevansi bagi dialog umat beragama. Bagian terakhir karya ini, Karel mengajak pembaca untuk mendiskusikan intisari penggambaran al-Quran tentang Yesus atau Isa. Menurutnya, ada titik temu dan titik perbedaan dalam Islam dan Kristen. Dalam konteks Yesus sebagai “Anak Tuhan”, merupakan titik utama perbedaan, yangmana al-Quran sendiri menentangnya. Namun demikian, Karel mengingatkan adanya ragam interpretasi dalam teologi Kristen, dan konsep itu juga menjadi perdebatan dalam teologi Kristen modern. Sehingga, konsep tentang “Anak Tuhan”, menurutnya, tidak sebaiknya dimengerti dalam arti biologis, esensialistik, tetapi lebih mengacu kepada makna pre-eksistensial.
Hemat penulis, Karel disini menekankan perlunya sentuhan yang lebih filosofis yang sangat penting sebagai perspektif dalam melihat suatu dogma teologis. Selain itu, al-Quran juga memberikan gambaran utama yang lebih positif tentang sosok Yesus yang memiliki beberapa keistimewaan sebagai Hamba Allah, sebagai Nabi, sebagai Firman Tuhan, sebagai Ruh Tuhan, sebagai Messiah, dan sebagai Ayat atau Tanda kekuasaan Tuhan. Dalam hal ini, tidak banyak perbedaan dan ketegangan antara Islam dan Kristen.
Baca juga: Melacak Sejarah Penerjemahan al-Quran
Legasi untuk Dialog Umat Beragama
Upaya Karel untuk mencari penggambaran sosok Isa dalam al-Quran atau kitab suci agama Islam ini merupakan salah satu prototype untuk kajian inter-religious dan inter-cultural, hasil dari sebuah penelitian akademik secara serius dan mendalam. Tulisan ini sama sekali tidak terasa dogmatis, atau berpretensi menjatuhkan dogma agama lain. Dengan penguasaannya yang mendalam terhadap teologi Kristen modern, ia sama sekali tak canggung untuk memasuki pokok-pokok teologi Islam, dan juga memberikan banyak informasi positif bagi pembaca Muslim sendiri, meskipun ia juga tak segan untuk mengkritik suatu interpretasi dalam teologinya sendiri.
Karya ini tidak saja menjawab maksud dan tujuannya penulisnya, tetapi juga memberikan inspirasi kepada pembacanya tentang praktik toleransi yang mendalam dilambari penguasaan literatur dan referensi yang luas, inklusivitas dalam keyakinan tanpa kehilangan keimanan yang otentik, dan penguasaan tradisi agama yang mendalam semata-mata karena keingintahuan melihat inti teologi sendiri dalam perspektif agama lain. Usaha akademik ini melahirkan karya lintas tradisi yang dapat dinikmati baik oleh umat Muslim maupun umat Kristen. Pembaca dari kalangan Muslim juga tidak merasa terusik atau terancam dengan karya tersebut.
Karel Steenbrink, dengan demikian, menunjukkan bahwa dialog agama dapat diwujudkan dalam bentuk pengenalan dan pemahaman terhadap tradisi agama sendiri secara lebih mendalam dan terbuka, bahkan tak segan melakukan autokritik terhadapnya teks dan interpretasi dalam tradisi agama sendiri. Dialog agama secara lebih mendalam kemudian dilanjutkan dengan keberanian mendialogkan kebenaran dan keyakinan secara akademik, tentu dengan tulus tanpa tendensi dan hasrat menjatuhkan agama lain, melainkan untuk memahami perbedaan satu sama lain. Sebuah toleransi yang, seringkali, harus dibayar mahal dengan berbagai kecurigaan bahkan mungkin hujatan. Suatu gambaran toleransi yang disebut oleh Leo Koffeman sebagai Costly Tolerance.
Baca juga: Mengenal Aliran Revisionis dalam Kesarjanaan Kontemporer