Tidarislam.co – Adalah Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, salah satu ulama masyhur di dunia Islam pada abad ke 14 M. Nama lengkapnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar. Jadi, nama Hajar dinisbahkan kepada leluhurnya, sedangkan al-Asqalani dinisbahkan kepada nama tempat “Asqolan” di kota Palestina, yang menjadi asal dari leluhurnya. Ia lebih popular dengan sebutan Ibnu Hajar al-Asqalani.
Ibnu Hajar sendiri berasal dari Mesir, lahir pada 18 Februari 1372 M. Terlahir dalam keadaan penuh keterbatasan sebagai anak yatim piatu, karena ayahnya meninggal saat ia masih berumur 4 tahun, sementara Ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ibnu Hajar kecil kemudian diasuh oleh kakaknya, dengan penuh kemandirian, kerja keras, dan berbagai keterbatasan. Namun di tengah keterbatasan itu, ia tak pernah surut dalam kegigihan menuntut ilmu.
Ketokohan Ibnu Hajar di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia bukan hanya karena karya-karyanya yang popular di dunia Islam, tetapi juga kisah hidupnya menjadi inspirasi banyak umat Islam di berbagai penjuru dunia dalam hal perjuangan menuntut ilmu. Nama “Ibnu Hajar” juga berarti “Anak Batu”, sebuah nama yang dilekatkan dalam kisah perjuangannya menuntut ilmu yang penuh dengan lika-liku dan keberanian melawan kebodohannya sendiri.
Santri Bodoh Melawan Kebodohannya Sendiri
Saat belia dan belajar di madrasah, Ibnu Hajar dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun. Namun ia juga dikenal sebagai anak yang bodoh, dan banyak tertinggal dari teman-teman sebaya yang lain dalam hal penguasaan ilmu. Ia sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang didapatkannya di sekolah.
Karena dia merasa malu dan frustasi dengan kebodohannya itu, ia pun memutuskan bahwa besok dia tidak akan kembali lagi ke sekolah, dan tidak melanjutkan sekolah di madrasah. Ia sudah merasa putus asa dan patah semangat.
Dalam perjalanan pulangnya, turunlah hujan lebat. Dalam keadaan yang separuh basah, memaksanya untuk berteduh di sebuah gua. Namun, justru di dalam sebuah gua itulah ia menemukan inspirasi yang mengubah kehidupannya.
Di dalam gua, pandangannya tertuju pada sebuah batu. Batu itu terlihat telah berlubang oleh karena tetesan kecil air yang turun dari sebuah gua. Air itu terus menetes mengikis permukaan batu yang keras itu.
Pemandangan air dan batu ini pun membuat seorang Ibnu Hajar yang sedang galau menjadi termenung dan terpikir. Bagaimana mungkin, batu yang keras bisa berlubang hanya karena tetesan air. Ia kemudian berkesimpulan, bahwa batu sekeras itu bisa berlubang karena tetesan air yang terus-menerus tanpa henti, sehingga batu yang keras itu pun menjadi lunak sehingga berlubang.
Ia kemudian mengambil pelajaran dari pengalamannya itu, dan memunculkan keyakinan dalam diri Ibnu Hajar, bahwa orang yang bodoh seperti dirinya, bahkan kebodohannya sekeras batu sekalipun, jika ia mengasahnya dengan belajar terus-menerus, tentu kebodohannya akan kalah, sehingga ilmu akan dapat ditampungnya juga. Asal, dirinya mau terus belajar tanpa henti.
Muncullah semangat yang tinggi dalam diri Ibnu Hajar untuk kembali ke madrasah menuntut ilmu dengan semangat yang baru. Sekembalinya ke madrasah, pengalaman itu diceritakannnya kepada gurunya. Dengan semangat yang baru itu, kemudian Ibnu Hajar semakin tumbuh menjadi sosok penuntut ilmu yang tak pernah surut lagi dalam belajar, bahkan menjadi murid yang sangat menonjol.
Setamat madrasah di daerahnya, di Mesir, Ibnu Hajar pun tak berhenti menuntut ilmu. Ia terus mengembara menuntut ilmu sampai ke negara-negara lain yang menjadi pusat peradaban pada masa itu, seperti di Makkah dan Madinah, Damaskus, Palestina, dan Shan’a.
Ibnu Hajar kecil telah tumbuh menjadi ulama besar terutama dalam bidang hadits. Karena mampu menghafal lebih dari 100.000 hadits, ia digelari “al-Hafidz”. Ia juga digelari “Syaikhul Islam”, dan “Amirul Mukminin fil Hadits” atau pemimpin kaum mukmin dalam bidang hadits. Dan banyak lagi gelar yang diberikan kepadanya sebagai bentuk penghormatan atas keilmuannya. Ia juga menjabat sebagai Hakim Agung madzhab Syafi’i di Mesir.
Ibnu Hajar juga menjadi penulis yang prolifik. Sejak usia 23 tahun, ia telah mulai menulis, dan konon telah menulis hampir 270 kitab, antara lain Fathul Baari, Ad-Durar al-Kaminah, Tahdzib at-Tahdzib, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Bulughul Maram, Al-Isti’dad Liyaumil Mii’aad, Nukhbatul Fikr, dan banyak lagi. Kitab-kitabnya telah disyarah oleh ulama-ulama yang lain.
Dua di antaranya yang paling terkenal dalam bidang hadits yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren adalah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam dan Fathul Baari: Syarh Sahih Bukhari, sebuah penjelasan atas kitab Hadits Imam Bukhari. Ibnu Hajar juga memiliki murid-murid yang menjadi tokoh dan ulama besar, di antaranya Syamsuddin as-Sakhawi, Imam Suyuti, dan Zakariya al-Anshari.
Satu pepatah Arab mengatakan, “belajarlah, karena tidak ada orang yang terlahir dalam kondisi telah alim”. Ibnu Hajar al-Asqalani, “manusia batu dari Askelon”, meski awalnya merasa sebagai orang yang sangat bodoh, tetapi mampu melawan kebodohannya sendiri, hingga dirinya mampu menampung banyak ilmu.
Walhasil, bukan saja dikenal dengan karya-karya keilmuannya, tetapi proses menuntut ilmunya menjadi inspirasi dan motivasi bagi banyak orang tentang perlunya kerja keras dan kesungguhan dalam menuntut ilmu. Kesungguhannya dalam menuntut ilmu mengantarkannya ke dalam derajat keulamaan yang tinggi dan melahirkan generasi ulama-ulama yang hebat.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani meninggal pada 2 Februari 1449 dan dimakamkan di Kairo Mesir.
Baca juga: Ulama sebagai Kompetensi Keilmuan
One thought on “Inspirasi Ibnu Hajar Al-Asqalani, Santri Bodoh Melawan Kebodohannya Sendiri”