Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren di Masa Pembangunan dan Kemajuan Iptek *

Oleh: Dr. M. Habib Chirzin
Balai Pendidikan Pesantren Pabelan

Pendidikan Pesantren sebagai Realisasi Nilai-nilai Islami.

Sebagai sebuah persyarikatan yang besar dan telah memainkan peranannya yang penting di dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di tanah air tercinta Indonesia ini, Muhammadiyah masih secara dinamis terus berusaha meningkatkan amal usaha dan pengabdiannya. Sesuai dengan hakikat keberadaannya sebagai Gerakan Islam, Gerakan Dakwah, dan Gerakan Tajdid, Muhammadiyah terus berupaya untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha untuk mencapai tujuannya: “Menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.

Dalam perjalanan sejarah perjuangannya, dalam rangka mencapai cita-citanya, Muhammadiyah telah menempatkan masalah pendidikan di tempat yang utama. Dan di dalam kenyataannya, masyarakat Indonesia dan dunia Islam pada umumnya telah merasakan jasa dan hasil amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan tersebut. Demikian pula Persyarikatan Muhammadiyah dikenal oleh masyarakat luas, antara lain, lewat lembaga-lembaga pendidikannya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan berbagai jenis pendidikan dan tingkatannya.

Di dalam bidang pendidikan ini sesungguhnya telah banyak pencapaian-pencapaian (achievements) yang patut disyukuri. Namun sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah masih terus berusaha meningkatkan gerakannya sesuai dengan kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidupnya serta khittah perjuangannya. Rapat Kerja Nasional Madrasah/Pesantren dan Sekolah Kejuruan Muhammadiyah pada kali ini pun dilaksanakan dalam rangka peningkatan tersebut, dengan tema: “Meningkatkan dan Memantapkan Peran Serta dalam Pembangunan Agama, Negara dan Masyarakat.”

Apresiasi kembali terhadap sistem pesantren di lingkungan Muhammadiyah pada akhir-akhir ini dapat dilihat sebagai apresiasi kembali kepada kepribadian Muhammadiyah itu sendiri di satu pihak, dan juga suatu pencaharian suatu sistem pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan nyata (real needs) dan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs dan cita-cita hidup) yang sesuai dengan keyakinan Muhammadiyah di pihak lain. Sebagai gerakan Islam, memang sudah pada tempatnya untuk mengapresiasi kembali suatu sistem Pondok Pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga “Tafaqquh fid-Din”.

Sebagai lembaga “Tafaqquh fid-Din”, pendidikan Pondok Pesantren berusaha merealisasikan nilai-nilai Islami di dalam lingkungan pendidikan, kegiatan pendidikan serta hubungan antar di dalamnya, bahkan juga di dalam materi pendidikan yang didirikannya.

Sistem pendidikan Pondok Pesantren sesungguhnya merangkum “Catur Pusat Pendidikan” yang terdiri dari Masjid, Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat menjadi sebuah Masyarakat Belajar (Learning Society). Di dalam Islamic Learning Society inilah nilai-nilai Islam ditanamkan, ditumbuhkan, dikembangkan, dan terealisasi di dalam diri peserta didik maupun masyarakatnya.

Dengan demikian, diharapkan ada keutuhan orientasi nilai Islami dan penghayatan serta realisasinya. Demikian pula diharapkan tercipta kepaduan antara proses pendidikan dengan lingkungan yang bersuasana Islami yang melingkupinya serta adanya relevansi yang tinggi antara program pendidikan dengan situasi dan kebutuhan masyarakat lingkungannya. Sehingga dapat dihindari proses alienasi, elitisme, dan ketercabutan peserta didik dari akar budayanya.

Dengan demikian, apresiasi kembali kepada sistem Pesantren dapat diartikan pula sebagai apresiasi kembali terhadap nilai-nilai pusat pendidikan yang Islami, lingkungan pendidikan yang terealisasikan di dalamnya “ruhul Islam”, dengan kegiatan pendidikan yang berupa “Tafaqquh fid-Din” dengan niat “Tholabul Ilmi lil-Ibadah”, yang berarti pula pengembangan relevansi pendidikan dengan kebutuhan nyata masyarakat yang nyata yang berakar pada realitas historis dan situasi sosial budayanya dan penghayatan nilai religiusnya.

Orientasi Nilai Pusat Islami terhadap Masalah Pembangunan dan Kemajuan Iptek.

Orientasi nilai pusat yang Islami pada saat ini menjadi sangat penting, justru ketika sedang melakukan pembangunan di mana ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) menjadi sarana utamanya yang di dalamnya terkandung proses pembaharuan dan modernisasi di mana kita menjadi terbiasa dengan istilah-istilah mekanisasi, efisiensi, produktifitas, atau ketika kita mulai dapat menikmati kemudahan-kemudahan (fasilitas) hasil dari perkembangan ilmu dan teknologi; di mana kita tidak lagi berhadapan dengan kekuatan alam di luar diri kita saja, tetapi juga berhadapan dengan pengaruh-pengaruh yang semakin merasuki pribadi kita.

Persoalan kita kini telah berkembang dari penguasaan alam dengan ilmu dan teknik ke arah pembinaan sikap diri kita dan tanggung jawab kita terhadap perkembangan itu atau bagaimana sikap etik kita terhadap semuanya itu. Pertanyaan yang timbul sekarang bukan saja berupa bagaimana kita mengembangkan teknik modern, tetapi juga bagaimana kita bertanggung jawab terhadap hasil teknik modern; bagaimana suatu jalan buntu dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik dapat ditembus dengan evaluasi etik dan re-orientasi nilai. Tanpa penilaian etik dan re-orientasi nilai manusia modern tidak dapat mengambil tanggung jawab terhadap lingkungan hidupnya, teknik yang dipakai maupun struktur sosial, dan bentuk-bentuk organisasi yang dibangunnya. Hal ini memerlukan inventivitas moral yang menguasai keterampilan teknis.

Dengan penilaian etik dan inventivitas moral, manusia mengatasi keterbatasan imanensinya dan memperoleh perspektif yang bersifat transendental, terlebih-lebih lagi jika nilai-nilai etik tersebut dijiwai oleh tauhid dan taqwa kepada Allah SWT. Atas dasar itu:

Pondok Pesantren lebih mengambil peran dalam pembinaan “Akhlaqul Karimah” di samping “Tafaqquh fid-Din”. Karena hal itu lebih bersifat fundamental dan strategis justru di saat kita sedang melakukan pembangunan manusia dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya di mana ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sarana utamanya.

Berbicara tentang prospek pendidikan Pesantren dan Madrasah pada masa pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya adalah juga mencari relevansi pendidikan tersebut dengan masalah-masalah pembangunan yang pada saat ini tengah ditinjau kembali dan juga mencari orientasi nilai-nilai Islam bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Dan ini adalah suatu pergumulan antara nilai dan realitas, pergumulan antara idealita dan kenyataan. Masalahnya bagaimana agar yang ideal tersebut dapat menuntun kenyataan untuk menuju kepada nilai yang dicita-citakan.

Memang masalah pendidikan adalah masalah pergaulan manusia yang abadi, sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. M.M. Sharif, Presiden dari Pakistan Philosophical Congress dan Direktur dari Institute of Islamic Culture yang menyebutkan bahwa masalah pendidikan ini merupakan “the perennial question“, pertanyaan umat manusia yang abadi, yang selalu hadir dalam setiap perkembangan kebudayaannya. Oleh karena itu, membicarakan masalah pendidikan harus disituasikan di dalam konteks sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan suatu masyarakat, sebagaimana digambarkan oleh Prof. M.M. Sharif bahwa di dalam menanam padi pun harus dipertimbangkan kondisi tanah, pengairan, (80s, musim, teknik, alat, penaga kerja, posisi penawaran dan permintaan di pasaran dan juga perlunya stok pangan secara nasional. Apalagi masalah pendidikan ini adalah masalah manusia, makhluk religius, makhluk sosial yang berbudaya.

Oleh karena itu, di dalam makalah singkat ini akan dicoba mensituasikan masalah pendidikan Pesantren ini dalam konteks masyarakat yang sedang berubah dan di saat teori pembangunan dan modernisasi sedang ditinjau kembali serta ketika ilmu dan teknologi tengah dipertanyakan kembali landasan pengetahuan dasar kefilsafatan dan orientasi nilainya.

Salah satu fenomena yang menarik untuk diamati dan dikaji sebagai bahan refleksi dan orientasi bersama dalam mengapresiasi kembali terhadap sistem pendidikan Pesantren pada saat ini adalah terjadinya berbagai perkembangan dan perubahan yang begitu pesat dan  kadang-kadang bersifat fundamental dalam teori pembangunan, serta timbulnya kesadaran baru ilmu pengetahuan pada umumnya, tentang masalah nilai dan penghayatan terhadap dimensi transendental (dimensi Ilahi), serta kesadaran tentang perlunya peninjauan kembali dan penataan kembali berbagai struktur sosial berikut tata nilai budayanya baik yang berskala nasional, regional, maupun global.

Perubahan-perubahan ini pada saat ini telah menjadi lebih nyata dan jelas (eksplisit) lewat berbagai analisa mutakhir yang dilakukan oleh berbagai tim dan panitia maupun pribadi-pribadi dengan mempergunakan alat hitung yang ampuh (computer), bahwa untuk menghadapi problem umat manusia yang semakin rumit, meluas, dan mendalam diperlukan suatu pengembangan tata nilai baru, cara-cara serta pranata-pranata baru.

Pada dekade 30-an ini dan menjelang tahun 2000 yang akan datang, masyarakat berada di dalam periode transisi kultural yang penting bagi perkembangan peradaban dan kemanusiaan pada umumnya. Alam pikiran relativisme yang menjadi corak dan pola berpikir rasionalisme dan positivisme yang telah mengantarkan masyarakat modern ke arah revolusi industri, revolusi sosial, revolusi ekonomi, dan ilmu pengetahuan serta teknologi, kini telah dilihat oleh para ahli sebagai “telah mencapai pada titik jenuh”, bahkan sampai pada suatu “titik balik yang cukup gawat”.

Menghadapi kenyataan ini, para ahli dan para pengambil kebijaksanaan (policy maker) mulai meninjau kembali pengandaian-pengandaian lama (tentang modernisasi dan pembangunan), pandangan-pandangan, dan cara-cara lama, dan kemudian mulai menyusun strategi maupun tatanan baru. Termasuk di dalamnya peninjauan kembali terhadap sistem pendidikan.

Peninjauan kembali terhadap sistem yang sedang berjalan dan penyusunan strategi serta tatanan baru tersebut tidak saja bersifat kwantitatif saja, tetapi juga beraspek kualitatif. Oleh karena itu, pendekatannya pun tidak terbatas pada ilmu pasti saja (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga pada taraf metafisik falsafati.

Oleh karena itu, sangatlah relevan untuk dilakukan upaya pencarian akar masalah pendidikan pada nilai-nilai yang mendasarinya, landasan filsafat baik yang berupa pandangan ontologi, aksiologi, epistemologi, dan etik; di samping menganalisa kembali struktur sosial, ekonomi, budaya, serta politik yang telah menjerat pendidikan sebagai subkultur dari kultural ketergantungan dan kultur penjinakan serta dominasi.

Apabila fenomena di atas dicoba diproyeksikan ke dalam dunia pendidikan, maka tampaklah sesungguhnya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita yang ada selama ini merupakan kelanjutan dari warisan kolonial yang bermula dari Ethische Politiek yang bercirikan orientasi kepada pemenuhan kebutuhan administrasi pemerintahan dan birokrasi dengan sifat pendidikannya yang bersifat intelektualistik. Setelah terjadinya dekolonisasi secara formal, maka pengisian kemerdekaan kemudian dilangsungkan oleh kelompok menengah yang kebanyakan bekas birokrat kolonial yang kedudukannya tergantung dan tidak bebas. Maka  peranan sosial mereka terletak pada struktur sosial dan struktur ekonomi kolonial. Mereka tidak memiliki kekuatan ekonomi sendiri, tidak terlibat dalam proses produksi secara langsung.

Kebanyakan mereka berkonsentrasi di kota-kota besar dan tidak berakar pada kehidupan nyata rakyat pada umumnya. Demikian pula para sarjana lulusan perguruan tingginya, mereka tidak memiliki kunci-kunci kekuatan ekonomi bekas jajahan, tidak juga berhasil melakukan penemuan dan inovasi yang orisinal yang berperan kuat di sektor pribumi. Jauh dari kemampuannya untuk dapat menciptakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia yang baru merdeka, tetapi justru kaum sarjana ini malah harus dicarikan tempatnya dalam struktur ekonomi bekas jajahan.

Model-model pendidikan kolonial ini kemudian pada tahun-tahun 1960-an dikombinasikan dengan sistem-sistem dari Amerika maupun Inggris, setelah banyak para sarjana yang memperoleh pendidikan pasca sarjana di tempat-tempat tersebut. Kemudian ketika Indonesia pada tahun-tahun berikutnya mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem dunia, atau minimal melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya internasional, maka hal ini antara lain telah menghasilkan kelompok-kelompok elite Indonesia yang berciri metropolitan.

Lebih dari itu, sebagian dari elite nasional yang tumbuh mungkin telah menjadi atau merasa sebagai bagian dari elite metropoliton, bahkan sebagian dari elite sekundar pada tingkat lokal. Sehingga sadar atau tidak sadar, dan langsung atau tidak langsung, mereka mempunyai kaitan dengan elite metropolitan, dan dengan demikian mereka menjalankan fungsi dan peran yang sejalan dengan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa dalam struktur ekonomi, politik, dan budaya dunia. Dengan demikian, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pada khususnya yang merupakan lembaga yang memelihara dan melangsungkan kepentingan elite nasional, berada di dalam struktur ketergantungan dengan kepentingan-kepentingan yang berkuasa pada sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dunia.

Sementara itu, proses pembangunan telah pula menumbuhkan sikap dan rangasangan pola konsumsi yang berlaku di negara-negara maju, sehingga mengakibatkan tuntutan gaya hidup kota yang mempengaruhi tingkat gaji dan rongsongan materi pada tenaga pengajar dan administrasi sekolah dan perguruan tinggi, serta fasilitas-fasilitas pengajarannya. Sehingga, perguruan tinggi semakin mahal dan hanya dapat dimasuki oleh anak-anak dari golongan kaya dan berpenghasilan cukup. Selain itu ia juga menumbuhkan aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai elit perkotaan kepada para mahasiswa. Sehingga manajemen perguruan tinggi pun dapat terjebak pada pola komersial kapitalistik.

Dunia ilmu pengetahuan dan teknologi pada panggilan awal dan otentiknya sebetulnya berfungsi sebagai pembebas manusia yang terbelengu oleh pekerjaan fisik dan psikis yang berat. Tetapi pengetahuan dan teknologi, industri, dan bisnis yang historis ada dan melanda dunia ternyata dalam ukuran global justru membelenggu manusia sebagai akibat mental rakus yang melekat pada alam liberalisme dan dunia borjuis, dan unsur keterlampauan selera hedonisme ego manusia di Barat semenjak Renainsence, dan yang berakar pada kebudayaan Yunani serta kaum utara.

Akibatnya, pada saat ini telah terjadi sesuatu pada kemajuan ilmu dan teknologi  yang menggerogoti bayangan harapan aslinya. Karena ia tumbuh dengan suburnya dalam suatu kebudayaan yang lebih menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat kekuasaan dan dominasi ketimbang sebagai pembebas manusia. Ia juga menjadi alat dari monopoli dan ketik merataan yang kian bertambah dalam.

Krisis yang dialami oleh manusia modern adalah krisis yang diciptakan oleh arah khusus yang ditempuh oleh ilmu dan teknologi di bawah pengaruh zaman positivisme. Namun masih ada kemungkinan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimerdekakan dari warisan kebudayaan borjuis liberal dan filsafat materealistik positivistik.

Untuk itu, mudah-mudahan bangsa Indonesia dan umat Islam pada khususnya dapat menyumbangkan suatu landasan filsafat dan etik yang baru yang lebih Islami. Oleh karena daya pesona dan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi itu memang sangatlah luas, mendalam, dan berkuasa. Maka, para pendidik tidak boleh lalai dalam menangani masalah ilmu pengetahuan dan teknologi ini dari seginya yang paling mendasar, yaitu dari segi filsafat ilmu pengetahuan (nadzoriyatul ma’rifah) dan etik bagi penerapan teknologi.

Pendidikan Pesantren sebagai “Islamic Learning Society”.

Dalam situasi budaya global yang bersifat eksploitatif dan dominatif tersebut, di mana pendidikan telah terjebak menjadi sub-kulturnya, maka perlu oriontasi baru dalam pendidikan. Dalam hal ini, Dr. Gunner Myra, seorang ahli sosiologi pembangunan (juga ekonom), penulis buku The Asian Drama, mengatakan bahwa telah terjadi “mis-education” (pendidikan yang salah). “Mis-Education” ini bukannya disebabkan oleh kurangnya guru, tetapi oleh salahnya orientasi.

Sementara itu R.K. Merton telah mensinyalir terjadinya “ritualisme dalam bidang pendidikan”. Bahkan Ivan D. Illich manyatakan bahwa pendidikan telah menjadi alat “penjinakan” (domesticing) dan sementara itu pula pendidikan tinggi disinyalir semakin bersifat elistis, yakni tidak berakar pada penghayatan religius dan budaya masyarakat (uprooted), acuh terhadap problem masyarakat bawah (indifferent), dan terasing dari lingkungan sosial budayanya (alienated).

Sehubungan dengan itu, pada akhir-akhir ini telah timbul appresiasi kembali di berbagai negara terhadap sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai, yang relevan dengan kebutuhan dasar masyarakat serta berakar pada lingkungan sosial budaya masyarakatnya sebagaimana Pondok Pesantren.

Sebagai sebuah lembaga “Tafaqquh fid-Din”, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang memakai sistem berasrama dengan Kyai sebagai pengasuhnya dan masjid sebagai pusat kegiatannya.

Dengan demikian, pesantren merupakan suatu keluarga besar yang melakukan kegiatan pendidikan di tengah-tengah masyarakat dan berjalin erat dengannya di bawah asuhan Kyai dengan masjid sebagai pusat kegiatannya. Dari dasar ini sesungguhnya dapat dikembangkan berbagai kegiatan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan kongkrit masyarakat dan tetap berorientasi kepada nilai-nilai dasar Islam.

Adapun tentang pengembangan kegiatan maupun penyusunan kurikulum dan materi pendidikannya, sesungguhnya tergantung pada ijtihad masing-masing (atau bersama) dan tergantung kepada respon masing-masing terhadap kebutuhan kongkrit masyarakat dan kepekaannya terhadap perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, setiap Kyai dan Pesantren memiliki “khuriyyah” dan otonominya masing-masing.

Pesantren sebagai Pusat Kader Muballigh dan Pembina Jama’ah dan Da’wah Jamaah.

Sebagai lembaga “Tafaqquh fid-Din” yang berkomitmen terhadap masalah-masalah kemasyarakatan dan sekaligus berakar pada penghayatan agama dan budaya masyarakat, pesantren diharapakan menjadi pusat pendidikan kader mubaligh dan pembina jamaah dan dakwah yang efektif. Untuk ini, dapat diterapkan berbagai metode latihan-latihan kader yang sudah maju dan efektif.

Metode latihan ini merupakan suatu proses latihan dalam keterlibatan secara partisipatoris dengan menggunakan pengalaman dan tindakan sebagai struktur pokoknya. Untuk melakukan kegiatan ini, Pesantren dapat bekerja sama dengan segenap ortom maupun majleis-majelis yang menangani berbagai kegiatan amal usaha. Dengan demikian, akan tercipta suatu:

Sistem pendidikan yang terintegrasikan dengan Jama’ah atau masyarakat, dan juga tercipta masyarakat yang berorientasi ke Pesantren untuk melakukan “Tafaqquh fid-Din”, sebuah Community Integrated School dan School Oriented Community.

Dengan mendinamisir nilai-nilai kepesantrenan yang berorientasi kepada nilai-nilai Islami, Pesantren diharapkan memberikan orientasi baru bagi pembangunan masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan dan penerapan tekhnologi serta dapat mengembangkan pendidikannya yang lebih relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat yang sedang membangun. Dengan itu pula Pesantren diharapkan untuk tetap menjadi medan ibadah dan medan “Tafaqquh fid-Din” serta medan pengabdian untuk mencapai cita-cita “Izzul Islam wal Muslimin”.

Jakarta, 28 Oktober 1983

*) Tulisan ini pernah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Madrasah/Pesantren dan Sekolah Kejuruan Muhammadiyah, pada tanggal 28 s/d 30 Oktober 1983 di Jakarta.

 

Baca juga tulisan terkait:

Pendidikan, Perubahan Sosial, dan Tata Nilai Islam
Arsitektur: Renungan dari Sebuah Pesantren
Menengok Aktivitas dan Kurikulum Pesantren Darussalam Gontor

 

 

 

 

 

One thought on “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren di Masa Pembangunan dan Kemajuan Iptek *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *