Oleh: Dr. Abuzar Al Ghifari, Lc., M.A.
Jika kita menelisik sejarah Madrasah Darul Hadits yang awalnya merupakan rumah atau bangunan milik Sharimuddin Qaimaz bin Abdullah An Najmi (w 596 H) berlokasi di daerah Al Ahruniyyah. Rumah tersebut dibeli oleh Sulthan yang bernama Asyraf Muzfiruddin pada tahun 628 H. Disamping bangunan terdapat kamar mandi milik Sharimuddin Qaimaz, dibeli oleh Sulthan Asyraf dan digabung dengan bangunan atau rumah yang kemudian hari menjadi Madrasah Darul Hadits Al Asyrafiyyah. Rumah tersebut terdapat kamar mandi yang dikemudian hari dihancurkan lalu dibangun oleh Asyraf tempat tinggal untuk tenaga pengajarnya. Adapula riwayat menyebutkan rumah atau bangunan disamping kamar mandi yang kemudian hari dihancurkan dan digabung menjadi satu bangunan. Jadi, kamar mandi dengan bangunan rumah asalnya terpisah kemudian dihancurkan dan menyatu. [1] Asyraf muzfiruddin Musa bin Adil merupakan salah satu dari sultan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, dan Syam. Ia mulai membangun Madrasah Darul Hadits Al Asyrafiyyah tahun 628 H. Proses pembangunan Madrasah Darul Hadits selesai 2 tahun lalu dibuka pada tahun 630 H, malam Nisyfu Sya’ban sebagai Syeikh Darul Hadits pertama ialah Syeikh Taqiyuddin Ibn Shalah[2] yang saat itu menyampaikan kajian hadits.[3] Beliau merupakan pakar hadits memiliki karya fenomenal dalam bidang hadits yang bernama Muqaddimah Ibn Shalah.
Asyraf Muzfiruddin Musa bin Adil adalah keponakan dari Shalahuddin Al Ayyubi. Ayahnya yang bernama Al Adil merupakan saudara kandung Shalahuddin Al Ayyubi. Jadi otomatis Sulthan Asyraf keponakan Shalahuddin Al Ayyubi.[4] Ia lahir pada tahun 576 H dan wafat tahun 635 H, tokoh yang membangun Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Jawwaniyah yang berada di sebelah timur benteng Damaskus. Membangun satu lagi Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Barraniyah khusus mengajarkan madzhab Hanbali yang berada di pegunungan Qasiyun.[5] Selain itu membangun masjid Taubah yang sebelumnya menjadi tempat maksiat. Suatu ketika beberapa pelajar bertanya kepada Sulthan Asyraf yang akan dibangun kedepannya dari tempat maksiat tersebut. Hingga akhirnya membangun masjid yang bernama Taubah. Masih banyak karya masjid yang dibangun Asyraf Muzfiruddin merupakan amal jariah dihadapan Allah SWT.[6] Sulthan Asyraf mulai menderita penyakit pada tahun 634 H yang saat itu terpapar penyakit parah meski telah berupaya mengkonsumsi berbagai obat namun penyakitnya bertambah parah dan membuatnya semakin lemas. Ia merasa ajalnya akan tiba dalam waktu dekat, lalu memutuskan untuk memerdekakan 200 hamba sahaya dari kalangan anak-anak. Sulthan Asyraf mewakafkan hartanya untuk pembangunan madrasah yang bernama Darus Sa’adah. Pada akhirnya menyiapkan kain kafannya dari pakaian fakir miskin dan ulama. Sulthan Asyraf sosok dermawan, rendah hati kepada penuntut ilmu terutama yang fokus dalam bidang hadits. Beliau wafat pada hari kamis 4 Muharram tahun 635 H, dimakamkan di benteng Damaskus yang berdampingan dengan pamannya Shalahuddin Al Ayyubi.
Era Dinasti Ayyubiyah tidak hanya fase memerdekakan Syam[7] dan Mesir dari tangan kaum Salibis semata. Melainkan zaman ini dikenal dengan berkembangnya budaya ilmu sebagai indikator tingginya kedudukan Ulama.[8] Kalangan ulama saat itu terlahir pula dari level penguasa yang ada diantaranya menulis buku fikih, hadits, sejarah dan lainnya. Sulthan Shalahudin Al Ayyubi[9] pernah suatu ketika duduk menimba ilmu di majelis Ibn Asakir, sosok sejarawan dan ahli hadits negeri Syam. Tidak hanya itu, ini pula pernah dilakukan oleh Nuruddin Zanky senior Shalahuddin Al Ayyubi yang cinta kepada majlis ilmu.[10] Ini menandakan bahwa Damaskus saat itu serba kecukupan dan terjangkau. Telah digambarkan sejarawan Andalusia yang bernama Ibn Jabir saat berkunjung ke Damaskus pada tahun 580 H.[11] kondisi seperti ini menunjukan budaya ilmu[12] di era Dinasti Ayyubiyah sangat maju dan berkembang dikarenakan para Sulthan cinta kepada ilmu dan ulama. Tidak hanya itu kecintaan para Sulthan kepada fakir miskin menjadi teladan yang patut ditiru oleh generasi saat ini. Jasa para Sulthan terutama masjid dan Madrasah bukti perhatian penguasa kepada pendidikan dan dakwah yang disadari sebagai core kehidupan. [13]
Dapat penulis sebutkan karya nyata dari Sulthan Asyraf antara lain masjid Taubah, masjid Jarrah, masjid Abu Darda, Darul Hadits Al Jawwaniyah, dan Darul Hadits An Nuriyah. Selain memiliki karya nyata yang tidak sedikit, Sulthan Asyraf dikenal sosok pemimpin yang adil, cinta ilmu dan jihad memperjuangkan agama Allah SWT, cinta kepada fakir miskin dan senang mengunjunginya hingga akhir hayat. Beliau memimpin Dinasti Ayyubiyah yang berkuasa atas kawasan seperti Palestina, Harran, Ruha. Sejarah mencatat Darul Hadits Al Asyrafiyyah, para masyayikh dan pengajarnya memiliki keutamaan terutama dari ilmu yang dikuasai dan metode yang digunakan. Sudah menjadi maklum, wakif Darul Hadits Al Asyrafiyyah mensyaratkan yang menjadi tenaga pengajar di lembaga tersebut diharuskan memiliki ke-pakaran dalam bidang hadits baik secara riwayat maupun dirayah. Hal ini menjadi sebab dinamakannya Darul Hadits.
Memang jika dilihat tenaga pengajar Darul Hadits Al Asyrafiyyah hampir seluruh Grand Syeikh maupun tenaga pengajarnya merupakan ulama hebat tidak hanya level negeri Syam melainkan kawasan Islam dunia. Tenaga pengajar di lembaga tersebut memiliki karya buku dalam bidang hadits yang mejadi referensi di kemudian hari bagi para penuntut ilmu. Tidak khayal dapat ditemukan buku Ilmu hadits yang berjudul Mukaddimah Ibn Shalah, Tahdzib Al Kamal karya Al Mizzi.
Tidak hanya keutamaan tenaga pengajar Darul Hadits, namun kita tidak dapat menyampingkan tata kelola dan aturan penggunaan wakaf di lembaga tersebut. Penulis melihat aturan tata kelola wakaf sangat konkrit, baik untuk gaji tenaga pengajar, akomodasi pelajar hingga insentif administratur. Pada intinya tujuan dari tata kelola wakaf yaitu membangun peradaban berbasis ilmu dan adab.[14] Dapat dikatakan kondisi intelektualisme dimasa itu sangat maju dan berkembang. Hal ini dikarenakan dukungan penuh baik dari pemerintah sebagai penguasa, maupun masyarakat luas seperti donator dari kalangan berada.[15]
Jadi penguasa, orang kaya sangat berpengaruh kuat dalam membangun budaya ilmu karena keduanya berperan mengoptimalkan wakaf untuk kepentingan ilmu.[16] Pelajar dimasa klasik maupun tenaga pengajarnya terbantukan dengan kehadiran wakaf.[17] Memang spirit menuntut ilmu dimasa klasik sangat tinggi. Contohnya adalah yang mengikuti halaqah hadits tidak hanya dari kalangan laki-laki, adapula wanita, anak-anak hingga hamba sahaya. Ada juga pelajar wanita yang menjadi istri tenaga pengajar, mereka tinggal di rumah yang disediakan untuk guru berkeluarga.[18] Suasana lingkungan akademik atau ilmiah dimasa klasik sangat mendukung karena beberapa faktor di antaranya adalah ruh jihad ilmu menjiwai umat Islam karena kedekatannya kepada Al Quran dan Sunnah Nabi SAW. Begitu pula dukungan penguasa, mengeluarkan kebijakan strategis terhadap kemajuan pendidikan. Maka penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani ke bahasa Arab dilakukan secara besar-besaran. Kegiatan ilmiah baik bentuknya riset atau penelitian, penerjemahan intens dilakukan hingga menghasilkan karya yang tidak sedikit. Buku maupun hasil riset berdampak positif bagi kemajuan peradaban Islam. Begitu dengan kondisi guru dan siswa dimasa klasik dalam keadaan aman, sejahtera. Ini yang seharusnya terjadi yaitu kondisi sejahtera dan rasa aman dirasakan para guru dan siswa. Dengan demikian tercapai kemajuan peradaban ilmu dimasa mendatang.[19]
Madrasah Darul Hadits mulai redup pada awal abad 11 H begitu pula madrasah-madrasah di Damaskus secara umumnya. Yang menjadi faktor kemundurannya ialah pertama saat itu tenaga pengajarnya tidak pakar dalam bidang hadits melainkan fikih, sastra, bahasa Arab dan lainnya. Kemudian yang menjadi pengelola Madrasah ialah pengusaha non-Muslim.[20] Namun berkat anugerah Allah SWT, Madrasah dapat kembali seperti dahulu kala. Hal ini terjadi karena Allah SWT hadirkan sosok Syeikh Yusuf Al Maghribi[21] dengan didukung Al Amir Abdul Qadir Al Jazairi.[22] Kehadiran mereka berdua merupakan awal kebangkitan Madrasah Darul Hadits pada abad 14 H dengan adanya sosok mujaddid yang bernama Syeikh Badruddin Al Hasany[23] yang menjadi Grand Syeikhnya, mampu mengembalikan kejayaan Darul Hadits seperti semula bahkan melakukan perubahan yang belum ada sebelumnya. Ulama Suriah yang ada saat ini merupakan murid atau pernah belajar kepada muridnya Syeikh Muhammad Badruddin Al Hasany.[24] Kebesaran Syeikh Badruddin Al Hasany tidak diragukan, beliau sosok ulama hebat dunia dan pakar hadits di negeri Syam. Banyak orang hebat dari kalangan penguasa, politisi tunduk kepada Syeikh Badruddin Al Hasani.[25] Seperti pernah dilakukan oleh Jamal Basya meminta izin untuk masuk ke ruangan Syeikh sebagai bentuk takzim. Sulthan Abdul Hamid dari Turki Utsmani mengharap Syeikh dapat berkunjung ke Istanbul namun menolaknya. Tidak hanya itu Raja Faishal pertama sering berkunjung ke tempat Syeikh Badruddin Al Hasani untuk meminta doanya.[26] Ini semua bukti kewibaan Syeikh Badruddin Al Hasani di mata dunia Islam. Penulis menganggap sangat wajar jika Darul Hadits yang pernah mundur dikarenakan beberapa faktor, berjaya kembali dengan adanya sosok Syeikh Badruddin Al Hasani.
Penulis melihat maju dan berkembangnya Madrasah Darul Hadits yang menjadi faktornya ialah tersedianya wakaf[27] dengan tata kelola yang mumpuni, tenaga pengajar dari kalangan ulama hebat di bidangnya hingga tersohor di dunia Islam. Saya melihat justru unsur tenaga pengajar yang lebih dominan sebagai “branding” lembaga terkait dengan banyaknya peminat pelajar saat itu. Maka tidak diragukan banyak pelajar berbondong-bondong menuntut ilmu di lembaga Darul Hadits.
Dapat penulis sebutkan Grand Syeikh Darul Hadits dari masa ke masa yang merupakan ulama hebat pada zamannya. Dimulai dari Ibn Shalah,[28] Imam Nawawi,[29] Abu Syamah,[30] Al Faruqi,[31] Az Zamlikani,[32] Al Mizzi, [33]Tajuddin as Subki,[34] Ibn Nasiruddin, Al Balqini, Ibn Hajar Al Asqalani,[35] Ibn Katsir,[36] Ibn Jama’ah[37] mereka semua pakar di bidang hadits. Ibn Jazary, Iskandari, Al Hariri mereka ulama qiraat. Ibn Zabidi, Al Hajjar dari kalangan pemilik sanad Hadits. Adapula kalangan wali Allah yang pernah berada di Darul Hadits seperti Syeikh Hafidz An Najjar, Syeikh Ismail at Tarablisi, Syeikh Badi’ Zhabyan.[38]
Tetapi untuk diketahui, Darul Hadits yang ada saat itu banyak sekali ragamnya. Dapat penulis sebutkan, madrasah Darul Hadits menurut Abdul Qadir An Nuaimi dalam bukunya yang berjudul Ad Daris fi Tarikh Al Madaris. Ia menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:
- Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Jawwaniyah (630 H)
- Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Barraniyah ( 634 H)
- Darul Hadits Al Bahaiyyah (722 H)
- Darul Hadits Al Hamashiyyah (700 H)
- Darul Hadits Ad Dawadariyyah (698 H)
- Darul Hadits As Samiriyyah (696 H)
- Darul Hadits As Sakariyyah (674 H)
- Darul Hadits Asy Syuqaisyaqiyyah (656 H)
- Darul Hadits Al urwiyyah (617 H)
- Darul Hadits Al fadhiliyyah (593 H)
- Darul Hadits Al Qalansiyyah (720 H)
- Darul Hadits Al Qusiyyah (653 H)
- Darul Hadits Al Kurusiyyah (641 H)
- Darul Hadits An Nuriyyah (566 H)
- Darul Hadits An Nafisiyyah (696 H)
- Darul Hadits An Nasiriyyah (652 H)
Secara urutan yang menjadi Grand Syeikh Darul Hadits dapat penulis sampaikan melalui buku Syeikh Mahmud Rankusy,[39] berikut urutannya:
- Syeikh Taqiyuddin Ibn Shalah Al Kurdi as Syahruzuri. (577 H-643 H)
- Syeikh Imaduddin Al Hurastani. (577 H-662 H)
- Syeikh Syihabuddin Abu Syamah Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi. (599 H-665 H)
- Syeikh Muhyiddin An Nawawi. (631 H-676 H)
- Syeikh Zainuddin Al Faruqi. (633 H-703 H)
- Syeikh Sadruddin bin Al Wakil. (665 H-716 H)
- Syeikh Az Zamlikani. (666 H-726 H)
- Syeikh kamaluddin bin As Syarisy. (653 H-718 H)
- Syeikh Jamaluddin Al Mizzi. (654 H-742 H)
- Syeikh Taqiyuddin As Subki. (683 H-756 H)
- Syekh Imaduddin Abu Fida Ismail bin Umar Ibn Katsir. (701 H-774 H)
- Tajuddin As Subki. (727 H-771 H)
- Bahauddin Subki (707 H-777 H)
- Waliyuddin Subki. (735 H-785 H)
- Syeikh Zainuddin Al Malahi. (724 H-792 H)
- Syeikh Syamsuddin Al Qaisy. (777 H-842 H)
- Syeikh Alauddin bin As Sairafy. (778 H-844 H)
Adapun urutan Grand Syeikh Darul Hadits menurut Nashiruddin Ad Dimasyqi, sebagai berikut:[40]
- Taqiyuddin Abu Amru Ibn Shalah
- Imaduddin Abdul Karim Ibn Al Hurastani
- Syihabuddin Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisy Abu Syamah
- Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An Nawawi
- Abu Muhammad Abdullah bin Marwan Al Faruqi
- Shadruddin Muhammad bin Imran bin Al Wakil
- Al Kamal Muhammad bin Ali Az Zamlikani
- Kamaluddin Ahmad As Syarisy
- Jamaluddin Yusuf Al Mizzi
- Taqiyuddin Subki
- Tajuddin Abdul Wahhab Subki
- Abu Hamid Ahmad bin Subki
- Tajuddin Subki. (Untuk kedua kalinya)
- Sirajuddin Al Balqini
- Tajuddin Subki. (untuk ketiga kalinya)
- Ismail bin Umar Ibn Katsir
- Umar bin Utsman Al Ma’ry
- Abu Baqa Muhammad bin Abdul Barr as Subki
- Abu Dzar Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr as Subki
- Ibrahim bin Abdurrahim bin Jama’ah
- Muhammad bin Abdurrahim Al Ma’ry
- Ahmad bin Umar Al Qurasy
- Zaenuddin Umar bin Musallam Al Qurasy.
Banyak beberapa Ulama yang telah mengemban sebagai Grand Syeikh Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Jawwaniyyah, dapat penulis sebutkan sebagai berikut:
- Abu Amru bin Shalah (w 643 H), ia memimpin selama 13 tahun lamanya
- Abdul Karim bin Abdul Samad bin Haristani (w 662 H)
- Imam Nawawi (w 676 H)
- Abdullah bin Marwan Al Faruqi (w 703 H)
- Muhammad bin Imran bin Al Wakil (w 716 H)
- Muhammad bin Ali Az Zamlakani (w 727 H)
- Ahmad bin Muhammad As Syirisy (w 718 H)
- Jamaluddin Yusuf bin Zaki Al Mizzi (w 742 H)
- Taqiyuddin As Subkhi (w 756 H)
- Tajuddin Abdul Wahhab Ali As Subkhi (w 777 H)
- Abu Dzar Abdullah bin Muhammad bin Abdul Bar As Subkhi (w 785 H)
- Burhanuddin Ibrahim bin Abdur Rahim bin Jamaah (w 790 H)
- Muhammad bin Muhammad bin Abdur Rahim As Silmi (w 799 H)
- Ahmad bin Umar bin Muslim bin Said Al Milhi (w 793 H)
- Umar bin Muslim bin Said Al Milhi Al Qabibati (w 792 H)
- Muhammad bin Abu Bakr Al Qisy (w 842 H)
- Ahmad bin Ismail Al Hisbani (w 815 H)
- Alauddin Ali bin Utsman As Saurafi (w 844 H)
- Ibn Hajar Al Asqalani (w 852 H)
- Muhammad bin Ismail Al Wanai (w 849 H)
- Quthbuddin Muhammad bin Muhammad bin Khaidir (w 892 H)
- Ahmad bin Muhammad bin Muhammad Al Khaidir
Selanjutnya As Sakhawi menyebutkan ada tiga pengajar di Darul Hadits Al Asyrafiyyah, mereka adalah:
- Abdullah bin Ibrahim Al Ba’li bin As Syaraihi (w 820 H)
- Husein bin Abdullah As Samiry (w 831 H)
- Ahmad bin Muhammad bin Muhammad Utsmani (w 840 H).
Adapun staf pengajar Darul Hadits pada abad 8 H dan selanjutnya, dapat penulis sebutkan sebagai berikut:
- Mahmud bin Qadhi Al Khalil At Tamimi (w 946 H)
- Ali bin Ismail (w 971 H)
- Abu Fath Muhammad bin Muhammad Ar Rub’i (w 975 H)
- Ahmad bin Thayyibi (w 979 H)
- Ismail bin Ahmad An Nablisy (w 993 H)
- Muhammad bin Muhammad Al hijazi (w 1020 H)
- Abdul Haq bin Muhammad Al Hijazi (w 1020 H)
- Muhammad bin Muhammad bin Yusuf Al Maidani (w 1033 H)
- Abdul Hayy bin Baqi (w 1073 H)
- Abdul Qadir bin Musthafa As Safury (w 1081 H)
- Abdul Qadir bin Bahauddin Al Umry (w 1100 H )
- Muhammad bin Ali Al kamily (w 1131 H)
- Sa’dy bin Qadir (w 1147 H)
- Muhammad bin Ali Al Imadi (w 1167 H)
- Yusuf bin Abdurrahman Al Hasani (w 1279 H)
- Abdul Qadir bin Muhyiddin Al Hasani Al Jazairi (w 1300 H)
- Abdul Hakim bin Nur Al Afghani (w 1326 H)
- Ahmad Bahauddin bin Yusuf Al Hasani (w 1330 H)
- Muhammad Badruddin bin Yusuf Al Hasani (w 1354 H)
- Ibrahim Ishamuddin bin Badruddin Muhammad Al Hasani (w 1335 H)
- Muhammad Tajuddin bin Badruddin (w 1362 H) Mahmud bin Muhammad Rusydi Al Athar (w 1362 H)
- Muhammad Fakhruddin bin Ibrahim Ishamuddin bin Badruddin (w 1407 H)
- Muhammad Yahya bin Ahmad Al Maktaby (w 1378 H)
- Muhammad Abu Khair bin Muhammad bin Husen Al Maidany (w 1380 H)
- Muhammad Rafiq bin Muhammad Abdul Fattah As Siba’i (w 1403 H)
- Mahmud bin Qasim Ar Rankusy (w 1405 H).
Adapun kelebihan dari Madrasah Darul Hadits telah dibukanya level tasanawiyah atau SMP seperti saat ini, dikhususkan untuk pelajar laki-laki yang saat itu Darul Hadits dipimpin oleh Grand Syeikh Mahmud dan disaksikan oleh Ar Rankisy sejak tahun 1372-1373 H.[41] Perbedaanya antara Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Jawwaniyyah dengan Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Barraniyyah dari aspek keinginan wakif dan madzhab yang diajarkan. Wakif pada Madrasah Darul Hadits Al Asyrafiyyah Al Barraniyyah ialah seorang raja yang bernama Muzfiruddin Musa bin Adil Abu Bakar Muhammad bin Ayyub, ia wafat 4 muharram tahun 635 H. Adapun yang membangun atau yang mendirikan madrasah ini ialah seorang Ulama dari madzhab Hanbali Jamaluddin Abdullah bin Hafidz Abdul Ghani bin Ali bin Surur Al Maqdisy, lahir tahun 581 H. Ia pernah melakukan perjalanan intelektual bersama saudaranya Izzuddin ke sejumlah daerah seperti Baghdad, Asbahan, Mesir. Kemudian melakukan perjalanan yang kedua kali ke Iraq dan banyak mengikuti kajian ilmu. Ia wafat hari jumat 5 ramadhan tahun 629 H, dimakamkan daerah pegunungan Qasiyun.
Perjalanan Madrasah Darul hadits menarik untuk dicermati. Oleh karenanya penulis berupaya mengeksplor sepak terjang maupun perjalanan institusi ini dari masa ke masa. Yang paling menarik menurut penulis dari perjalanannya adalah jatuh bangun menghadapi penjajahan maupun kemunkaran. Pernah suatu saat lembaga ini dijual ke kalangan Nashrani bernama Yanku hingga tidak ada kegiatan belajar mengajar. Namun berkat jasa Syeikh Yusuf bin Syeikh Badruddin Al Marakisy merupakan keturunan Rasululllah SAW dan bermadzhab Maliki wafat di Damaskus,[42] mampu mengambil alih institusi Darul Hadits dengan perantara Amir Abdul Qadir Al Jazairi dengan membeli kembali. Syeikh Yusuf Al Marakisy menjadi Grand Syeikh Darul Hadits pasca institusi mampu dibeli kembali dari kalangan Nashrani. Syeikh Yusuf Al Marakisy menjadi Grand Syeikh Darul Hadits hingga wafatnya pada jumadal akhir tahun 1279 H.[43]
Kepemimpinan Darul Hadits dilanjutkan oleh anaknya bernama Syeikh Muhammad Badruddin Al Hasani, ahli hadits negeri Syam. Saat ia menjadi Grand Syeikh Darul Hadits masih berumur 12 tahun,[44] lahir di Damaskus tahun 1229 H di sebuah rumah yang menempel dengan Darul Hadits Al Asyrafiyyah. Syeikh Muhammad Badruddin Al Hasani menjadi Grand Syeikh Darul Hadits hingga wafatnya pada 27 Rabiul Awwal tahun 1354 H. Setelah wafatnya, kepemimpinan Darul Hadits dilanjutkan oleh wakilnya yang bernama Syeikh Yahya Al Maktaby. Karakter beliau tidak jauh berbeda dengan Syeikh Badruddin Al Hasani, selalu membalas kunjungan tokoh masyarakat hingga fakir miskin. Intinya rajin bersilaturrahim ke masyarakat luas tanpa adanya diskriminasi.[45]
Namun ada data yang menunjukan bahwa selepas Syeikh Badruddin Al Hasani wafat, kepemimpinan Darul Hadits dilanjutkan Syeikh Mahmud Rankusy.[46] Beliau atau Syeikh Mahmud Rankusy mendirikan Madrasah Nizhamiyah tahun 1952 yang ditujukan untuk pelajar yang datang dari pedesaan atau pelosok. Syeikh Mahmud Rankusy membangun yayasan amal sosial atau yang disebut Jam’iyyah Khairiyah kegunaannya sebagai wadah menampung sumbangan masyarakat yang ingin membantu kegiatan institusi. Kebetulan Madrasah Darul Hadits menyediakan asrama, ruang makan, buku, pakaian, obat-obatan dan lain-lain. Dana tersebut kegunaanya sebagai penopang operasional lembaga.[47]
Banyak ulama terlahir dari lembaga Darul Hadits dan memang institusi ini sangat antusias menghasilkan atau memproduksi ulama. Cendekiawan maupun ulama tersohor dimasa itu terlihat dari karya tulis yang dihasilkan. Majelis ilmu baik yang diadakan di masjid maupun Madrasah dipenuhi pelajar yang datang dari berbagai tempat dan daerah. Semakin banyak pelajar yang bertalaqqi kepada salah satu ulama, dapat dipastikan karena reputasinya sangat dikenal luas. Jadi, reputasi ulama saat itu dikenal karena karya tulis dan produktifitas menulis. Zaman sekarang dapat kita samakan dengan hasil riset yang berbentuk buku maupun jurnal. Penulis melihat hasil riset seseorang dianggap terbaik saat banyak dari masyarakat yang menikmatinya atau dianggap menarik oleh kebanyakan orang. Sesuatu yang menarik boleh jadi karena tema dan bahasa mudah difahami dan aktual.
Semakin banyak pelajar di suatu institusi pendidikan, dapat dipastikan pengajar yang ada saat itu dianggap bereputasi tinggi. Indkator ulama atau pengajar yang bereputasi tinggi salah satunya adalah karena jumlah buku yang ditulis sangat banyak dan menarik. Penulis melihat ulama yang tersohor di dunia hampir kebanyakan karena jumlah buku yang ditulis dan dianggap menarik oleh masyarakat luas. Untuk itu penulis melihat bahwa ke-tokohan pengajar di berbagai lembaga pendidikan tidak dapat dinafikan atau dipandang sebelah mata. Hal tersebut menjadi keistimewaan suatu lembaga dengan adanya tokoh yang dianggap memiliki keilmuwan mumpuni.
Faktor tokoh inilah yang menjadi magnet tersendiri hingga pelajar dari berbagai daerah berdatangan mengikuti proses pendidikan di satu lembaga. Ini menjadi corak lembaga pendidikan Islam masa klasik yang lebih banyak mengedepankan tokoh terkemuka, baik dari sisi karya tulis hingga kiprah ke-umatan. Selain faktor ke-tokohan yang menjadi corak lembaga pendidikan Islam klasik, penulis melihat ada faktor lain yang tidak kalah penting yaitu wakaf.[48] Kemampuan ulama saat itu mampu meyakinkan penguasa, pengusaha hingga masyarakat agar gemar berwakaf menjadi modal utama hadirnya Madrasah maupun institusi ternama. Memang lembaga pendidikan Islam klasik menjadi institusi yang eksis di zamannya karena donasi yang bersumber dari wakaf menjadi penopang.
Tentu kita tidak dapat melihat sebelah mata hadirnya wakaf yang menjadi penopang setiap lembaga maupun institusi yang ada saat ini. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Madrasah Darul Hadits tatkala menghadapi kolonialisme dengan bentuk penyerangan dan perusakan. Hal itu menjadikan lembaga mengalami pasang surut seperti yang telah disebutkan sebelumnya adanya kalangan non-Muslim membelinya dan digunakan tempat yang tidak layak. Selain itu, sejarah mencatat lembaga ini pernah mengalami kerusakan tahun 637 H dan tahun 658 H. kebakaran pernah melanda tahun 702 H.[49] Muhammad Muthi’ Al Hafidz menukil dari Ibn Katsir yang menceritakan penyerangan tentara Tatar di tahun 699 H. Mereka melakukan penyerangan menggunakan mesin sejenis meriam dan siap diluncurkan ke benteng Damaskus yang di dalamnya ada masjid Umawi. Pasar-pasar yang berada di benteng Damaskus banyak yang dijarah, bangunan sekitarnya dibakar termasuk madrasah Darul Hadits. Pada tahun yang sama bertepatan di hari sabtu, pertengahan bulan Rabiul akhir, pasukan Tatar melakukan perbuatan keji. Mereka merampas bangunan yang berada di kawasan Shalihiyyah seperti masjid Al Asadiyah, masjid Khatun, dan madrasah Darul Hadits, membakar masjid At Taubah. Perlakuan keji oleh tentara Tatar diikuti pula dari kalangan Goergia maupun Armenia yang beragama Nasrani. Masyarakat Damaskus saat itu berlindung di sebuah Ribath Hanbali dan guru besar di tempat tersebut yang bernama Mahmud bin Ali Syaibani melindunginya. Namun tentara Tatar mengetahuinya, menerobos atau mendobrak, hingga akhrnya banyak yang terbunuh dari kalangan laki-laki, adapun kalangan wanita ditawan. Buku-buku yang berada di Ribath An Nashiri dan Ad Dhiyaiyyah banyak dijarah, hingga bangunan yang berada di benteng Damaskus termasuk Darul Hadits Al Asyrafiyyah dibakar oleh tentara Tatar. Ini merupakan bentuk kekejaman Tatar terhadap umat Islam di Damaskus. Bentuknya sangat kejam karena menghanguskan buku karya ulama, lembaga atau institusi pendidikan hingga manusia ikut terbunuh.[50] Tentunya kekejaman Tatar sulit dilupakan terhadap negeri Syam terutama Damaskus yang menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan saat itu pasca runtuhnya Dinasti Abbasiyah di Baghdad.[]
Catatan:
[1] Mazin Mubarak, kalimat li At Tadzkir, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2022, hlm 65.
[2] Ibn Shalah mengabdi di Darul Hadits Al Asyrafiyyah selama 13 tahun. Ia wafat di rumahnya yang berada di lingkungan Madrasah pada tahun 643 H. lihat Muhammad Muthi Al Hafidz, Dur Al Hadits As Syarif Bi Dimasyq, Damaskus: Darul Maktaby, cet 1, 2010, hlm 59.
[3] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 14.
[4] Mahmud Rankusyi, Al Ma’rifah Al Haqiqiyah Li Dar Al Hadits Al Asyrafiyyah, Damasku, tanpa disebutkan penerbitnya, hlm 6.
[5] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 14
[6] Muhammad Muthi Al Hafidz, Dur Al Hadits As Syarif Bi Dimasyq, Damaskus: Darul Maktaby, cet 1, 2010, 58.
[7] Negeri Syam merupakan kota tua tempat tinggal bagi bangsa Arab. Tidak hanya itu kawasan Baduy atau pedalamannya merupakan tempat tinggal Bani Israil. Kawasan Syam banyak ditemukan peristiwa bersejarah seperti Nabi Musa menerima wahyu saat berada di sebuah pegunungan Thursina yang merupakan masuk kawasan Syam. Negeri Syam pula kawasan yang diberikan oleh Allah SWT kepada kalangan Bani Israil. Masih banyak lagi kisah maupun peristiwa yang terjadi pada negeri satu ini. Sulaeman An Nadawi, Tarikh Ard Al Quran, Damaskus: Darul Qalam, cet 1, 2016, hlm 115.
[8] Abdul Qadir An Nuaimi, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, Damaskus: mansyura Al Haihah Al Ammah As Suriyah Li Al Kitab, 2014, hlm 10.
[9] Nama lengkapnya Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub Ad Duwaini. Lahir di Tikrit sebuah daerah di Iraq. Menurut Ibn Katsir bahwa keluarga besar Shalahuddin Al Ayyubi dari kalangan Kurdi namun mereka membantahnya dan menyatakan mereka mereka berasal dari Arab yang singgah di kawasan Kurdi dan menikahi penduduk setempat hingga bermukim lama. Lihat Abdul Qadir An Nuaim, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, Damaskus: kementerian kebudayaan, cet 2014, hlm 168. Menurut Abdul Majid Al Ghauri seperti yang ia kutip dari Abu Hasan An Nadawi bahwa Shalahuddin Al Al Ayyubi merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT. Siapa pun dari kita harus mengetahui jasa dan perjuangan Shalahuddin Al Ayyubi. Namun yang menyedihkan menurut Abu Hasan An Nadawi ialah biografi Shalahuddin Al Ayyubi banyak ditulis berbahasa Inggris dan lainnya selain Islam. Menurutnya mengapa Umat Islam tidak tidak banyak menulis biografi Shalahuddin Al Ayyubi. Kisah kehidupannya sangat menginspirasi kita. Lihat Sayyid Abdul Majid Al Ghauri, Min A’lam Al Muslimin wa Masyahirihim li Allamah Al Imam As Sayyid Abi Al Hasan Ali Al Hasani An Nadawi, Damaskus: Dar Ibn Katsir, cet 1, 2002, hlm 36.
[10] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 13.
[11] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 13.
[12] Budaya ilmu terjadi jika dilakukan melalui proses membangun kemampuan ilmiah, mengokohkan, hingga mengembangkan bagi pelajar. Kemampuan ilmiah harus dibangun hingga membentuk sebuah kebiasaan positif dari sana akan muncul budaya ilmu. Lihat Ali Jamil Khalaf Al Qisy, Al Bina Al Ilmy Li Thalabah Al ‘Ilm fi Al Halaqat Al ‘Ilmiyyah As Syar’iyyah Baina Al Waqi’ wa At Tumuh, makalah disampaikan pada acara multaqa yang berjudul Al Halaqat Al ilmiyyah fi Al ‘Iraq Baina Al Inditsar wa Al Izdihar tahun 2022.
[13] Abdul Qadir An Nuaimi, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, Damaskus: Mansyura Al Haihah Al Ammah As Suriyah Li Al Kitab, 2014, hlm 10.
[14] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 16,
[15] Dukungan dan sokongan kalangan pengusaha kepada pendidikan dan dakwah dapat dilihat dimasa Syeikh Muhammad Syarif Al Ya’qubi sosok ulama hebat dari Damaskus Suriah. Perjalanan dakwahnya baik dalam bidang pendidikan keagamaan dan sosial sangat penting untuk disimak karena disana terdapat dukungan dan sokongan kalangan pengusaha yang ikhlas membelanjakan sebagian hartanya dijalan Allah SWT. Muhammad Syarif As Sawwaf, Natsr Ar Rayyahin Min Sirah wa Akhbar As Shalihin, Damaskus: Dar Daqqaq, cet 1, 2017, hlm 102.
[16] Abdul Qadir An Nuaimi, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, Damaskus: Mansyura Al Haihah Al Ammah As Suriyah Li Al Kitab, 2014, hlm 14.
[17] Abdul Qadir An Nuaimi, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, Damaskus: Mansyura Al Haihah Al Ammah As Suriyah Li Al Kitab, 2014, hlm 16.
[18] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 17.
[19] Faisal Ismail, Paradigma Pendidikan Islam; Analisis Historis, Kebijakan, dan Keilmuwan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet 1, 2017, hlm 34.
[20] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 17.
[21] Ia merupakan ulama Damaskus hidup pada abad 13 H. Nama lengkapnya Yusuf Bin Abdurrahman Al Hasani Al Maghribi (w: 1279 H). Muhammad Muthi Al Hafidz, Dur Al Hadits As Syarif Bi Dimasyq, Damaskus: Darul Maktaby, cet 1, 2010, hlm 63.
[22] Al Amir Abdul Qadir Al Jazairi yang dimaksud dengan kata “amir” disini bukan menunjukan bahwa beliau raja atau sulthan melainkan sosok pemimpin pasukan saat Negara Al Jazair dijajah oleh Prancis. Saat itu yang menjadi pemimpin pasukan Al Jazair bernama Abdul Qadir Al Jazairi. Namun saat pasukan Al Jazair dikalahkan oleh tentara Prancis dan Abdul Qadir Al Jazairi mampu ditangkap. Saat itu pihak Prancis ingin mengasingkan Syeikh Abdul Qadir Al Jzairi ke suatu tempat. Syeikh Abdul Qadir mengusulkan agar diasingkan ke daerah Damaskus. Lalu ia diasingkan ke Damaskus hingga suatu saat ikut andil memajukan Darul Hadits Al Asyrafiyyah. Ia merupakan sosok ulama pejuang termasuk pula memiliki karya tulis yang tidak sedikit. Wawancara penulis dengan Prof. Muhammad Rasyid Al Jazairi, guru besar di Universitas Al Wadi Jazair. Penulis mewawancari beliau melalui media sosial facebook pada 24 mei 2024 pukul 09.49 dan dijawab oleh beliau pukul 10.42 dihari tersebut.
[23] Syeikh Badruddin Al Hasani hidup di sepertiga akhir abad 13 pertengahan awal abad 14 H. Hal tersebut bertepatan dengan pertengahan abad 19 M dan sepertiga awal abad 20 M. waktu itu termasuk masa sulit di Damaskus karena akan berakhirnya kekuasaan kesulthanan Utsmani bagi negeri Syam dan Hijaz. Jatuhnya khilafah Utsmani berdirinya Negara Arab hingga memisahkan dari kekuasaan Utsmani. Selain itu Suriah berada dalam cengkraman penjajahan Prancis. Lihat Mahmud Bairuti, Al Muhaddits Al Akbar Syaikhu Syuyukh As Syam Asyaikh Muhammad Badruddin Al Hasani; wa Atsaru Majalisihi fi Al Mujtama’ Ad Dimasyqi, Damaskus: Dar Al Bairuty, cet 2, 2020, hlm 13.
[24] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 18.
[25] Beliau sosok ulama yang disegani saat itu. Jika berjalan maka orang-orang akan menghormatinya. Tidak hanya itu banyak orang berlomba-lomba menyalami hingga mencium tangannya. Syeikh Badruddin Al Hasani sosok ulama yang mudah ditemui. Tidak ada aturan birokrasi untuk dapat menemuinya. Berbagai kalangan masyarakat sangat menyeganinya. Ini karena pengaruh ilmu dan pengabdiannya kepada Umat Islam. Saat itu diceritakan pula lapisan masyarakat dari berbagai agama sangat menghormatinya. Kebetulan masyarakat Damaskus multicultural. Ada dari kalangan agama selain Islam. Lihat Mahmud Bairuti, Al Muhaddits Al Akbar Syaikhu Syuyukh As Syam Asyaikh Muhammad Badruddin Al Hasani; wa Atsaru Majalisihi fi Al Mujtama’ Ad Dimasyqi, Damaskus: Dar Al Bairuty, cet 2, 2020, hlm 104. Salah satu murid kesayangan Syeikh Badruddin Al Hasani adalah Syeikh Muhammad Arif As Sawwaf Ad Duji. Beliau belajar langsung kepada Syeikh Badruddin Al Hasani hingga suatu ketika muridnya yang bernama Syeikh Muhammad Arif As Sawwaf Ad Duji pergi ke Beirut dan tinggal disana. Pernah suatu ketika orang Beirut pergi ke Damaskus untuk meminta fatwa kepada Syeikh Badruddin. Namun Syeikh Badruddin menyayangkan padahal di Beirut ada muridnya yang bernama Syeikh Muhammad Arif As Sawwaf Ad Duji. Muhammad Syarif As Sawwaf, Natsr Ar Rayyahin Min Sirah wa Akhbar As Shalihin, Damaskus: Dar Daqqaq, cet 1, 2017, hlm 231.
[26] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 18.
[27] Wakaf dimasa klasik menjadi kebiasaan baik tidak hanya dari kalangan penguasa dan ulama, namun adapula masyarakat luas yang bersedia mewakafkan sebagian hartanya. Ini dapat kita lihat dari perjalanan Madrasah Darul Hadits Ad Dhiyaiyyah yang berada di kawasan Damaskus Suriah saat ini. Madrasah tersebut dibangun oleh Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid Al Maqdisi yang dimana tanahnya merupakan warisan ayahnya. Oleh karena itu wakif Madrasah Darul Hadits Ad Dhiyaiyyah bernama Al Hafidz Muhammad bin Abdul Wahid Al Maqdisi As Sholihi wafat tahun 643 H. lihat Muhammad Muthi Al Hafidz, Darul Hadits Ad Dhiyaiyyah wa Maktabatuha bi Sholihiyyah Dimasyq, Damaskus: Darul Bairuty, cet 1, 2006, hlm 12.
[28] Ia sosok ahli hadits, mufthi, lahir pada tahun 577 H dan wafat di Damaskus pada 26 rabiul akhir tahun 643 H. dimakamkan di pemakaman sufi dan berdekatan dengan makam Ibn Taimiyah meskipun Ibn Shalah lebih senior darinya. Lihat Mahmud Rankusy, Al Ma’rifah Al Haqiqiyyah li Dar Al Hadits Al Asyrafiyyah, hlm 7.
[29] Imam Nawawi lahir di desa Nawa yang berjarak dengan kota Damaskus sekitar 80 km. ia lahir pada tahun 676 H dan wafat tahun 676 H. Imam Nawawi tercatat dalam hidupnya tidak menikah melainkan fokus untuk ibadah shalat, membaca Al Quran, mengajar, membaca, menulis hingga dakwah keumatan. Lihat Ali Thantawi, Al Imam An Nawawi, Damaskus: Darul Fikr, cet 2, 1997, hlm 7.
[30] Wafat pada tahun 665 H. ia merupakan penulis kitab yang mensyarah Syatibiyah, Ar Raudathain. Saat menjadi Granda Syeikh Darul Hadits banyak yang mengikuti kajiannya baik dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Ibn Katsir pernah menceritakan bahwa Abu Syamah menjelaskan hadits tanpa melalui pengulangan. Jadi beliau sangat menguasai baik dari sanad, matan secara kuat hafalannya. Lihat Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 62.
[31] Syeikh Zainuddin Al faruqi lahir tahun 633 H, merupakan seorang da’i di Damaskus. Membangun Darul Hadits setelah lembaga tersebut dihancurkan oleh penyerangan pasukan Tatar. Ia wafat di bulan safar tahun 703 H dimakamkan di kawasan Shalihiyyah dipemakaman keluarganya sebelah utara makam syeikh Abu Umar Ahmad bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi. Lihat Mahmud Rankusy, Al Ma’rifah Al Haqiqiyyah li Dar Al Hadits Al Asyrafiyyah, hlm 8.
[32] Ia sosok penulis hebat yang pernah memiliki karya berjudul Al ‘Amal Al Maqbul fi Ziarah Rasul SAW. Buku tersebut merupakan tanggapan terhadap Ibn Thaimiyah. Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 63.
[33] Ia merupakan mertua dari ulama hebat yang bernama Ibn Katsir. Keduanya adalah sosok Grand Syeikh Darul Hadits dimasanya. Lihat Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 64.
[34] Lahir di Kairo tahun727 H pergi ke Damaskus pada bulan Jumadal Akhir tahun739 H bersama ayahnya bernama Taqiyuddin Subki sosok ulama besar dan pernah menjadi Grand Syeikh Darul Hadits. Tajuddin Subki saat di Damaskus belajar kepada Imam Al Mizzi. Gurunya yang bernama Imam Ad Dzahabi mengaguminya terutama terhadap karyanya berjudul Al Mu’jam Al Mukhtashar. Ibn katsir menceritakan bahwa Tajuddin Subki pernah mengalami cobaan luar biasa yang belum pernah dialami oleh qadhi sebelumnya. Ia pernah di penjara selama 80 hari di benteng Damaskus. Wafat dalam kondisi syahid karena terkena wabah penyakit. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan dzulhijjah tahun 771 H, dimakamkan di pegunungan qasiyun. Lihat Mahmud Rankusy, Al Ma’rifah Al Haqiqiyyah li Dar Al Hadits Al Asyrafiyyah, hlm 10.
[35] Nama lengkapnya Syihabuddin Abu Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad. Asal dari Asqalan lahir, dibesarkan, hingga wafat di kairo. Sejak lahir sudah menjadi anak yatim saat berumur 6 tahun. Adapun ibunya telah wafat sebelum ayahnya. Lihat Ibn Mulaqqin, Al Mu’in ala Tafahhumi Al Arbain An Nawawiyah, Damaskus: Dar Ibn Katsir, ditahqiq oleh Riyadh Munsi, cet 2, 2015, hlm 46.
[36] Nama lengkapnya Imaduddin Abu Fida Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau bin Katsir, asli Qurasy namun dibesarkan di Damaskus dan bermadzhab Syafi’i. ibn Katsir lahir di sebuah desa yang berada di daerah Busra Suriah pada tahun 701 H. ia pergi ke Damaskus bersama saudara kandungnya yang bernama Abdul Wahhab saat berumur 7 tahun. Kepergiannya ke Damaskus pasca wafat ayahnya tahun 703 H. di antara guru-guru Ibn Katsir yaitu Ibn Taimiyah, Al Mizzi, Ad Dzahabi, Al Fazari, Ibn Syuhbah, dan lain sebagainya. Lihat Ibn Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Adzim, Kairo: Darul Hadits, jilid 1, ditahqiq oleh As Sayyid Muhammad Sayyid dkk, 2005, hlm 30.
[37] Nama lengkapnya Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Al Kannani Al Hamawi Ad Dimasyqi. Seorang hakim agung dan ulama besar Syafi’iyyah dimasanya. Lahir pada tahun 694 H, merupakan guru dari Ibn Mulaqqin. Lihat Ibn Mulaqqin, Al Mu’in ala Tafahhumi Al Arbain An Nawawiyah, Damaskus: Dar Ibn Katsir, ditahqiq oleh Riyadh Munsi, cet 2, 2015, hlm 38.
[38] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 15
[39] Menurut Syeikh Mahmud Rankusy bahwa urutan di atas dari no 1-10 sudah sesuai dan benar menurut penulis. Adapun urutan berikutnya atau setelah 10 perlu diteliti ulang. Lihat Mahmud Rankusy, Al Ma’rifah Al Haqiqiyah li Dar Al Hadits, hlm 9. Urutan Grand Syeikh Darul Hadits yang disebutkan Syeikh Mahmud Rankusy sesuai dengan Muhammad Muthi’ Al Hafidz dimana ia telah menukil dari Abdul Qadir An Nuaimi. Lihat Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 72.
[40] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm73. Urutan diatas memiliki perbedaan meski penulisnya sama yaitu Muhammad Muthi’ Al hafidz. Dapat dilihat dibuku yang lain karya beliau Muthi Al Hafidz, Dur Al Hadits As Syarif Bi Dimasyq, Damaskus: Darul Maktaby, cet 1, 2010, hlm 61-64.
[41] Muhammad Muthi Al Hafidz, Dur Al Hadits As Syarif bi Dimasyq, Damaskus: Darul Maktabi, 2010, hlm. 66.
[42] Nama lengkapnya Saefuddin Yusuf bin Badruddin bin Abdurrahman bin Abdul Wahhab bin Abdul Malik bin Abdul Ghani Al Marakisy lebih dikenal dengan Al Maghribi. Nasabnya bersambung ke sosok Wali Abdul Aziz At Tabba’ ia merupakan guru dari Syeikh Jazuli pengarang kitab Dalail Khairat. At Tabba’ bersambung ke Sayyidina Husein bin Ali Bin Abi Thalib. Lahir di Maroko, dibesarkan di Mesir. Berguru ke banyak ulama di zamannya yaitu Syeikh Muhammad Amir, Syeikh Hassan Al Athar, Syeikh Shawi, Syeikh Ibrahim Baejuri. Pergi ke Damaskus dan menjadi warga negaranya hingga berguru ke Syeikh Abdurrahim Al Kazbari. Ia mengajar di masjid Umawi dan lainnya, mengajar tidak terlalu lama karena kondisi fisiknya yang selalu mengalami sakit. Lihat Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah Bi Dimasyq; Dirosah Tarikhiyyah Tawtsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 206.
[43] Mazin Al Mubarak, Kalimat Li At Tadzkir, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2022, hlm 68.
[44] Perlu ditelaah kembali ke berbagai sumber otoritatif, karena Syeikh Badruddin Al Hasani menjadi Grand Syeikh Darul Hadits di umur yang sangat belia yaitu 12 tahun. Menjadi pertanyaan besar, apakah bisa di umur sekian menjadi ujung tombak sebuah institusi yang disegani?
[45] Mahmud Rankusy, Al Ma’rifah Al Haqiqiyah li Dar Al Hadits, hlm 13.
[46] Tim penulis Darul Hadits, Darul Hadits Al Asyrafiyyah; Dalil Ta’rify, Kementrian Wakaf Suriah.
[47] Tim penulis Darul Hadits, Darul Hadits Al Asyrafiyyah; Dalil Ta’rify, Kementrian Wakaf Suriah.
[48] Menurut Mazin Mubarak wakaf menjadi solusi dalam memberantas kemiskinan baik itu bentuknya seperti mengemis, pembangunan sarana prasarana lembaga pendidikan, kebutuhan orang sakit yang tidak memiliki biaya dan seterusnya. Lihat Mazin Al Mubarak, Kalimat Li At Tadzkir, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2022, hlm 74.
[49] Mazin Al Mubarak, Kalimat Li At Tadzkir, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2022, hlm 68.
[50] Muhammad Muthi’ Al Hafidz, Darul Hadits Al Asyrafiyyah bi Dimasyq: Dirasah Tarikhiyyah Tautsiqiyyah, Damaskus: Darul Fikr, cet 1, 2001, hlm 48.
*Abuzar Al Ghifari, merupakan alumni Universitas al-Azhar Kairo, kini menjadi pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Bogor dan dosen di Universitas Darunnajah Jakarta
Informasi buku hasil riset lebih lengkap tentang Madrasah Darul Hadits karya Dr. H. Abuzar al-Ghifari, Lc. M.A. lihat: Imam Nawawi dan Madrasah Darul Hadits
One thought on “Cikal Bakal Madrasah Darul Hadits Damaskus”