Oleh: Assoc. Prof. Dr. Sofwan Manaf, M.Si., Presiden Universitas Darunnajah
Tidarislam.co- Toleransi merupakan nilai yang sangat penting dalam kehidupan sosial, terutama di lingkungan yang heterogen, seperti pesantren. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki peran strategis dalam membentuk karakter santri dan mengajarkan nilai-nilai agama. Namun, dalam menjalankan fungsi tersebut, pesantren juga dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan lingkungan yang tidak hanya aman dan terstruktur, tetapi juga sejuk dan damai. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menerapkan sistem manajerial pesantren yang mengedepankan toleransi. Manajemen pesantren tidak hanya berfokus pada administrasi pendidikan, tetapi juga pada bagaimana menciptakan suasana yang mendukung pertumbuhan spiritual, moral, dan sosial santri. Dalam konteks ini, toleransi berperan sebagai landasan untuk membangun hubungan yang harmonis antar sesama santri, pengurus, dan masyarakat sekitar. Toleransi dalam sistem manajerial pesantren bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi juga bagaimana mengelola perbedaan tersebut agar dapat saling mendukung dan menguatkan.
Menurut Daryanto (2014), manajemen pesantren harus mampu menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung perkembangan setiap individu. Toleransi sebagai bagian dari manajemen ini dapat berwujud dalam kebijakan-kebijakan yang menghargai perbedaan, baik dalam hal latar belakang sosial, budaya, maupun pemahaman keagamaan. Oleh karena itu, penting bagi pengurus pesantren untuk mengimplementasikan prinsip toleransi dalam setiap aspek manajerial, mulai dari pengelolaan santri, pengajaran, hingga hubungan dengan masyarakat luar. Salah satu tantangan utama dalam menerapkan toleransi adalah bagaimana membangun kesadaran bersama di kalangan pengurus pesantren dan santri. Dalam buku Manajemen Pesantren oleh Muhaimin (2017), dijelaskan bahwa pengelolaan pesantren yang baik harus melibatkan proses pendidikan karakter, termasuk pengajaran toleransi sejak dini. Melalui kurikulum yang mengajarkan pentingnya saling menghormati perbedaan, santri diharapkan dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya religius, tetapi juga mampu hidup berdampingan dalam masyarakat yang beragam.
Pentingnya toleransi dalam pesantren juga mendapat perhatian dari beberapa ahli, seperti Syamsudin (2018), yang menekankan bahwa dalam sistem manajerial pesantren, pendidikan karakter harus dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan. Ini berarti bahwa tidak hanya pengajaran agama yang harus diterapkan, tetapi juga nilai-nilai sosial yang mengajarkan pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan sesama, tanpa memandang perbedaan. Toleransi dalam konteks manajerial pesantren tidak hanya berfokus pada hubungan antar sesama santri, tetapi juga mencakup hubungan pesantren dengan masyarakat sekitar. Hal ini sesuai dengan pendapat Al-Qur’an Surah Al-Hujurat (49:13) yang menyatakan bahwa perbedaan suku, ras, dan budaya adalah bagian dari takdir Allah yang harus diterima dengan bijaksana dan dihargai. Menerapkan prinsip toleransi dalam manajemen pesantren berarti juga berusaha menciptakan hubungan yang saling menghormati antara pesantren dan masyarakat, terutama dalam konteks sosial dan budaya yang seringkali penuh dengan perbedaan.
Menerapkan toleransi dalam manajemen pesantren dapat pula memperkuat stabilitas internal pesantren itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Siti (2020), ketika pesantren dapat mengelola perbedaan dengan baik, maka akan tercipta suasana yang kondusif untuk proses belajar mengajar. Toleransi menjadi pengikat antar individu di dalam pesantren, yang memungkinkan terciptanya saling pengertian dan kebersamaan yang mengarah pada tujuan bersama, yaitu pendidikan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan umat. Implementasi sistem manajerial berbasis toleransi juga dapat meningkatkan kualitas hidup santri di pesantren. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rizki (2019), ditemukan bahwa lingkungan yang harmonis dan toleran di pesantren dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman bagi santri, sehingga mereka dapat lebih fokus dalam mengikuti proses pendidikan. Dengan adanya toleransi, setiap perbedaan yang ada bisa dijadikan kekuatan untuk menciptakan keragaman yang positif dan produktif di dalam pesantren.
Pada level yang lebih luas, pesantren yang mampu menerapkan sistem manajerial berbasis toleransi akan menjadi model bagi lembaga pendidikan lainnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan (2015), pesantren yang mengedepankan toleransi dapat menjadi contoh nyata bagi masyarakat bahwa kehidupan yang rukun dan damai dapat terwujud meskipun ada banyak perbedaan. Dalam hal ini, pesantren berperan penting dalam membentuk masyarakat yang tidak hanya religius, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Dalam rangka menciptakan lingkungan pesantren yang sejuk dan damai, penerapan sistem manajerial berbasis toleransi harus melibatkan seluruh elemen pesantren, mulai dari pengurus, pengajar, hingga santri itu sendiri. Dalam buku Pendidikan Toleransi di Pesantren oleh Hasyim (2022), dijelaskan bahwa kolaborasi antara semua pihak ini akan mempercepat tercapainya tujuan tersebut. Dengan kerja sama yang solid dan komitmen yang kuat, pesantren dapat menciptakan lingkungan yang tidak hanya kondusif untuk pendidikan agama, tetapi juga untuk kehidupan sosial yang damai dan penuh toleransi.
Melalui penerapan prinsip-prinsip toleransi dalam sistem manajerial pesantren, pesantren diharapkan dapat menjadi tempat yang tidak hanya mendidik santri dalam hal ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter yang siap berkontribusi positif di masyarakat yang plural dan penuh tantangan. Inilah saat yang tepat bagi pesantren untuk memanfaatkan nilai-nilai toleransi sebagai pijakan dalam menciptakan lingkungan yang sejuk, damai, dan penuh harapan bagi masa depan umat.
- Pendidikan Toleransi Sejak Dini
Pendidikan toleransi sejak dini menjadi aspek penting dalam membentuk karakter anak yang peduli terhadap keragaman sosial dan budaya. Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menerima perbedaan, baik dalam hal agama, budaya, ras, maupun pandangan hidup. Pengenalan nilai-nilai toleransi kepada anak-anak sangat penting karena pada usia dini, anak-anak mulai mengembangkan persepsi tentang dunia di sekitarnya. Pendidikan toleransi sejak usia dini dapat menjadi landasan bagi terciptanya masyarakat yang lebih damai dan harmonis di masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh UNESCO (2011), pendidikan toleransi membantu anak untuk berkembang menjadi individu yang mampu berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial dengan rasa saling menghormati.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lickona (1991), pendidikan karakter yang mencakup nilai-nilai toleransi dapat memperkuat hubungan sosial antara individu yang berbeda latar belakang. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada teori atau pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan sikap dan perilaku. Melalui pengajaran yang berbasis pada pengalaman langsung, seperti kegiatan bersama yang melibatkan berbagai kelompok, anak-anak dapat memahami pentingnya penghargaan terhadap perbedaan. Lickona menjelaskan bahwa pendidikan karakter yang baik mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan tentunya, toleransi, yang akan tercermin dalam sikap mereka dalam kehidupan sehari-hari (Lickona, 1991).
Seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya keberagaman di masyarakat, penting bagi sekolah dan orang tua untuk berperan aktif dalam mendidik anak-anak mengenai pentingnya toleransi. Pendidikan toleransi di sekolah dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti kegiatan kelompok yang mengedepankan kerja sama antar siswa yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Banks (2006), dia menekankan bahwa keberagaman di dalam kelas dapat meningkatkan kualitas pembelajaran jika dilaksanakan dengan cara yang inklusif. Pendekatan yang mengutamakan keberagaman ini memungkinkan siswa untuk belajar dari pengalaman teman-temannya yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Selain di sekolah, peran keluarga juga sangat vital dalam pendidikan toleransi. Orang tua adalah model pertama yang memberikan contoh perilaku kepada anak. Saling menghargai dan menerima perbedaan dalam keluarga akan menjadi dasar yang kuat bagi anak-anak untuk menerapkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sosial mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Brody et al. (2003) menunjukkan bahwa keluarga yang mendukung dan mengajarkan nilai-nilai inklusif cenderung menghasilkan anak-anak yang lebih toleran terhadap perbedaan dalam masyarakat.
Pendidikan toleransi sejak dini bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi juga tentang memupuk empati. Anak-anak yang diajarkan untuk memahami perasaan orang lain, terutama yang berbeda darinya, akan lebih cenderung untuk menghindari perilaku diskriminatif. Seperti yang dijelaskan oleh Noddings (2002), pendidikan berbasis empati membantu anak-anak belajar untuk menghargai perasaan orang lain, yang pada gilirannya memperkuat nilai-nilai toleransi. Noddings berargumen bahwa empati bukan hanya tentang memahami perasaan orang lain, tetapi juga tentang bertindak untuk mendukung mereka, terutama ketika mereka berada dalam posisi yang rentan. Pendidikan toleransi yang efektif dapat memberikan dampak positif dalam jangka panjang, baik dalam membangun hubungan yang lebih harmonis di masyarakat maupun dalam meningkatkan kualitas kehidupan sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—sekolah, keluarga, dan masyarakat—untuk berkolaborasi dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi ini. Melalui pendidikan yang inklusif dan berbasis pada rasa saling menghargai, kita dapat membentuk generasi yang lebih terbuka dan siap menghadapi tantangan keberagaman di masa depan.
- Penerapan Manajemen Konflik yang Efektif
Manajemen konflik yang efektif merupakan kunci untuk menjaga keberlanjutan hubungan dalam berbagai konteks, baik itu di tempat kerja, dalam keluarga, atau dalam organisasi sosial. Konflik, meskipun sering dipandang negatif, sebenarnya bisa menjadi sumber peluang untuk memperbaiki dan meningkatkan hubungan antar individu. Oleh karena itu, penerapan manajemen konflik yang efektif bukan hanya tentang menyelesaikan permasalahan yang timbul, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa penyelesaian tersebut membawa hasil yang positif bagi semua pihak yang terlibat. Menurut Rahim (2002), manajemen konflik yang baik melibatkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika interpersonal dan budaya organisasi, sehingga solusi yang dihasilkan bukan hanya mengatasi permasalahan sesaat, tetapi membangun kedamaian jangka panjang.
Penerapan manajemen konflik yang efektif dimulai dengan identifikasi jenis dan penyebab konflik itu sendiri. Ada berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi akar permasalahan, mulai dari pendekatan individual hingga kolektif. Misalnya, pendekatan komunikasi terbuka antara pihak yang terlibat sangat penting untuk mencegah eskalasi konflik (Fisher & Ury, 2011). Dalam konteks organisasi, pemimpin perlu menjadi fasilitator yang dapat menyatukan pandangan yang berbeda, mendengarkan perspektif semua pihak, dan membimbing mereka menuju solusi yang konstruktif. Penerapan strategi ini juga dapat membantu mencegah terjadinya perpecahan yang lebih besar dalam kelompok atau tim. Selain itu, penting untuk memilih strategi penyelesaian konflik yang sesuai dengan situasi yang ada. Terkadang, konflik memerlukan resolusi cepat dan keputusan tegas, sementara di lain waktu, pendekatan yang lebih kolaboratif dan partisipatif lebih efektif.
Thomas dan Kilmann (1974) mengemukakan lima gaya dalam mengelola konflik: kompetisi, kolaborasi, kompromi, penghindaran, dan akomodasi. Pemilihan gaya yang tepat tergantung pada tingkat kepentingan dari hasil yang ingin dicapai dan hubungan antar pihak yang terlibat. Sebagai contoh, dalam situasi di mana kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama besar, kolaborasi adalah pendekatan yang lebih disarankan karena dapat menghasilkan solusi yang lebih menguntungkan bagi kedua pihak. Terakhir, evaluasi terhadap proses manajemen konflik yang telah dilakukan sangat penting untuk memastikan efektivitasnya. Proses evaluasi ini memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk menilai apakah solusi yang ditemukan benar-benar menyelesaikan akar masalah dan apakah hubungan yang ada telah membaik setelah konflik diselesaikan. Menurut De Dreu (2008), evaluasi dapat dilakukan melalui feedback yang diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat, baik secara formal maupun informal. Evaluasi juga dapat memberikan insight untuk memperbaiki strategi manajemen konflik di masa yang akan datang, sehingga organisasi atau individu bisa lebih siap menghadapi konflik yang mungkin timbul di kemudian hari.
- Pembentukan Nilai-nilai Kebersamaan
Kebersamaan adalah konsep yang tidak hanya mencerminkan keharmonisan dalam hubungan antar individu, tetapi juga menciptakan solidaritas dan kohesi dalam kelompok atau masyarakat. Nilai-nilai kebersamaan terbentuk melalui interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, sekolah, lingkungan kerja, maupun masyarakat luas. Pembentukan nilai-nilai kebersamaan ini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan pendidikan yang berkembang dalam suatu komunitas. Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai kebersamaan menjadi landasan penting dalam menciptakan lingkungan yang harmonis dan saling mendukung. (Sutrisno, 2014)
Dalam konteks sosial, kebersamaan juga merupakan hasil dari proses adaptasi sosial yang dilakukan individu-individu dalam suatu kelompok. Proses ini terjadi melalui berbagai bentuk interaksi yang dibangun oleh norma, tradisi, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Menurut Giddens (2006), nilai kebersamaan adalah salah satu elemen penting yang mengikat individu-individu dalam suatu masyarakat agar saling menjaga keharmonisan dan keselarasan. Sebagai contoh, dalam masyarakat tradisional, kebersamaan diwujudkan dalam bentuk gotong royong, yang merupakan perilaku saling membantu tanpa pamrih untuk kepentingan bersama. Nilai ini tidak hanya penting dalam konteks kebudayaan, tetapi juga dalam konteks perkembangan masyarakat yang lebih modern, di mana kebersamaan tetap menjadi salah satu faktor pendorong utama dalam mencapai tujuan bersama.
Pendidikan juga memainkan peran penting dalam pembentukan nilai kebersamaan. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk bekerja sama dan menghargai perbedaan yang ada di sekitar mereka. Di sekolah, pembelajaran mengenai kebersamaan sering kali dikemas dalam bentuk kegiatan kelompok yang mengajarkan pentingnya saling mendengarkan, berbagi, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini sejalan dengan pandangan yang diungkapkan oleh Dewey (1916), yang menekankan bahwa pendidikan yang baik tidak hanya fokus pada pencapaian pengetahuan individu, tetapi juga pada pengembangan kemampuan sosial yang mendalam, seperti keterampilan untuk hidup dalam kebersamaan.
Selain itu, dalam konteks organisasi dan lingkungan kerja, nilai kebersamaan juga sangat penting. Dalam sebuah organisasi, baik itu perusahaan atau lembaga lainnya, kebersamaan antara anggota tim sangat berpengaruh terhadap efektivitas dan produktivitas kerja. Taufik (2018) menyebutkan bahwa tim yang memiliki nilai kebersamaan yang tinggi akan lebih mampu menghadapi tantangan dan beradaptasi dengan perubahan, karena setiap individu merasa dihargai dan didukung oleh rekan-rekannya. Hal ini menunjukkan bahwa kebersamaan bukan hanya masalah emosional, tetapi juga menjadi elemen penting dalam pencapaian tujuan bersama dalam dunia profesional. Secara keseluruhan, pembentukan nilai kebersamaan merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek kehidupan manusia. Nilai ini terbentuk melalui interaksi sosial yang dibangun oleh norma, budaya, dan pendidikan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan nilai kebersamaan yang kuat, masyarakat akan lebih mampu menghadapi tantangan bersama, menjaga keharmonisan sosial, dan mencapai tujuan bersama yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk terus memperkuat dan memelihara nilai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks keluarga, masyarakat, maupun dunia profesional. (Putra, 2020)
- Pengawasan yang Adil dan Bijaksana
Pengawasan yang adil dan bijaksana merupakan prinsip utama dalam menciptakan sistem pemerintahan yang transparan dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, pengawasan bukan hanya sekadar kontrol, tetapi juga upaya untuk memastikan bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau lembaga publik dilakukan dengan dasar keadilan, kesetaraan, dan berlandaskan pada prinsip-prinsip moral yang tinggi. Kunci dari pengawasan yang efektif adalah kemampuannya untuk menjaga keseimbangan antara pengendalian dan kebebasan individu, yang mana keduanya harus dihormati secara bersamaan. Seiring berkembangnya demokrasi dan tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang lebih terbuka, penting untuk memperkuat mekanisme pengawasan yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan ketidakadilan (Klitgaard, 1988).
Selain itu, pengawasan yang bijaksana mengharuskan adanya pemahaman mendalam terhadap konteks sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Pengawasan yang dilaksanakan dengan bijak akan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan, seperti hak asasi manusia, kesejahteraan sosial, dan keadilan sosial, tanpa mengabaikan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam implementasi kebijakan. Dalam hal ini, teori keadilan distributif yang dikemukakan oleh Rawls (1971) menjadi penting, karena menekankan pentingnya kesetaraan dalam pembagian sumber daya dan manfaat sosial. Oleh karena itu, pengawasan yang bijaksana tidak hanya memastikan bahwa kebijakan dilaksanakan dengan benar, tetapi juga bahwa hasil dari kebijakan tersebut dirasakan secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pengawasan yang adil dan bijaksana juga mengharuskan adanya partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pengawasan tersebut. Partisipasi publik adalah aspek penting dalam demokrasi yang sehat, karena memberi ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Sebagai contoh, studi oleh Fung (2006) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengawasan dapat meningkatkan kualitas pengawasan dan akuntabilitas pemerintah. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan, diharapkan tercipta transparansi dan kepercayaan antara pemerintah dan warga negara, yang pada gilirannya akan memperkuat legitimasi kebijakan publik.
Lebih jauh lagi, pengawasan yang adil dan bijaksana memerlukan adanya regulasi yang jelas dan lembaga yang independen untuk memastikan akuntabilitas. Sebagaimana dijelaskan oleh Shleifer dan Vishny (1993), lembaga yang independen dan pengawasan yang efektif dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatkan kualitas kebijakan publik. Pengawasan yang lemah atau tidak terstruktur dengan baik dapat berujung pada penurunan kualitas kebijakan dan bahkan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, pengawasan yang didasari pada prinsip keadilan dan kebijaksanaan adalah salah satu pilar dalam membangun negara yang berlandaskan pada hukum dan demokrasi.
Tantangan dalam Menerapkan Toleransi di Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sudah lama ada di Indonesia memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan spiritualitas santri. Namun, penerapan nilai toleransi dalam pesantren tidak selalu berjalan mulus. Toleransi, yang seharusnya menjadi salah satu prinsip dasar dalam pendidikan keagamaan, sering kali menemui berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah adanya perbedaan pemahaman tentang ajaran agama yang sering kali mengarah pada sikap eksklusivitas. Beberapa pesantren mungkin lebih fokus pada pemahaman tertentu dalam ajaran Islam, sehingga kesulitan untuk menerima perbedaan pandangan dari kelompok lain (Hasyim, 2011). Hal ini seringkali berujung pada konflik dalam menerapkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari di pesantren.
Selain itu, tantangan lain dalam menerapkan toleransi di pesantren adalah adanya pengaruh politik dan ideologi yang terkadang memperburuk suasana. Isu-isu terkait politik identitas sering kali memengaruhi cara pandang pesantren terhadap kelompok lain, baik itu sesama umat Islam dengan mazhab yang berbeda atau dengan kelompok agama lain. Sebagai contoh, beberapa pesantren yang lebih konservatif cenderung menutup diri terhadap gagasan-gagasan baru yang dianggap tidak sejalan dengan pemahaman mereka. Hal ini membuat penerapan toleransi menjadi lebih sulit, karena adanya ketakutan bahwa perubahan akan merusak tradisi dan nilai-nilai agama yang sudah ada (Azra, 2006).
Baca juga: Pesantren: Sebuah Kajian Awal dan Analisis Historis
Tantangan ketiga yang cukup signifikan adalah kurangnya pemahaman mendalam tentang nilai toleransi itu sendiri. Di beberapa pesantren, toleransi dipahami hanya sebagai sikap menerima perbedaan secara terbatas, misalnya hanya di antara sesama umat Islam yang berbeda mazhab, tetapi tidak mengakomodasi perbedaan yang lebih luas, termasuk dengan agama lain. Padahal, toleransi yang sejati seharusnya meliputi penerimaan yang lebih luas terhadap keragaman, baik dalam hal kepercayaan, budaya, maupun pandangan hidup. Kurangnya pemahaman ini dapat memperburuk hubungan antar umat beragama dan mempersempit wawasan santri mengenai pentingnya hidup berdampingan dengan harmonis di masyarakat yang plural (Wahid, 2004).
Namun, meskipun terdapat berbagai tantangan, beberapa pesantren telah berhasil menerapkan prinsip toleransi yang lebih inklusif dengan mengedepankan dialog antaragama dan antarmazhab. Ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat dan kesediaan untuk membuka diri terhadap perbedaan, pesantren dapat menjadi model bagi masyarakat dalam menerapkan toleransi. Salah satu contoh yang dapat dijadikan acuan adalah pesantren yang mengadakan kegiatan lintas agama, di mana santri diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan kelompok agama lain. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman santri terhadap agama lain, tetapi juga membuka ruang untuk mempererat persaudaraan di tengah keragaman (Abdurrahman, 2010).
Menciptakan Lingkungan yang Sejuk dan Damai
Dalam ajaran Islam, menciptakan lingkungan yang sejuk dan damai tidak hanya melibatkan aspek fisik, tetapi juga aspek sosial dan spiritual. Islam mengajarkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan alam, sesama, dan dengan Tuhan. Ini adalah dasar dari sebuah kehidupan yang harmonis dan penuh berkah. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwasanya menekankan pentingnya menjaga dan merawat alam, yang merupakan ciptaan-Nya. Alam tidak hanya berfungsi sebagai tempat hidup bagi manusia, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh ketenangan batin. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمْ مِّنَ الشَّجَرِ الْاَخْضَرِ نَارًاۙ فَاِذَآ اَنْتُمْ مِّنْهُ تُوْقِدُوْنَ
Artinya: (Dialah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau. Kemudian, seketika itu kamu menyalakan (api) darinya. (QS. Yasin: 80)
Ayat ini mengingatkan umat Islam untuk menjaga alam dengan baik, karena alam memberikan manfaat yang luar biasa untuk kehidupan manusia. Dalam hal ini, Islam mendorong umatnya untuk melestarikan lingkungan, misalnya dengan menanam pohon, menjaga kebersihan, dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana (Suwarsono, 2017).
Namun, menjaga lingkungan yang damai tidak hanya berkaitan dengan alam semesta, tetapi juga dengan hubungan antar manusia. Rasulullah SAW dalam banyak hadisnya menekankan pentingnya saling menghargai dan menjaga hubungan yang harmonis antar sesama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak boleh menzalimi atau menyerahkannya kepada orang lain (untuk dizalimi).”
Hadis ini mengajarkan pentingnya solidaritas sosial dan rasa saling mendukung dalam membangun lingkungan yang damai. Sebuah masyarakat yang penuh dengan kasih sayang dan penghargaan akan menciptakan suasana yang tenang dan aman bagi setiap anggotanya.
Dalam menciptakan lingkungan yang damai, keadilan juga memegang peranan yang sangat penting. Islam mengajarkan bahwa setiap individu berhak diperlakukan secara adil, tanpa diskriminasi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka putuskanlah dengan adil…” (Qur’an, 4:58).
Dalam konteks lingkungan, ini berarti bahwa setiap orang berhak mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya dan kesempatan yang ada. Oleh karena itu, keadilan sosial sangat diperlukan untuk menciptakan kedamaian dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, Islam juga mengajarkan tentang pentingnya keberlanjutan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam hal pengelolaan alam. Pembangunan yang berkelanjutan, yang memperhatikan kesejahteraan generasi mendatang, sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW dalam hadisnya menyatakan:
“Jika kiamat datang dan salah seorang di antara kalian memegang bibit pohon dan ia mampu menanamnya sebelum kiamat tiba, maka hendaklah ia menanamnya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim).
Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun kiamat sudah dekat, menjaga kelestarian alam tetap menjadi kewajiban. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pemeliharaan lingkungan yang tidak hanya untuk kepentingan saat ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Secara keseluruhan, Islam mengajarkan bahwa menciptakan lingkungan yang sejuk dan damai adalah upaya yang melibatkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam, sesama, dan Tuhan. Dengan menjaga keseimbangan ini, umat Islam dapat membangun kehidupan yang penuh kedamaian dan keberkahan. Prinsip-prinsip tersebut, yang meliputi penghormatan terhadap alam, hubungan sosial yang baik, keadilan, dan keberlanjutan, dapat menjadi pedoman yang kuat dalam menciptakan lingkungan yang sejuk, damai, dan sejahtera.
Baca juga: Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren di Masa Pembangunan dan Kemajuan Iptek
