Oleh: Dr. H. Habib Chirzin
Balai Pendidikan Pesantren Pabelan
“Kau menciptakan malam dan aku yang membuat pelita.
Kau menciptakan tanah liat dan aku yang membuat piala.
Kau menciptakan sahara, gunung-gunung dan belantara.
Aku yang membuat kebun anggur, taman-taman dan padang tanaman.
Akulah yang telah mengubah batu menjadi cermin.
Akulah yang telah mengubah racun menjadi obat penawar.”
(Muhammad Iqbal)
Arsitektur sebagai Karya Budaya yang Mengubah Bencana Menjadi Rahmat dan Potensi Menjadi Aktualitas.
Ketika gunung Merapi meletus pada tahun 1960-an, lava dan batu-batu serta pasir yang dimuntahkan dari kepundannya telah menjadi bencana bagi masyarakat sekitarnya, termasuk masyarakat desa Pabelan, Muntilan. Batu-batu hitam sebesar kerbau berserakan di sawah-sawah merusak dan mempersempit lahan pertanian. Ribuan meter kubik pasir berikut batu-batu yang membanjir di sungai telah merusakkan tiga buah bendungan di daerah aliran sungai Pabelan: bendungan Kojor, Pasekan dan Beringin, dan telah pula merusak Check Dam serta menggoyahkan pondasi jembatan di atas sungai Pabelan yang menghubungkan jalan antara Kota Yogyakarta dengan Magelang.
Bertahun-tahun lamanya keadaan tak berubah. Berhektar-hektar lahan pertanian tak terairi karena rusaknya bendungan dan saluran irigasi teknis. Berpuluh-puluh kolam ikan di belakang setiap rumah penduduk desa Pabelan menjadi kering dan lahan pertanian rusak dan menyempit oleh onggokan batu-batu yang bisu.
Keadaan tersebut baru berubah ketika pada tanggal 20 Agustus 1985, pada hari Sabtu pahing, jam 14.00, seorang kyai muda, Hammam Ja’far, bersama 35 orang santrinya yang terdiri dari pemuda pemudi desa yang putus sekolah di tingkat dasar dan menengah, bersama-sama memulai kegiatan pendidikan di pondok pesantren Pabelan. Kyai dan para santri tersebut kemudian menciptakan suatu masyarakat belajar (learning society) dan bersama-sama bekerja untuk membangun diri dan membangun masyarakat lingkungannya.
Ketika merasakan bersama kebutuhan untuk membuat ruang belajar, bengkel, asrama serta fasilitas pendidikan lainnya, mereka mulai mengumpulkan batu-batu dan pasir kali dan memecah batu-batu alam yang telah bertahun-tahun bercokol di lahan pertanian dan kemudian mengangkatnya untuk dijadikan bahan pembuat pondasi, umpak penyangga tiang, dan bahan bangunan lainnya. Maka berdirilah bangunan-bangunan untuk ruang belajar, asrama tempat tinggal santri, perpustakaan, gedung koperasi pelajar, kamar tamu, sanggar bhakti Pramuk, dan lain-lain di dalam kompleks Pondok Pesantren Pabelan yang dipergunakan sebagai ajang pendidikan dan pengembangan masyarakat.
Batu-batu hitam dan pasir yang semula berserakan di lahan-lahan pertanian yang menimbulkan bencana, setelah ditransformasi oleh akal budi manusia, dipadukan dengan unsur-unsur alam dan hasil teknologi yang dirancang dan dibangun secara teknis berubah menjadi bangunan yang mempunyai struktur manusiawi dan bermanfaat bagi manusia untuk mengembangkan dirinya.
Demikian pula batu-batu dan pasir kali yang semula hanya merupakan potensi alam kodrat, kemudian disentuh oleh tangan manusia dan diolah serta ditata dalam kerangka nilai insani, kemudian menjadi aktualitas yang berupa bangunan-bangunan dan lingkungannya yang harmonis dan fungsional.
Alam kodrat yang buta (natur) dengan disentuh oleh tangan manusia dan diolah dengan akal budinya dalam kerangka nilai manusiawi berkembang menjadi kebudayaan (kultur) dalam bentuk arsitektur. Demikianlah, di Pesantren Pabelan, arsitektur telah mengubah bencana menjadi rahmat dan potensi alam kodrat mulai menjadi aktualitas budaya yang harmonis dan fungsional.
Arsitektur sebagai Realisasi Nilai dan Diri Insani dalam Partisipasi.
Para santri dan pemuda pemudi Desa Pabelan yang sederhana dengan penuh kesungguhan mengekspresikan hasratnya untuk belajar dan cita-citanya untuk maju dan memajukan lingkungannya. Mereka berpikir dan bekerja keras untuk menciptakan sarana-sarana belajar dan cencembungan masyarakat yang berupa bangunan-bangunan dan lingkungannya.
Dengan sumber daya manusia setempat dan dengan tumpuan teknik setempat yang sederhana, mereka mengumpulkan dan mengenali bahwa sumber-sumber alam setempat sebagai local resources sangat besar. Mereka lalu menciptakan karya arsitektur yang padu dan harmoni dengan lingkungan pedesaan mereka yang tradisional dan agraris, karya arsitektur yang fungsional bagi proses belajar dan pengembangan pribadi dan masyarakat lingkungan mereka.
Dengan karya arsitekturnya tersebut para santri dan pemuda pemudi di desa telah melakukan ekspresi dan realisasi diri dengan mentransformasi data, fakta, situasi dan kejadian alam yang dihadapinya menjadi nilai bagi manusia. Proses pencaharian nilai, penyusutan nilai serta penilaian (valuation) itu mereka lakukan terus menerus tertuju kepada realisasi diri dan pemenuhan diri (self-realization and human fulfilment).
Dengan keluar dari dirinya, menggumuli alam dan mengolahnya sambil menata nilai dalam suatu proses dialektis (Peter L. Berger, 1969) manusia melakukan “eksternalisasi” diri atau “eksteriorisasi” (Prof. DR.J.W.M. Bakker, SJ, 1972) dengan menciptakan dunia obyektif baru di luar dirinya (arsitektur, susunan masyarakat, kegiatan pendidikan). Dengan eksternalisasi menciptakan dunia itulah manusia menempatkan diri dan menetralisir hidupnya atau menyempurnakan eksistensinya. Sebagai “homo sapiens” dan “homo faber”, eksternalisasi diri merupakan fakta asasi dan sekaligus keharusan antropologis (Max Scheler).
Dalam proses perkembangan dunia itu manusia dengan kegiatannya menspesialisasi kecenderungan-kecenderungan (gharizah – mail) dan menjadikan dirinya utuh dan stabil. Dunia itu adalah kebudayaan (termasuk di dalamnya arsitektur). Realitas dasar dari kebudayaan (arsitektur) antara lain adalah memberikan suatu struktur bagi hidup manusia. Kebudayaan (arsitektur) yang adalah hasil kegiatan manusia (kodrat kedua) harus secara terus-menerus dihasilkan dan dihasilkan kembali oleh manusia, dikomunikasikan antar subyek dalam komunitas sehingga tercapai penyempurnaan dan kontinuitas budaya.
Bersamaan dengan kegiatan manusia mengubah lingkunganannya, ia sekaligus menghasilkan kebudayaan non-material, yaitu masyarakat yang menstruktur relasi manusia dengan sesamanya. Oleh karena itu kegiatan membangun dunia selalu merupakan usaha kolektif dan partisipatif. Hal ini didasarkan atas fakta dasar antropologis, yakni sosialitas.
Manusia bersama-sama membuat alat, menciptakan karya arsitektur, menemukan bahasa, mengikatkan diri pada nilai-nilai, menggunakan institusi-institusi dan lain-lain. Eksistensi kultural juga berlangsung sejauh dipertahankannya susunan-susunan sosial yang khas (pesantren, kampus, kampung). Maka pertanyaan bagaimanakah dan apa itu arsitektur Indonesia adalah juga pertanyaan tentang apa itu dan bagaimanakah itu budaya dan masyarakat Indonesia, atau setidak-tidaknya budaya dan masyarakat Indonesia yang kita kehendaki.
Kebudayaan (arsitektur dan masyarakat) adalah produk manusia yang berakar pada fenomena eksternalisasi dan eksternalisasi tersebut, dan didasarkan pada konstitusi biologis manusia (Portman), yaitu kondisi organisme manusia di dunia yang “built-in instability”. Sehingga manusia harus “memanusiakan dirinya” dengan menciptakan dunianya dengan karyanya. Dengan menciptakan alat-alat (arsitektur) ia memperkaya totalitas objek-obyek fisik dunia.
Tetapi alat-alat (arsitektur) tersebut setelah dihasilkan, ia segera memiliki adanya sendiri (objektivitas) sebagai faktisitas di luar diri manusia dan kadang-kadang mengkonfrontirnya. Bahkan alat-alat tersebut dapat memaksakan logikanya sendiri kepada pencipta atau pemakainya. Suatu karya arsitektur dapat memaksa pemakainya untuk bersikap, bertingkah laku, berperasaan dan berselera atau menghayati nilai tertentu. Hal ini karena karya budaya sebagai hasil “eksternalisasi” manusia telah menciptakan realitas obyektif yang mencakup: institusi, peranan dan identitas.
Realitas obyektif budaya (arsitektur dan masyarakat dengan institusi, peranan dan identitasnya) sebagai faktisitas eksternal akhirnya diserap kembali (internalisasi) oleh pelaku atau pemakainya. Faktisitas dunia obyektif dari dunia sosial menjadi juga faktisitas subyektif. Individu-individu menghadapi institusi-institusi sebagai data dunia obyektif di luar dirinya, tetapi sekarang menjadi data kesadarannya sendiri.
Realitas institusi terbentuk sebagai realitas susunan kekeluargaan dalam masyarakat. Program-program dan struktur yang ditetapkan, secara subyektif menjadi riil sebagai sikap-sikap, motif dan rencana hidup. Pribadi dan masyarakat mengambil peranan yang ditetapkan baginya dalam konteks ini dan menangkap identitasnya dengan peranan tersebut.
Tetapi proses internalisasi ini harus dimengerti sebagai suatu momen saja dari proses dialektik yang lebih luas yang mencakup pula momen-momen eksternalisasi dan obyektivasi. Sebab bila tidak demikian akan menimbulkan suatu gambaran determinisme mekanistik, di mana individu dihasilkan oleh masyarakat sebagaimana sebab menghasilkan akibat dalam alam. Individu tidak hanya dibentuk secara pasif, tetapi dibentuk dalam aliran pergaulan atau pergumulan yang panjang, dimana ia merupakan seorang “participant”. Dunia sosial, dengan institusi-institusi, peranan-peranan, dan identitas-identitas tidak diserap secara pasif oleh individu, tetapi secara aktif diapropriasi olehnya. Dengan demikian, individu menjadi co-producer dunianya dan juga co-producer dirinya sendiri.
Dalam konteks tersebut, para santri dan pemuda pemudi Pabelan baik sebagai craftmen, artisans, architecture users ataupun master architects merupakan participant budaya dan co-producers dunianya dan juga co-producers dirinya sendiri secara kolektor partisipatif. Dengan itu mereka merealisasikan diri dan memenuhkan kemanusiaannya.
Arsitektur sebagai Komitmen: Perpaduan antara Teknik dan Mistik.
Immanuel Kant pernah mengatakan bahwa setelah ilmu alam berkembang secara gemilang, sekarang dibutuhkan seorang Kepler atau Newton untuk menemukan hukum perkembangan kebudayaan. Sejak zaman fajar budi sudah banyak model diketemukakan sebagai percobaan untuk merumuskan hukum perkembangan ini. Model ini merupakan suatu “Filsafat Sejárah” tertentu, dan yang menonjol ialah bahwa hampir semua model untuk menafsirkan sejarah ini berkisar pada ide “kemajuan” dan ide “evolusi”.
Suatu interpretasi yang cukup positif mengenai arah proses evolusi ini dikemukakan oleh Henri Bergson yang mengatakan bahwa hanya interaksi antara teknik dan mistik yang dapat mempersatukan bangsa manusia dan menciptakan suatu masa depan yang lebih manusiawi. “Badan mondial” (yang diciptakan oleh internasionalisasi teknik), membutuhkan suatu “jiwa besar” untuk menyeimbangkannya. Jiwa dunia teknik harus datang dari “agama dinamis”, yang disamakan dengan mistik. Teknik dan mistik menurut Bergson merupakan dua motor kemajuan (Dr. Harry Hamersma, 1981).
Dalam rangka menuju ke arah arsitektur yang berwajah manusiawi (Indonesia), tampaknya perlu direnungkan bersama tesis Bergson tentang perpaduan antara teknik dan mistik tersebut. Menurut Bergson, setiap hasil teknik yang berupa alat, telah memperpanjang tangan manusia. Pada mulanya perpanjangan tangan tersebut hanya terbatas pada alat tukang, nelayan atau petani. Tetani kini dengan mekanisasi dan industrialisasi “tangan” manusia menjadi sangat panjang.
Tetapi menurut Bergson, jiwa manusia pada saat ini tidak cukup luas untuk “badan” yang besar ini. Ekspansi teknis belum diikuti oleh suatu ekspansi rohani yang sama berarti. Pada saat ini dunia teknis membutuhkan “pahlawan-pahlawan” untuk bidang moral, seniman-seniman dan orang mistik untuk memperluas jiwa manusia. Orang mistik menurut Bergson, harus menemukan “elan vital”, semangat hidup, yang berasal dari Tuhan, di dunia ini.
Melalui intelek dan teknik sebagai ciptaan intelek, kebebasan fisik bangsa manusia diperluas. Yang dibutuhkan pada saat ini adalah model-model untuk memperlihatkan bagaimana kebebasan itu harus diisi. Untuk ini dibutuhkan suatu mistik atau “agama dinamis” yang terbuka. Mistik menurut Bergson adalah identifikasi dengan kekuatan kreatif yang mengungkapkan daya kekuatan dalam hidup. Kekuatan kreatif itu berasal dari Allah, tetapi tidak sama dengan Allah. Karena Allah hanya pundi pencipta yang memanggil pencipta-pencipta yang pantas dicintai-Nya. Seluruh universum dimaksudkan sebagai mesin untuk produksi makhluk-makhluk yang pantas dicintai ini.
Pemikiran Bergson akhirnya memuncak dalam suatu kepercayaan yang mengatasi batas-batas ilmu pengetahuan. Itu bukan kelemahan keusilan dan erupsi Bergson yang sangat luas; itu hanya merupakan “infrastruktur” untuk sesuatu yang menjadi lebih banyak daripada filsafat. Bergson membebaskan pemikiran ilmiah dari determinisme dan dogmatisme, dan mengisi kebebasan yang diperoleh dengan suatu strategi praktis. Teknik telah menciptakan kemungkinan untuk mengatasi banyak sekali soal yang dahulu menghantui manusia. Tetapi taraf kemajuan teknis yang tinggi masih tetap menantikan ekuivalennya dalam suatu dinamik rohani yang sama maju (Ibid).
Dihubungkan dengan masalah arsitektur, tesis Bergson tersebut senada dengan pemikiran Dr. Soedjatmoko dalam diskusi “Architecture as Symbol and Self-Identity” di Fez pada 9-12 Oktober 1970. Sebagai seorang anggota dewan juri “The Aga Khan Award for Architecture” ia mengatakan:
“I and I am sure others too, have wracked our brains in order to define what we should charge Award Jury to do. But may be as muslim we should have consulted not only our brains but also our souls. Than we would have been remained that a building, either singly or together with others, not only makes a statement about Its purpose and uses, but it is also an “enabling structure” that makes it possible for human being to be and to you what he is supposed to do naturally, A building or a set of buildings is in the spirit of Islam not by virtue of its form or the expressiveness of its symbols, but to extent to which it anablos men and women to live in the community of the, umma by the values and the standards of Islam, and to realize the purpose for whitci God has created him or her” (“Architecture as symbol and self-Identity”, The Aga Khan Award for Architecture, Philadelphia, USA, 1980, p. 97)
Dihadapkan dengan berbagai kontroversial yang dikemukakan panitia pelaksana Kongres Nasional I Ikatan Arsitek Indonesia ini yang berupa berbagai dilemma modernisasi seperti: “budaya material vs spiritual”, “industrialisasi vs lingkungan hidup”, “modern vs, tradisional”, “internasional vs. lokal”, “perkembangan ilmu dan teknologi serta perubahan sistem nilai yang diakibatkannya”, dan lain-lain, maka sekali lagi tesis Bergson perlu dipikirkan kembali, dimana ia mengatakan bahwa, manusia direncanakan untuk kesatuan-kesatuan kecil. Suku-suku primitif biasanya masih tetap agak kecil. Negara-negara raksasa merupakan hasil dari sejarah penuh perang-perang yang dimaksudkan untuk memperbesar milik tanah dan jumlah tenaga kerja. Koherensi paling besar adalah dalam kesatuan-kesatuan kecil, tetapi manusia sering terpaksa meninggalkan lingkungan kecilnya, kalau populasi menjadi terlalu besar.
Industrialisasi dapat menolong untuk mengatasi soal-soal yang merupakan akibat dari jumlah penduduk yang terlalu besar untuk hidup dari hasil pertanian, tetapi industrialisasi menciptakan kebutuhan kebutuhan yang semula tidak ada, dan secara defacto sering menciptakan ketergantungan baru yang membuat manusia semakin tidak puas. Menurut Bergson, terapinya adalah dengan askese. Tetapi bukan askese yang berlebihan, melainkan suatu cara hidup yang comfortable tetapi sederhana. Suatu taraf hidup yang cukup tinggi itu baik. Hanya, kemewahan yang berlebihan tersebut mengganggu distribusi kekayaan umum, dan sama sekali tidak merupakan sumber kebahagiaan.
Kesenangan itu menurut Bergson tidak sama dengan kemewahan. Kenikmatan sederhana akhirnya paling membahagiakan. Itu harus dipelajari melalui askese. Menurut Bergson baik askese maupun teknik dapat dipandang sebagai hasil dari mistik. Diagnosa mengenai zaman kini ialah bahwa ekspansi rohani tidak sama besar dengan ekspansi teknik. Maka sekarang harus dipakai rohani, dan manusia harus belajar untuk memanfaatkan ini secara selektif (Ibid.).
Sehubungan dengan berbagai pertanyaan atau isu-isu kontroversial yang mendasar tersebut, Dr. Soedjatmoko mengajak untuk melakukan refleksi terhadap persoalan yang paling mendasar dari “human existence” sehubungan arsitektur yang harus diciptakan untuknya:
“Why did God create man? It says in the Koran that He created man so that man could worship Him with knowledge. Therefore man gathers the knowledge of nature and of other cultures that will make him a worthy vicory to God. Han seeks togather the means, the wherewithal, the health and the instrumentalities of the mind to live the righteous life in dignity, and to help him in the quest for just society.
Certainly the seminars should charge the Jury to judge the buildings and settlements brought to its attention by the beauty they express, the beauty that is God’s, and by the harmony of their geometric designs and the variety of criteria that have been mentioned here. But it should also judge those buildings and settelements by their capacity to enables men and women to realize the purpose for which God has created them and to realize the eminence of the sacred in human life.
Above all, Muslims must respond the challenge of science and technology which have become almost autonomous engines of social change beyond the control of man. Muslims will have to learn to domesticate science and technology, not in their own terms, but in terms of the moral and social purposes that are connected with God’s creation of man” (Soedjatmoko, op cit).
Dari sini tampak bahwa di masa depan, arsitektur sebagai karya teknik harus diresapi dan diperkaya dengan penghayatan “mistik”. Atau meminjam istilah Dr. Soedjatmoko, arsitektur harus turut mengembangkan manusia agar dapat hidup dalam lingkungan komunitas “Ummat” dengan tata nilai dan untuk merealisasi tujuan hidup manusia yang luhur sesuai dengan maksud Tuhan menciptakan manusia.
Dengan demikian, teknik selain harus dipadukan dengan mistik, juga harus mempunyai komitmen yang jelas ke arah pemerdekaan, realisasi makna dan nilai serta pemenuhan diri manusiawi. Bagi masyarakat tertentu, arsitektur rumah dan lingkungannya merupakan pengejawantahan dunia kecil (mikro kosmos) dari penghayatannya terhadap dunia besar (makro kosmos). Demikian pula “gelar” atau tata bangunan, space dan landscape di lingkungan pesantren.
1 Desember 1982
* Tulisan ini pernah disampaikan pada acara Kongres Nasional I Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) di Gedung Purna Budaya, Kampus UGM, Yogyakarta, tanggal 2 Desember 1982. Setelah Pondok Pabelan menerima penghargaan The Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1980, saya diundang untuk menyampakan makalah pada acara sarasehan Kongres Nasional I Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), bersama Dr. Omar Khayam, Romo JB Mangunwijaya, Drs. Darmanto Jatman, dan Dr. Damardjati Supadjar. Kami diangkat sebagai Anggota Kehormatan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) non arsitek.
Lampiran: Gambar Pondok Pesantren Pabelan Era 80-an.
Gambar 1: Masjid Pondok Pesantren Pabelan pada tahun 1980-an.
Sumber: semiotikaseni.blogspot.com
Gambar 2: Aktivitas para santri bergotong-royong membangun asrama.
Sumber: www.the.akdn/en
Gambar 3: Para santri dan masyarakat melaksanakan shalat berjamaah di halaman Masjid.
Sumber: www.the.akdn/en
One thought on “Arsitektur sebagai Perpaduan antara Teknik dan Mistik: Sebuah Renungan dari Pesantren*”
Comments are closed.