Filantropi Muhammadiyah

Tidarislam.co – Muhammadiyah menjadikan filantropi (budaya berderma) sebagai salah satu elemen utama pembaruan Islam, selain pendidikan dan pemikiran Islam. Sejak pendiriannya, Muhammadiyah menampilkan diri sebagai gerakan filantropis keagamaan (a religious philanthropical movement) yang berasaskan Islam. Gerakan filantropi Islam Muhammadiyah didasarkan pada spirit “teologi al-Maun”, nilai-nilai modernisme (seperti rasionalitas, profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas), puritanisme Islam (sikap militan pada doktrin filantropi Islam), dan ideologi kesejahteraan yang dibangun untuk menggerakkan aksi pelayanan dan aktivisme sosial menolong para fakir miskin.

Dengan “teologi al-Maun”, Ahmad Dahlan dan murid-muridnya tidak terlalu tertarik pada polemik teologis yang abstrak. Mereka menerjemahkan “tauhid” dengan aksi-aksi nyata, dan lebih memberikan perhatian pada aksi sosial-kemanusiaan yang lebih kongkrit untuk mendermakan “mal” atau harta guna mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Ahmad Dahlan memberikan perhatian besar pada bagaimana memberikan pelayanan pendidikan, kesejahteraan ekonomi, dan kesehatan, dengan membangun sarana atau lembaga pelayanan sosial seperti baitul mal, rumah sakit, atau sekolah.

Muhammadiyah mendorong budaya filantropi dengan sangat serius, dan mempelopori reformasi dan modernisasi filantropi Islam, khususnya dana zakat, infak, dan sedekah, yang sebelumnya praktik tersebut dikelola secara tradisional. Pembagian divisi dan departemen dalam struktur organisasi Muhammadiyah juga menyesuaikan dengan fokus organisasi pada bidang filantropi. Pada awalnya, selain memperbaharui sistem pendidikan, pembaharuan Muhammadiyah dimaksudkan untuk mereformasi pengelolaan zakat.

Program-program filantropi Muhammadiyah mengkritik pendekatan filantropi tradisional di kalangan muslim Jawa waktu pada awal masa formasi Muhammadiyah karena model distribusi zakat konvensional, bersifat individual (dibayarkan kepada kyai setempat), mementingkan amil zakat, dan tidak diberikan kepada yang membutuhkan, terutama kaum fakir miskin, sehingga dianggap kurang efektif dan efisien. Aisyiyah, sayap organisasi perempuan, juga memiliki fokus yang sama di bidang pelayanan sosial, terutama terkait perbaikan Nasib kaum perempuan, kesehatan anak, dan kesejahteraan keluarga. Konsepsi filantropi Muhammadiyah terus diperkuat melalui sidang-sidang resmi Muhammadiyah, seperti, antara lain, melalui hasil keputusan Muktamar Tarjih ke-XX tahun 1976 di Garut yang menghasilkan konsepsi penting tentang hakikat harta dalam Islam dalam “Kitab al-Amwaal fil-Islaam” (Fungsi Harta Menurut Ajaran Islam). Di dalamnya memuat fatwa-fatwa Muhammadiyah tentang Zakat.

Dengan mengadopsi nilai-nilai modern, Muhammadiyah dan Aisyiyah kemudian mendorong praktik pengelolaan dana filantropi (zakat, infak, sedekah, dan wakaf) secara lebih rasional, transparan, akuntabel, inklusif, non-diskriminasi, dan berorientasi jangka panjang. Semangat modern Muhammadiyah juga mendorong pelembagaan insitusi modern, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan, hingga mendirikan lembaga filantropi Muhammadiyah yang mengelola administrasi wakaf, penggalangan (fundraising), pengelolaan, dan pendistribusian (tasaruf) dana filantropi secara profesional.

Dengan manajemen filantropi yang modern, Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang mengelola berbagai usaha filantropi terbesar di bidang, antara lain, kesehatan dengan ratusan rumah sakit, klinik, perawatan, hingga pendidikan tinggi kedokteran yang dimiliki. Rumah Sakit Muhammadiyah telah hadir sejak masa kolonial sebelum berdirinya Republik. Mereka berbeda dengan rumah sakit pada umumnya yang berbasis komersial dan lebih sekular. Rumah sakit Muhammadiyah tetap berbasis charity dan mempertahankan identitas Islam, bersifat religius tetapi inklusif. Tetapi karena mampu mengelola secara mandiri, rumah sakit mereka kini tidak sepenuhnya lagi bergantung pada zakat. Mereka melayani pasien dari berbagai latar belakang dan kelas, tetapi memberikan perhatian lebih pada mereka yang kurang mampu. Keuntungan yang didapatkan dari pelayanan kesehatan diinvestasikan kembali untuk kegiatan social dan kegiatan ekonomi (economic enterprise), dan keuntungannya digunakan untuk membiayai pasien-pasien yang kurang mampu.

Seiring kebangkitan gerakan filantropi keagamaan (religious philanthropy) pasca Reformasi di Indonesia, filantropi Muhammadiyah semakin mengorganisir diri dengan didirikannya LAZISMU (Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Muhammadiyah) tahun 2002. Organisasi filantropi berbasis komunitas dikenal sebagai LAZ (Lembaga Amil Zakat), sedangkan yang berbasis negara disebut BAZ (Badan Amil Zakat). Lembaga swasta LAZISMU milik Muhammadiyah ini setingkat nasional, setara dengan filantropi LAZISNU milik Nahdlatul Ulama (NU). Lembaga ini adalah lembaga otonom di bawah Muhammadiyah, terbebas dari campur tangan negara, dan dikelola secara desentralistik dan atomistik dengan cabang di setiap wilayah (provinsi) dan cabang (kota). Lembaga ini ditujukan untuk pemberdayaan dan pendayagunaan secara produktif dana zakat, infak, dan dana kedermawanan lainnya baik dari individu, instansi, atau lembaga perusahaan milik Muhammadiyah atau non-Muhammadiyah. Muhammadiyah, melalui majelis Tarjih, juga memproduksi fatwa-fatwa filantropi Islam yang melandasi praktik filantropi keagamaan, seperti misalnya fatwa-fatwa Majelis Tarjih tentang zakat yang dijadikan panduan warga Muhammadiyah dan LAZISMU dalam membayar dan mengelola dana zakat.

Baca juga: Membincang Filantropi Islam

LAZISMU yang memiliki 189 kantor di dalam dan luar negeri (Taiwan dan Jerman) yang menjadi lembaga filantropi terbaik di Indonesia versi pemerintah meraih “SDGs Action Awards 2022” karena dianggap berprestasi dengan program-program yang kreatif dan inovatif, seperti “Surya LED”, EdutabMu, Timbang, dan Sekolah Cerdas, yang mengurangi stunting, kesenjangan akses, dan teknologi dalam pendidikan di Indonesia. LAZISMU hadir di 35 provinsi di seluruh Indonesia, dan program-program filantropi kreatif LAZISMU menjangkau bidang ekonomi, social-dakwah, kemanusiaan (bantuan bencana), kesehatan, lingkungan, pendidikan, hingga penggalangan qurban.

LAZISMU mampu menujukkan fleksibilitas ketika harus beradaptasi dengan model-model filantropi baru (new philanthropy) dengan digitalisasi, sofistikasi, dan mampu menemukan terobosan-terobosan dalam manajemen zakat, infak, dan sedekah, mengelolanya dari sekedar kegiatan kedermawanan menjadi kegiatan-kegiatan produktif dan redistributif untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan sosial. Pada masa Pandemi, Muhammadiyah menunjukkan respon aktif filantropi Muhammadiyah dengan upaya “jihad kemanusiaan” dengan mengerahkan tak kurang dari 77 rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah dan seluruh tenaga medis untuk melayani korban Covid-19.Muhammadiyah mendirikan Covid-19 Command Center (MCCC) untuk mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia, yang terdiri dari berbagai unit Muhammadiyah dan beberapa filantropis, menggalang bantuan untuk korban Covid 19 ratusan miliar rupiah, dan mendistribusikan berbagai bentuk bantuan medis yang dibutuhkan ketika pandemi kepada hampir dua setengah juta penerima manfaat.

Sumber: salah satu program filantropi global Lazismu. Sumber: muhammadiyah.or.id

Filantropi Muhammadiyah berkembang lebih berpengaruh seiring keterlibatannya dalam komunitas global. Melalui LAZISMU dan beberapa unit pendukung bidang pelayanan social, seperti MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) dan MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat), bekerjasama dengan beberapa NGO Internasional, Muhammadiyah melibatkan diri dalam berbagai aksi humanitarian, seperti perdamaian dan rekonsiliasi, resolusi konflik, dan penanggulangan bencana alam. Mereka bekerjasama dengan organisasi filantropi keagamaan non-Islam. Ketika terjadi bencana Aceh tahun 2004 dan Padang tahun 2009, misalnya, Muhammadiyah bekerjasama dengan World Vision terlibat dalam rekonstruksi pasca bencana memberikan bantuan, membangun perumahan, sekolah, dan panti asuhan.

Filantropi Muhammadiyah telah tumbuh menjadi salah satu kekuatan utama masyarakat sipil Islam di Indonesia, dengan kemandirian yang kokoh, dan tidak menggantungkan diri kepada negara, tetapi juga tidak menolak akomodasi dari negara. Kehadiran filantropi Muhammadiyah bahkan membantu negara dalam banyak aspek pelayanan sosial kepada penduduk dan meningkatkan kesejahteraan warganegara, dan mencapai target-target pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan pemerintah. Sebagaimana tesis Amelia Fauzia, ketiga negara lemah, lembaga-lembaga filantropi di Indonesia justru tumbuh subur dan perannya meningkat, tak terkecuali filantropi Muhammadiyah. Sejak tahun 2024, filantropi Muhammadiyah mencanangkan penguatan inovasi sosial dan tata kelola LAZISMU bagi pencapaian SDGs di masa depan. Karena masifnya mobilisasi dan banyaknya aset Muhammadiyah yang dibangun dari dana derma dan dikelola secara produktif, sebagian sarjana menyebut Muhammadiyah bahkan telah menjadi “organisasi filantropi”, karena mengelola ribuan sekolah, rumah sakit, dan berbagai aset lainnya secara mandiri di seluruh Indonesia bahkan luar negeri, dan menjadi organisasi Islam modern terbesar dan terkaya di Indonesia.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, merupakan peneliti bidang agama dan tradisi keagamaan di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN.

4 thoughts on “Filantropi Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *