Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri di Pesantren Darunnajah

Oleh: Dr. Abu Dzar Al-Ghifari, Lc. M.A.

Tidarislam.co – Tulisan ini merupakan laporan seminar (seminar report) dari kegiatan Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri di Pesantren Darunnajah. Workshop ini bertujuan meningkatkan kapasitas para pengasuh dan pengelola pondok pesantren dalam membentuk karakter santri secara holistik, meliputi aspek spiritual, sosial, dan akademik. Workshop ini mengkaji urgensi peradaban di pesantren, faktor penyebab bullying beserta dampaknya terhadap kesehatan mental santri, pola pengasuhan di Pesantren Darunnajah, serta model pengasuhan di Australia.

Dalam kesempatan ini, sebagai keynote speaker, Dr. Adian Husaini, M.Si. menyoroti pentingnya pendidikan karakter di era disrupsi. Peserta juga belajar pendekatan pengasuhan berbasis nilai yang dapat diterapkan dalam lingkungan pesantren maupun masyarakat multikultural. Model pengasuhan POACE (Planning, Organization, Action, Control, Evaluation) diterapkan di Pesantren Darunnajah untuk memberikan bimbingan dan teladan yang baik bagi santri. Hasilnya, pengasuh memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai metode kepengasuhan yang efektif dan adaptif dalam membimbing santri di era modern.

Universitas Darunnajah telah memiliki pusat kajian dan pengembangan yang menjadi ujung tombak terkait wakaf dan kepegasuhan. Worshop ini diadakan utamanya untuk menjelaskan bagaimana pesantren memiliki peran penting dalam pembentukan karakter santri, baik dari aspek spiritual, sosial, maupun akademik. Para pengasuh dan pendidik di pesantren menjadi pihak utama dalam mendampingi perkembangan santri, terutama dalam membentuk nilai-nilai agama dan sikap yang positif. Manajemen kepengasuhan yang efektif menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan santri secara holistik.

Pondok Pesantren itu terkenal dengan keunikan dan keberhasilan. Pondok Pesantren dikatakan unik karena ada aspek kultur dan juga struktur pesantren; tidak saja semua berjalan karena ada struktur, tetapi juga dibantu dengan adanya kultur, karena keduanya sangat melekat di Pondok Pesantren. Hal ini dikatakan oleh Presiden Univesitas Darunnajah K.H Sofwan Manaf, M.Si ketika menyampaikan sambutan dalam kegiatan workshop. Namun, banyak pesantren yang menghadapi kendala dalam manajemen kepengasuhan karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan pengasuh. Oleh karena itu, kegiatan workshop manajemen kepengasuhan santri diadakan untuk membantu pengasuh mengembangkan pendekatan pengasuhan yang lebih baik kepada santri.

Metode Pelaksanaan Workshop

Kegiatan Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri ini dilaksanakaan pada tanggal 24 November 2024 bertempat di Aula Al-Ghazali Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta Selatan. Kegiatan ini ditujukan kepada pengasuh serta pengelola pondok pesantren yang memiliki kendala dalam manajemen kepengasuhan terhadap santri-santrinya, Kegiatan ini dimulai dengan dibuka oleh Mulia Ningsih dan Kayla Nisrina (Mahasiswi Universitas Darunnjah) selaku pembawa acara (MC) dan dilanjutkan dengan beberapa sambutann oleh Presiden Univeritas Darunnajah, Rektor Universitas Darunajah, serta Dr.Adian Husaini, M.Si. selaku Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sebagai Keynote Speaker dalam Kegiatan Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri.

Metode pelaksanaan dalam kegiatan Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri biasanya dirancang secara interaktif untuk memastikan para pengasuh dan pengelola pesantren dapat memahami dan menerapkan keterampilan baru dalam pengasuhan santri. Dalam Kegiatan ini menggunakan metode persentase yaitu pemateri memberikan penjelasan terkait konsep-konsep dasar dalam manajemen kepengasuhan, seperti pola asuh Islami, prinsip kedisiplinan, serta cara membangun hubungan baik dengan santri, juga menggunakan metode tanya jawab Setelah seluruh materi disampaikan, peserta diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan terkait masalah spesifik yang mereka alami di pesantren. Sesi ini juga menjadi kesempatan bagi peserta untuk berkonsultasi langsung dengan pemateri atau ahli, sehingga mereka mendapatkan solusi yang lebih personal.

Suasana Pelaksanaan Workshop Kepengasuhan Santri di Pesantren Darunnajah

Hasil Pembahasan dan Diskusi

Selama Kegiatan Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri dengan menghadirkan tiga pemateri dan satu keynote speaker. Workshop ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan keterampilan praktis bagi pengasuh agar mampu menciptakan lingkungan pengasuhan yang efektif dan kondusif di pesantren. Berikut adalah hasil dan pembahasan dan diskusi terkait kegiatan tersebut.

Pertama: Urgensi Peradaban di Pondok Pesantren

Materi ini disampaikan oleh Dr.Adian Husaini, M.Si sebagai keynote speaker. Beliau menyampaikan di era disrupsi membawa tantangan dan peluang besar, khususnya dalam pendidikan dan nilai-nilai luhur. Rhenald Kasali menggambarkan disrupsi sebagai perubahan cepat akibat inovasi dan teknologi digital yang mengubah pola hidup, seperti terlihat pada kasus Nokia yang gagal beradaptasi dan akhirnya tergeser.

Indikator utama disrupsi meliputi kemajuan teknologi informasi, generasi milenial sebagai penggerak perubahan, dan pemimpin dengan pola pikir disruptif. Kehadiran teknologi seperti Internet of Things telah mengubah banyak industri, termasuk musik dan hiburan, dengan kemudahan akses digital. Dalam pendidikan, munculnya MOOCs menggeser pendekatan dari mengajar menjadi belajar mandiri, mendorong perguruan tinggi untuk mengadaptasi model pendidikan fleksibel berbasis pasar.

Rhenald menekankan bahwa pendidik kini lebih berperan sebagai pembimbing, membantu siswa mengembangkan pemahaman yang mendalam. Kompetensi 4C Critical Thinking, Creativity, Communication, dan Collaboration menjadi esensial untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0. Pesantren, dengan fokus pada akhlak mulia, memiliki peluang besar di era disrupsi, terutama dalam menghadapi pembelajaran daring yang masif. Nilai-nilai seperti keteladanan, adab, dan kemandirian menjadikan pendidikan berbasis karakter relevan untuk membentuk generasi berilmu dan berbudi pekerti luhur.

Kedua: Faktor Terjadinya Bullying Serta Dampak Terhadap Kesehatan Mental

Sesi pertama ini disampaikan oleh Ustadz Bendri Jaisyurrahman seorang muballigh dan penulis buku fatherman, dalam materinya beliau menyampaikan kita sebagai manusia harus mempunyai peta hidup agar lebih terarah dan tidak banyak melakukan sebuah kesalahan, termasuk pengasuh atau pengelola kepengasuhan santri di pondok pesantren harus mengetahui bahwa musuh terbesar seorang santri adalah ketika mereka sedang liburan. Seorang santri yang tidak memiliki peta hidup atau sebuah planning akan melakukan kesalahan karena mereka tidak mengetahui apa yang harus dilakukan ketika liburan dan banyak sekali kekosongan di dalamnya.

Seorang santri dulunya adalah seorang bayi yang masih fitrah (suci) jika santri tersebut mejadi rusak maka pola asuh yang diberkan orang tuanya yang salah dan mengikuti ajaran barat, yang diamana ketika anak atau seorang santri salah dimaklumkan dan tidak diakui bahwa mereka melakukan kesalahan. Terjadinya bullying itu karena muamalah atau interaksi terhadap sesama yang tidak sesuai sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S Al-Hujurat ayau 11 bagaimana cara muamalah yang baik kepada sesama agar tidak terjadi bullying terhadap sesama. Pelaku bullying ini adalah pelaku yang dzalim.

Ada tiga aspek yang saling beraitan yaitu: Pelaku, Korban, dan Penonton. Pertama, anak sebagai pelaku itu karena kurangnya sentuhan dan kasih saying seorang ibu dan kurangnya empati atau istilahya JUNIPER (Julit, Nyinyir, dan Baper), biasanya anak menjadi pelaku bullying karena terekam di pikiran mereka hal-hal yang buruk seperti pertengkaran atau kekerasan, atau anak yang menjadi pelaku bullying dulunya adalah seorang korban yang bermetamofosis.

Kedua, anak sebagai korban, bisa terjadi karena anak memiliki orang tua yang otoriter yang memaksakan kehendak atau keputusan mereka kepada anak-anak mereka sehingga anak mereka merasa terkekang dan tidak bebas untuk mengambil keputusannya, anak yang menjadi korban bullying terlihat karena pergerakan yang mereka lakukan sangat minimalis, tidak berani untuk eye contact ketika berbicara, dan selalu mengalah dalam hal apapun tetapi biasanya in erjadi kepada anak pertama dan terkadang disalahkan dalam setiap situasi. Ketiga, anak sebagai penonton, hal ini terjadi karena anak selalu dimanja oleh orag tuanya, anak tidak memiliki figure ayah (fatherless Issue), juga orang tua yang tidak kompak. Anak bisa menjadi penonton bisa disebabkan pula karena deficit maskulinitas stimulan yaitu terlalu memuji orang yang dianggapnya baik dan membelanya walaupun orang tersebut melakukan sebuah kesalahan.

Oleh karena itu, dalam pola asuh anak yang baik adalah kedua orangtua memahami peran mereka masing-masing. Ayah sebagai yang membuat sebuah keputusan dalam keluarga dan Ibu sebagai orang yang memberikan kasih sayang kepada anak. Begitupula sebagai seorang guru, ustad/ustadzah di pondok pesantren bukan hanya sebagai mu’allim (pengajar) tetapi harus berperan sebagai ayah dan ibu bagi santri-santrinya. Tetapi harus di komunikasikan dengan orang tua yang menitipkn anaknya di pondok pesantren bahwa pondok pesantren itu sebagai mitra bukan sebagai bengkel yaitu dengan membuat kerja sama dengan orang tua agar ketika ankanya sedang liburan dan berada di rumah orang tua akan mengauh anak sesuai dengan yang diasuh di pondok pesantren  dan sebagai orang tua yang menitipkan anaknya di pondok pesantren harus memberikan tujuan mereka mengapa anaknya dititipkan ke pondok pesantren dan selalu meminta laporan setiap kegiatan anak yang dilakukan di pondok pesantren.

Ketiga: Pola Pengasuhan Santri Darunnajah

Materi ini disampaikan langsung oleh Ustadzah Duna Izfanna, M.Ed.Psy., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Agama Islam di Universitas Darunnajah. Salah satu ruh dalam pesantren adalah Pengasuhan atau tongkat pertama yag ada dalam pondok pesantren, dan semua yang ada di dalamnya saling bekerja sama. Kata asuh memiliki berbagai arti diantaranya mendidik, memelihara, mengelola, membina, memimpin, dan membimbing dari keseluruhan arti dari kata asuh tersebut disimpulkan bahwa kata asuh memiliki arti membangun komuikasi, memahami dan menumbuhkan potensi. Di Pondok Pesantren Darunnajah ini memiliki struktur kepengasuhan diantaranya terbagi menjadi bagian keilmuan yaitu yang menjadikan santri bisa mencintai ilmu seperti adanya muhadharah (melatih public speaking), untuk bagian disiplin dibantu dengan adanya OSDN (Organisasi Santri Darunnajah) yang dimana santri diajarkan Latihan dan berperan bagaimana sebuah keorganisasian, bidang minat dan bakat ini termasuk ke dalam ekstrakulikuler atau diluar pembelajaran santri di kelas, bidang usaha disini santri dididik bagaimana berusaha atau Belajar membuat planning marketing seperti adanya kantin.

Tidak hanya bidang-bidang tersebut tetapi terdapat Murobbi/Murobbiah dan Musyrif/Musyrifah yang bertujuan untuk berperan sebagai pengganti orang tua mereka di rumah. Murobbi/Murobbiah merupakan tingkatan paling atas atau disebut dengan pembimbing kelas sedangkan Musyrif/Musyrifah merupakan sebutan untuk pembimbing perkamar para santri. Dalam mengasuh santri di Pondok Pesantren Darunnajah ini menerapkan POACE (Planning, Organization, Action, Control, and Evaluation) ini membantu para pengasuh dalam mendidik para santri di Pondok Pesantren Darunnajah dengan pola pengasuhan santri yaitu pengarahan, pelatihan, penugasan, pembiasaan, penciptaan lingkungan, dan keteladanan. Sebagai guru kita harus memberikan contoh yang baik kepada para santri.

Keempat: Parenting Models In Australia

Parenting models in Australia reflect the diverse and multicultural nature of society. As in many Western countries, Australian parenting often emphasizes independence, self-confidence, and individuality in children. This differs from many Eastern or Asian parenting approaches, which focus on respect for elders, discipline, and academic success. These variations result from factors such as socio-economic conditions, educational backgrounds, and cultural influences.

Eastern Parenting Styles, prioritize discipline and respect, teaching children to follow rules and value academic and financial achievements. On the other hand, Western Parenting Styles, often emphasize fostering independence, with varied approaches ranging from strict to relaxed, depending on family values and circumstances.

There are four main types of parenting styles:

  1. Authoritarian, Strict rules with high expectations; can lead to obedience but may also result in aggression and negative emotional outcomes.
  2. Authoritative, Clear guidelines with nurturing; associated with positive outcomes, including confidence, responsibility, and high academic achievement.
  3. Permissive, Warm but with minimal rules; may foster social skills but can lead to impulsiveness and lack of discipline.
  4. Uninvolved, Basic needs are met but with limited communication; may promote independence but can result in emotional challenges and poor social relationships.

In Australia, Asian immigrant parents often adhere to traditional Eastern parenting models, setting high expectations for educational success, which is seen as a key factor in academic achievements. This is sometimes supported by extended family members, such as grandparents, who help with childcare, especially in dual-income families.

Muslim parents in Australia, face unique challenges, such as maintaining religious values and practices in a largely secular society. Issues include limited availability of Islamic schools and prayer facilities, access to Halal food, and occasional Islamophobia. Some children may also face pressures that conflict with their faith, like peer activities involving alcohol or certain social norms.

The Authoritative Parenting Style is regarded as the most effective in Western societies. This approach combines nurturing with clear guidelines, enabling children to grow into responsible, emotionally balanced, and academically successful individuals. For Muslim parents, balancing religious values with Western societal expectations requires careful selection of supportive communities, schools, and environments that align with their values.

 

Kesimpulan

Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri ini memberikan wawasan penting dan keterampilan praktis kepada pengasuh di pesantren untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan santri. Dari hasil pembahasan, terdapat beberapa poin penting terkait pokok pembahasan dalam workshop, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, terkait pentingnya peradaban di pondok pesantren. Pesantren memiliki peran strategis dalam menjaga nilai-nilai luhur di era disrupsi yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Dengan mengedepankan pendidikan karakter dan nilai akhlak, pesantren dapat beradaptasi dengan baik di tengah perkembangan digital dan memberikan kontribusi penting dalam membentuk generasi yang berilmu dan berbudi luhur.

Kedua, terkait penanganan bullying dan dampaknya terhadap kesehatan mental santri. Pengasuhan yang baik dapat mengurangi risiko terjadinya bullying, yang sering kali disebabkan oleh interaksi sosial yang kurang sehat di antara santri. Pendekatan yang penuh kasih sayang dan perhatian dari orang tua serta pengasuh di pesantren sangat penting dalam membangun empati dan karakter santri. Hal ini membutuhkan keterlibatan aktif dari pengasuh dan pengelola pesantren agar dapat meminimalisir konflik sosial dan dampak negatifnya terhadap kesehatan mental santri.

Ketiga, terkait pola pengasuhan di pesantren Darunnajah. Pesantren Darunnajah menerapkan pola pengasuhan yang komprehensif melalui struktur POACE (Planning, Organization, Action, Control, dan Evaluation), mencakup berbagai aspek seperti keilmuan, disiplin, minat dan bakat, serta kewirausahaan. Dengan pola ini, pesantren memberikan contoh dan pembiasaan yang baik bagi santri melalui pengasuhan yang terarah dan berkesinambungan, serta memastikan peran pengasuh sebagai pengganti orang tua selama santri berada di pesantren.

Keempat, terkait model pola asuh di Australia. Pola asuh di Australia mencerminkan keragaman budaya, dengan penekanan pada kemandirian dan individualitas, berbeda dari pendekatan di negara Timur yang lebih mengedepankan disiplin dan penghormatan. Bagi orang tua Muslim, terutama imigran, tantangan utama adalah menyeimbangkan nilai-nilai agama dengan ekspektasi masyarakat Barat. Model pola asuh Otoritatif yang bersifat mendukung namun tegas dianggap paling efektif di Australia untuk membentuk anak yang bertanggung jawab dan berkarakter kuat.

Secara keseluruhan, workshop ini menyoroti pentingnya pendekatan pengasuhan yang adaptif dan berbasis nilai dalam membimbing santri di era modern, baik di lingkungan pesantren maupun dalam konteks masyarakat multikultural seperti di Australia.

Abu Dzar Al-Ghifari, merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Bogor dan dosen di Universitas Darunnajah Jakarta.

Baca juga: https://tidarislam.co/menengok-aktivitas-kurikulum-pesantren-gontor/

One thought on “Workshop Manajemen Kepengasuhan Santri di Pesantren Darunnajah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *