Oleh: Dr. H.M. Habib Chirzin
(Peraih Doktor Honoris Causa bidang Sosiologi Perdamaian dari UIN Sunan Kalijaga tahun 2022)
* Tulisan tentang Pendidikan Perdamaian, Universitas PBB, dan Universitas Perdamaian PBB tahun 1988, yang kiranya masih relevan dengan isu perdamaian dunia hari ini. Dalam isu perdamaian, penulis pernah berpanel dengan Rektor Universitas PBB (UNU), Dr. Soedjatmoko, pada Desember 1989, dan juga dengan Rektor Universitas Perdamaian (the University for Peace), Dr. Rodrigo Corazo, dalam forum IIFWP pada April 2006, di Seoul, Korea; kebetulan kami sama-sama menerima penghargaan sebagai “The Ambassador for Peace” IIFWP (the International Interreligious Federation for the World Peace).
Sesuai dengan kepedulian utama Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tercantum di dalam piagam pendiriannya, yakni untuk menciptakan kemajuan dan perdamaian, maka semenjak tahun 1973 didirikanlah Universitas PBB yang berpusat di Tokyo. Ide pembentukan UNU (the United Nations University) ini telah dilontarkan semenjak tahun 1973 oleh Sekretaris Jendral PBB, U Thant. Lembaga Pendidikan Tinggi internasional ini telah memulai kegiatannya semenjak bulan September 1975 sebagai lembaga otonom di dalam kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Berbeda dengan Universitas tradisional, Universitas PBB ini tidak memiliki mahasiswa dan fakultas dan bahkan tidak memiliki kampus. Ia lebih merupakan masyarakat ilmuwan internasional yang terlibat di dalam penelitian, latihan pasca sarjana, dan penyebaran ilmu pengetahuan untuk membantu menyelesaikan masalah yang mendesak secara global di dalam isu kelangsungan hidup manusia (human survival), perdamaian, pembangunan, dan kesejahteraan.
Lembaga pendidikan tinggi ini beroperasi lewat jaringan kerja yang luas berskala internasional, dari lembaga-lembaga akademis dan lembaga penelitian serta pribadi-pribadi ilmuwan yang peduli terhadap sembilan program area, antara lain: perdamaian, penyelesaian konflik, pembangunan manusia dan masyarakat, manajemen kebijaksanaan dan sumber daya, masyarakat teknologi dan informasi, ekonomi global, dan lain-lain. Semenjak berdirinya, Universitas PBB telah melakukan serangkaian studi yang mendalam dan luas tentang masalah perdamaian, penyelesaian konflik, dan kelangsungan hidup manusia.
Dengan meningkatnya perlombaan persenjataan (arms race) yang merupakan ancaman yang nyata terhadap perdamaian dan kelangsungan hidup manusia beserta lingkungan hidup dan peradabannya, maka semenjak tahun 1980 di lingkungan Lembaga Latihan dan Penelitian PBB (UNITAR) untuk Penelitian telah didirikan Lembaga PBB Perlucutan Senjata (the United Nations Institute for Disarmament Research). Pada tahun 1982, sidang umum PBB telah memutuskan untuk menjadikan UNIDIR ini sebagai lembaga otonom di lingkungan PBB untuk melakukan penelitian yang bebas tentang perlucutan senjata dan masalah-masalah yang bersangkutan dengannya, khususnya masalah keamanan internasional. Statuta lembaga PBB untuk penelitian perlucutan senjata ini telah disetujui pada tahun 1984.
Selain dua lembaga yang langsung berada di dalam naungan sistem PBB tersebut, pada tahun 1980 telah disepakati oleh sidang umum PBB untuk mendirikan Universitas Perdamaian (the University for Peace). Lembaga ini merupakan lembaga internasional dengan tujuan kemanusiaan yang diabdikan untuk menciptakan perdamaian lewat pendidikan. Universitas Perdamaian ini berkedudukan di Costa Rica, dan merupakan lembaga nirlaba (nonprofit) yang dibiayai sepenuhnya oleh para donatur, anggota, dan lembaga-lembaga dana. Pada tanggal 6 Maret 1982 UPIMI telah mengesahkan anggota senat dan memilih presiden (rektor peratamanya Mr. Rodrigo Carazo, mantan presiden Costa Rica yang juga merupakan orang/ tokoh yang berada di belakang ide pendirian Universitas Perdamaian tersebut.
Pada saat ini, Universitas Perdamaian memiliki 27 mahasiswa dari 18 negara. Sedang pada tahun 1985-1987 yang lalu, universitas tersebut telah mengembangkan program Mester di dalam “Komunikasi untuk Perdamaian”, suatu kursus yang dirancang untuk melatih mahasiswa di bidang penelitian komunikasi untuk perdamaian. Suatu program studi yang sangat menarik.
Perdamaian sebagai Masalah Sentral
Semenjak dua dasa warsa terakhir, para pakar dan perencana pembangunan semakin menempatkan masalah perdamaian, berbarengan dengan masalah lingkungan hidup dan kependudukan, sebagai isu sentral. Semula, persoalan kelangsungan hidup manusia (human survival) dan kelestarian lingkungan hidup hanya dipandang sebagai masalah pinggiran Namun menjelang peralihan abad ke-20 ke abad ke-21 ini, tiga persoalan dunia tersebut semakin menjadi pusat kepedulian para penentu kebijaksanaan, relawan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun aktivis kelompok studi dan diskusi.
Kepedulian yang mendalam terhadap masalah perdamaian ini juga tercermin di dalam agenda sidang umum PBB ke-43 yang dimulai pada tanggal 20 September 1988. Sidang umum PBB yang dihadiri oleh utusan dari 159 negara anggotanya, membahas tidak kurang dari 140 mata pembicaraan, mulai dari masalah perlucutan senjata sampai dengan masalah angkasa luas; dari masalah Hak Asasi Manusia sampai dengan masalah pemeliharaan perdamaian; dan dari masalah apartheid sampai dengan masalah pembangunan.
Salah satu masalah yang menarik adalah pembicaraan khusus tentang upaya internasional untuk mencapai kemajuan di dalam isu perlucutan senjata, sebagai tindak lanjut dari sidang khusus PBB tentang perlucutan senjata yang dilakukan pada tanggal 31 Mei sampai dengan 26 Juni yang lalu. Demikian pula, pembukaan sidang umum pada kali ini ditandai dengan pemberian penghargaan “United Nations Peace Messenger Awards” kepada 60 lembaga dari seluruh dunia, satu di antaranya IKIP Muhammadiyah Jakarta yang dinilai telah memberikan sumbangan yang besar bagi upaya PBB untuk menciptakan perdamaian dunia.
Kepedulian dan keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat di dalam menggumuli masalah perdamaianpun pada saat ini semakin mendapat penghargaan dari PBB, dengan diundangnya Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mengadakan pertemuan internasional, seminggu sebelum dimulainya sidang umum. Konferensi internasional Lembaga Swadaya Masyarakat di kantor pusat PBB di New York, pada tanggal 14 sd.16 September tersebut, bertemakan “Peran PBB di dalam penyelesaian konflik, pemeliharaan perdamaian, dan keamanan dunia”. Penghargaan terhadap peran Lembaga Swadaya Masyarakat ini, selain karena semakin berkembangnya Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang perdamaian, juga karena telah diangkatnya masalah perdamaian dan lingkungan hidup sebagai isu sentral oleh Lembaga Masyarakat tersebut.
Pendidikan Perdamaian dan Pembangunan
Pada masa lalu, masyarakat telah terbiasa berpikir tentang perang dan damai sebagai konsep yang antitesis. Tetapi semenjak pertengahan tahun 1960-an, banyak pakar penelitian dan studi perdamaian yang tidak lagi puas dengan pola berpikir konvensional tersebut.
“Pada saat ini, lawan dari perdamaian bukan lagi hanya perang, tetapi adalah ketidakdamaian (peacelessness). Dengan ungkapan ketidakdamaian tersebut, yang dimaksud adalah segala kondisi kehidupan masyarakat yang menghalangi proses aktualisasi diri dan realisasi diri insani secara penuh”.
Kondisi ketidakdamaian ini antara lain berupa: kemiskinan, ketidakadilan sosial, perusakan lingkungan hidup, pemerosotan nilai-nilai kemanusiaan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, tindakan kekerasan ideologis dan teknis, maupun tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial politik secara layak. Kondisi ketidakdamaian seperti itu sering pula disebut dengan fenomena kekerasan institusional dan kultural. Dengan perubahan wawasan tentang perdamaian tersebut maka kegiatan studi, penelitian, maupun program aksi perdamaian memperoleh perspektif yang lebih luas, dalam, dan kaya. Kepedulian lembaga-lembaga studi perdamaian pada saat ini berkisar pada masalah: pembatasan dan perlucutan senjata, masalah penyelesaian konflik, pendidikan perdamaian, masalah budaya kekerasan, masalah kelangsungan hidup manusia, keadilan sosial, dan masalah lingkungan hidup, serta masalah tatanan dunia baru.
Bentuk paling ekstrim dari ketidakdamaian dan kekerasan institusional adalah perang. Oleh karena itu, masalah perlucutan senjata nuklir masih merupakan prioritas utama di dalam isu perdamaian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut perang nuklir sebagai penyakit menular terakhir. Apabila hal itu terjadi, maka selain kemusnahan manusia, juga kehancuran lingkungan hidup yang menjadi akibatnya. Menurut Robin Luckmen dalam Disarmament and Development, 1987, hal 31, dengan bom atom, missile balistik, earth spinning sensing dan jaringan komunikasi dan komputasi, maka daya penghancur dari sistem persenjataan yang ada menjadi berskala dunia.
Pada satu sisi, eskalasi perlombaan senjata telah menimbulkan pengurasan dan penyalahgunaan sumber-sumber pembangunan. Demikian pula persiapan perang telah menyebabkan perusakan lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia. Dari sudut pandang kependudukan dan lingkungan hidup, dampak lingkungan dari perang-perang yang pernah terjadi antara lain berupa berubahnya pola pemukiman penduduk. Perpindahan penduduk dan pemukiman kembali atas dasar kekerasan akan membawa kepada perubahan-perubahan yang signifikan di dalam praktek pertanian dan tata guna tanah. Pembebanan secara berlebihan terhadap lahan dan lingkungan hidup dapat menyebabkan deteriorisasi pertanian dalam jangka panjang dan terganggunya keseimbangan ekologi. Gerakan massa pengungsi dan orang-orang yang terusir dari kampung halamannya akan meningkatkan tekanan kependudukan terhadap tanah dan mempercepat erosi serta kerusakan lingkungan lainnya.
Pikiran yang sederhana pun dapat memahami bahwa perlombaan senjata merupakan beban ekonomis bagi pembangunan. Dengan demikian, hubungan antara pembangunan dengan perlombaan senjata merupakan hubungan yang kompetitif, khususnya kalau dilihat dari sisi sumber daya. Atau dalam ungkapan yang lain, keterbelakangan dan perlombaan senjata bukanlah merupakan dua hal yang terpisah. Keduanya merupakan suatu kesatuan. Keduanya harus dipecahkan secara bersama-sama, atau keduanya tidak akan pernah terpecahkan (Inga Thorsson, “Study on Disarmament and Development”, dalam IDOC, 1983, hal.18). Oleh karena itu, sudah saatnya untuk melakukan penyadaran tentang hakikat permasalahan perdamaian dalam hubungannya dengan masalah pembangunan yang tengah dilakukan oleh masyarakat Indonesia, lewat program pendidikan perdamaian.
Bagi masyarakat Indonesia, pendidikan perdamaian merupakan pengembangan dan perluasan dari pendidikan kependudukan dan pendidikan lingkungan hidup yang telah dimulai semenjak awal tahun 170-an. Pendidikan perdamaian pada dasarnya merupakan kegiatan pendidikan pembangunan yang berorientasi kepada kelangsungan hidup manusia dan sustainability. Di dalam pendidikan perdamaian, permasalahan pembangunan yang kongkrit di tingkat lokal dikaitkan dan diberi makna serta relevansinya dengan masalah pada tingkat regional maupun global, dengan fokus utama untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil, damai, partisipatoris dan sustainable.
Dengan demikian, model-model dan teori-teori pembangunan, khususnya dari Dunia Ketiga, merupakan salah satu mata kajian yang penting. Demikian pula upaya untuk mencari dan menyusun tatanan dunia baru serta studi-studi masa depan (futuristic studies) memperoleh ruang yang luas dalam program pendidikan perdamaian. Bagi Lembaga Pendidikan dan LSM, mereka dapat melakukan kegiatan pendidikan perdamaian di lingkungan paguyuban masyarakat basis dengan menerapkan model penelitian tindak berperan serta (Participatory Action Research), yang merupakan proses penelitian diri masyarakat, didik diri, dan bangun diri secara partisipatoris.
Bagi lembaga-lembaga pendidikan, program pendidikan perdamaian ini dapat merupakan model “pendidikan yang melekat” di dalam kurikulum dan silabi pendidikan yang telah tersusun dan telah berjalan. Pendidikan perdamaian pada saat yang sama merupakan pelaksanaan dari model pendidikan yang bermuatan lokal dengan wawasan global dan mondial. Program pendidikan perdamaian ini dapat secara luwes diintegrasikan di dalam pendidikan akhlak dan agama, maupun diintegrasikan dengan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Sementara bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), pendidikan perdamaian ini dapat diintegrasikan di dalam program penyadaran (awareness raising) dan program aksi sosialnya dalam upaya pengembangan masyarakat yang terpadu yang berorientasi kepada kelangsungan hidup manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
Rawamangun, 13 Oktober 1988
Dokumentasi penulis sebagai “The Ambassador for Peace“, the International Interreligious Federation for the World Peace (IIFWP)
En: Sri Hindun Fauziah and Habib Chirzin at The Peace Palace in Cheong Pyong, Korea, receiving the Ambassador for Peace Award from IIFWP (International Interreligous Federation for the World Peace), April 2002
Baca Juga:
- Pendidikan Perdamaian dan Lingkungan Hidup bagi Masa Depan Manusia
- Kerjasama Kerjasama Internasional tentang Praktik Islam sebagai Rahmat bagi Semesta
- Pendidikan, Perubahan Sosial, dan Tata Nilai Islam
- Mengenal 8 Konsep Ekologi dalam al-Quran
- Gerakan Green Islam di Indonesia
- Meneroka Tren Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
Very good information that enlighting the readers on peace especially for those who are intetested in peace education programs