Oleh: Rohmatul Izad
Tidarislam.co – Di negara dengan salah satu penduduk Muslim terbesar di dunia, keberadaan ulama memiliki arti yang sangat fundamental bagi Indonesia. Hubungan ulama dan umara hampir tidak pernah bisa dipisahkan. Bila umara menjauh dari ulama, hampir dipastikan negara akan kelimpungan dalam mengurusi rakyatnya. Mengingat, ketaatan masyarakat terhadap agama jauh lebih kuat ketimbang pada negara, sehingga peranan ulama sama sekali tidak bisa diabaikan.
Dulu, ketika Pak Soeharto ingin memiliki lembaga ulama resmi di bawah naungan negara, beliau meminta nasihat kepada tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah, dari situ lahirlah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mampu menjadi penghubung antara umara dan ulama.
Dalam pengertian lain, berdirinya MUI bertujuan sebagai jembatan penghubung antara umara dan ulama yang tidak bersifat sektarian. Untuk itu, MUI bisa diisi oleh ulama dari latar belakang mana saja, bisa dari NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dan lain sebagainya. Bila negara butuh fatwa-fatwa atau pertimbangan politik yang berkaitan dengan agama, maka MUI inilah salah satu wadah yang dapat memberi solusi bagi kebijakan negara.
Baca juga: Negara dalam Perspektif Cendekiawan Muslim
Saking pentingnya hubungan antara ulama dan umara ini, Nabi Muhammad SAW sampai bersabda, “Dua golongan besar bila keduanya baik, maka baiklah umat manusia. Dan bila mereka buruk, maka hancurlah umat manusia, yaitu ulama dan umara” (HR. Ibnu Majah).
Melalui hadits ini, Rasulullah memberi gambaran bahwa ketika penguasa tidak berhubungan baik dengan ulama, atau malah memusuhinya, maka hancur sudah tatanan negara itu. Begitupun sebaliknya, ulama tidak boleh memusuhi umara sebagai pemimpin yang sah dalam suatu pemerintahan.
Di Indonesia, kehadiran ulama-ulama yang berasal dari NU dan Muhammadiyah telah memberi contoh yang baik bagaimana ulama dan umara bisa bersinergi dan saling bekerja sama. Keberadaan NU yang dalam beberapa tahun terakhir terlihat begitu mesra dengan pemerintah, sebenarnya juga merupakan salah satu upaya dalam mengamalkan hadist yang disabdakan oleh Nabi itu.
Mungkin banyak orang di luar sana akan mengira bahwa kedekatan ulama-ulama NU dengan penguasa memiliki kepentingan terselubung atau ingin jabatan dan kekuasaan. Perkiraan seperti ini saya kira tidak berdasar sama sekali. Sebab umara butuh dikawal oleh golongan ulama agar kebijakannya tidak merugikan umat Islam.
Nabi juga pernah bersabda, “Sesungguhnya penguasa (yang adil) itu adalah bayangan Allah di bumi yang menjadi tempat berlindungnya setiap orang yang terdzalimi” (HR. Baihaqi). Pertanyannya, bagaimana bila yang terdzalimi itu umat Islam? Atau, umara yang jelas-jelas melanggar prinsip agama? Karenanya, untuk mengurai kesenjangan terhadap masalah seperi ini, kehadiran ulama sangat penting di sisi umara atau pemerintah.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menyaksikan betapa ada banyak sekali ulama yang tidak pro dengan pemerintah. Artinya, mereka secara terang-terangan menarik diri dari umara dan bahkan ada yang sampai menentangnya. Misalnya seperti ulama dari kalangan eks HTI, FPI, dan lain-lain. Di antara mereka masih banyak yang anti dengan pemerintah, dan yang paling memprihatinkan mereka juga menolak seluruh sistem kenegaraan.
Mengoreksi dan mengkritik umara sah-sah saja, siapapun boleh dan harus melakukannya, tak terkecuali juga ulama. Tetapi ketika kritik itu sifatnya merusak dan tidak membangun, yang terjadi justru kerusakan dan konflik yang tidak sehat antara ulama dan umara. Dari sini, umat Islam yang berada di bawah naungan ulama yang anti pemerintah, pasti akan ikut-ikutan membenci pemerintah, padahal banyak di antara mereka ada yang tidak mengerti apa-apa.
Baca juga: Islam di Masa Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq
Rasulullah sedari awal sudah mewanti-wanti bahwa selama umara itu masih berada pada jalan kebaikan, jujur, amanah, dan tidak menentang ajaran Islam, maka umat Islam, juga ulama, harus patuh terhadap penguasa, tidak ada alasan untuk mementangnya. Dengan kata lain, harus ada jalinan yang baik antara umara dan ulama. Keduanya tidak boleh renggang, apalagi hanya sekedar urusan politik semata.
Ada sebuah ungkapan bijak, “Agama adalah pondasi, kekuasaan adalah penjaga. Segala yang tidak berpondasi, niscaya akan hancur. Dan segala yang tidak mempunyai penjaga, pasti akan mudah hilang”.
Dengan demikian, peranan ulama dan umara tidak pernah bisa dipisahkan dalam membangun bangsa dan negara. Keduanya harus terhubung, bersinergi, dan saling bekerja sama agar terjadi keseimbangan. Bila keduanya terpisahkan, bangunan negara ini bisa runtuh dan kehilangan arah.