Gambar: Muslimah di Bosnia sedang melaksanakan shalat jama’ah pada bulan Ramadhan.
Tidarislam.co – Maturidiyah adalah salah satu aliran mainstream pemikiran teologi di kalangan Muslim Sunni, bersama dengan aliran Asy’ariah yang mengacu kepada ajaran Abu al-Hasan al-Asy’ari (wafat 935 M). Keduanya memiliki ajaran yang sangat berdekatan, meskipun aliran yang kedua ini penyebarannya lebih luas dan lebih populer dibanding yang pertama. Teologi sendiri tujuannya adalah meneguhkan keimanan kepada Allah, dengan bukti-bukti baik yang bersifat tekstual, empiris, maupun rasional sejauh yang dapat dicapai manusia.
Aliran Maturidiyah ini sebagaimana dirintis oleh ulama pada masanya, yakni Imam Abu Hanifah (150 H) dan pengikutnya, Imam Abu Manshur al-Maturidi (333 H). Pemikiran Abu Hanifah sendiri secara resmi banyak dikembangkan pada masa Bani Abbasiyah (750M-1258M). Paham teologi al-Maturidiyah dinisbatkan kepada nama tempat Maturid, di daerah Samarkand, di wilayah Persia, yang menjadi tempat lahirnya faham ini. Disitulah lahir seorang teolog Islam Imam Abu Manshur Mahmud bin Mahmud Al-Maturidi (228 H – 248 H, abad 9-10M), seorang pengikut Hanafi. Ajaran-ajarannya dalam bidang teologi Islam kemudian dikenal dengan al-Maturidiyah. Karena keunggulan dan kepopulerannya, Imam Abu Mahmud bin Mahmud kemudian digelari dengan “Imam Ahli Sunnah”, atau pemimpin aliran Ahli Sunnah dan pemuka ilmu Kalam (teologi) paling terkemuka pada masanya dari kalangan madzhab Hanafi.
Ia mengajarkan teologi dalam konteks ketika umat Islam pada masa Abbasiyah dihadapkan pada dua kecenderungan pemikiran ekstrim yang saling menyerang, yakni mereka yang memegang teguh nash (teks) sehingga menolak penggunaan akal dalam soal agama, yang menentang dominasi kelompok ekstrim yang lain, yakni kelompok Mu’tazilah (pengikut Washil bin ‘Atha) yang sangat mengunggulkan akal atau rasio hingga mengabaikan nash-nash keagamaan, al-Quran dan Hadits. Mereka adalah generasi Tabi’in dalam sejaran Islam.
Dalam konteks seperti itu, ajaran Maturidiyah berusaha meniti jalan keseimbangan, melihat bahwa dalil-dalil teologi Islam atau akidah dibangun dengan dua fondasi yang bersamaan, yaitu dengan akal atau logika (dalil-dalil aqli) yang beriringan dengan nash (dalil-dalil naqli). Keduanya tidak dipertentangkan, melainkan diseimbangkan.
Maturidiyah dalam berargumen mengandalkan pada metode berpikir, atau nadzar aqli, selain menggunakan ‘iyan (observasi inderawi) dan ‘akhbar (informasi). Bernalar dan berpikir diperlukan terutama untuk mencapai pemahaman tentang hal-hal yang samar atau hal-hal tak dapat dicerna oleh indera. Hasilnya adalah berupa pemikiran tentang ma’arifatullah atau pembuktian tentang Allah secara spekulatif-rasional.
Bersamaan dengan ajaran Imam Asy’ari di Baghdad (dikenal dengan aliran Asy’ariah), teologi Maturidiyah mendapatkan reputasi besar di kalangan umat Islam dan bernaung dalam aliran besar mainstream Islam, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah atau Islam Sunni.
Baca juga: Asal Usul Ilmu Kalam dalam Tradisi Pemikiran Islam
Gambar: Umat Muslim di Uzbekistan sedang menunaikan shalat Jamaah Hari Raya.
Menukil dari penjelasan Muhammad As-Sayyid al-Julainid, dalam Ensiklopedia Aliran dan Madzhab di Dunia Islam, menyebut beberapa prinsip keyakinan al-Maturidiyah, di antaranya:
- Terkait keberadaan Allah, Maturidiyah meyakini ke-huduts-an alam, artinya bahwa alam adalah sesuatu yang baru, yang diadakan, sehingga kebaharuan alam meniscayakan adanya Dzat Pencipta, yakni Allah SWT, yang menciptakan alam dari ketiadaan.
- Terkait keberadaan Allah juga, Maturidiyah meyakini keesaan Tuhan. Di samping karena disebutkan dalam ayat al-Quran, mereka juga berargumen bahwa jika Tuhan lebih dari satu, maka itu mengandung kontradiksi akal karena akan menciptakan perselisihan, sehingga alam ini tidak akan mungkin ada.
- Penciptaan Alam Semesta, dan penciptaan manusia, mengandung hikmah, dan bukan tidak ada tujuan atau sewenang-wenang. Namun demikian, akal memiliki keterbatasan tertentu untuk menyelami hikmah tersebut. Hikmah itu hanya diketahui oleh Allah.
- Maturidiyah meyakini kerasulan (dikirimnya para rasul ke muka bumi), dan kebutuhan manusia terhadap kerasulan, atau diutusnya para rasul ke muka bumi. Karena akal tidak mampu menangkap secara detail tentang hikmah keduniaan dan akhirat, oleh karena itu dibutuhkanlah para Nabi dan Rasul menjelaskan hakikat sesuatu. Seiring dengan kebenaran kerasulan itu, Maturidiyah juga meyakini adanya “syafaat” Nabi.
- Maturidiyah meyakini ketetapan Qadha dan Qadar Allah. Qadha adalah menentukan sesuatu sesuai haknya. Perbuatan manusia dapat dikatakan sebagai Qadha’ Allah, karena memang Dialah yang menciptakan dan menghendakinya. Adapun Qadar adalah sesuatu yang keluar dari ketiadaan menjadi ada sesuai kehendak-Nya. Beriman kepada Qadha dan Qadar Allah adalah bagian dari fondasi Iman.
Beberapa keyakinan tersebut disandarkan pada ayat-ayat al-Quran, hadist-hadist Nabi, dan penalaran akali sebagaimana menjadi manhaj dalam Maturidiyah.
Baca juga: Akal dan Wahyu dalam Pandangan Filsuf Muslim
Beberapa ulama terkenal sebagai “ahli kalam” dari aliran Maturidiyah yang kemudian menjelaskan secara lebih detail dan sistematis mengembangkan akidah Maturidiyah di antaranya Najmuddin Umar al-Nasafi (537/1142), yang menulis al-Aqaid al-Nasafiyah, salah satu rujukan pokok dalam akidah ini. Ada juga Abu al-Yusr al-Bazdawi (w. 493/1099), penulis kitab Ushul al-Din, dan Abu al-Mu’in al-Nasafi (508/1114), yang menulis beberapa kitab kalam Matudiriyah, antara lain: Tabshirah al-Adillah, al-Tamhid li Qawa’id al-Tawhid dan Bahr al-Kalam. Dan masih banyak lagi.
Salah satu tokoh teologi dan filsafat yang sangat menonjol belakangan juga adalah Sa’d al-Din Al-Taftazani, yang lahir pada 1322 di Taftazan, Khurasan, Iran. Meski dia sebetulnya pengikut Asy’ariah dan dalam fikih ia menganut faham Syafi’i, tetapi dalam bidang teologi Islam, ia menulis tentang teologi Matudiriyah dan mampu menjelaskan dengan baik, di antaranya: Syarh al-Aqaid al-Nasafiyah, Syarh al-Maqashid, Hasyiat al-Kasyaf, dan lain-lain. Syarah al-Aqaid al-Nasafiyah adalah penjelasan lebih lanjut terhadap risalah teologi al-Aqaid al-Nasafiyah.
Berkat penyebaran ulama-ulama Maturidiyah, dan pengaruh kekuatan kekuasaan politik, pemikiran teologi Maturidiyah menyebar di berbagai belahan dunia, dan kini banyak berkembang dan dianut di dunia bagian Timur, khususnya dan Transoksiana, Samarkand (Uzbekistan), di wilayah Asia Tengah, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Asia Selatan, Turki, negara Balkan (Bosnia, Albania, Kosovo) dan wilayah-wilayah yang bermadzhab Hanafi, hingga Tiongkok Barat Laut, meskipun ada juga beberapa ulama Arab yang mengembangkan al-Maturidiyah, mulai dari Mesir, Lebanon, Palestina, hingga Suriah. Wallahua’lam.
Baca juga: Tarekat Naqsyabandiyah dalam Tradisi Tasawuf