Tekanan Mental Remaja di Pesantren: Siapa yang Peduli?

Oleh: Rizca Anja Saputri

Tidarislam.co- Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. Sementara itu anak yang dididik di pesantren dapat dikatakan sebagai santri yang belajar untuk mendalami agama Islam serta pengetahuan umum.

Kesejahteraan mental santri menjadi perhatian penting dalam konteks pendidikan dan kesejahteraan individu. Santri, sebagai bagian integral dari lingkungan pesantren, sering kali menghadapi tekanan psikologis dan beban tugas yang unik dalam kehidupan mereka. Tekanan psikologis ini muncul dari berbagai faktor, termasuk tuntutan akademik, lingkungan sosial, dan ekspektasi dari lingkungan sekitar. Di sisi lain, beban tugas yang mereka hadapi dapat mencakup kewajiban agama, pembelajaran akademik, dan keterlibatan dalam kegiatan esktrakulikuler.

Di balik pagar yang tinggi dan rutinitas religius yang terlihat tertib, tidak sedikit santri yang sebenarnya sedang berkelahi dengan kegelisahan batin yang tak terlihat. Saat ini mereka tidak hanya bergelut pada akademik dan hafalan, tetapi juga kompleksitas sosial seperti bullying, tuntutan untuk tampil sempurna, dan ketidakstabilan hubungan keluarga.

Baca juga: Pesantren: Sebuah Kajian Awal dan Analisis Historis

Sayangnya, kesehatan mental masih menjadi isu yang sering diabaikan di banyak pesantren. Santri yang mengeluh dianggap lemah, yang menangis dianggap kurang iman, dan yang menyendiri dianggap tidak displin. Tidak semua pelajar atau santri memiliki latar belakang dan lingkungan yang mendukung, beberapa harus hidup dalam tekanan ekonomi, konflik orang tua, atau pengasuhan yang otoriter tanpa ruang dialog.

Selain itu, terkadang budaya kompetisi yang berlebihan di pesantren juga dapat menyumbang dan menambah tekanan bagi mereka. Sistem pendidikan yang terlalu memberatkan pada hasil nilai akademik dan ketaatan agama tanpa memberi ruang dialog dapat menyebabkan banyak santri menjadi kehilangan makna belajar itu sendiri. Mereka hanya takut gagal dan dihukum, bukan tumbuh dalam kecintaan terhadap ilmu dan agama. Hal ini dapat menimbulkan rasa cemas yang menumpuk, stres, bahkan bisa berujung pada depresi.

Penulis mencoba menelisik realitas tersebut, bagaimana tekanan mental menggerogoti santri dalam diam, dan mengapa begitu sedikit yang benar-benar peduli. Oleh karena itu, kini saatnya kita membuka mata, bahwa:

Pendidikan sejati tidak hanya mencetak santri yang cerdas, tetapi manusia yang utuh secara jiwa.

Populasi pelajar di Indonesia telah mencapai 44,5 juta jiwa rentan mengalami gangguan mental, hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor di antaranya tuntutan akademik, permasalahan sosial, dan pertemanan, hingga permasalahan keluarga atau pengasuhan orang tua. Menurut world health organization (WHO) Kesehatan mental adalah keadaan sejahtera mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik serta berkontribusi pada komunitasnya (WHO:202).

Permasalahan tekanan mental pada remaja, termasuk di lingkungan pesantren, sering kali tidak terlihat secara kasat mata. Banyak sekali dari mereka yang lebih memilih diam, memendam sendiri, bahkan bersikap semua baik-baik dan tidak terjadi apa-apa. Sebagian orang dewasa di sekitar mereka sering merespon dengan pernyataan seperti “anak zaman sekarang manja” atau “kurang iman”. Padahal, tekanan mental yang dialami remaja bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan.

Baca juga: Kesehatan Mental Bukan Tabu: Suara Mereka yang Terlupakan

Dari data Riskedes (Riset Kesehatan dasar) 2018 menunjukan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang. Sementara itu di Jakarta, HCC mencatat bahwa 34% pelajar SMA terindikasi memiliki masalah kesehatan mental, termasuk marah yang berlebihan dan agresivitas. Situasi ini menujukan dua hal masalah yang nyata dan signifikan, namun penanganan bagi mereka masih sangat minim.

Di dalam Islam, menjaga kesehatan jiwa (nafs) adalah bagian dari menjaga amanah Allah SWT. Nabi Muhammad SAW pun pernah mengalami tekanan batin, seperti saat menghadapi penolakan dakwah dan wafatnya orang-orang tercinta. Namun beliau tetap tegar dan tidak menunjukan kesedihannya kepada kerabatnya. Hal ini menunjukan bahwa merasa sedih, lelah, dan cemas itu adalah fitrah manusia. Yang dibutuhkan bukan celaan tetapi pemahaman dan pendampingan.

Ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Abu Zayd Al-Balkhi bahkan telah membahas konsep kesehatan mental jauh sebelum psikologi modern berkembang. Mereka menekankan pentingnya untuk menjaga keseimbangan antara hati, akal, dan ruh. Dalam buku Masalih al-Abdan wa al-Anfus, Al-Balkhi juga membahas cara mengatasi stres, kecemasan, dan gangguan pikiran dengan pendekatan spiritual dan logika rasional.

Perubahan tidak akan terjadi tanpa adanya kesadaran reflektif dari seluruh elemen pesantren, pimpinan, guru, musyrif, hingga wali santri. Kesadaran bahwa:

Santri bukan objek pendidikan yang harus patuh dan disiplin, melainkan subjek yang memiliki jiwa, emosi, dan kompleksitas kehidupan seperti manusia lainya.

Peran para pengasuh merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk atmosfer lingkungan yang ramah psikologis, dimana santri akan lebih merasa diterima, didengar, dan tidak takut untuk mengungkapkan perasaannya.

Kini saatnya pesantren membuka diri untuk menjalin kolaborasi dengan psikolog, konselor, atau lembaga professional dalam bidang kesehatan jiwa. Bimbingan rohani juga penting, namun tidak semua persoalan dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan spiritual tanpa dukungan psikologis yang memadai. Seperti Rasullullah SAW yang mencontohkan empati, kelembutan, dan kepedulian yang luar biasa pada umatnya, termasuk pada mereka yang tengah terluka secara emosional.

Menjadikan pesantren sebagai tempat tumbuh yang sehat jiwa raga akan membentuk generasi santri yang tidak hanya pintar membaca kitab, tetapi juga mampu memahami dirinya sendiri dan orang lain. Santri yang seperti ini akan menjadi agen perubahan yang membawa rahmat bagi lingkungannya. Bukankah tugas utama pendidikan adalah mencetak manusia yang paripurna, berakhlak, dan jiwa sehat?

Baca juga: Sehat itu Amanah: Menjaga Fisik dan Mental dalam Bingkai Iman dan Ilmu

Menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu dan agama tidak bisa dicapai dengan cara menakut-nakuti atau menekan. Santri harus diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, berekspresi, dan merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri. Rasa aman ini lah yang menjadi fondasi utama bagi kesehatan mental yang kokoh.

Mari bersama-sama mewujudkan pesantren sebagai “rumah kedua” yang “aman dan nyaman”, tempat santri tidak hanya diasah otaknya dengan ilmu dan hafalannya, tetapi juga dibimbing hatinya untuk menjadi pribadi yang damai, tangguh, dan sehat secara mental.

Dengan begitu, kita dapat melahirkan generasi santri yang tidak hanya “alim dalam ilmu agama”, tetapi juga memiliki jiwa yang seimbang dan mampu menghadapi derasnya arus kehidupan modern dengan iman dan ketenangan.

Lalu, siapa yang peduli? Kita semua harus peduli, pemimpinan pesantren, guru, musyrif, wali santri hingga teman sebaya. Karena kesehatan mental santri adalah investasi masa depan umat dan bangsa. Selain itu, pendidikan sejati bukan hanya tentang bagaimana pencapaian akademik atau prestasi ibadah, tetapi juga keberdayaan jiwa.

Saat pesantren mampu merawat bukan hanya ilmu, tetapi juga mental pada santrinya, maka disitulah makna “Rahmatan lil’alamin” itu menemukan bentuk nyatanya. Karena pendidikan yang berkeadapan selalu dimulai dari empati.

* Penulis merupakan mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta angkatan 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *