Tawazun: Kunci Pergaulan dan Membangun Harmoni dalam Keberagaman

Oleh: Halimah

Tidarislam.co- Indonesia merupakan negara yang dianugerahi oleh Allah dengan keberagaman suku, ras, budaya, dan agama. Dalam konteks ini, interaksi antar golongan adalah keniscayaan. Namun, dalam dinamika pergaulan sosial tersebut, seringkali muncul tantangan seperti diskriminasi, fanatisme, bahkan konflik horizontal. Untuk itu, konsep tawazun atau keseimbangan dalam Islam menjadi prinsip yang sangat relevan dalam menjaga harmoni dalam keberagaman tersebut. Tawazun disini bukan hanya berarti keseimbangan secara lahiriah, tetapi juga mencakup keseimbangan dalam sikap, emosi, akhlak, serta cara pandang terhadap orang lain yang berbeda dari kita.

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam menekankan pentingnya sikap moderat dan seimbang dalam kehidupan. Dalam surat Al-Baqarah: 143 disebutkan: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (pertengahan atau seimbang) …” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Ayat ini mengandung konsep dasar dari moderasi dan keseimbangan dalam Islam, yang dikenal dengan istilah wasathiyah. Keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam bergaul antar golongan, merupakan bagian dari implementasi nilai wasathiyah tersebut.

Tak hanya itu, prinsip tawazun juga ditekankan oleh al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat: 13: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…” (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat ini menyiratkan pesan bahwa:

Keragaman golongan bukanlah ancaman, tetapi peluang untuk membangun saling pengertian, toleransi, dan kerjasama lintas batas. Untuk membangun harmoni dalam keragaman golongan itu, diperlukan sikap-sikap yang menghargai keseimbangan dan toleransi antar golongan.  

Sirah Nabawiyah menjelaskan bahwa Rasulullah telah memberi teladan luar biasa tentang pergaulan lintas golongan dan bagaimana membangun harmoni dalam keragaman suku dan golongan. Rasulullah SAW dalam kehidupan bermasyarakat beliau di Madinah memprakarsai Piagam Madinah, sebuah perjanjian sosial yang sangat inklusif. Piagam ini menghargai keberadaan komunitas Yahudi dan suku-suku non-Muslim sebagai bagian dari entitas sosial yang setara dalam hak dan kewajiban. Ini adalah contoh paling konkret dari penerapan tawazun dalam tatanan sosial-politik. Rasul juga menunjukkan contoh bagaimana menerapkan QS. Al-Baqarah: 256, “Tidak ada paksaan dalam agama”, sebagai bentuk penghormatan terhadap hak individu memilih keyakinan.

Baca juga: Nilai Tawazun dan Implementasinya dalam Pendidikan

Pergaulan lintas golongan merupakan tantangan sosial yang memerlukan pengelolaan hati dan sikap. Dalam artikelnya “Keberagaman dan Toleransi Antar Umat Beragama” (2020) Fitriani menjelaskan bahwa keberagaman merupakan anugerah, bukan hambatan. Dalam tulisan tersebut, ditekankan pentingnya pendekatan sosial berbasis empati, edukasi lintas iman, serta penguatan nilai keadaban publik. Ini menunjukkan bahwa sikap tawazun dalam pergaulan harus diwujudkan secara konkret dalam interaksi sehari-hari, bukan sekadar konsep teoretis.

Islam juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi atau tasamuh. Hal ini dapat dilihat dari ayat Al-Qur’an yang sangat terkenal: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini tidak hanya menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi agama lain, tapi juga mengajarkan pentingnya menjaga batas tanpa mencampuradukkan keyakinan. Dalam kehidupan sosial, ayat ini menjadi pijakan penting untuk memahami bahwa hubungan antar golongan harus tetap dilandasi dengan rasa saling menghormati dan menjaga integritas masing-masing.

Yasir dalam tulisannya “Makna Toleransi dalam Al-Qur’an” (2014) menjelaskan bahwa toleransi dalam Islam tidak berarti mengorbankan prinsip-prinsip akidah, tetapi justru menjunjung tinggi hak setiap individu untuk berbeda. Toleransi atau tasamuh adalah bentuk dari tawazun spiritual yaitu menempatkan keyakinan pribadi dan keberadaan pihak lain dalam posisi yang adil dan proporsional. Artinya, kita tidak harus menyeragamkan pemahaman, tetapi cukup menjaga batas dan saling menghormati.

Lebih lanjut, sebagai negara dengan sejarah panjang kebhinekaan, Indonesia memerlukan penerapan nilai tawazun dalam berbagai aspek, terutama pendidikan. Mengutip Supriyanto dan Wahyudi (2017) dalam “Skala Karakter Toleransi”, menyebutkan bahwa pembentukan karakter toleran pada remaja sangat bergantung pada pola asuh, lingkungan sosial, dan pendidikan nilai. Karakter toleran mencakup tiga aspek utama, yaitu: penghargaan terhadap perbedaan, sikap damai, dan kesadaran individu atas perannya dalam masyarakat plural. Ketiga aspek tersebut mencerminkan nilai tawazun yang perlu dipupuk sejak usia dini.

Baca juga: Merawat Kebhinekaan Melalui Moderasi, Komunikasi, dan Edukasi Budaya Toleransi

Nilai-nilai tawazun juga perlu diterapkan dalam pergaulan remaja sehari-hari. Hernides dalam tulisannya “Pergaulan Remaja dalam Perspektif Pendidikan Islam” (2019) menyebutkan bahwa remaja dalam perspektif pendidikan Islam dituntut untuk membangun pergaulan yang dilandasi oleh akhlak mulia dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis, sehingga setiap interaksi sosial menjadi media pembentukan karakter islami yang seimbang antara hak individu dan kepentingan bersama.

Tantangan kita saat ini adalah menginternalisasi nilai-nilai tawazun di tengah derasnya arus digital dan fragmentasi sosial. Polarisasi politik, hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme kerap menjauhkan masyarakat dari nilai keseimbangan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, internalisasi nilai tawazun harus dilakukan secara sistematis melalui pendidikan, dakwah, komunitas pemuda, serta literasi digital yang cerdas. Tawazun dalam pergaulan antar golongan bukanlah sekadar jargon indah yang menghiasi wacana akademik atau ceramah keagamaan. Ia adalah kebutuhan nyata dalam membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan berkeadaban.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah memberikan pedoman yang jelas untuk itu: menjaga keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam cara kita memperlakukan orang lain. Dalam perbedaan, kita menemukan warna. Dalam tawazun, kita menemukan arah. Dan dalam Islam, kita menemukan kedamaian untuk semua.

Referensi

  • Fitriani, S. (2020). Analisis: Jurnal Studi Keislaman Keberagaman dan Toleransi Antar Umat Beragama. Jurnal Studi Keislaman, 20(2), 179–192. https://doi.org/10.24042/ajsk
  • Hernides. (2019). Pergaulan Remaja Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Lentera Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, 1(1), 27–44.
  • Supriyanto, A., & Wahyudi, A. (2017). Skala karakter toleransi: konsep dan operasional aspek kedamaian, menghargai perbedaan dan kesadaran individu. Counsellia: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 7(2), 61. https://doi.org/10.25273/counsellia.v7i2.1710
  • Yasir, M. (2014). Makna Toleransi Dalam Al-Qur ’ an. XXII(2).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *