Search

Tafsir Transformatif: Upaya Mufassir Kontemporer Menjawab Kebutuhan Umat

Gambar: Pakar tafsir Prof. Dr. Qurasih Shihab dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti sebagai narasumber dalam Konferensi Mufassir Muhammadiyah.

Tidarislam.co – Ada banyak jenis penafsiran al-Quran yang dikembangkan oleh para ahli tafsir al-Quran dalam upaya memahami makna dan pesan al-Quran. Ada yang dikenal sebagai tafsir bil ma’tsur, yaitu menemukan makna ayat al-Quran dengan model periwayatan sebagaimana dipahami dan disampaikan oleh Nabi Muhammad hingga masa pengikut Nabi Muhammad (tabi’in). Ada juga yang dikenal sebagai tafsir bil ilmi, yakni menggali makna al-Quran dengan menggunakan demonstrasi teori dan penemuan ilmu pengetahuan. Ada juga tafsir maudui, yakni tafsir tematik al-Quran, yaitu menggali makna al-Quran dengan berdasarkan kategorisasi tema-tema tertentu.

Namun salah satu corak baru dalam penafsiran al-Quran kontemporer adalah apa yang disebut “tafsir transformatif”, atau dapat disebut juga “tafsir maqashidi-transformatif”. Model tafsir ini belakangan banyak disebut-sebut, sebagai model tafsir yang diharapkan sebagai tafsir aktual dan pas untuk menemukan “solusi al-Qur’an” untuk menjawab ragam kebutuhan umat manusia hari ini. Model tafsir ini dilandasi semangat bagaimana al-Quran hadir di tengah problematika umat manusia, sehingga bukan saja menjadi hidayah secara personal bagi yang membacanya, tetapi diharapkan makna dan pesan universal utama al-Quran dapat memberikan solusi nyata bagi kompleksitas persoalan yang dihadapi umat manusia hari ini. Jauh dari terkesan makna yang abstrak dan tekstual, tafsir transformatif ingin menghadirkan makna al-Quran yang realistis dan kontekstual, bahkan dalam bentuk aksi-aksi sosial. Dengan begitu, slogan “Islam sesuai dengan segala zaman dan tempat” dapat diwujudkan dengan melakukan transformasi sosial berbasis spirit al-Quran.  

Baca juga: https://tidarislam.co/mengenal-ilmu-tafsir-al-quran/

Upaya penafsiran secara transformatif tidak hanya menfasirkan al-Quran untuk menggali makna historis dan kebahasaan al-Quran, atau memahani makna dasar yang terkandung dalam al-Quran, tetapi juga mengelaborasi dan mengembangkan makna tersebut, sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah dengan turunnya al-Quran tersebut (baca: maqashid al-Quran), dan menghadirkan signifikansi pesan utama al-Quran dalam bentuk solusi dan aksi yang nyata. Dengan cara tersebut, kehadiran al-Quran dengan pesan-pesan universalnya menjadi lebih dapat dirasakan secara aktual. Bagaimana, misalnya, kita bisa bertanya lebih dalam kepada al-Quran untuk mengatasi persoalan krisis lingkungan hidup, krisis perdamaian dunia, pengentasan kemiskinan, dan menemukan jawaban yang dapat diwujudkan dalam bentuk yang nyata.

Secara teoritis, model tafsir ini sebenarnya sudah dikembangkan oleh banyak tokoh dunia, antara lain oleh Hasan Hanafi, pemikir Islam kontemporer dari Kairo. Namun tidak perlu jauh-jauh, corak penafsiran transformatif sebetulnya juga dapat dijumpai pada beberapa ulama Indonesia. Contoh bentuk menafsirkan al-Quran secara transformatif adalah yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan mengelaborasi makna dan pesan surat al-Maun, dan mewujudkannya menjadi aksi-aksi nyata dalam bentuk pelayanan kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Teologi al-Maun jauh dari terkesan abstrak, melainkan diterjemahkan secara kongkrit sebagai inspirasi untuk melakukan aksi-aksi sosial, bahkan menjadi gerakan sosial yang nyata mengentaskan umat dari problem kebodohan dan penderitaan. Gerakan filantropi keagamaan (religious philanthropy) juga menjadi harapan baru bagi pengentasan masyarakat dari persoalan jeratan kemiskinan yang mendera umat Islam secara struktural.

Banyak ayat-ayat al-Quran yang mengajarkan tentang teologi amal shalih, misalnya Q.S. Al-An’am 160, dapat dielaborasi dan diterjemahkan secara kongkrit untuk menginspirasi bentuk-bentuk aksi filantropi sehingga mendorong organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, untuk secara bersama-sama (berjamaah) mendistribusikan dana-dana keagamaan dan dana sosial lainnya untuk program-program pengentasan kemiskinan, membantu umat dari jeratan hutang, pinjaman online, rentenir, dan seterusnya.

Baca juga: https://tidarislam.co/filantropi-muhammadiyah/

Selain menghubungkan al-Quran dengan filantropi sebagai gerakan global, barangkali salah satu kebutuhan kita yang paling urgen hari ini adalah apa yang dapat kita petik dari al-Quran untuk menjawab persoalan krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia hari ini. Sudah menjadi jamak diketahui bahwa umat manusia di seluruh dunia sekarang sedang menghadapi persoalan krisis lingkungan hidup, yang mengakibatkan perubahan iklim dan bencana alam yang menimbulkan banyak korban rusaknya keanekaragaman hayati, hilangnya harta dan nyawa manusia.

Secara normatif, al-Quran telah berbicara tentang keharusan menjaga lingkungan (misalnya: Q.S. Al-A’raf: 56, Q.S. Al-Baqarah: 30 & 205, Q.S. Al-Maidah: 32, Q.S. Shad: 27, Q.S. Ar-Rum: 41, dan banyak lagi ayat-ayat yang berisi pesan maknawi agar manusia menjaga dan memuliakan lingkungan). Lalu, makna seperti apa yang mungkin dipetik sehingga al-Quran berbicara lebih tegas terhadap manusia tentang lingkungan? Barangkali salah satu bentuk upaya transformasi makna Qurani itu kita temukan, misalnya, dalam penafsiran al-Quran terhadap ayat-ayat ekologi yang mempengaruhi pengembangan visi gerakan “Green Islam”. 

Visi Green Islam, yang berbasis pada al-Quran, mendorong manusia membudayakan perilaku “hijau” dengan bersama-sama membangun kesadaran lingkungan, memperbaiki kerusakan lingkungan, memuliakan dan memelihara lingkungan, hidup sederhana dan menolak konsumerisme karena menyebabkan limbah produk industri yang selama ini menjadi biang kerusakan lingkungan, memuliakan terhadap hewan atau binatang sehingga dapat mempertahankan keseimbangan ekosistem hayati, hingga menangkal praktik pengerukan sumber daya alam secara eksploitatif dan kapitalistik.

Baca juga: https://tidarislam.co/visi-dan-ragam-gerakan-green-islam-di-indonesia/

Tidak hanya dalam persoalan ekologi, pendekatan transformatif terhadap al-Quran juga diperlukan dalam menghadapi persoalan sosial kebudayaan, seperti bagaimana al-Quran berbicara tentang visi Hak Asasi Manusia dan Perdamaian Sosial, karena umat manusia hari ini sedang menghadapi berbagai konflik sosial dan geopolitik yang mengancam perdamaian kehidupan umat manusia. Beberapa sarjana Indonesia sebetulnya telah berbicara tentang visi mendasar al-Quran tentang toleransi (tasamuh), ketika toleransi dianggap, oleh sebagian orang, sebagai nilai sekuler yang bukan bagian otentik dari Islam. Sejatinya visi toleransi diperlukan sebagai basis untuk gerakan-gerakan lintas agama dan lintas budaya untuk menangkal otoritarianisme dan mewujudkan perdamaian universal.

Ke depan, ada harapan yang besar bahwa pendekatan kontekstual terhadap al-Quran dengan penafsiran bercorak transformatif akan mewarnai produk-produk tafsir al-Quran terbaru, sehingga al-Quran benar-benar, dalam istilah Prof. Abdul Mu’ti, tidak sekedar dihadirkan dan dirasakan sebagai pedoman hidup atau Guidance of Living, tetapi lebih dari itu, sebagai Living Guidance, artinya pedoman yang maksud-maksud dan pesan-pesannya yang universal akan selalu relevan bagi kehidupan kita. Pesan al-Quran, dengan demikian, tidak hanya dirasakan oleh umat Muslim saja, tetapi juga umat manusia secara keseluruhan. Dalam konteks ini pula upaya Konferensi Mufassir Muhammadiyah yang diprakarsai Majelis Tarjih dan Tajdid yang sedang digelar beberapa hari ini (13-15 Desember 2024) untuk mengembangkan produk baru Tafsir Tanwir Muhammadiyah yang berkemajuan perlu diapresiasi. Wallahua’lam.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, merupakan peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN.

2 thoughts on “Tafsir Transformatif: Upaya Mufassir Kontemporer Menjawab Kebutuhan Umat”

  1. Pingback: Negara dalam Perspektif Cendekiawan Muslim – Tidar Islam

  2. Pingback: Mendiskusikan Al-Qur’an sebagai Kalam Allah – Tidar Islam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top