Tidarislam.co- Sebagaimana ditulis dalam edisi Seputar Haji sebelumnya, Ali Shariati, penulis The Pilgrimage (Makna Haji), mengingatkan bahwa prosesi Haji sarat akan adegan dramaturgi kenabian. Orang yang berhaji diingatkan tentang kisah-kisah kenabian yang sarat makna kehidupan. Salah satu adegan dalam prosesi haji yang sangat sangat mendasar adalah ketika jamaah berada di Mina. Saat-saat itulah jamaah haji terbawa dalam dramaturgi untuk memerankan sebagai Ibrahim yang mengandung kisah tentang cinta, keteguhan iman, dan pengorbanan.
Reputasi Ibrahim
Ibrahim dikenal dengan reputasinya sebagai nabi yang memiliki ketulusan menyembah kepada Tuhan, pemegang Tauhid yang kuat, penghancur berhala-berhala simbol politeisme yang diyakini sebagai Tuhan pada era kepemimpinan seorang Raja bernama Namrud di Babilonia. Ibrahim dikenal sebagai nabi yang memerangi kemusyrikan, penegak monotheisme Tauhid, dan prestasi kenabian yang gemilang.
Ia tidak hanya sebagai orang besar yang dihormati dalam agama Islam, tetapi juga agama-agama samawi yang lain sebagai bapak semua bangsa. Ibrahim merupakan tokoh besar yang memperoleh kemenangan dalam sebuah cobaan terhadap dirinya, memiliki sifat jujur, tulus, benar, dan berjihad untuk membela kebenaran mutlak monotheisme. Ibrahim juga mendapat reputasi sebagai “khalilullah” atau kesayangan Allah.
Namun Ibrahim, yang namanya juga berarti seorang “ayah yang penyayang” (Ab dan Rahim), mendapatkan cobaan justru dengan putranya yang ia cintai. Cobaan itu justru hadir ketika Ibrahim sedang menikmati kehadiran putranya dalam keluarganya. Manakah yang ia menangkan, apakah kecintaan kepada putranya, ataukah kecintaan kepada Tuhan?
Ujian Keimanan bagi Ibrahim
Seorang Ibrahim yang memiliki reputasi yang sedemikian besar, pun mendapatkan ujian keimanan. Dalam mimpinya, ia mendapatkan pesan ilahi: “Wahai Ibrahim, Korbankan Putramu Ismail!”. Tidak mudah bagi Ibrahim untuk memahami pesan ini, karena disampaikan dalam bentuk mimpi malam. Untuk itu, ia harus menghadapi pergulatan batin yang dalam.
Namun, Ibrahim yang kuat dan tulus itu dalam mengalami pergulatan batin harus menghadapi setan yang memperdaya keyakinannya, sebagaimana pernah dialami Adam yang terpedaya oleh setan sehingga melanggar perintah Tuhan. Setan tidak hanya berusaha memperdaya Ibrahim, tetapi juga memperdaya istrinya Hajar, dan putranya Ismail, untuk meyakinkan Ibrahim bahwa perintah Tuhan itu tidak benar.
Perintah Ilahi itu adalah tentang pengorbanan yang harus dilaksanakan oleh Ibrahim. Seolah pesan itu menyiratkan: “Korbankanlah Ismailmu. Jangan sampai anak menjadi berhala baru bagimu”. Sekian lama Ibrahim yang sudah tua menunggu kehadiran seorang anak, dan ketika sudah ada di hadapannya, harus dikorbankan?
Maka pesan tersebut bisa bermakna demikian: “Berkorbanlah karena kecintaanmu pada Ismail”. Namun, ada penafsiran lain, yaitu:
“Jangan sampai kecintaanmu pada Ismail memalingkan kecintaanmu pada Allah”
Ini menyiratkan pesan bahwa kecintaan kepada anak bukan yang utama. Demi kebenaran, engkau harus mengorbankan apa yang membebani pikiranmu dan menghalangi komunikasimu dengan Allah. Kecintaan kepada Ismail ternyata telah menghalangi Ibrahim akan tanggungjawabnya kepada Allah. Inilah yang menjadi inti persoalan.
Dalam al-Quran pesan tersebut seolah diingatkan kembali kepada Nabi Muhammad dalam sebuah ayat: “Ketahuilah bahwa harta kekayaan dan anak-anak adalah ujian..” (Al-Quran: 8:8), untuk menegaskan bahwa kehadiran anak dalam keluarga adalah ujian bagi seseorang, agar jangan sampai melenakan dari kewajiban dan tanggungjawab kepada Tuhan.
Rasionalisasi dan kebijaksanaan menyatakan bahwa membunuh manusia adalah dosa! Dan perintah sekejam itu mustahil berasal dari Allah yang maha Bijaksana. Oleh karena itulah pesan Ibrahim ini lebih bermakna metaforis, yang berarti pesan kepada Ibrahim untuk memberikan prioritas cinta dan iman kepada Allah daripada keluarganya.
Pesan metaforis itu menyiratkan: “Allah memerintahkan agar engkau (Ibrahim) konsisten pada perjuanganmu, bernai mengorbankan hidupmu, mengorbankan hal-hal yang engkau cintai, dan meneruskan perjalananmu menuju Allah, agar engkau semata-mata memprioritaskan cinta kepada Allah. Godaan setan akan selalu datang menggoda agar engkau berhenti mengikuti perintah tersebut.”
Mina
Adegan pergulatan Ibrahim dalam memahami perintah Tuhan yang mendapatkan perlawanan yang kuat dari setan itu diilustrasikan dalam Jamarat, atau melempar setan. Karena godaan setan, Ibrahim menjadi ragu terhadap perintah-perintah Allah dalam mimpinya. Setan terus memperdaya Ibrahim.
Mina kemudian menjadi saksi dialog Ibrahim, Sarah, dan Ismail. Ibrahim berdiri di Mina dan menghalami pergulatan batin di antara dua pilihan: menghorbankan putranya demi Allah, atau lalai dari Allah karena kecintaan pada putranya yang sudah sekian puluh tahun dinanti-nantikannya?
Kisah Ibrahim dan Ismail ini adalah kisah mengenai kesempurnaan manusia dan kebebasannya dari sikap mementingkan diri sendiri dan nafsu-nafsu kebinatangannya. Kisah manusia yang memiliki cinta dan ruh yang luhur, sehingga harus menghilangkan semua yang menghalangi kewajibannya kepada Allah dan lari dari tanggunjawab kita sebagai hamba Allah.
Jumrah atau Jamarat, yang bahkan sampai berjumlah tiga kali, sebagai simbol pergulatan manusia melawan godaan-godaan setan yang selalu memalingkan perhatian manusia kepada Tuhan. Godaan setan itupun tidak hanya dialami oleh Ibrahim sendiri, tetapi keluarga terdekatnyanya, Hajar, dan bahkan Ismail sendiri. Perlawanan ketigannya terhadap godaan setan dengan cara melempar batu diabadikan dalam prosesi tiga macam jumrah: Jumrah Ula, Jumrah Wusta, dan Jumrah Aqabah.
Idul Adha dan Pesan Pengorbanan Ibrahim
Momentum “hari pengorbanan” atau Idul Adha, yang dialami pada masa-masa Ibadah Haji dengan demikian menjadi hari pengingat akan momentum ketika Ibrahim sampai tiba pada titik keikhlasan penyerahan sepenuhnya Ibrahim atas perintah Allah. Maka perintah Allah pun kemudian: “Korbankanlah domba untuk orang-orang yang lapar!”. Ini mengandung pesan sosial bagi umat Islam untuk juga memperhatikan nasib orang lain di sekitarnya.
Pengorbanan sendiri adalah sebuah istilah untuk menggambarkan usaha manusia untuk mendekatkan diri dan meraih kedekatan sedekat-dekatnya dengan Tuhan. Sebab, istilah “qurban” merupakan istilah bahasa Arab qaruba atau qurbanan yang artinya “dekat” atau “pendekatan”. Pengorbanan bisa dalam bentuk apa saja, baik dengan memberdayakan jiwa, raga, maupun pikiran. Pengorbanan tentu menuntut suatu keikhlasan.
Dalam konteks kehidupan kita ini hari ini, pesan pengorbanan Ibrahim boleh jadi tidak hanya terkait putra kita sebagaimana kedudukan Ismail bagi Ibrahim, tetapi juga mungkin istri, harta, pekerjaan, keahlian, kepuasan nafsu seksual, kekuasaan, pangkat, jabatan, reputasi yang kita cintai secara berlebihan sehingga memalingkan cinta dan keimanan kepada Tuhan. Artinya, Ismail dalam pengertian nonpersonal bisa berarti hal-hal yang kita cintai secara berlebihan yang dapat melenakan dan memalingkan perhatian kita dari penghambaan hanya kepada Allah.
Dengan demikian, pesan utamanya dalam kisah ini bukan saja keikhlasan seorang Ismail yang patuh terhadap orang tuanya, tetapi juga keikhlasan yang sempurna dari seorang Ibrahim, keteguhan hatinya untuk memprioritaskan cinta dan keimanan kepada Allah daripada apapun yang dicintainya selain Allah, dan kerelaan mendermakan apa yang dimiliki demi kecintaan kepada Allah. Hal itu pula yang dituntut kepada kita ketika kita menjadi seorang Ibrahim yang hidup pada hari ini. Wallahua’lam.
Tidarislam.co
Baca juga: Seputar Haji (8): Pesan Esoteris dari Arafah