Tidarislam.co- Suatu ketika Rasulullah pernah ditanya seseorang dari suku Nejd, “Wahai Rasulullah, apakah itu Haji?” Kemudian, dalam sebuah hadist populer yang diriwayatkan oleh Ahmad, Baihaqi, dan Hakim, disebutkan bahwa Rasulullah menjawab: “Haji adalah wukuf di Arafah…”. Itu menunjukkan bahwa inti dan pesan utama dari ibadah Haji terletak justru ketika prosesi selama di Arafah.
Meski prosesi Haji tampak lebih meriah di Masjidil Haram dengan segala kemewahannya, tetapi pesan tersebut menegaskan bahwa wukuf di Arafah amat sangat mendasar sehingga tidak boleh ditinggalkan dan justru didahulukan dalam prosesi Haji. Tidak ada kegemerlapan di sana, tetapi justru menyimpan suatu rahasia. Di Arafah, selama satu hari, prosesi Haji akan memberikan pesan yang sangat bermakna.
Arafah sendiri merupakan tempat yang berjarak sekitar 30 KM dari Masjidil Haram. Ia lebih tampak sebagai sebagai tempat yang gersang, pegunungan tandus, yang ditutupi dengan pasir halus. Di sana terdapat pegunungan batu bernama Jabal Rahmah. Di situlah Nabi Muhammad pernah menyampaikan pidato perpisahan (Khutbatul Wada’) selama perjalanan terakhirnya ke Makkah. Tapi di situlah diyakini sebagai tempat dimana terjadi peristiwa paling bermakna dalam sejarah manusia, yakni awal kisah hidup Adam.
Baca juga: Seputar Haji (1): Perjalanan Spiritual Menuju Baitullah
Ali Syariati, dalam bukunya the Pilgrimage (Makna Haji), menekankan salah satu pesan utama dari wukuf Arafah adalah mengambil ibrah dari kisah Adam tentang transformasi kesadaran manusia. Ia menjelaskan bahwa esensi Haji terletak pada “gerakan” dan perjalanan yang dilakukannya dari tahap ke tahap, yang menyiratkan makna transformatif bagi seorang individu. Setiap fase perjalanan menyimpan hikmah dan rahasia. Salah satunya tahap paling penting dalam Haji, yakni fase selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, yang menyimbolkan gerakan transendental menuju suatu level cinta dan kebijaksanaan.
Menurutnya, prosesi selama di Arafah itu menyimpan tiga fase dalam transformasi manusia dari tahap pengetahuan menuju tahap kebijaksanaan. Pertama Arafah, sebagai fase pengetahuan manusia. Disitulah Adam pertama kali diturunkan dan dibekali pengetahuan. Kedua, Muzdalifah atau diasosiasikan Masy’ar (Masy’arul Haram) sebagai simbol dari fase kesadaran manusia. Kemudian yang terakhir Mina sebagai simbol kebijaksanaan, cinta, dan keimanan. Seorang Jamaah Haji bergerak mengemban misi kesadaran dari Arafah, menuju Muzdalifah, kemudian menuju Mina.
Baca juga: Seputar Haji (7): Antrean Jemaah Haji
Selama pergerakan itu, dramaturgi yang dimainkan sesungguhnya adalah tentang kisah ‘Adam di Surga’ ke ‘Adam di bumi’, pengakuan dosa dan kelemahan, serta pertaubatan untuk kemudian kembali kepada Tuhan.
Arafah
Perjalanan dari Makkah (Ka’bah) sebagai pusat eksistensi (Allah) menuju Arafah menyiratkan pesan eksistensial ketika Nabi Adam yang terlempar dari surga menuju ke bumi. Di Arafah lah Nabi Adam pertama kali hadir. Di sana ia perjumpakan dengan sosok Hawa. Terjadilah pengenalan satu sama lain, dan tumbuhnya pengetahuan dalam diri Adam, terhadap diri dan sekitarnya, termasuk pengenalan kepada pasangannya. “Pengetahuan adami” itu tumbuh dan termanivestasi sedemikian rupa.
Maka, sebaimana pandangan banyak ulama, tempat itu disebut Arafah karena tempat itu identik dengan peristiwa pengetahuan. Proses penciptaan manusia, beriringan dengan penciptaan dan tumbuhnya pengetahuan dalam dirinya. Selama proses manusiawi bersama yang lain, Hawa, pengetahuan pun berevolusi. Evolusi pengetahuan manusia mengarah kepada level yang lebih tinggi yang disebut kesadaran.
Pergeseran dan evolusi kesadaran manusia dari pengetahuan normal kepada pengetahuan ber-kesadaran itu menjadi mungkin terjadi karena selama wukuf di Arafah, manusia akan mengalami berbagai pengalaman yang menunjukkan batas-batas yang selama ini tidak pernah disadarinya.
Seperti, ketika manusia dibuat tampak bodoh di hadapan Tuhan, manusia menyadari kehilafannya, manusia menyadari kelemahannya di bawah terik matahari, manusia duduk setara di seluruh dunia, dengan pakaian ihram berwana putih menunjukkan satu identitas sebagai hamba yang tak lagi memiliki identitas selain hamba, dan di situ ditampakkan hakikat realitas sosial dimana aristokrasi manusia menjadi tidak relevan lagi. Yang terpenting juga, kesadaran eskatologis bahwa suatu saat nanti setiap manusia akan menghadapi pengadilan ilahi ketika semua manusia dikumpulkan di Mahsyar, dan setiap manusia akan dituntut pertanggungjawaban.
Jika diterjemahkan dalam konteks hari ini, pengalaman ini menyiratkan makna ilmu pengetahuan atau sains dalam konteks kehidupan manusia. Jika manusia hanya mengandalkan ilmu pengetahuan semata, dapat terjebak dalam pemberhalaan ilmu objektif, materialistis, dan positivistik, maka ia sejatinya sendang mengalami diorientasi ilmu pengetahuan. Ia tidak lagi memiliki orientasi kepada peradaban yang spiritual. Ilmu pengetahuan justru akan menjauhkan manusia dari kesadaran tentang Tuhan. Oleh karena itulah, ketika wukuf di Arafah, seseorang digiring untuk bergerak ke fase selanjutnya dalam tahap evolusi pengetahuan, yakni fase memasuki kesadaran.
Muzdalifah
Muzdalifah menyimpan pesan tentang Mas’yar artinya kesadaran. Masy’ar sendiri adalah nama masjid yang terletak di Muzdalifah, tempat bersejarah Nabi Muhammad. Disinilah terletak ‘negeri kesadaran’. Suasana malam di Muzdalifah menunjukkan suasana permenungan ketika mereka berhenti di “negeri kesadaran”. Barangkali yang dimaksud disini adalah kesadaran tentang hakikat realitas. Pengetahuan manusia, tentang dirinya dan tentang masa depannya, semakin sempurna manakala manusia memperoleh kesadaran dan pemahaman hakiki itu. Ini perlambang kemampuan pengetahuan manusia yang lebih tercerahkan.
Sains dan ilmu pengetahuan, ketika dilambari dengan kesadaran akan keberadaannya, akan melahirkan pengetahuan yang reflektif. Bahkan dalam Islam, manusia yang sadar itu akan memahai bahwa pengetahuan itu hakikatnya dari Allah, karena manusia berasal dari material bumi yang kotor, kemudian dimuliakan oleh Allah, dijadikanlah manusia itu mendengar, melihat, dan dibekali kemampuan eksplorasi pengetahuan sebagai bekal untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Mina
Puncak dari evolusi pengetahuan itu adalah manakala manusia menemukan, dengan pengetahuannya itu, kemantaban iman dan cinta. Setelah dari Arafah, ke Masy’ar, kemudian manusia naik ke puncak kualitas dan kesempurnaannya, dengan perjalanan menuju Mina, untuk kemudian kembali ke Makkah. Ini adalah simbol kesadaran untuk kembali kepada Allah. Disitulah ketika pengetahuan manusia bertumbuh matang dan menghiasi Mina, atau menghiasi cintanya kepada Tuhan.
Perjalanan dari Makkah ke Arafah dengan demikian, bermakna pesan bahwa “Sesungguhnya manusia dari Allah”, dan kembali dari Arafah ke Ka’bah, kepada pusat eksistensi, berarti pesan bahwa “Sesungguhnya manusia akan kembali kepada-Nya”. Selama proses perjalanan spiritual itu manusia mengalami berbagai pengalaman yang penting.
Pemaknaan esoteris semacam ini, tentu di luar mainstream keyakinan Muslim dalam memaknai Haji. Akan tetapi, interpretasi yang lebih subjektif ini dimunculkan Ali Syariati karena makna Haji menurutnya begitu sangat mendalam dan pandangannya yang lebih “revolusiner” dalam melihat Haji.
Dalam hal ini, ia mengutip Andre Gide, penulis Perancis, bahwa “Keagungan haruslah ada dalam pandanganmu, bukan dalam apa yang engkau pandang”. Di situlah subjektivitas sangat penting. Dengan pandangan yang lebih revolusiner, Haji, menurut Ali Syariati, tampak menyimpan pesan filosofi yang lebih bermakna dan berkesan bagi perubahan individual dan sosial di masa depan daripada sekedar seremonial dan mengenang masa lalu.
Ia ingin menunjukkan bahwa manusia mengemban misi kekhilafahan Tuhan di dunia. Manusia semestinya membangun peradaban dari basis kekuatan rohani, dan transformasi kesadaran diperlukan agar manusia memiliki kekuatan rohani berupa ilmu pengetahuan yang ber-kesadaran dan ber-kebijaksanaan. Kekuatan itulah yang diperlukan untuk membangun peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Wallahua’lam.
Tidarislam.co
Baca juga: Seputar Haji (3): Haji sebagai Revolusi Spiritual