Gambar: Tim peneliti BRIN, Dr. Aji Sofanudin, Dr. Abdul Jamil, Yumasdaleni, PhD., Dr. Warnis, dan Dra. Siti Atieqoh, MPd., audiensi dengan Ketua Komisi VIII DPR RI.
Oleh: Aji Sofanudin
Tidarislam.co- Ketika kami berkesempatan audiensi dengan Komisi VIII DPR RI (Jakarta, 29/4/2025), Ketua Komisi VIII, H Marwan Dasopang berharap agar BRIN membuat kajian atau riset untuk memperpendek artrean haji. Antrean haji merupakan persoalan riil yang dihadapi. “Tolong BRIN membuat kajian, bagaimana mencari solusi tata kelola haji untuk memperpendek antrean haji ini”, demikian harapan komisi VIII.
Sebenarnya banyak hal yang didiskusikan di forum tersebut, seperti persoalan dirjen pesantren, kekerasan seksual, perlindungan anak, masalah perempuan dan sebagainya. Namun, persoalan antrean haji ini, menjadi perhatian utama karena dari tahun ke tahun antrean haji semakin panjang. Mafhum, Komisi VIII DPR RI memang membidangi banyak hal: agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Persoalan agama (termasuk haji) menjadi perhatian utama komisi VIII.
Memotong Antrean Haji
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jemaah haji terbanyak di dunia. Kuota haji tahun 2025 sebanyak 221.000 jemaah seperti tahun-tahun sebelumnya selalu terpakai semua. Bahkan, selain haji regular dan haji khusus, ada juga jemaah haji furoda yang di luar kuota tersebut.
Haji furoda adalah program haji yang diatur langsung oleh Pemerintah Arab Saudi. Visa yang digunakan adalah visa undangan atau visa mujamalah, yakni undangan khusus dari raja. Visa jemaah haji furoda di luar kuota visa haji telah dijatahkan ke Kementerian Agama RI. Ringkasnya, ada haji reguler (ONH), haji khusus (ONH plus), dan haji furoda.
Haji furoda, tidak perlu antre menunggu tetapi dengan biaya sangat tinggi (sekitar 300 jt – 900 jt), haji khusus, dengan antrean sedang (sekitar 100 jt – 200 jt), sementara haji regular (antrean panjang), biaya yang ditanggung jemaah relatif murah (sekitar 50 jt – 60 jt). Tentu yang dimaksud Komisi VIII DPR RI adalah haji regular, haji yang diikuti oleh masyarakat kebanyakan.
Berikut ini adalah tabel terkait biaya ibadah haji reguler dari tahun ke tahun. Dari segi pembiayaan, biaya haji (Bipih/ONH) tahun 2025 lebih rendah dari tahun sebelumnya. Tetapi, dalam konteks kuota haji reguler tahun 2025 juga lebih sedikit dari tahun 2024. Artinya, ini akan memperpanjang antrean haji.
Tabel Biaya Haji Reguler Jemaah Indonesia
Sumber: Sofanudin, Aji. Inovasi dan Beragama Maslahat. (Jakarta: Penerbit BRIN 2024), dengan tambahan informasi haji tahun 2025.
Kuota haji Indonesia tahun 2025 sebesar 221.000 jemaah. Kuota ini tergolong “sedikit”, besarnya sama dengan kuota haji tahun 2017 dan 2018. Sejak tahun 2019 sd 2024 trend kuota haji Indonesia selalu meningkat (kecuali ketika covid 2020 dan 2021 pemerintah tidak memberangkatkan jemaah haji, serta kuota haji 2022 sebesar separoh). Tahun 2023 kuota haji sebesar 229.000 dan tahun 2024 sebesar 241.000 jemaah. Tahun 2025 ini, kuota haji Indonesia lebih sedikit atau turun dari kuota sebelumnya.
Baca juga: Seputar Haji (2): Terminal Khusus Haji dan Umrah 2 F Soekarno Hatta
Pemikiran Liar
Bagaimana memperpendek antrean haji? Ini pertanyaan mudah tetapi jawabannya sangat sulit untuk konteks jemaah haji Indonesia. Ada juga jawaban mudahnya: ikut saja haji khusus atau haji furoda, tapi itu tentu bukan jawaban yang diharapkan komisi VIII DPR RI. Selain biaya yang selangit, “jatah” haji khusus dan haji furoda juga tidak banyak
Berikut ini mungkin beberapa alternatif pemikiran, (sekali lagi sebatas pemikiran) yang belum tentu cocok diimplementasikan. Pemikiran ini, barangkali agak liar, yang hanya mempertimbangkan aspek “logis” tanpa mempertimbangkan aspek lainnya: doktrin agama, kebijakan negara, dan sebagainya.
Secara sederhana, ada dua cara memperpendek antrean haji dilihat dari hulu dan hilir. Aspek hilir atau penyelenggaraan ibadah haji bisa dilihat dari “lokus” dan “waktu” haji. Selama ini haji dilakukan di Arab Saudi, yang lokus utamanya di Mekkah (Masjidil Haram) dan Madinah (Masjid Nabawi). Pikiran gilanya adalah, bagaimana kalau haji dilakukan di Indonesia dengan Masjid Istiqlal sebagai pusatnya.
Pertama, sekiranya haji dipahami sebatas wisata religi, ziarah keagamaan. Bagaimana kalau jemaah haji Indonesia ibadah hajinya dilakukan di Masjid Istiqlal, yang kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke berbagai makam Presiden Republik Indonesia, seperti di Blitar (Makam Presiden Soekarno), Jombang (Makam Presiden Gus Dur), Karanganyar Solo (Makam Presiden Soeharto), dan Kalibata Jakarta (Makam Presiden Habibie). Bisa juga dengan mengunjungi masjid bersejarah seperti Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, dan sebagainya. Atau dengan tambahan ziarah ke berbagai masjid dengan arsitektur megah seperti Masjid Raya Sheikh Zayed Solo dan Masjid Al-Jabbar Bandung. Atau bisa juga dari dengan melakukan perjalanan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Tentu gagasan ini akan mendapatkan tantangan, karena haji haruslah di tanah suci. Gagasan ini agak mirip, komunitas ahlul bait yang hajinya ke Karbala, Irak.
Kedua, haji tetap dilakukan di Mekkah dan Madinah, tetapi di luar bulan haji (Dzulhijjah). Bagaimana kalau haji bisa dilakukan pada bulan Ramadhan, bulan Muharram atau bulan Rajab. Jika ini bisa dilakukan, tentu akan memperpendek antrean jemaah haji. Gagasan ini tentu bertentangan dengan teks QS Al-Baqarah 2: 197). Ide ini pernah disampaikan oleh cendekiawan Masdar Farid Mas’udi untuk mengurai persoalan antrean jemaah haji ini. Haji di luar musim haji.
Ketiga, dengan menggunakan kuota haji negara-negara lain yang tidak digunakan. Konon Kazakhstan dan negara-negara muslim eks Uni Soviet tidak habis menggunakan kuota jemaah yang sudah diberikan pemerintah Arab Saudi. Bagaimana agar sisa kuota haji negara-negara yang tidak terserap dialihkan ke Indonesia. Tentu, cara ini tentu harus dilakukan dengan upaya G to G, melalui hubungan diplomatik agar tidak menjadi masalah sebagaimana pernah terjadi tahun 2016, banyak jemaah haji Indonesia berangkat dengan pasport Filipina dan kuota haji Filipina tetapi kemudian ditangkap oleh otoritas di Arab Saudi. Pemanfaatan kuota ini, bisa memperpendek antrean haji di Indonesia yang sangat panjang. Hemat saya, cara ini tidak akan mendapatkan resistensi dari publik.
Kemudian dari sisi hulu, cara memperpendek antrean haji melalui upaya edukasi kepada masyarakat muslim Indonesia. Publik perlu disadarkan bahwa kewajiban haji, hanya cukup sekali seumur hidup. Faktanya di masyarakat, banyak yang melakukan ibadah haji berkali-kali. Cara lebih “keras” bisa dilakukan melalui fatwa, misalnya fatwa MUI atau ormas keagamaan yang intinya haram hukumnya berhaji lebih dari satu kali. Pemerintah juga perlu menghentikan praktik kredit atau pembiayaan untuk setoran awal haji (porsi haji) karena ini yang memperpanjang antrean.
Cara lain, adalah dengan moratorium setoran awal haji, misalnya 5 sd 10 tahun tidak menerima pendaftaran baru. Setelah itu, pemerintah menaikkan setoran awal yang sangat tinggi. Cara ekstrem, bisa dengan menghilangkan setoran awal haji sehingga biaya yang ditanggung jemaah adalah BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) bukan lagi Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Bukankah haji itu diwajibkan kepada mereka yang memiliki istitha’ah (kemampuan) baik dari kesehatan maupun finansial? Wallahu’alam.
Jakarta, 17 Mei 2025
Aji Sofanudin, Peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, BRIN.
Baca juga: Seputar Haji (6): Gelombang II Pemberangkatan Jemaah Haji Indonesia