Tidarislam.co- “Haji adalah sebuah aksi revolusioner”, demikian tulis Dr. Ali Shariati, sosiolog agama dan cendekiawan dari Iran termasyhur abad 20. Dalam risalahnya, The Pilgrimage, Dr. Ali Shariati mengingatkan kepada kita tentang makna spiritual di balik perjalanan haji. Menurutnya, lebih dari sekedar seremonial, ibadah haji mengandung pesan revolusioner. Tentu bukan dalam arti revolusi politik, tetapi lebih tepat dimaknai sebagai “revolusi spiritual”.
Haji menyiratkan proses evolusi manusia menuju Allah. Kita sesungguhnya berjalan menuju Allah. Sayangnya, saat menjalani kehidupan dunia, seringkali manusia justru terlena oleh godaan-godaan duniawi, terjebak dalam rutinitas duniawi yang melenakan, sehingga diperlukan haji untuk membalikkan orientasi kembali. Kembali kepada visi ilahi.
Berhaji berarti datang menghampiri Allah. Untuk itu, diperlukan niat yang tulus semata karena Allah, tidak untuk mendapat suatu sanjungan atau kehormatan; diperlukan biaya yang halal untuk berangkat ke tanah suci; kesehatan yang cukup untuk menjalani serangkaian rukunnya; juga perlu memeriksa kembali perangkat jiwa manusia, karena ia akan betul-betul meninggalkan sanak keluarga dan menanggalkan atribut-atribut duniawi lainnya, untuk duduk bersimpuh di hadapan Allah dan mengakui segala kekhilafannya. Ia akan mengalami serangkaian proses pembinaan rohani, agar nantinya menjadi manusia baru.
Berhaji bukan sekedar memenuhi kewajiban seorang muslim untuk lepas dari kewajiban itu, tetapi mengaktualisasikan pesan esoteris yang sangat mendalam di balik ibadah haji tersebut.
Rutinitas Kehidupan yang Melenakan
Mengapa haji dikatakan revolusioner? Karena haji merupakan sebuah upaya proses perpindahan dari satu kesadaran kepada kesadaran lain yang lebih sempurna. Atau lebih tegas dapat dikatakan sebagai antitesa (penolakan), dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Dari satu kondisi rutinitas kehidupan yang bergelimang fasilitas dan melenakan, kepada kondisi menjadi manusia yang tercerahkan. Dari satu kondisi kehampaan spiritual, kepada kondisi manusia dengan kualitas rohani yang lebih tinggi.
Rutinitas kehidupan kita sehari-hari seringkali menjerat kita. Sehingga, kita tidak bergerak maju cepat secara rohani, terganjal oleh belenggu-belenggu duniawi. Gelimbang harta, kedudukan, kehormatan, jabatan, dan lain sebagainya membuat kita sering lupa tentang makna dan tujuan hidup yang lebih utama. Kehidupan kita jalani hanya untuk melayani ego dan nafsu duniawi yang sementara.
Terlebih ketika manusia terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang tanpa tujuan. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Pagi berganti siang. Siang berganti malam. Hari-hari berjalan. Waktu berlalu begitu saja. Kita seolah hanya menjalani kehidupan mesin waktu yang berjalan secara siklis. Waktu kita habiskan untuk bekerja memenuhi kebutuhan, utamanya kebutuhan yang sifatnya material dan biologis.
Seiring dengan berjalannya waktu, dan akibat dari pengaruh kekuatan sistem sosial yang mengabaikan hak-hak dan kewajiban manusia, tabiat manusia pun seringkali berubah. Manusia menjadi terasing dari kesejatiannya. Dari yang awalnya sebagai manusia murni dengan kekuatan roh (rohani) dalam diri, dan diharapkan memikul tanggungjawab sebagai khalifah di muka bumi, tetapi terlena karena fokusnya berubah menjadi urusan-urusan kepentingan nafsu duniawi jangka pendek. Manusia telah berpaling kepada uang, seks, ketamakan, agresi, dan ketidakjujujuran dalam segala hal.
Menurut Ali Shariati, kondisi yang demikian menutupi kesadaran manusia sehingga membuatnya sering terlena dan lupa. Artinya, manusia terjebak dalam “kesadaran palsu” bahwa hidup hanya sekedar untuk hidup, tanpa tujuan yang mendasar sebagaimana Tuhan kehendaki atas kehidupan itu. Dari kaca mata rohani, manusia dalam mesin dunia seperti itu seolah seperti “roh mati dalam jasad yang hidup” berjalan dalam keterasingan di muka bumi.
Berhaji Menghampiri Allah
Tujuan haji adalah menghidupkan kembali basis kekuatan rohani manusia. Ketika manusia berhaji berarti manusia berusaha berjalan menghampiri Allah. Ia akan mengalami proses penempaan rohani, melalui rekonstruksi simbolik dalam seluruh rukun-rukun haji dengan segala perangkatnya. Dengan begitu, akan mengubah kondisi manusia yang tidak sehat secara rohani ini menjadi lebih sehat dan prima.
Ibadah haji menjadi “antitesa” dari kehidupan tanpa tujuan, setelah manusia terlena oleh kesadaran palsu yang penuh kepentingan duniawi yang bersifat fatamorgana, beranjak kepada kesadaran tentang tujuan hidup yang hakiki sebagai seorang hamba Allah yang berjalan menuju kehidupan abadi.
Ali Shariati menuliskan:
“Tinggalkan yang ada di sekelilingmu, dan pergilah ke tanah suci. Di sana engkau akan menjumpai Allah Yang Maha Kuasa di bawah langit Masy’ar yang membangkitkan semangat. Keterasingan yang engkau alami pun akhirnya akan sirna, karena paling tidak engkau akan menemukan dirimu sendiri”
Berhaji, secara literer berarti menziarahi, mengunjungi rumah Allah atau Baitullah, yang juga ‘rumah umat manusia’. Ia akan mengharap perjumpaan dengan Allah (dalam arti spiritual), dan bertemu dengan manusia dari seluruh penjuru dunia.
Baca juga: Seputar Haji (1): Perjalanan Spiritual Menuju Baitullah
Ketika berhaji, selama proses berhaji yang panjang itu, ia sejatinya sedang merekonstruksi peran cerita kenabian. Keseluruhan episode cerita tersebut didesain oleh Sutradara yang Agung, Allah SWT. Seolah-olah, ketika melaksanakan haji, ia sedang menjadi aktor pertunjukan tentang sejarah manusia. Ia akan memerankan menjadi Adam. Ia akan memperoleh pelajaran dari memerankan menjadi Ibrahim. Ia juga akan memerankan menjadi Hajar. Ia juga, akan memerankan menjadi Muhammad. Tetapi, ia juga akan memerankan menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh umat manusia.
Keseluruhan cerita haji memberikan pesan bukan saja pemurnian ketuhanan kepada tauhid yang murni, atau monoteisme, tetapi juga eksistensi manusia yang sama di hadapan Tuhan. Disitulah kita dapat menangkap pesan eksistensial tentang keberadaan diri kita dalam konteks sebagai makhluk Allah, sebagai bagian dari alam semesta, dan bagian dari seluruh umat manusia:
“Allah adalah sang sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya meliputi Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukannya adalah Masjidil Haram, daerah Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahari tenggelam, berhala, upacara kurban. Pakaian dan make-up-nya adalah ihram, halfgh, dan taqshir. Yang terakhir, aktor dari peran-peran dalam pertunjukan itu adalah hanya seorang, yakni dirimu sendiri.
Tak peduli apakah engkau seorang laki-laki, atau perempuan, muda atau tua, kulit hitam atau kulit putih, engkau adalah aktor utama dalam pergelaran ini. Engkau berperan sebagai Adam, Ibrahim, dan Hajar, dalam konfrontasi utama antara “Allah dengan setan”. Konsekwensinya, engkau adalah pahlawan dalam pertunjukan ini. Kaum muslim seluruh dunia setiap tahun diajak berpartisipasi dalam pertunjukan akbar (haji) ini. Semua orang dianggap sama”, tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, ataupun status sosial. Sesuai dengan ajaran Islam [tentang tauhid], “Semua adalah Satu dan Satu adalah Semua”. Barang siapa menyelamatkan hidup satu orang manusai berarti menyelamatkan semua; barangsiapa membunuh satu orang manusia, sama membunuh semua manusia”.
Itu semua adalah kisah-kisah historis di masa lalu yang dijadikan monumen oleh Allah untuk menjadi gambaran dan pelajaran bagi semua umat manusia kapan saja dan di mana saja. Itu semua akan sungguh-sungguh dipahami jika orang merasakan langsung jalannya prosesi haji dengan memahai segala maksud dan tujuannya, mulai dari ihram, niat, shalat, putaran thawaf, sa’i, muharramah (menghindari perbuatan-perbuatan buruk selama haji) wukuf, hingga berqurban.
Menemukan Kembali Kekuatan Rohani untuk Menjalani Kehidupan Baru
Selama proses haji itulah manusia perlahan-lahan akan dibebaskan kesadarannya dari ikatan-ikatan materi dan menemukan kembali kekuatan rohani. Prosesi haji mengingatkan kembali kepada esensi manusia, untuk apa manusia diciptakan Allah di muka bumi, dan kemana dia nantinya akan kembali.
Bahwa manusia diciptakan dari entitas material. Sesuatu entitas yang rendah menurut kaca mata al-Quran. Keturunan manusia diambil dari air yang hina dari sulbi manusia. Tetapi kemudian Allah menghidupkan dan memuliakan manusia (bani Adam) dari entitas yang mati itu dengan kekuatan “roh” yang ditiupkan. Kemudian manusia dihiasi bentuknya, disempurnakan dengan kekuatan pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Kemudian dimuliakan derajatnya dengan mengemban amanah sebagai “khalifah” atau wakil Tuhan di muka bumi. Peran yang tidak diberikan pada makhluk yang lain.
Kesadaran tentang “ketuhanan” dan “kemanusiaan” itulah yang dipetik dari berhaji yang dikatakan revolusioner itu. Menemukan kekuatan rohani tentang siapa dirinya yang sejati, yang akan menjadi bekal manusia menjalani perjalanan kehidupan selanjutnya. Dengan pengalaman rohani selama berhaji, diharapkan orang yang berhaji akan kembali menjadi manusia baru, manusia dengan semangat kesadaran baru, manusia yang tercerahkan, dan menjadi pencerah di tengah masyarakat.
Di banyak tempat, orang yang selesai haji akan menyandang status baru di tengah masyarakat sebagai “Haji”. Tetapi sebetulnya yang lebih penting adalah tanggungjawab di balik status itu tentang keteladanan dan penyadaran pesan-pesan spiritual haji kepada lingkungan sosial di sekitarnya. Wallahua’lam.
Penulis: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi
Baca juga: Seputar Haji (2): Terminal Haji dan Umrah 2 F
Buku Hajj (The Pilgrimage) karya Ali Shariati dapat diunduh gratis melalui link: disini