Seputar Haji (12): Siti Hajar Perempuan yang Luar Biasa

Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi

Tidarislam.co- Tulisan ini menggunakan judul yang sama untuk mengamini apa yang ditulis oleh KH. Husein Muhammad dalam sebuah kolom di jabar.nu.or.id (Senin, 26 Juni 2023) tentang sosok Hajar. Beliau menulis “Siti Hajar: Perempuan yang Luar Biasa”. Namanya dalam bahasa Arab memang Hajar. Tapi budaya masyarakat Indonesia menambahkan Siti sebagai panggilan penghormatan, seperti panggilan Sayyidah dalam tradisi Arab.

Terlepas dari perbedaan penjelasan tentang latar belakang Hajar antara versi Islam dan non-Islam yang sangat dipengaruhi oleh sentimen etnis dan ras, yang jelas, Tuhan telah memuliakan Hajar menjadi pendamping seorang Nabi yang agung, Bapak Para Nabi. Tuhan memposisikannya dalam kedudukan yang sangat terhormat di mata umat manusia. Namanya dijadikan monumen dalam haji. Tuhan menyeru manusia untuk menziarahi pusaranya dan meneladai kehidupannya. Hajar bukan hanya Ibu Bangsa Arab, sebagaimana dikatakan Abdul Hamid Judah as-Sahhar, tetapi juga ibunda para Nabi dan umat manusia.

Hajar sesungguhnya merupakan keturunan bangsawan Mesir, putra raja Mesir, yang kemudian tertarik dengan ajaran tauhid yang dibawa Ibrahim a.s. Ia memegang komitmen monotheisme yang kuat dan patuh. Seorang perempuan yang memasrahkan hidupnya kepada Allah. Hanya karena Nabi Ibrahim saat itu sudah lanjut usia, dan belum juga diberikan keturunan, maka istrinya yang pertama, Sarah, dengan rela menerima suaminya menikah kembali dengan Hajar agar mendapatkan keturunan. Tidak lama lahirlah Ismail dari rahim Hajar. Mereka tinggal di Palestina.

Namun, sebuah relasi yang sangat manusiawi terjadi bahwa dengan lahirnya Ismail, ternyata menimbulkan kecemburuan di hati Sarah sehingga menimbulkan ketidakharmonisan antara keduanya. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa Ibrahim kembali dengan memberikan putra Ishaq dari rahim Sarah. Karena hubungan yang tidak sehat antara Sarah dan Hajar di dalam keluarga Ibrahim selama beberapa tahun, maka atas petunjuk Tuhan, Ibrahim kemudian membawa Hajar dan Ismail ke tempat pengungsian di sebuah gurun pasir tak berpenghuni.

Hajar sesungguhnya merupakan perempuan yang taat terhadap suami atas dasar keyakinan kuat pada kebenaran apa yang dibawa suaminya Ibrahim tentang keimanan. Demi menghindari konflik, Hajar diasingkan ke area yang jauh, di sekitar gurun Faran, sekitar Makkah sekarang (Q.S. Ibrahim: 37). Setibanya di Faran, tak lama, hingga tiba masanya mereka harus berpisah sementara. Ibrahim pergi kembali ke Palestina untuk kembali kepada Sarah. Dalam sebuah riwayat hadist Bukhari disebutkan bahwa:

Saat Ibrahim beranjak pergi, Hajar membuntutinya dan bertanya, “Wahai Ibrahim, engkau hendak ke mana? Apakah kamu akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada suatu tanamanpun ini?” Namun Ibrahim tetap tidak menjawab meski Hajar bertanya berkali-kali. Setelahnya, Hajar mengganti pertanyaannya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan semuanya ini?” Barulah Ibrahim memberi jawaban, “Iya.” Hajar lalu membalas, “Jika demikian, Allah tidak akan menelantarkan kami.” (HR. Bukhari)

Ketaatan seorang Hajar teruji ketika hidup di masa-masa kesendirian dan keterasingan tanpa dampingan seorang suami. Ia sendiri dan kesepian. Suasana yang begitu menyedihkan. Di situlah ketangguhan dirinya teruji sebagai seorang Ibu yang membawa bayi Ismail yang disapihnya. Mereka hanya makan dari perbekalan yang mereka bawa. Tetapi beberapa lama bekal itu pun habis. Mereka kelaparan, sementara Hajar harus menyusui bayi Ismail.

Dalam kondisi lapar dan haus di dalam kondisi yang terik, Ismail menangis dengan tangisan yang menyayat hati. Hajar menjadi sedih. Ia lalu meninggalkan Ismail sementara mencari bantuan orang yang mungkin bisa memberikan makanan. Tapi tak dijumpainya ada seorangpun juga. Hajar kemudian berusaha mencari bantuan sampai bolak-balik lari di antara bukit Shafa dan Marwah berharap menemukan sumber makanan atau minuman.

Baca juga: Seputar Haji (12) Kisah Amer Al-Mahdi tentang Determinasi Iman, Mimpi, dan Keajaiban

Allah kemudian membalas doa dan keyakinan Hajar bahwa Allah tidak akan menelantarkan dirinya. Seorang malaikat mendatangi Hajar dan mengaiskan tanah hingga keluar pancaran air dari sebuah sumber. Betapa bahagianya Hajar. Ia kemudian menampung air itu dengan tangannya, dan memasukkanya ke dalam wadah. Sumber air itu adalah sebuah anomali di tengah gurun pasir yang kering kerontang. Dengan adanya sumber air itu, terbebaslah Hajar dan Ismail dari kelaparan dan kehausan.

Sumber air itu kemudian berhasil menarik perhatian suku-suku Arab di sekitarnya untuk datang dan menetap di sana. Hajar dan Ismail akhirnya bisa bertahan hidup. Betapa ajaibnya bahwa sumber air yang kemudian dikenal sebagai sumur Zam-Zam ternyata menjadi sumber mata air abadi yang tak habis-habisnya sampai hari ini. Demikian hanya salah satu fase kehidupan yang dikenang dari sosok Hajar, seorang Ibu yang dengan keyakinannya yang kuat mampu bertahan bersama anaknya dalam penuh keterbatasan, bahkan dengan sumber mata airnya itu memberikan manfaat kepada umat manusia sampai hari ini.

Gambar: Ilustrasi Hajar dan Ismail dalam kesepian dan keterasingan

Ibrahim tetap beberapa kali mengunjungi Hajar dan Ismail, hingga mendirikan tempat Ibadah di kediaman mereka. Tempat itu disebut Masjidil Haram (Q.S. Al-Hajj: 25). Tuhan memerintahkan Ibrahim agar menyeru pengikutnya untuk menziarahi tempat suci yang bangun untuk Allah (QS. Al-Hajj: 27). Sejak itu dikenal bahwa pengikut Ibrahim menerima panggilan Allah untuk menziarahi tempat suci Ibrahim, yang kemudian dikenal sebagai haji (ziarah).

Ujian berikutnya yang tak kalah mengguncang hati Hajar adalah ketika datang perintah Allah kepada Ibrahim untuk mengorbankan putranya Ismail yang telah beranjak dewasa sebagai bukti setianya kepada Allah. Beberapa hari Ibrahim merenungkan perintah yang datang melalui mimpinya tersebut (Q.S. As-Shaffat: 102). Dengan penuh keyakinan, Ibrahim mengutarakan perintah itu kepada Hajar. Lagi-lagi, kepatuhan dan ketaatan Hajar terhadap Allah dibuktikan ketika Hajar menyikapi perintah Allah terhadap suaminya tersebut dengan sikap kepasarahan. Ia mengikhlaskan jika memang putranya hendak dikorbankan karena perintah Allah. Ketegaran menghadapi godaan dalam hati Hajar dan Ibrahim serta Ismail ketika menghadapi godaan setan untuk membatalkan perintah pengorbanan tersebut diabadikan dalam prosesi jamarat ketika Haji. Namun karena Allah telah melihat keikhlasan yang besar pada Ismail dan Ibrahim serta Hajar, Allah menggantikan korban itu dengan domba.

Baca juga: Seputar Haji (9): Kisah Pengorbanan Ibrahim

Hajar tinggal di sekitar Masjidil Haram hingga wafat pada usia 90 tahun. Ibrahim a.s. memakamkan jenazahnya di area Hijir Ismail, dan Ibrahim membangun tembok di sekeliling kuburan itu agar tidak dilangkahi penduduk. Pusara Hajar selalu diitari oleh jamaah ketika thawaf dalam haji, dan mereka dilarang untuk menginjak area itu sebagai sebuah penghormatan terhadap sosok perempuan yang agung ini. Peristiwa bersama Ismail juga menjadi monumen yang dikenang oleh seluruh umat manusia ketika melaksanakan haji, yaitu dengan prosesi sa’i (lari-lari kecil) dari bukit Shafa hingga Marwa.

“Jadi, Idul Adha bukan hanya tentang Ismail, tetapi juga Hajar. Perannya sering terlupakan. Padahal tanpa keikhlasannya, tak kan ada pengorbanan Ismail. Hajar adalah perempuan luar biasa, yang memasrahkan hidupnya kepada Allah. Penganut monotheisme yang kuat. Pendamping Nabi Agung. Dia bukan budak tak berkelas, melainkan keturunan bangsawan Mesir yang jatuh cinta pada Tauhid Ibrahim. Tauhidnya mengagumkan dan menggetarkan. Ia berhasil menjadi Ibu yang penuh cinta bagi keluarganya. Kelak dari keturunannya melahirkan manusia paripurna, Nabi Muhammad SAW.”

Belakangan, ketokohan inspiratif seorang Hajar muncul kembali di kalangan peneliti agama-agama. Muncul beragam pandangan tentang Hajar yang melihat sosok Hajar dengan perspektif berbeda dan menghubungkannya dengan konsep-konsep modern. Mereka tidak lagi menggambarkan Hajar dengan kehidupan yang tragis, tetapi menjadi inspirasiator gerakan perempuan modern.

Sebagian mereka menampilkan sosok Hajar sebagai figur yang diterima semua sehingga Hajar dihadirkan untuk perjuangan politik mewujudkan rekonsiliasi Dunia Arab dengan Palestina. Sementara sebagian lain melihat citra positif dari kehidupan Hajar, bahwa meskipun ia diceritakan dalam sebuah versi sejarah sebagai seorang putra bangsawan yang akhirnya menjadi budak karena tragedi politik, tetapi ia adalah tipikal perempuan yang memiliki kekuatan, keterampilan, dan daya determinasi yang kuat terhadap suatu keadaan sosial. Figur Hajar seringkali juga digunakan sebagai pisau analisis terhadap konsep kehamilan kontraktual ketika harus dijadikan alternatif ketika seorang laki-laki menghadapi permasalahan kehamilan. Penafsiran modern tentang Hajar boleh jadi bisa berkembang sedemikian rupa.

Tetapi apapun itu, jejak historis Hajar menunjukkan bahwa ia adalah perempuan mulia di mata Tuhan, dan Tuhan memuliakannya di hadapan umat manusia. Meski tidak disebutkan namanya secara eksplisit dalam al-Quran, tetapi momentum haji seolah menjadi etalase untuk menggambarkan kebesaran perempuan itu. Sejarah tentang kehidupannya menunjukkan sebuah pelajaran penting tentang sosok perempuan yang mencintai Tuhan dan dicintai, perempuan yang sabar, taat kepada suami, tangguh, pejuang, penuh keyakinan, dan pantang menyerah dalam menghadapi keadaan. Hajar merpakan prototipe seorang ibu yang memang luar biasa dan penuh keteladanan. Dari keturunannya pula melalui Ismail muncul manusia dengan keutamaan paripurna, Nabi Muhammad SAW.

Baca juga: Seputar Haji (11): Surat Haji dalam al-Quran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *