Seputar Haji (1): Perjalanan Spiritual Menuju Baitullah

Tidarislam.co- Haji secara harfiah mengandung arti “ziarah”. Perjalanan ziarah ini menjadi sangat sakral karena sarat pesan spiritual, dengan menziarahi tempat-tempat suci di antaranya Ka’bah, Shafa-Marwah, Arafah, Mina, Muzdalifah. Bulan pelaksanaan haji ditentukan pada 8 sampai 13 Dzulhijjah. Jama’ah haji dari seluruh penjuru dunia menjalani prosesi haji dari “miqat” masing-masing, menuju Makkah, Mina, Arafah, hingga Muzdalifah. Diwajibkan bagi setiap muslim yang mampu (memiliki istita’ah) untuk melaksanakan haji sekali seumur hidup.

Sementara umrah sendiri secara kebahasaan berarti “meramaikan” atau “memakmurkan”, satu akar kata dengan “takmir” yang sering diasosiasikan kepada meramaikan atau memakmurkan masjid. Berbeda dengan haji, umrah dapat dilaksanakan kapan saja. Melaksanakan haji secara otomatis sudah berumrah, sementara melaksanakan umrah tidak berarti berhaji, karena umrah adalah bagian dari haji, dan hanya mengunjungi tempat utama Ka’bah dan Shafa-Marwah.

Rumah Allah

Al-Quran sendiri menegaskan, bahwa di situlah, di Makkah, pertama kali dalam sejarah umat manusia tempat suci dibuat untuk beribadah kepada Allah, menjadi tempat yang diberkati, dan menjadi petunjuk bagi umat manusia.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (Q.S. Ali-Imron: 96).

Tempat-tempat itu disebut sebagai “sya’airullah” atau “monumen-monumen Allah”. Setiap tempat tersebut, mengandung kisah para nabi dan orang-orang soleh yang menunjukkan bukti keimanan dan ketakwaan kepada Allah.

Selama melaksanakan haji, seorang muslim benar-benar merefleksikan tentang pengalaman kenabian. Tempat-tempat suci di sekitar Ka’bah itu berkaitan erat dengan sejarah perjalanan spiritual yang dialami dan dilakukan oleh para nabi-nabi, yakni Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Nami Ibrahim yang pertama kali membangun Ka’bah bersama nabi Ismail sebagai tempat ibadah. Selain diasosiasikan sebagai “Baitullah” atau Rumah Allah, Ka’bah juga disebut sebagai “Baitul ‘Atiq” atau “Rumah Suci yang Tua”.

“Ingatlah ketika Ibrahim mengangkat kembali pondasi dan rumah suci itu bersama putranya, Isma’il,” (Q 2:127)

Dekat situs Ka’bah terdapat situs yang diabadikan sebagai Maqam Ibrahim, tempat dimana Nabi Ibrahim dahulu berdiri selama proses pembangunan Ka’bah. Maqam bukan berarti tempat pemakaman, melainkan secara bahasa berarti tempat berdiri. Juga ada Hijir Ismail, batu pijakan sebagai tempat Nabi Ismail ketika membantu ayahnya membangun Ka’bah.

Tradisi haji juga sudah sangat lama dalam agama tauhid. Dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa nabi-nabi yang lain sebelum Nabi Muhammad, seperti Nabi Hud dan Nabi Saleh, juga melakukan ibadah haji. Mereka menziarahi sekitar Baitullah, untuk mengingat perjalanan spiritual nenek moyang, Nabi Adam.

Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad pada masa Arab jahiliyah mendapati sekitar Ka’bah tidak lagi menjadi orientasi spiritual dan monoteisme sebagaimana spirit awal Ibrahim. Orang-orang Arab jahiliyah menjadikannya pusat praktik ekonomi dan kemusyrikan, kebudayaan sastra, dengan patung-patung sesembahan di sekitar Ka’bah.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad, selama masa kenabian di Makkah, melakukan “reformasi” kehidupan masyarakat Arab di Makkah untuk mengembalikan Makkah kepada spirit ketuhanan dan agama tauhid atau monotheisme, serta melakukan pembebasan kemanusiaan, dengan melakukan perlawanan terhadap kecurangan ekonomi, perilaku korup, dan eksploitasi sesama manusia.

Nabi Muhammad, atas petunjuk Allah, menetapkan Ka’bah sebagai kiblat utama umat Islam, setelah sebelumnya berkiblat ke Yerusalem. Salah satu alasannya adalah karena Ka’bah, dengan sejarah kenabian sejak Adam hingga Ibrahim, sebenarnya lebih tua dan lebih sakral daripada Yerusalem. Ka’bah, sejak Ibrahim, telah eksis 4000 tahun silam, sementara Yerusalem, yang disucikan oleh orang Yahudi (dengan sejarah panjang kerajaan Bani Israel) dan Kristen (karena disitu terjadi penyaliban Isa), baru berumur 3000 tahun silam. Meskipun keduanya kemudian sama-sama dijadikan sebagai tempat suci.

Thawaf dan Sa’i

Salah satu bagian pokok dari ibadah haji adalah thawaf mengitari Ka’bah berlawanan arah jarum jam. Thawaf merupakan bentuk cara manusia menirukan ibadah malaikat, yang juga thawaf mengelilingi arsy. Begitu pula hakikat alam semesta ini penuh dengan thawaf, sebagaimana bumi thawaf mengelilingi matahari. Matahari juga thawaf di pusat galaksi. Demikian seterusnya, alam semesta ini sejatinya selalu thawaf.

Konon ketika Nabi Adam terusir dari surga, beliau bersedih karena tidak dapat lagi menyaksikan ibadah thawaf malaikat. Untuk itu, ia menciptakan replika thawaf malaikat, dengan membuat thawaf di bumi, yang konon tempatnya di sekitar Ka’bah, sehingga tempat itu disebut Baitullah.

Ketika thawaf, seorang muslim wajib mengenakan pakaian ihram, dengan hanya menggunakan dua lembar kain putih. Pakaian ihram bermakna bahwa manusia benar-benar menanggalkan segala atribut keduniaannya, baik berupa kedudukan, harta, kekuasaan, ketenaran. Siapapun manusianya, ketika berhaji, maka ia hanya menggunakan kain putih sebagai simbol kesucian dan kepasrahan diri kepada Tuhan dengan mengucap talbiyah: “lababik Allahumma labbaik!”, artinya Aku menyambutmu Ya Allah!

Dengan begitu, selain pesan tauhid atau monoteisme, haji sarat dengan pesan kemanusiaan, yakni nilai egalitarianisme atau kesederajatan manusia di sisi Allah. Setiap manusia, ketika menanggalkan identitas dan atribut keduniawian, tampak bahwa pada hakikatnya manusia setara di hadapan Allah.

Mengenakan pakaian ihram juga merupakan bentuk simbol pengakuan dosa manusia, bentuk pertaubatan, dengan penuh rasa kerendahan hati mengakui kesalahan kepada Tuhan. Dengan mengenakan ihram, manusia mengingat dosa-dosanya, sebagaimana Adam mengakui dosanya kepada Tuhan, sehingga berkomitmen untuk menjauhi dosa, terutama “dosa-dosa eksistensial”, seperti kesombongan (bertolak dari kisah dosa Iblis), kerakusan dan kepemilikan yang bukan haknya (bertolak dari pengalaman dosa Adam dan Hawa ketika memakan pohon khuldi), dan dosa iri dan dengki (bertolak dari pengalaman dosa pembunuhan pertama manusia Habil dan Qabil yang bermula dari rasa iri dengki).

Selain Ka’bah, perjalanan spiritual lainnya berkenaan dengan bukit Shafa-Marwah. Kedua tempat itu kini sudah menjadi satu bagian dari Masjidil Haram. Di situlah sejarah Hajar, istri kedua Ibrahim, pernah tinggal sendiri dan kesepian bersama putranya Ismail, sehingga tatkala merasa kehausan sempat hampir berputus asa. Tetapi karena dengan kekuatan imannya, ia berlari-lari kecil mencari sumber air. Maka dengan kuasa Allah muncullah titik sumber air yang abadi sampai hari ini. Sa’i atau lari-lari kecil ketika haji berarti melakukan “napak tilas” Hajar, yang mengekspresikan “rasa sayang” atau “cinta kasih” seorang Ibu kepada putranya.

Wukuf dan Qurban

Proses lainnya yang sangat sakral dalam prosesi haji adalah wuquf di Arafah. Wuquf merupakan syarat sah pelaksanaan Haji. Wuquf menyiratkan pesan ketika manusia benar-benar “telanjang” mengakui kelemahan di hadapan Allah, tidak berkuasa apa apa, dan di saat-saat wukuf di arafah itu pula jamaah yang berhaji memperbanyak permenungan, introspeksi diri, berpasarah, doa, pujian, dan dzikir kepada Allah.

Makna dari wuquf adalah “berhenti”, artinya bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta pada saatnya akan berhenti, termasuk kehidupan manusia akan berhenti, dan wuquf di Arafah mencerminkan suasana padang mahsyar dimana manusia akan dikumpulkan kembali untuk menerima ketetapan pengadilan Tuhan. Untuk menghargai tingginya nilai wuquf di Arafah, dalam tradisi Islam dikenal puasa Arafah yang sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji.

Di Arafah pula jamaah haji diingatkan kepada pesan penting Nabi Muhammad dalam “Khutbatul Wada” atau “Khutbah Perpisahan” sebelum hari-hari terakhir beliau disampaikan ketika di Arafah, yang salah satu intisari pesan Nabi bagi umat Islam untuk menghargai martabat setiap manusia, karena manusia mulia dan setara di hadapan Allah.

Salah satu unsur ibadah haji yang merupakan bentuk ekspresi ketakwaan terbesar adalah pesan pengorbanan, atau qurban, sebagai bagian akhir dari prosesi haji. Qurban berakar dari kata qaruba yang artinya mendekat. Ini mengingatkan pada peristiwa Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk mengorbankan apa yang dimilikinya yang paling dicintai, yakni anaknya.

Dengan penuh kepasrahan, Ibrahim bertekad mengorbankan putranya semata melaksanakan perintah Allah sesuai petunjuk dalam mimpinya. Melihat ketulusan Ibrahim yang bersiap menyembelih putranya, Allah kemudian mencukupkan, dan menetapkan untuk menggantikan nyawa Ismail dengan domba. Allah telah menerima keikhlasan hati Nabi Ibrahim.

Prosesi bersejarah dalam qurban itu tidak hanya dirayakan oleh mereka yang berhaji, tetapi juga oleh segenap umat Islam di seluruh dunia dengan merayakan hari pengorbanan, yakni Idul Adha. Pada hari-hari idul Adha itu, disunnahkan memperbanyak mengingat Allah, bertakbir, tasbih dan dzikir, sehingga sampai pada pesan utamanya sesuai arti hakiki qurban, sebagai bentuk “pendekatan diri” sedekat-dekatnya dan kesetiaan kepada Allah. Wallahua’lam.

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi

Baca juga: Para Pembentuk Mozaik Reformasi Islam di Asia Tenggara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *