Seni sebagai Dimensi Artistik Islam

Ilustrasi: Maher Zain, penyanyi musik Islam asal Swedia kelahiran Lebanon, salah satu tokoh di balik kebangkitan musik Islami modern.

Tidarislam.co- Islam tak dapat dipisahkan dari seni, baik secara normatif maupun historis. Secara normatif, nilai-nilai Islam sangat universal, dan mendukung aktivitas manusiawi secara rasional, ilmiah, dan artistik. Sementara secara historis, pencapaian seni dan budaya juga telah terbukti menjadi salah satu penyangga peradaban dunia Islam.

Islam mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala keindahannya. Sehingga ada adagium dalam Islam, bahwa “Tuhan sendiri adalah Dzat yang Indah, dan Tuhan mencintai hal-hal yang indah” (Allahu jamil, yuhibbu al-jamal). Ini menjadi pijakan aksiologis tentang keindahan sebagai nilai dasar seni dalam Islam. Keindahan itu bisa ditangkap jika orang memiliki kepekaan jiwanya, atau dengan kata lain, mengasah jiwa seni.

Sebagaimana ilmu pengetahuan dan filsafat yang mencakup dimensi rasionalitas, seni merupakan dimensi artistik yang tinggi reputasinya dalam Islam. Jika ilmu pengetahuan dan filsafat berkutat dengan usaha pencarian kebenaran secara ilmiah dan rasional, sementara etika mendiskusikan kebaikan-keburukan, maka seni sesungguhnya merupakan upaya manusia untuk menyampaikan tentang pesan-pesan dan nilai-nilai keindahan.

Quraish Shihab termasuk ulama yang sangat mengapresiasi seni. Dalam sebuah forum tentang seni Islam, beliau menjelaskan bahwa ajaran Islam pada dasarnya sangat menghargai seni. Seni Islam pada dasarnya melihat seni yang tujuannya adalah untuk mengagungkan Tuhan dan menjadi sarana eskspresi Muslim terhadap apa yang dihayatinya tentang keindahan. Seni juga merupakan ekspresi kelembutan dari seorang seniman, yang mampu menangkap pesan-pesan keindahan ciptaan Tuhan.

Ia juga mengutip suatu kalimat yang memperkuat artistik Islam:

“tidak ada sesuatu yang disertai dengan kelembutan kecuali itu menghiasinya, dan tidak ada sesuatu yang disertai kekejaman, kecuali itu memperburuknya”.

Imam al-Ghazali juga pernah mengingatkan:

“Kalau ada seseorang yang tidak tersentuh hatinya dengan melihat keindahan-keindahan, berarti mungkin ada penyakit dalam hatinya yang sulit disembuhkan”.

Nabi pernah menganjurkan keindahan membaca al-Quran, misalnya:

“perindahlah al-Quran dengan suaramu”.

Itu menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menghargai seni untuk mengagungkan keindahan kalam Tuhan. Dalam berbagai peristiwa, Nabi juga mengizinkan berbagai praktik seni, seperti tari-tarian yang saat itu dibawakan oleh orang-orang dari Ethiopia. Nabi juga pernah disambut di Madinah dengan lagu dan nasyid, sehingga membuat beliau senang. Itu menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sendiri menghargai upaya ekspresi keindahan.

Bahkan banyak ulama yang menganggap seni merupakan bagian dari fitrah manusia. Artinya, Tuhan telah menciptakan manusia dengan bakat dan potensi kemampuan seni di dalamnya agar ia bisa beribadah dan mengenal penciptanya. Seni, dengan begitu, sangat manusiawi dan fitri, artinya kemampuan yang sangat alamiah. Sehingga, dengan kemampuannya, manusia dapat mencurahkan kemampuan seninya ke dalam berbagai macam hal, seperti syair, lagu, lukisan, dan lain-lain, yang tujuannya adalah mengagungkan Tuhan.

Batasan-batasan Seni

Meskipun menghargai kedudukan seni sebagai ekpresi manusiawi, namun sebagai ajaran yang holistik yang mencakup pula tentang kebaikan, Islam juga mengingatkan batasan-batasan bagi manusia dalam mengekspresikan seni dan keindahan. Oleh karena itulah sering muncul istilah “Seni Islami” yang menghubungkan keindahan dengan pesan-pesan tentang nilai kebaikan. Karena perkembangan itu, ada ruang untuk seseorang mempertanyakan suatu produk seni itu baik atau buruk, dan menyikapi beberapa produk seni yang kontroversial, yang memungkinkan seni justru menjadi ekspresi hawa nafsu dan memalingkan manusia dari Tuhan.

Pada dasarnya, baik buruknya suatu hal tidak bersifat hitam dan putih, tapi harus dilihat dari berbagai macam sisi pertimbangan. Begitu pula dengan produk seni. Seni patung, misalnya, sering dicurigai karena identik dengan keburukan, dalam hal ini kemusrikan. Patung dianggap erat kaitannya dengan mitologi, karena sering digunakan untuk mengeskpresikan simbol dewa-dewa. Namun beberapa ulama menjelaskan bahwa pada dasarnya, asal patung itu tidak menjadi objek sesembahan dan tidak membawa kepada kemusyrikan, sejatinya tidak ada masalah. Nabi Sulaiman pernah memerintahkan untuk membuat patung. Begitu pula Nabi Ibrahim juga pernah menghancurkan patung-patung yang menjadi objek sesembahan, agar menjadi pesan bagi umatnya.

Quraish Shihab melanjutkan, beberapa pesan etis dapat dijadikan pijakan fondasi berseni, atau ketika mengambil seni sebagai sebuah profesi: Pertama, seni perlu diupayakan mendorong kepada kebaikan. Kedua, seni perlu diupayakan memberikan dampak positif bagi kemanusiaan kita. Ketiga, seni perlu diupayakan agar menampilkan keindahan tanpa menabrak norma-norma agama. Keempat, dalam pandangan Islam, berseni dalam bentuk apapun sesungguhnya bisa menjadi sarana ibadah asal dijalankan “karena Allah”, dengan niat yang suci untuk menebarkan pesan-pesan yang memberi manfaat kepada umat manusia.

Seni dalam Sejarah Peradaban Islam

Sejarah peradaban Islam telah melahirkan seni dengan ragam bentuk manivestasinya, baik berupa seni suara, seni sastra, seni lukis, seni tari, bahkan hingga seni bela diri. Banyak seniman Muslim menjelaskan pesan-pesan universal Islam melalui kemampuan seni yang dimilikinya.

Abdullah Saeed, ahli sastra Arab dan dunia Islam di Melbourne University, menyatakan bahwa:

“Seni-seni Islam selama ini memiliki karakteristik “kontemplatif”, artinya menjadi sarana pesan simbolik tentang keindahan dan kekuasaan Tuhan.”

Ia juga melihat bahwa betapa luasnya perkembangan bidang-bidang estetika Islam, untuk menyebut di antara yang paling banyak berkembang adalah seni kaligrafi dan dekorasi Islam, seni musik, dan arsitektur masjid.

Meski terdapat pro dan kontra di kalangan ulama dalam melihat seni, namun terhadap referensi-referensi yang selama ini identik “mengharamkan” seni, ia juga menganjurkan agar kita lebih hati-hati memahami referensi itu dan melihat secara lebih kontekstual dengan melihat pesan-pesan positif di balik seni dalam Islam. Bagaimanapun, seni telah mengiringi berbagai kejayaan Islam, dan telah mengiringi perkembangan Islam dengan berbagai pencapaiannya.

Abdullah Saeed juga menuliskan musik sebagai salah satu prestasi dalam sejarah Islam: Sejarah Islam telah melahirkan perkembangan dalam bidang musik Islami. Kitab al-Musiqa al-Kabir, adalah salah satu referensi utama tentang musik yang pernah ditulis oleh Abu Nasr al-Farabi (w.339/950), salah satu penulis muslim yang paling produktif dalam sejarah Islam. Karya ini membahas topik-topik utama dalam musik, termasuk tentang ilmu suara, instumen musik, komposisi dan pengaruh musik. Ada juga seorang teoritikus abad ke-13 bernama Safiuddin al-Urmawi (w. 690/1291), yang juga seorang kontributor sangat signifikan terhadap pengetahuan dan sistematisasi model-model irama musik

Sejarah kekuasaan Islam ditandai pula dengan keagungan seni yang tampak pada bangunan-bangunan masjid-masjid utama yang sangat artistik sebagai simbol kejayaan Islam, arsitektur kerajaan yang dihiasi dengan ornamen-ornamen yang indah, patung-patung, lukisan-lukisan, hingga karya-karya sastra dan seni yang dilahirkan pada setiap masa kekuasaan. Jika kita berkunjung ke beberapa museum yang menyimpan khasanah Islam, tidak akan sulit menjumpai warisan sejarah itu, dan bahkan dapat kita saksikan dalam masjid-masjid bersejarah yang masih ada seperti di Turki, atau di Indonesia sendiri.

Baca juga: Arsitektur Masjid dalam Historiografi Islam

Seni juga banyak berkelindan dengan dimensi sufisme Islam. Banyak sufi atau ahli tasawuf yang mengapresiasi seni sebagai kemampuan murni manusia, untuk mengekspresikan kemurian spiritual mereka, khususnya kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan dan Nabi Muhammad. Jalaluddin Rumi termasuk sufi agung yang mengapresiasi seni, bahkan juga seorang seniman, yang mempopulerkan sastra, tarian dan lagu untuk mengeskpresikan pesan-pesan universal (untuk semua umat manusia) tentang cinta dan kerinduan kepada Tuhan.

Tidak hanya kaum sufi, seni sastra juga mengalami persentuhan dengan filsafat Islam. Beberapa filsuf Muslim, yang notabene adalah poet-philosopher, ambil contoh Muhammad Iqbal, banyak menuangkan gagasan-gagasan reflektifnya tentang perkembangan umat Islam justru melalui bait-bait sastra untuk mengajak kepada rekonstruksi pemikiran dan kemajuan Islam.

Baca juga: Muslim Dinamis (Muhammad Iqbal)

Kaligrafi dan arabesk merupakan salah satu bentuk seni lukis Islami paling populer, dan merupakan media sarana khas muslim untuk mengekspresikan seni. Menurut Nurcholish Madjid, yang melihat seni sebagai bagian penting dari “kaki langit peradaban”, melihat betapa khas kaligrafi mengekspresikan faham Ketuhanan yang abstrak (yang sejatinya tak terlukiskan), dan menjadikan wahyu sebagai salah satu manivestasinya, sehingga kaligrafi mencurahkan kekuatan wahyu Ilahi itu dalam bentuk gambaran-gambaran yang, tidak hanya artistik, tetapi juga sakral.

Arabesk, sesungguhnya, mendukung pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam, dengan mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif-motif yang indah, seperti bunga-bunga, daun-daun, dan poligon-poligon. Tulisan Arab juga sangat melekat dengan kaligrafi karena sifatnya yang luwes dan elastis.

Baca juga: Kaligrafi dan Seni Islam sebagai Harmoni Agama dan Budaya

Selain dilukiskan dalam berbagai bentuk kaligrafi, keindahan al-Quran sebagai wahyu Allah juga diekspresikan dalam bentuk seni baca al-Quran. Seni baca al-Quran atau tilawah termasuk seni Islami paling populer, dimana pembaca al-Quran dari berbagai latar belakang membaca al-Quran dengan indah dan dengan berbagai bentuk irama. Pembacaan ini tentu dilatari dengan pemahaman tajwid, pemaknaan, dan penghayatannya.

Selain tentu keindahan suara dan kefasihan, nilai kekhusyukan juga menjadi fokus utama dalam seni membaca al-Quran indah ini. Pencapaian Indonesia dalam seni ini, pada dekade terakhir, semakin mengagumkan di pentas dunia dengan banyaknya pembaca al-Quran asal Indonesia yang berprestasi di kancah internasional.

Seni yang lain, khususnya seni lukis, pernah menjadi sesuatu yang tabu dan dicurigai dalam Islam karena pengaruh faham “ikonoklasme”, yang lebih karena pengaruh agama dari luar, yang memandang tabu upaya menggambar dan merepresentasikan gambar-gambar makhluk yang bernyawa, baik manusia maupun binatang. Sehingga, sikap ikonoklastik lebih restisten terhadap eskpresi seni yang membahayakan keimanan. Namun demikian, hal ini lebih merupakan pengaruh agama di luar Islam terhadap agama Islam.

Baca juga: Indonesia akan Menjadi Pusat Tilawah al-Quran Dunia

Seni Islami juga telah berkembang seiring dengan alam demokrasi yang memberikan kebebasan berekspresi secara bertanggungjawab. Seni Islami telah begitu diapresiasi di ruang-ruang publik sehingga menciptakan berbagai festival-festival dan perlombaan-perlombaan seni Islam baik tingkat nasional maupun internasional. Seni juga telah menjadi “media komunikasi” perjumpaan nilai-nilai Islam dengan berbagai bentuk budaya lokal dengan penuh apresiatif. Dengan begitu, seni dianggap sebagai sarana dakwah dan medium perdamaian yang sangat fleksibel.

Kini, seni tidak lagi mengalami sakralisasi oleh mitologi-mitologi yang menyesatkan, tetapi justru seni telah mengalami desakralisasi dari hal-hal yang dianggap menodai keimanan. Bahkan sebagaimana olah raga, seni Islami semakin mendapat citra positif sebagai sarana olah rasa yang mampu memperkuat keimanan, seperti seni shalawat sebagai pujian kepada Nabi dan tilawah al-Quran yang mengagungkan Tuhan. Itu menunjukkan, literasi umat Islam sudah lebih matang untuk membedakan aspek mitologis atau nilai-nilai yang sesungguhnya tidak sesuai dengan Islam (kemusyrikan) dan nilai-nilai yang menjadi pesan utama Islam (tauhid). Wallahua’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *