Santri Melek Digital: Membangun Literasi Keuangan di Era Cashless

Gambar: Ilustrasi transaksi cashless menggunakan QR code, mencerminkan perubahan gaya hidup keuangan di era digital.
Sumber: Image by Freepik (https://www.freepik.com)

Oleh: Naila Kubila Ramadani

Saat Santri Bertemu Era Cashless

Tidarislam.co.- Di tengah arus perkembangan teknologi digital yang semakin deras, masyarakat Indonesia bergerak menuju kehidupan tanpa uang tunai, atau yang kerap disebut cashless society. Mulai dari transaksi belanja, donasi, hingga investasi, semua kini bisa dilakukan hanya dengan beberapa sentuhan jari di layar ponsel. Tidak hanya di kota besar, pola ini juga mulai menjalar ke desa-desa, termasuk ke lingkungan pesantren.

Menurut data Statista (2023), Indonesia termasuk negara dengan pengguna fintech terbanyak di Asia Tenggara, dengan lebih dari 80 juta pengguna aktif layanan keuangan digital. Sementara itu, populasi santri di Indonesia mencapai lebih dari lima juta jiwa (Kementerian Agama RI, 2021), menjadikan mereka sebagai segmen masyarakat yang signifikan dalam agenda nasional literasi keuangan digital.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan digital di kalangan santri masih rendah. Banyak dari mereka belum memahami dasar-dasar pengelolaan keuangan, apalagi dalam konteks digital. Maka, penting untuk mengangkat isu ini sebagai bagian dari transformasi pendidikan pesantren agar para santri tidak hanya unggul dalam ilmu agama, tetapi juga adaptif dalam menghadapi dinamika ekonomi digital.

Mengapa Literasi Keuangan Digital Penting untuk Santri?

Gambar: Seorang santri perempuan sedang berdiskusi secara daring menggunakan tablet, membahas laporan keuangan digital dari rumah.
Sumber: Image by tirachardz on Freepik (https://www.freepik.com)

Literasi keuangan digital adalah kemampuan individu untuk mengakses, memahami, dan menggunakan produk serta layanan keuangan berbasis teknologi secara bijak dan bertanggung jawab. Di era cashless, literasi ini bukan lagi keahlian tambahan, melainkan keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap individu, termasuk santri.

Indeks literasi keuangan Indonesia pada 2022 hanya mencapai 49,68% (OJK, 2022). Di sisi lain, indeks inklusi keuangan jauh lebih tinggi, yakni 85,10%. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara akses dan pemahaman. Banyak orang menggunakan layanan keuangan digital tanpa benar-benar memahami risikonya.

Dalam konteks santri, hal ini bisa berujung pada penggunaan aplikasi pinjaman online tanpa memahami bunga dan akadnya, tertipu investasi bodong, hingga penyalahgunaan dompet digital. Tanpa edukasi yang memadai, santri berpotensi menjadi korban dari sistem yang semakin kompleks dan cepat berkembang ini.

Secara luas, literasi keuangan digital juga penting untuk mendorong kemandirian ekonomi santri. Mereka yang cakap secara finansial dan digital bisa menjadi pelaku usaha yang inovatif, memanfaatkan platform digital untuk berdagang, berdakwah, dan membangun jejaring sosial ekonomi yang berlandaskan prinsip syariah.

Tantangan Literasi Keuangan Digital di Pesantren

Meski urgensinya tinggi, terdapat sejumlah tantangan dalam menanamkan literasi keuangan digital di kalangan santri dan pesantren:

  1. Akses Teknologi Terbatas
    Tidak semua pesantren memiliki akses internet yang memadai. Bahkan, sebagian masih melarang penggunaan gawai bagi santri demi menjaga fokus belajar. Ini membuat edukasi digital sulit dilakukan secara optimal.
  2. Kurikulum yang Belum Inklusif
    Kurikulum pesantren lebih banyak berfokus pada kajian keislaman klasik, sementara aspek praktis seperti pengelolaan keuangan atau penggunaan teknologi finansial belum banyak disentuh secara sistematis.
  3. Kurangnya Tenaga Pendidik Kompeten di Bidang Keuangan Digital
    Pengajar di pesantren umumnya berasal dari latar belakang keagamaan, sehingga dibutuhkan kolaborasi dengan praktisi dan lembaga keuangan untuk memperkaya perspektif dan materi.
  4. Minimnya Kesadaran tentang Keuangan Syariah Digital
    Banyak aplikasi keuangan yang belum sesuai dengan prinsip syariah. Santri perlu dibekali kemampuan menilai mana produk finansial yang halal dan mana yang tidak sesuai, agar tidak terjebak dalam transaksi riba atau gharar.

Namun, tantangan terbesar dalam meningkatkan literasi keuangan digital di kalangan santri tidak semata-mata terletak pada ketersediaan teknologi, melainkan pada pembangunan budaya dan pola pikir yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian serta nilai-nilai keislaman. Dalam konteks ini, penting bagi pesantren untuk mulai memasukkan kurikulum atau pelatihan informal mengenai ekonomi digital syariah. Pelatihan ini tidak hanya mengajarkan cara menggunakan aplikasi keuangan, tetapi juga membentuk karakter santri agar tidak konsumtif, tidak tergiur oleh kemudahan transaksi instan, serta menghindari jebakan riba dalam produk digital.

Baca juga: Literasi Finansial: Menuju Indonesia 2030

Selain itu, peran alumni pesantren yang telah terjun ke dunia usaha atau keuangan digital juga dapat menjadi mentor atau role model bagi para santri. Kolaborasi antara pesantren, lembaga keuangan syariah, dan startup fintech halal perlu terus didorong. Dengan pendekatan komunitas, para santri dapat membentuk kelompok belajar atau koperasi digital sebagai wahana praktik langsung dalam mengelola keuangan berbasis digital yang sesuai syariah.

Literasi keuangan digital bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga bagian dari ikhtiar mencetak generasi muslim yang mampu menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri. Santri harus menjadi pionir perubahan, bukan sekadar penonton di tengah transformasi digital yang semakin cepat.

Langkah Strategis: Membekali Santri Hadapi Dunia Digital

Agar santri siap menghadapi tantangan zaman, sejumlah strategi konkret perlu diimplementasikan:

  • Integrasi Literasi Keuangan Digital dalam Kurikulum Pesantren
    Materi pengelolaan keuangan, dasar-dasar fintech, serta pengenalan terhadap e-wallet dan marketplace syariah harus mulai dimasukkan dalam pembelajaran. Ini bisa dilakukan melalui kelas tematik, pelatihan intensif, atau kerja sama dengan lembaga seperti Bank Indonesia dan OJK.
  • Pelatihan Santripreneur Berbasis Teknologi
    Pesantren bisa mendorong santri untuk mengembangkan unit usaha digital, seperti toko online, jasa desain, konten dakwah, atau marketplace lokal. Dengan pendampingan yang tepat, ini bisa menjadi wahana praktik langsung literasi finansial dan digital.
  • Pemanfaatan Media Dakwah untuk Edukasi Finansial
    Santri yang aktif di media sosial bisa menjadi duta literasi keuangan digital dengan membuat konten edukatif yang sederhana namun efektif. Dakwah tidak harus di mimbar, bisa juga lewat reels, video pendek, atau podcast.
  • Membangun Ekosistem Pesantren Digital
    Beberapa pesantren telah mengembangkan sistem pembayaran non-tunai internal bagi santri dan wali santri. Model ini bisa direplikasi oleh pesantren lain, disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan teknologi di masing-masing daerah.

Baca juga: BMT: Harapan Ekonomi Umat dari Pinggiran Negeri

Santri Cerdas Finansial, Indonesia Kuat Digital

Literasi keuangan digital adalah investasi jangka panjang. Ia tidak hanya membentuk individu yang bijak mengatur keuangan, tetapi juga menciptakan generasi yang berdaya saing di era digital. Bagi santri, keterampilan ini adalah bekal penting untuk mengintegrasikan ilmu agama dengan realitas sosial ekonomi kekinian.

Santri hari ini adalah pemimpin masa depan. Jika mereka dibekali dengan pengetahuan finansial yang memadai, maka mereka akan menjadi motor penggerak ekonomi umat. Membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan mandiri tidak cukup hanya dengan semangat, tapi juga butuh kecakapan, termasuk kecakapan digital.

Mari kita dorong gerakan #SantriMelekDigital sebagai bagian dari revolusi mental berbasis pesantren. Karena santri yang cerdas finansial adalah pondasi Indonesia yang tangguh di era digital.

Referensi

  • Kementerian Agama Republik Indonesia. (2021). Data Statistik Pendidikan Keagamaan Islam.
  • Otoritas Jasa Keuangan. (2022). Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK).
  • Fintech Market Penetration by Country (2023).
  • Pesantren dan Tantangan Transformasi Digital (2022, 14 Oktober).
  • Badan Ekonomi Kreatif. (2020). Santripreneur Sebagai Pilar Ekonomi Umat.

Naila Kubila Ramadani, merupakan mahasiswi aktif di program Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *