Salam Lintas Agama Tidak Dilarang

Oleh: Prof. Dr.phil. KH. Sahiron Syamsuddin, M.A.

Tidarislam.co – Salah satu hal yang saat ini diperdebatkan adalah boleh-tidaknya seseorang menyampaikan salam dengan berbagai ucapan salam yang ada di berbagai agama, atau biasa disebut dengan ‘salam lintas agama’. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa orang Islam dilarang untuk mengucapkan salam lintas agama.

Selain itu, MUI mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan fatwa tersebut. Alasan yang dijadikan landasan adalah bahwa ucapan salam adalah doa dan doa itu termasuk ibadah. Dengan demikian, MUI menegaskan bahwa mencampuradukkan salam dari berbagai agama itu dilarang karena hal ini berarti mencampuradukkan ibadah. Fatwa ini merupakan keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII pada akhir Mei 2024 di Bangka Belitung (baca: detik.com, 31 Mei 2024).

Artikel singkat ini memberikan respons kritis terhadap hasil keputusan MUI tersebut. Ada dua hal yang didiskusikan di sini. Pertama, benarkah Islam mengajarkan bahwa salam itu termasuk ibadah murni? Kedua, bolehkah umat Islam melakukan ‘salam lintas agama’?

Terkait dengan termasuk-tidaknya salam itu dalam ibadah, hal yang harus kita diskusikan terlebih dahulu adalah definisi ibadah. Menurut al-Jurjani dalam kitab al-Ta‘rifat mendefinisikan ‘ibadah’ dengan ‘segala perilaku setiap mukallaf (orang berakal dan sudah baligh) yang tidak didasarkan pada hawa nafsu, melainkan dalam rangka mengagungkan Allah Swt’ (h. 189). Dengan demikian, segala perbuatan baik yang bertujuan untuk mentaati, memuliakan dan bersikap ikhlas kepada Allah disebut ibadah.

Ibadah ini terbagi ke dalam dua bagian, yakni ‘ibadah mahdlah’ (ibadah murni) dan ‘ibadah ghair mahdlah’ (ibadah yang tidak murni). Ibadah mahdlah terkait dengan relasi manusia dengan Tuhan dan telah diatur tata caranya secara jelas dalam Islam, seperti yang terdapat dalam rukun Islam. Adapun ibadah ghair mahdlah adalah segala perilaku baik dengan sesama umat manusia dan alam semesta dan tata caranya diatur secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi. Islam hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja dan hal ini didasarkan pada aspek kemaslahatan. Ibadah semacam ini sering disebut juga sebagai ibadah sosial. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa yang termasuk ibadah semacam ini adalah menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan orang bersin, membantu orang lemah, menolong orang yang teraniaya dan menyampaikan salam (HR al-Bukhari, VIII: 65).

Baca juga: Meneroka Tren Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Dari Hadits di atas dapat dimengerti bahwa hal-hal terkait ucapan salam itu termasuk ibadah ghair mahdlah yang aturan rincinya diserahkan kepada ijtihad ulama dan pemerintah dari waktu ke waktu dan bersifat dinamis serta selalu didasarkan pada kemaslahatan orang banyak. Keputusan Ijtima Ulama yang tergabung pada MUI tersebut di atas sangat problematik, karena, pertama, keputusan itu tidak membedakan dua jenis ibadah tersebut di atas, dan kedua, tidak memperhatikan aspek kemaslahatan bangsa, yakni persatuan/kesatuan bangsa, kohesi sosial dan perdamaian.

Salam lintas agama itu bertujuan untuk menghormati dan menciptakan kedamaian di kalangan umat-umat beragama yang ada di Indonesia. Salam ini biasa disampaikan dalam acara-acara yang melibatkan banyak umat beragama dalam rangka mengakui eksistensi mereka dan mempererat kohesi sosial yang saat ini sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia yang sangat plural ini. Singkat kata, salam lintas agama tidaklah dilarang dalam Islam.

Salah satu alasan MUI dalam mengharamkan salam lintas agama adalah bahwa salam itu berdoa untuk keselamatan semua umat beragama. Tampaknya MUI berpikir bahwa mengucapkan salam atau mendoakan keselamatan kepada non-muslim dilarang dalam Islam. Hal ini dapat dibantah dengan beberapa dalil. Ketika menafsirkan Q.S. al-Nisa’: 86 (tentang menjawab salam), Abdullah ibn Abbas, salah satu sahabat Nabi, mengatakan, “Barangsiapa dari makhluk Allah mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah salamnya itu, meskipun yang mengucapkan salam itu orang beragama Majusi!” Begitu juga halnya dengan Qatadah, dia mengatakan bahwa perintah menjawab salam dengan yang lebih baik itu diterapkan apabila yang mengucapkan salam adalah orang Islam, dan perintah menjawab salam yang setara itu dilakukan, apabila orang yang bersalam itu non-Muslim yang tidak memusuhi (ahl al-dzimmah) (Ibn Katsir, 1:482).

Jadi, menurut dua ulama besar tersebut, mendoakan keselamatan bagi non-Muslim itu boleh dilakukan, bukan larangan. Terlebih lagi, menjawab atau menyampaikan salam di negara yang masyarakatnya memang plural, khususnya dalam hal agama dan keyakinan, seperti Indonesia, tentunya sangat dianjurkan, karena hal ini dapat memperkuat kohesi sosial.

MUI memutuskan bahwa orang Islam tidak boleh menggunakan ungkapan salam dari umat agama lain, seperti “Salah Sejahtera” atau yang lainnya, dengan alasan bahwa hal itu menyerupai (tasyabbuh) non-Muslim. Hal ini pun tidak tepat. Memang, ada hadits yang berbunyi, “Barangsiapa yang menyerupai kaum tertentu, maka dia masuk dalam golongannya.” (Sunan Abi Dawud, Bab Berpakaian, hadits no. 4). Namun, hadits ini disampaikan dalam situasi perang, sehingga menyerupai musuh dalam hal berpakaian atau perilaku lainnya dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun salam lintas agama itu dilakukan di Indonesia dalam konteks perdamaian dan persatuan, bukan konteks peperangan. Sehingga dalam hal ini, tidak terjadi tasyabbuh sama sekali.

Walhasil, dari pembahasan singkat di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa hasil Ijtima Ulama MUI yang mengharamkan salam lintas agama itu tidak memiliki dasar yang cukup kuat. Selain itu, dalam kasus ini, pemahaman MUI terhadap teks-teks keagamaan masih bersifat tekstualis, dan sama sekali tidak memperhatikan konteks saat teks (Al-Qur’an dan Hadits), khususnya yang terkait dengan ucapan salam itu diturunkan oleh Allah atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebaliknya, pendapat yang membolehkan salam lintas agama memiliki argumentasi yang cukup kuat, baik dari segi tekstual maupun kontekstual. Dari sisi kemaslahatan pun kebolehan salam lintas agama dapat meperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Sahiron Syamsuddin, pengasuh pesantren Baitul Hikmah, kini menjabat sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

Baca juga: Ngaji Tasawuf Bareng Menteri Agama

 

Sumber: arina.id.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *