Olivier Roy vs Gilles Kepel: Radikalisasi Islam atau Islamisasi Radikalisme?

Oleh: M.N. Prabowo Setyabudi

Sebagai buntut dari serangan bom di Paris dan Saint-Denis yang menewaskan 130-an orang oleh sekelompok bersenjata anggota ISIS pada 13 November 2015, beberapa tahun belakangan terjadi diskusi untuk menjawab apa dan mengapa terorisme itu terjadi? Dua sarjana Perancis yang selama ini mengamati persoalan Islam dan radikalisme, Gilles Kepel, sarjana politik penulis Jihad: the trail of Political Islam (2003), dan Olivier Roy, sarjana sosiologi penulis The Failure of Political Islam (1992), saling mengemukakan argumen menjawab apakah Islam sendiri menjadi akar persoalan. Perdebatan kedua islamolog itu adalah seputar akar persoalan apa itu islam radikal, dan bagaimana peran Islam di dalam radikalisme. Keduanya mewakili dua pandangan mainstream yang bertentangan di Barat dalam melihat hubungan Islam dan radikalisme.

Argumen dan perdebatan mereka diyakini tidak hanya memiliki implikasi untuk Eropa dan Timur Tengah, tetapi juga Asia yang memiliki populasi Muslim yang besar. Argumentasi Kepel, yang banyak mengamati fenomena dunia Arab, mengerucut pada substansi yang ia sebut “radikalisasi Islam” (radicalization of Islam). Menggunakan pendekatan strukturalis, ia meyakini bahwa dalam persoalan radikalisme, individu tidaklah berperan; sistemlah, dalam hal ini sistem agama, yang lebih dominan; persoalannya terletak pada sistem agama; agama, dalam hal ini Islam, telah terradikalisasi dan menjadi akar persoalan kekerasan; Islam dengan sistem ideologi dan politik di dalamnya sendiri, Islam politik salafi radikal seperti ISIS dan al-Qaeda, yang menjadi sumber segala persoalan. Itu pula yang diyakininya terjadi dengan beberapa kelompok muda Muslim-militan jihadis di Perancis yang selama ini berada di di balik serangan terror di Perancis, dan gerakan politik jihadisme yang mengancam dunia Barat. Ia juga menyatakan, munculnya terorisme bertepatan dengan munculnya generasi ketiga Muslim secara bersamaan di Prancis dan apa yang dia sebut sebagai “gelombang Jihad ketiga.” Pandangan Kepel ini sering diasosiasikan mewakili cara pandang dominan selama ini dalam teori radikalisme Barat.

Sementara Olivier Roy, yang banyak mengamati fenomena Islam di Asia Tengah, dengan cara pandang sosiologis mengemukakan substansi yang sebaliknya. Ia melihat kekerasan radikalisme sebagai “gejala sosial”, bahwa yang terjadi adalah sebentuk “islamisasi radikalisme” (islamization of radicalism) karena para pelaku teroris itu hanya menggunakan Islam sebagai kedok untuk membungkus tindakan radikal, artinya menggunakan sampul Islam untuk menutupi kejahatan. Menurutnya, persoalannya tidak terletak pada agama, dan ideologi agama tidak terlalu berperan signifikan dalam kasus jihadisme. Persoalannya terletak pada struktur sosial di luar agama, kegagalan kohesi social, aktualisasi diri yang dilegitimasi oleh hasrat keagamaan yang meluap. Problem esensialnya bukanlah ISIS, melainkan pada masyarakatnya.

Roy lebih tertarik dengan pendekatan “horisontal behaviouristik” untuk melacak penyebab spesifik keterlibatan individu dan lingkungan sosialnya yang membawanya pada radikalisme. Identifikasi proses radikalisasi diperlukan agar bisa mengambil kebijakan preventif lebih tepat. Hasil pengamatannya menunjukkan tindakan radikal itu lebih mengarah pada trayek personal daripada komunitas. Disinilah tampak terorisme sebagai pemberontakan kaum muda yang mengalami kegalauan identitas atas kondisi masyarakatnya, yang diartikulasikan dengan narasi mulia Islam tentang jihad. Merekalah, para pemuda pemberontak, yang kemudian diinstrumentalisasi oleh ISIS untuk tujuan strategis. Para radikalis, yang umumnya dari kelompok migran dan pemeluk baru agama, kemudian tertarik pada bentuk Islam Salafis, kelompok konservatif yang umumnya menolak budaya di Eropa, yang tertarik pada kekerasan modern yang jauh dari konsepsi jihad tradisional. Gagasan kelompok tersebut jauh dari konsepsi politik Islam –sebagaimana dibayangkan Kepel–, dan lebih banyak didorong oleh “imajinasi” daripada pemikiran rasional tentang politik Islam.

Roy melihat aksi-aksi terror yang utamanya dilakukan para imigran dari Asia dan Afrika, tampak sebagai pemberontakan generasi muda Eropa daripada sebagai fenomena ideologis. Generasi muda imigran yang disebut “generasi kedua” dan “generasi ketiga” imigran yang menghadapi budaya sekuler di Eropa, menghadapi “deteritorialisasi” baru, rasa frustasi dan tekanan sosial dan psikologis berhadapan dengan dunia Barat yang kosmopolitan, mayoritas non-Muslim, sama sekali berbeda dengan keyakinan mereka, dan bertahan dalam suasana perasaan sebagai minoritas yang kalah. Para generasi muda itu menghadapi gagap budaya di tengah budaya urban yang baru dan ruang yang lebih kosmopolitan. Mereka mengalami keterasingan dari masyarakatnya, dan sampai batas tertentu mengalami “ketercerabutan dari akar budayanya sendiri”. Akibat dari inferioritas kompleks di tengah budaya non-Muslim, mereka melarikan diri untuk disengagement of culture and religion, dan mencari relasi sosial yang lebih eksklusif sesama identitas agama. Gagal berasimilasi dengan kebangsaan baru, agama menjadi satu-satunya penanda identitas mereka, diikat oleh rasa solidaritas agama universal dan perjuangan ummah. Mereka kemudian mengalami perasaan “kelahiran kembali” (born again), dengan berbagai ekspresi keagamaan yang lebih mirip gerakan neo-fundamentalis. Dominasi sekular yang kuat di satu sisi, dan ketidakmampuan mewujudkan ide-ide politik mereka, menjadikan mereka melakuan cara-cara ekstrim dan meniti jalan kekerasan dan mencari umat baru, new ummah, dalam jaringan Islam global. Dalam imajinasi mereka, kemudian, budaya Eropa harus disterilkan dari seluruh unsur budaya non-Islami yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Mereka kemudian terbuai oleh ide-ide politik Islam (islamisme) jihadisme dan Islamic state. Namun, upaya politik mereka yang selalu gagal membuat mereka semakin militan.

Akar dari semua itu, pandangan Roy mengenai radikalisme tampak ada labirin sosial-budaya yang tebal. Dalam fenomena radikalisme, ada spektrum kekerasan, tetapi juga pada hulunya, adalah persoalan sosiologis yang kompleks. Alex S. Wilner, misalnya, menulis bahwa transformasi personal menjadi radikal di Eropa sangat dipengaruhi faktor sosio-politik, karena kegagalan dalam integrasi sosial-politik beberapa kelompok Muslim, pengalaman diskriminasi, viktimisasi, dan xenophobia, kegagalan untuk berasimilasi dan membaur secara wajar dengan penduduk senegaranya, sehingga mereka mencari rekan yang senasib dan membuat asosiasi kecil yang eklusif daripada masuk dalam komunitas bangsa. Fenomena “islamisasi radikalisme” di Perancis, dengan demikian, mencerminkan sebentuk aksi reaksi atas konflik yang terjadi dalam masyarakat urban yang tidak dapat membaur, sehingga mengundang aksi terorisme dan menjadikan agama sebagai pelarian.

Analisis sosiologis, geografis, dan politis Roy menolak persepsi popular di Barat tentang Islam, bahwa Islam dipersepsikan sebagai kekuatan terpadu untuk merebut negara di Asia dan Arab; bahwa Islam adalah kekuatan negatif yang ada di balik persoalan-persoalan besar dunia; bahwa diperlukan perang territorial untuk melawan para terroris; bahwa sedang berlangsung upaya yang massif untuk membangun kesatuan ummah, dan lain sebagainya. Fenomena radikalisme Eropa yang banyak diaktori oleh kaum imigran (tidak semuanya, belakangan muncul aktor dari kelompok non-imigran) tampak sebagai pemberontakan generasi muda yang “nihilistik”, tidak mempedulikan apa-apa lagi untuk mewujudkan “imajinasi” mereka.

Dengan demikian, jika seturut dengan argument sosial Olivier Roy, pertama, radikalisme bukanlah (utamanya) fenomena keagamaan; kedua, radikalisasi tidak muncul dari aktivisme politik; ketiga, radikalisasi tidaklah mencerminkan konsentrasi yang nyata terhadap apa yang terjadi dengan umat Muslim yang lain di Timur Tengah atau di mana saja;  keempat, radikalisasi tidak tumbuh dari fundamentalisme agama, misalnya salafisme; kelima, radikalisasi tidak benar-benar berakar dari ideologi; radikalisasi bukan respon dari marginalisasi sosio-ekonomi. Ini adalah problem “generasional”, generasi kedua dari imigran yang sedang memberontak di tengah masyarakat urban Eropa.

Beragam Faktor Radikalisme di Indonesia

Meski Olivier Roy dan Gilles Kepel berdiskusi dalam konteks Perancis atau Eropa yang spesifik, tetapi dua pandangan Roy dan Kepel tersebut menunjukkan bukan saja perbedaan perspektif, tetapi perbedaan dalam menjelaskan radikalisme secara umum, hulu-hilir, level, dan spektrum yang berbeda yang mengitari persoalan radikalisme.

Di Indonesia, harus diakui, dengan pendekatan represif, pemerintah berhasil menekan aksi-aksi radikalisme keagamaan seperti terorisme dan kelompok-kelompok Islam militant seperti FPI dan HTI. Namun bukan berarti jaminan agenda radikalisme itu hilang dan tidak akan muncul kembali dalam momentum politik tertentu. Oleh karena itu, melihat kembali radikalisme dalam lingkaran agama masih selalu relevan, karena radikalisme merupakan salah satu ancaman utama bukan saja bagi otoritas agama, tapi juga bagi negara dan bangsa Indonesia.

Penulis melihat, meski kecenderungan persepsi masyarakat di Indonesia lebih mengarah kepada pandangan Kepel, tetapi argumentasi Roy relevan untuk melihat radikalisme di Indonesia dari dimensi sosial budaya. Seturut dengan argumentasi Roy, radikalisme yang menggunakan kedok agama, tak ubahnya, dan sama nihil dan bahayanya, dengan radikalisme dalam bentuk kekerasan berbasis suku atau etnis di Indonesia, seperti radikalisme Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, kekerasan revolusi 65, atau kejahatan teror berbasis cyber. Tak heran jika kemudian di beberapa negara muncul gerakan perlawanan kolektif, seperti yang pernah terjadi di Amerika, terhadap setiap bentuk kekerasan, tidak hanya terbatas pada kekerasan terorisme, tetapi juga kekerasan oleh aparat negara.

Dalam hal radikalisme agama, meski berbeda dengan konteks Eropa, dimana pelaku radikalisme muncul dari problem imigran dalam masyarakat urban, hal itu berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Radikalisme di Indonesia adalah imbas dari konflik politik internasional. Dalam berbagai kejahatan radikalisme-terorisme, kelompok “minoritas Muslim” ini menggunakan kedok memperjuangkan Islam ala Timur Tengah sebagaimana yang mereka adopsi dari Timur Tengah (Afghanistan yang sedang berperang melawan Uni Soviet) yang digunakan oleh militan jihadis di sana, untuk kemudian melegitimasi kekerasan dan terorisme yang sama di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia menjadi tempat pelarian yang relatif aman bagi penjahat-penjahat internasional karena luasnya wilayah dan lunaknya penegakan hukum. Fenomena ini lebih cocok diungkapkan sebagai “islamisasi radikalisme” daripada “Islam radikal” atau “radikalisme Islam”, yang seolah-olah Islam membenarkan jihad dengan jalan kekerasan seperti itu di Indonesia.

Bagaimana mungkin Islam dijadikan dalih untuk kegiatan radikalisme di Indonesia? Jika merefleksikan berbagai pelaku radikalisme berkedok agama seringkali yang terlihat adalah problem personal, diawali dari krisis identitas para agen dari kalangan generasi muda. Para pelaku radikal-jihadis yang tertangkap oleh pihak keamanan selama ini rata-rata juga kaum muda belasan tahun yang labil secara psikologis. Mereka menjadi radikal di tengah situasi psikologis yang labil di usia muda, yang bermodal semangat tetapi masih minim pengetahuan.

Sejak kecil sebenarnya mereka tumbuh dan merasakan keislaman tradisional yang telah ada di Indonesia, tetapi kemudian menemukan lingkungan baru yang senasib sepemikiran tentang nasib umat Islam. Mereka berreaksi terhadap suatu kondisi sosial, ketidakpercayaan terhadap mayoritas Muslim, inferioritas kompleks sebagai pihak “minoritas yang kalah” di dunia, sehingga ingin menunjukkan solidaritas. Mereka sama-sama mengalami problem identitas budaya karena tercerabut dari akar-akar budaya Islam yang tumbuh di Indonesia.

Bagaimanapun, disini ada lapis persoalan budaya keagamaan. Kultur Islam di Indonesia mayoritas adalah Islam tradisional ala Nahdlatul Ulama dan Islam modern ala Muhammadiyah, selain juga akar tradisi tasawauf yang sarat pesan damai. Ketercerabutan dari akar-akar keislaman tradisional dan modern di Indonesia itu tampak para ketertarikan pada orientasi politik yang sangat sektarian. Mereka cenderung arabistik, menunjukkan pakaian dan atribut arab, merujuk kepada otoritas ulama Timur Tengah tertentu, seolah merasa inferior dengan otoritas ulama dan budaya Islam Indonesia. Beberapa figur Muhammadiyah, yang juga pernah merasakan sebagai “korban” manuver kelompok Islamis, melihat, bahwa selain kuatnya factor eksternal, ada persoalan kegagalan dan keterbatasan literasi tentang ideologi keislaman Indonesia sendiri sehingga mereka terseret ke dalam model keislaman berbeda yang tumbuh dari kultur yang jauh berbeda dengan kultur Indonesia.

Berbagai penelitian menunjukkan, banyak kaum muda terpikat oleh ide-ide imajinatif Islam politik. Tidak hanya laki-laki, invitasi radikalisme-terorisme juga telah menarik kelompok muda perempuan menjadi aktor di balik berbagai aksi radikalisme. Mereka menciptakan “imajinasi politik” tentang pendirian khilafah dan darul Islam di Indonesia. Mereka masih saja mengulang memori lama tentang negara Islam di Indonesia (NII) oleh Kartosuwiryo, sebuah gerakan yang mencerminkan, dalam istilah Roy, Islam politik yang gagal, dan telah disadari oleh mayoritas Muslim di Indonesia sejak lama. Di dalamnya, mereka bercita-cita untuk mewujudkan syariah Islam secara formal dalam bentuk negara Islam, sesuatu yang lama dipandang oleh para ulama sejak 1983-an sebagai utopia di tengah kemajemukan budaya. Sejak itu, persoalan nasionalisme dan politik dan keislaman sudah tidak diperhadapkan lagi, dan ulama memilih jalan kultural dan konstitusional dalam memperjuangkan aspirasi Islam. Kegagalan memahami sejarah Islam Indonesia ini telah mencabut mereka dari akar-akar pemahaman Islam yang moderat, ketika mereka terbawa pada dinamika politik global dan melupakan identitas keindonesiaan, mengaktifkan imajinasi seolah-olah sedang terjadi perang agama di dunia; seakan-akan Indonesia adalah darul harb seperti di Timur Tengah, kemudian dengan shortcut menempuh jalan jihad untuk mewujudkan cita-cita mereka mendirikan khilafah Islamiyah di Asia Tenggara.

Mengapa kaum muda menjadi sasaran empuk kaum radikal? Selain karena “krisis identitas” di atas, jawaban yang bisa diajukan, karena kedekatan relasi mereka dengan akses teknologi internet dan media social yang menjadi instrument radikalisasi, sehingga ini bisa menjadi penyebab lain guncangan mental atau juga potensi pemikiran untuk mengarah pada radikalisme. Media internet selama ini menjadi etalase terbuka bagi interaksi dengan radikalisme. Di situ, mereka bukan saja menjadi konsumen bagi konten-konten radikalisme, tetapi juga prosumer. Mereka tidak hanya membaca dan mengakses, tetapi juga mensirkulasikan konten-konten radikal. Informasi yang mereka dapatkan melalui media social dan internet, menjadi pintu masuk tanpa reserve untuk tahap radikalisasi berikutnya. Dengan berbagai kemudahan akses internet, mereka dengan mudah mengekspose aksi-aksi dan faham radikalisme.

Ada juga yang karena masalah ekonomi kemudian menjadi perantau di kota atau pergi ke luar negeri kemudian direkrut oleh jaringan radikalisme dan melakukan tindakan-tindakan kriminal, seperti membenci hingga memerangi pemerintah, merampok, mencuri, untuk mewujudkan agenda mereka. Mereka terinspirasi oleh sejarah masa lalu tentang cita-cita mewujudkan negara Islam di Indonesia. Mereka kemudian meninggalkan keluarga, dan mengalami “keterlahiran kembali” dalam ekologi radikalisme yang tertutup, dan bersimpati untuk menempuh jalan jihad sebagai bentuk protes kepada dunia. Mereka direkrut dan dimanfaatkan kaum Islamis untuk tujuan politik jangka pendek, dijadikan target untuk mengeksploitasi kebencian terhadap tatanan social dan global yang ada. Mereka kemudian dijadikan pengantin atau martir dalam aksi bom bunuh diri untuk mewujudkan imajinasi tentang kejayaan. Kaum muda yang masih dalam pertumbuhan psikologi yang labil dan belum cakap berpikir rasional, bahkan tidak mengerti dan memiliki kapasitas tentang keislaman tradisional, menjadi pihak yang rentan untuk dijadikan sebagai aktor dari aksi terorisme.

Terjadilah, misalnya, aksi Bom Bali yang didalangi “trio bomber” dari para anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang mengaku penerus Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) di Indonesia yang ingin mendirikan khilafah Islam di Asia Tenggara dan melakukan pemberontakan dengan kekerasan untuk tujuan politik mereka. Mereka merekrut 3 anak muda untuk meledakkan diri. Aksi mereka sangat “nihilistic” dan tidak merasa bersalah terhadap para korban. Semacam “banalitas kejahatan”, dalam terminologi Hannah Arendt. Salah satu aktor yang terlibat bom Bali, Jack Harun, misalnya, mengaku telah berimajinasi tentang ummah dan Islam global sejak aktif di Rohis di bangku sekolah SMP, terpantik solidaritanya setelah mengakses berita-berita Muslim dunia global di internet, kemudian membangun relasi dengan kelompok-kelompok eklusif; sekalipun ia mengenyam pendidikan tinggi, bahkan pendidikan tinggi negeri, dan sempat mengenyam pendidikan setahun di Universitas Islam di Yoyakarta, namun relasi sosial dan solidaritasnya membawanya masuk jaringan NII dan JI, memulai berjihad di Ambon dan Poso, dan terlibat aksi bom Bali yang mereka maksudkan untuk memberikan “pesan global”. Beruntung, psikologinya kembali tergugah setelah mendengar nasehat dari ibunya.

Disini tampak, sebetulnya ada akar persoalan social dan psikologis yang lebih deteriminan mendahului kejahatan tersebut, yakni psikologi dan solidaritas social yang diekspresikan secara salah. Pada akhirnya, berkat program deradikalisasi dan pembekalan berbagai pelatihan, banyak dari beberapa pengikut radikal yang berhasil direhabilitasi hingga “menyadari” kesalahannya hingga bisa berbaur kembali di tengah masyarakat secara normal.

Radikalisme sering digunakan sebagai pelampiasan atas rasa frustasi terhadap kondisi sosial yang ada, baik budaya sekuler, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan hukum, maraknya korupsi, kondisi kerusakan moral, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai menghancurkan Islam atau tidak sesuai dengan apa yang mereka yakini tentang Islam, sehingga menciptakan kondisi psikologi “ingin mati”. Dalam kejadian bom Polsek Astana Anyar 2022, misalnya, memberikan pesan simbolik pada sepeda motor yang digunakannya tentang pengesahan KUHP, yang dianggap sebagai hukum syirik. Pelakunya seolah ingin menyampaikan pesan perlawanan kepada para penegak hukum. Dalam kejadian bom di Gereja Katedral Makassar tahun 2021, pelaku yang merupakan pasangan muda yang belum lama menikah sedang menghadapi masalah ekonomi. Mereka meledakkan diri di depan gereja. Mereka memita izin meninggalkan keluarganya untuk berjihad dan menitipkan pesan surat wasiat untuk menjauhi praktik riba di bank. Keduanya berafiliasi kepada ISIS sejak muda. Lukman, salah satu pelaku, merupakan anak yatim sejak kecil dan kurang mendapatkan pendidikan keluarga. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga dan social yang memberikan pendidikan dan perhatian yang baik. Namun kegagalan mereka dalam memahami kultur budaya di dalam negara bangsa, kegagalan beradaptasi dengan masyarakat dan menjadi warga yang baik, dan jengah dengan kondisi social yang mereka anggap sudah tidak sesuai dengan keyakinannya, membuat mereka terbuai oleh ide-ide Negara Islam Indonesia.

Selain faktor relasi dan ideologi, individu yang terradikalisasi juga turut diperkuat dengan akar sejarah kultur kekerasan di Indonesia yang pernah terjadi dan berlangsung lama, termasuk akar kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara, yang semakin membangkitkan sentimen kekerasan. Beberapa pelaku kekerasan terorisme di Indonesia mengaku terilhami oleh memori kekerasan rezim masa lalu. Bayang-bayang tentang kekerasan panjang di era kolonialisme yang memusuhi Islam, penumpasan DI/TII 1949, kekerasan Tanjung Priok 1984, kekerasan tahun 1965, kekerasan Talangsari 1989, kekerasan konflik social Ambon dan Poso 1999, dan kekerasan-kekerasan terhadap yang melibatkan Muslim dan Islam politik di era Orde Lama dan Orde Baru, turut menjadi sisi latar belakang dari fenomena kekerasan yang berbasis agama dan terorisme di Indonesia. Menolak rezim Soeharto yang sekuler dan dianggap pelaku kekerasan terhadap umat Islam, banyak kaum muda tertarik lari dan dikirim ke Afghanistan bersama militant jihadis “pemberontak” yang sedang memerangi pemerintah negaranya yang komunis.

Situasi globalisasi yang borderless juga juga membuka jendela bagi arus informasi, migrasi, dan masuknya jaringan radikalisme dan ide-ide salafisme radikal. Batas-batas negara menjadi kabur untuk lalu lintas jaringan radikalisme, dan bahkan kelompok radikal jihadis tidak mengakui batas-batas territorial negara. Keterbukaan informasi juga membuka ekses kekerasan politik, ketika kekerasan politik di suatu negara kemudian diadopsi dan diduplikasi dengan mudah oleh orang di negara yang lain. Berita-berita kekerasan di belahan dunia, terkait kekerasan di Irak, konflik politik di Afghanistan dan Syiria, penembakan masal di New Zeeland, persekusi Muslim Rohingnya, persekusi Muslim di India, terutama kekerasan politik dan militer di Palestina, dengan mudah dapat diakses oleh masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan aksi-reaksi dan sentimen kekerasan di masyarakat. Karena terinspirasi kekerasan itu, maka radikalisme yang awalnya merupakan konflik politik secara vertikal, menjadi konflik sipil antar agama dan sesama masyarakat sipil karena perbedaan agama, seperti tampak pada, misalnya, pengeboman gereja yang menimbulkan banyak korban yang tidak bersalah.

Dengan tingkat radikalitas yang berbeda, kelompok “minoritas Muslim” yang berhaluan salafis non-militan jihadis seringkali melakukan kekerasan sipil, dalam bentuk lascar-laskar, front-front, yang bersifat paramiliteristik. Mereka seringkali mengangkat isu sektarianisme agama, seperti kesesatan, kemurtadan, dan kekurufan. Mereka tidak menumpahkan kekerasan secara vertical (kekerasan melawan negara), tetapi sering menjadi actor kekerasan horizontal (kekerasan terhadap sesama warganegara) terhadap mereka yang berbeda pandangan dalam perkara agama. Dengan memanfaatkan kelemahan negara dalam hal penegakan hukum, kelompok radikal non-jihadis ini bak preman berjubah surban, dalam istilah Buya Syafii Maarif, dan melakukan persekusi untuk mengeksploitasi kebencian dan menolak kelompok-kelompok minoritas Muslim maupun non-Muslim di Indonesia hanya untuk mencari kepentingan-kepentingan politik tertentu.

Dengan demikian, ada banyak labirin sosial, ekonomi, budaya, dan politik ideologi dalam persoalan radikalisme. Berbagai dimensi, mulai krisis identitas generasi muda yang menjadikan ideologi agama sebagai pelarian, dan ada latar belakang struktur, historis, dan kultural di lapisan bawah sadar individu juga turut membangkitkan sentimen dan melanggengkan ingatan yang, sampai batas tertentu, melegitimasi berbagai tindakan kekerasan atas nama agama yang selama ini terjadi di Indonesia. Wallahua’lam []

Bibliografi

Alex S. Wilner & Claire-Jehanne Dubouloz, “Homegrown terrorism and transformative learning: an interdisciplinary approach to understanding radicalization”, Global Change, Peace & Security, Vol. 22:1, 38-40.

Arinto Nurcahyono, “Kekerasan sebagai Fenomena Budaya: Suatu Pelacakan terhadap Akar Kekerasan di Indonesia”, Mimbar Volume XIX No. 3 (2003): 243-260.

Catherine Putz, “Kepel vs Roy: Arguing About Islam and Radicalization”, See: https://thediplomat.com/2016/07/kepel-vs-roy-arguing-about-islam-and-radicalization/ (Diakses 05 Juni 2023, 19.00)

GertjanDijkink, “Olivier Roy, Globalized Islam. The Search fora New Ummah”, dalam GeoJournal (2006) 67:377-379

Government of Canada, National Strategy on Countering Radicalization to Violence, 2018.

Ibnu Rusyd, “Mengapa dan Bagaimana Islamisme Muncul: Bedah Buku The Failure of Political Islam Karya Olivier

Lorne L. Dawson, “Olivier Roy and the “Islamization of Radicalism”: Overview and Critique of a Theory of Western Jihadist Radicalization”, Journal for Deradicalization Spring 2022 No. 30, 87.

Marc Weitzmann, “France’s Great Debate Over the Sources and Meaning of Muslim Terror” https://www.tabletmag.com/sections/news/articles/roy-kepel-marc-weitzmann

Michele Brignone, “The origins of Jihadism in Europe”, https://www.oasiscenter.eu/en/origins-jihadism-europe

Muhammad Hisyam dkk. Globaliasasi dan Transformasi Sosial Budaya: Pengalaman Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2021), 286-298.

Olivier Roy, “Jihadism: A Generational and Nihilist Revolt”, Logos: a journal of modern society & culture, dalam:  https://logosjournal.com/2016/roy/ (Diakses 05 Juni 2023, 20.00)

Olivier Roy, “What is the driving force behind jihadist terrorism? – A scientific perspective on the causes/circumstances of joining the scene”, Speech in International Terrorism: How can prevention and repression keep pace?,  BKA Autumn Conference, 18 – 19 November 2015. https://life.eui.eu/wp-content/uploads/sites/7/2015/11/OLIVIER-ROY-what-is-a-radical-islamist.pdf

Rahma Sugihartati, Bagong Suyanto, and Mun’im Sirry, “The Shift from Consumers to Prosumers: Susceptibility of Young Adults to Radicalization” Social Sciences, 2020, 9, 40: 1-15.

René Lévy, “Does Jihadist Terrorism Have Religious Foundations? Jihadist Attacks and Academic Controversies in France (2012-2017)” Dilemas – Revista de Estudos de Conflito e Controle Social, vol. 12, no. 2, pp. 217-238, 2019. See: https://www.redalyc.org/journal/5638/563860269002/html/

Roy (Bagian 2)”, dalam: https://alamtara.co/2021/09/02/mengapa-dan-bagaimana-islamisme-muncul-bedah-buku-the-failure-of-political-islam-karya-olivier-roy-bagian-2/

Sityi Mesarotul Qori’ah, “Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia”, SAWWA: Jurnal Studi Gender, Vol. 14, No. 1 (2019): 31-46.

Velda Leona Dewi & Puguh Sadadi, “Konflik ideologi dan sosiologi urban sebagai invitasi terorisme di Perancis”, Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, Vol. 7. No. 4, 2021: 651-657.

Website

https://www.youtube.com/watch?v=4uHBofa99nw&feature=youtu.be

https://makassarmetro.com/2021/03/30/surat-wasiat-pelaku-bom-gereja-katedral-ini-isi-lengkapnya