Review Buku “Para Perancang Jihad”

Dalam beberapa dekade terakhir ini, dunia banyak diwarnai oleh gerakan-gerakan ideologis berbasis teror yang dilakukan oleh kelompok jihadis Muslim. Sebagai gerakan trans-nasional, aksi-aksi mereka terentang dari Asia, Eropa, bahkan hingga Amerika. Paling tidak, sebagai salah satu metode jihad, aksi bunuh diri merupakan praktik paling popular dalam menyerang kaum kafirun. Bentuk aksi bunuh diri ini merupakan salah satu bentuk respon dari kaum ekstrimis atas ketidakpuasaan dan protes, yang juga pernah menjadi metode umum selama seabad yang lalu dalam tragedi kaum anarkis di Eropa.

Sebagai gerakan trans-nasional, mereka memiliki kamp-kamp inti di belahan dunia mana pun. Dalam aksi rahasianya, negara-negara Barat tampaknya wilayah yang cukup aman bagi kerakan mereka, di samping bebas kaum ekstrimis ini juga membutuhkan para teknisi-teknisi handal untuk merakit bom sekaligus strategi-strategi juga untuk menumpas kaum kafirun. Fenomena yang amat menarik adalah, mengapa kalangan terdidik, katakanlah kaum teknisi dan saintifik, begitu banyak terlibat dan menjadi salah satu aktor penting yang memobilisasi gerakan jihadis ini, baik di Timur maupun di Barat.

Hal yang amat menarik adalah buku ini memberikan satu perspektif baru tentang khazanah “gerakan ekstrimis muslim” yang ditinjau dari sudut pandang yang berbeda karena banyak peneliti tentang “ekstrimisme Islam” hanya berdasarkan spekulasi dan teori serta banyak dirumuskan di ruang kantor dan di balik meja. Tinjuan faktual dan komprehensif dalam buku ini memberikan satu argumentasi yang akurat dan memberikan titik cerah dalam memahami sifat fundamental dari ekstrimisme Islam dan mekanisme di balik kemunculannya.

Variabel pendidikan sebagai kunci dalam meneliti aktor-aktor dibalik gerakan ekstrimsime ini, menurut penulis, memiliki sejumlah keuntungan, di antaranya dapat memastikan akurasi data dari riwayat hidup para aktor jihadis, karena riwayat pendidikan tidak mungkin salah, tidak seperti pekerjaan atau profesi lain yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, pencarian aktor-aktor ekstrimis selalu berbasis data dan nama, dan hal itu bisa ditelusuri melalui gambaran pendidikan.

Salah satu kesimpulan menarik dari buku ini adalah tentang “deprivasi relatif”, yaitu suatu perasaan kecewa dari kaum ekstrimis karena adanya harapan yang tinggi sementara berbanding terbalik dengan kenyataan. Hal ini menjadi kunci dalam menjelaskan mengapa banyak kalangan terdidik dan saintis terlibat dalam aksi-aksi radikal dan terror di Timur Tengah dan negara-negara Barat. Meski demikian, ini merupakan penjelasan ilmu-ilmu sosial humaniora, tidak ada hubungan intrinsic antara ilmu-ilmu eksakta dengan ideology ekstrimis.

Data empiris menyebutkan, sebagaimana analisis penulis, 497 anggota kelompok radikal di dunia Islam yang aktif sejak 1970. Dari data ini, hanya 28 yang punya pendidikan di bawah pendidikan tingkat lanjut dan 76 orang telah lulus sekolah tingkat lanjut. Dua ratus tiga puluh satu orang telah menjalani pendidikan tinggi, baik lulus maupun tidak, dan dari jumlah itu setidaknya 40 orang belajar di negara-negara Barat.

Hal yang menarik juga adalah adanya bukti data yang menyatakan bahwa, dengan membandingan pendidikan dari gerakan Islam ekstim kanan dan gerakan radikal kiri. Hasilnya cukup menarik, yakni umumnya kalangan gerakan ekstim kanan ini tersedot dalam jurusan sains, sementara gerakan ekstrim kiri justsu dalam jurusan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tetapi ini tidak bisa menyimpulkan secara tegas bahwa mahasiswa sosial tidak tertarik dalam gerakan ekstrim.

Ada perspetif psikologisme yang dapat menjelaskan secara intrinsik tentang rasionalitas yang dimiliki oleh mereka yang berhaluan kanan atau ekstim. Kajian menyeluruh terhadap literatur, yang umumnya berfokus pada kepribadian yang mendasari sikap sayap kanan dan konservatisme, hal ini menemukan bahwa tampaknya ada ciri yang paling relevan, yang merupakan ciri emosional adalah adanya kecenderungan untuk merasa jijik. Ciri ini akan membuktikan adanya keyakinan pada kemurnian atau keaslian dan tidak menginginkan hal itu dikotori. Ciri lain yang cukup relevan adalah adanya kebutuhan akan penyelesaian di bidang kognitif. Ciri ini menunjukkan pada keteraturan, struktur, dan kepastian. Ciri yang terakhir dan cukup menarik adalah adanya dorongan kognitif dan emosional untuk membedakan dengan tegas dan jelas antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Selaian temuan deprivasi relatif, penulis juga mengatakan bahwa kenapa sarjana teknin tidak hanya secara proporsional lebih rentan dibanding sarjana lain dalam bergabung dengan Islam esktrem tetapi juga bergabung dengan bahkan ketika kondisi ekonominya tidak begitu buruk? Di Timur tengah misalnya. Ada bukti kuat bahwa ahli teknik lebih mungkin bergabung dengan kelompok oposisi kekerasan dibanding non kekerasan, memilih kelompok agama dibanding sekuler, dan lebih kecil kemungkinan membelot setelah mereka bergabung dengan kelompok Islamis.

Teori mengenai ekstimisme lain berpendapat bahwa profil ekstimis akan ditentutan oleh pilihan para perekrut, dengan kata lain di dorong oleh kebutuhan. Perekrutan akan lebih memilih anggota yang lebih berpendidikan dan di antara mereka, memiliki keahlian yang berguna bagi pertempuran yang mereka jalani. Perekrutan memang memiliki referensi seperti itu dan secara aktif mencari anggota mereka.

Dalam kasus negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, deprifasi relatif dan kecenderungan ideologis bekerja sama; yakni yang pertama memilih lulusan-lulusan elit dan yang kedua mengingkatkan perbandingan ahli teknin di dalamnya. Untuk hal ini, buku ini menjelaskan bagaimana interaksi antara kondisi sosial dan karakteristik pribadi, yang telah banyak diduga oleh para ilmuwan, dapat bekerja. Tapi di Barat dan di beberapa negara Asia berkembang, serta juga antara ekstremisme sayap-kanan, kecenderungan ideologis sendiri sudah cukup menentang dugaan penulis sebelumnya, yakni untuk menarik jumlah besar ahli teknik untuk menjadi radikal.

Secara substansif, sebagai titik kesimpulan, temuan penulis buku ini mengindentifikasi aspek ideologi mana yang benar-benar penting dalam mengelompokkan orang-orang dengan ciri-ciri berbeda masuk ke dalam politik ekstrem berbeda. Contohnya, preferensi akan keteraturan sosial, penghindaran perubahan, dan intoleransi terhadap anggota di luar kelompok, sementara ciri-ciri lain dari ideologi yang beragam dalam kelompok-kelompok sayap kanan antara Amerika dan Eropa, atau antara Islamisme dengan sekuler kanan, bergentung kepada konteks. Di antara ini semua, salah satunya adalah pandangan mengenai negara, yang mati-matian ditentang oleh kelompok sayap kanan AS, dan didukung kuat oleh rekan Eropa mereka. Tapi religiusitas mungkin merupakan wajah yang paling beragam, tampak organic bagi semua Islamis dan bagi banyak ekstrim sayap kanan AS, tetapi diabaikan oleh rekan Eropanya. Rasa haus akan keteraturan dalam diri dan kehidupan sosial dapat dipuaskan dengan cara-cara yang berbeda.

Judul                : Para Perancang Jihad

Pengarang     : Diego Gambitta & Steffan Hertog

Penerjemah    : Heru Prasetia

Penerbit            : Gading, Yogyakarta

Halaman          : 294

Terbit               : Cetakan Pertama, Juni 2017 ISBN               : 978-02-0809-34-2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *