Religious Outlook 2024: Dari Moderasi Menuju Maslahat

Oleh: Aji Sofanudin

Kementerian Agama RI cq Badan Litbang dan Diklat Kemenag berkolaborasi dengan Nahdlatul Ulama menggelar Konferensi Moderasi Beragama Asia Afrika dan Amerika Latin (KMBAAA) 20-22 Desember 2023 di Bandung. Staf khusus Menag Wibowo Prasetyo mengatakan, KMBAAA merupakan ikhtiar Kementerian Agama dalam penguatan moderasi beragama di level global. Apalagi, Menag Yaqut Cholil Qaumas, diberi amanat sebagai Ketua Pelaksana Sekretariat Bersama (Sekber) Moderasi Beragama (www.balitangkemenag.go.id).

Keberadaan Sekber Moderasi Beragama didasarkan pada Perpres 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama yang baru saja ditandatangani Presiden Jokowi (Pasal 9). Sebelumnya, melalui Perpres 12 tahun 2023 tentang Kementerian Agama RI, pemerintah juga membentuk unit khusus “Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan  SDM” yang berada di bawah Kementerian Agama RI. Badan ini kabarnya akan menggantikan “Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI”.

Saat ini pemerintah Indonesia gencar melakukan berbagai program penguatan moderasi beragama. Diksi moderasi beragama ada dalam RPJMN 2020-2024 yang ditetapkan melalui Perpres Nomor 18 tahun 2020. Pemerintah juga menyusun roadmap moderasi beragama tahun 2020-2024. Namun, ada kesan moderasi beragama dimaknai sebagai rezimentasi paham ormas keagamaan tertentu oleh negara.

Moderasi Beragama

Moderasi beragama dalam dokumen “resmi” dimaknai sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Ada empat indikator moderasi beragama: (1) komitmen kebangsaan, (2) toleransi, (3) anti-kekerasan, dan (4) akomodatif terhadap budaya lokal (Tim Kemenag, 2019). Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti pernah mengusulkan agar ditambahkan dengan indikator ihsan (berbuat baik), tetapi kurang mendapatkan respon.

Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifudin (LHS), mendefinisikan moderasi beragama sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun keselamatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan mentaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa (Lukman Hakim Saifudin, 2022). Dalam pandangan LHS, terdapat konsep: (1) komitmen kebangsaan (mentaati konstitusi, relasi agama dan negara), (2) toleransi (adil, berimbang, relasi intern dan antar umat beragama), (3) anti-kekerasan (mengejawantahkan esensi agama, martabat kemanusiaan, keselamatan umum). Hemat kami, dalam konsep LHS, tidak ditemukan kaitan akomodatif terhadap budaya lokal.

Dalam Perpres 58 tahun 2023, konsepsi tentang moderasi beragama juga termasuk kepercayaan. Dalam pasal 1 disebutkan:

Moderasi Beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama dan kepercayaan yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai kesepakatan berbangsa.

Menuju Beragama Maslahat

Sejak zaman Soekarno sampai dengan era Jokowi Widodo, negara selalu menempatkan agama pada posisi yang penting. Pemerintah dari waktu ke waktu senantiasa memberikan pelayanan kepada agama. Secara umum, layanan keagamaan semakin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.

Era Soekarno, melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 2/1185/KJ/1946 pemerintah cq Kementerian Agama RI hanya melayani dua agama yaitu Islam dan Kristen. Pada era Soeharto pemerintah melayani lima agama: Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Pada era Gus Dur menjadi enam agama yang dilayani yaitu agama Konghucu. Era pasca reformasi, (SBY dan Jokowi) tidak hanya enam agama yang dilayani, tetapi juga para penghayat kepercayaan mendapatkan rekognisi dari pemerintah.

Selain jumlah layanan keagamaan, dari tahun ke tahun ragam layanan juga meningkat. Era Soekarno, Kementerian Agama fokus pada urusan penerangan agama dan NTC (Nikah Talak dan Cerai). Pada era Soeharto menjadi NTCR (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), penerangan agama, pembentukan majelis-majelis agama: MUI, PGI, KWI, PHDI, dan Walubi serta membangun “Masjid Pancasila” yang tersebar pada seluruh provinsi di Indonesia. Era reformasi fokus pada penguatan layanan pendidikan agama melalui PP Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.

Isu moderasi beragama belum ada pada era orde lama. Pada orde baru, sudah ada wacana kerukunan umat beragama yang terkenal dengan sebutan trilogi kerukunan umat beragama. Pada era reformasi muncul istilah harmoni umat beragama dan moderasi.

Makna moderasi mengalami pergeseran. Pada tahun 2000-an, moderasi lebih dimaknai sebagai sesuatu untuk melawan radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Peristiwa bom Bali, pada 12 Oktober 2002 menjadi awal mulanya. Gagasan moderasi dianggap lebih baik untuk menggantikan terminologi deradikalisasi.

Makna moderasi pada tahun 2014-an bergeser menjadi menghindari polarisasi. Moderasi digunakan sebagai lawan dari politik identitas, menghindari narasi cebong dan kampret, kadrun dan buzzerRp. Moderasi beragama digunakan untuk melawan isu politisasi agama, politisasi rumah ibadah, dan politik identitas. SE Nomor 9 tahun 2023 mengkonfirmasi hal tersebut. Dalam regulasi tersebut, materi ceramah keagamaan “tidak bermuatan kampanye politik praktis”.

Hemat kami,

wacana keagamaan ke depan akan bergeser kepada agama yang fungsional dalam kehidupan masyarakat, agama yang menghadirkan nilai maslahat. Gagalnya RUU Perlindungan Umat Beragama dan/atau UU Kebebasan beragama yang dibahas di DPR mengindikasikan bahwa persoalan teologi” tidak perlu dibuat regulasi secara ketat. Demikian juga, RUU Kerukunan Umat beragama yang diadopsi dari PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 juga tidak dibahas DPR. Arah kebijakan pengelolaan agama oleh negara akan bergeser dari hal teologi” menuju ekonomi”.

Regulasi yang bernuasa “ekonomi” banyak bermunculan. Beberapa yang bisa disebut misalnya undang-undang wakaf (UU No 41/2004), undang-undang zakat (UU No 33/2011), undang-undang jaminan produk halal (UU No 33/2014), undang-undang penyelenggaraan haji dan umrah (UU No 9/2019), serta undang-undang pesantren (UU No 18/2019).

Diskusi keagamaan yang muncul adalah bagaimana agama memberikan maslahat (kebermanfaatan, faedah). Hal tersebut sepertinya “ditangkap” oleh Kementerian PPN/Bappenas dalam menyusun RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2025-2045 dengan diksi “beragama maslahat”. Beragama maslahat dan berkebudayaan maju menjadi salah satu dari 17 arah prioritas pembangunan yang ditetapkan Kementerian PPN/Bappenas.

Fenomena ini mengindikasikan adanya  trend pergeseran dari isu “moderasi” ke isu Beragama Maslahat atau inovasi. Inovasi dalam berbagai bidang dibutuhkan untuk menyongsong Indonesia emas 2045, termasuk inovasi beragama (IB). IB adalah  kebaruan dalam pemikiran dan praktik beragama yang dilandasi semangat perubahan untuk kemaslahatan bersama.

Inovasi beragama dalam konsepsi Muhammadiyah dikenal dengan sebutan tajdid (pembaruan) sementara dalam bahasa NU dikenal dengan istilah  bid’ah hasanah. Inovasi Beragama atau Beragama Maslahat sepertinya akan menjadi trend pengelolaan agama oleh negara. Moderasi beragama merupakan bagian kecil dari konsep beragama maslahat. Wallahu’alam.

Aji Sofanudin

Senior Researcher pada Badan Riset dan Inovasi  Nasional (BRIN)