Terbaru

Realitas Profesionalisme Guru dan Tantangannya

Oleh: Abuzar Al Ghifari*

Tidarislam.co- Sudah maklum adanya, bahwa guru merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia dihadapan Allah SWT. Hal tersebut dibuktikan dengan posisi guru sebagai bagian dari pewaris Nabi Muhammad SAW, yang memberikan pencerahan melalui ilmunya kepada masyarakat luas terutama pada lembaga pendidikan formal. Allah SWT telah menitipkan ilmu kepada para guru, dengan itu mereka wajib untuk menyampaikannya. Dalam Islam, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menyampaikan apapun yang diketahui meskipun hanya satu ayat. Ilmu yang dimiliki oleh siapa pun tak terkecuali para guru, harus disampaikan kepada masyarakat terutama peserta didik di lembaga pendidikan formal.

Guru merupakan faktor terpenting guna terwujudnya perkembangan peserta didik dalam kehidupan yang optimal.[1] Penulis menyampaikan bahwa tugas guru tidak sekedar mengajarkan ilmu, melainkan lebih luas. Guru harus mendidik, memotivasi, mengevaluasi, yang lebih penting lagi menyiapkan anak didiknya untuk menghadapi masa depan. Untuk itu seorang guru harus mampu memahami hakekat dari profesinya.[2] Memang menjadi guru merupakan hal yang tidak mudah. Banyak dari beberapa lapisan masyarakat menganggap menjadi guru sangat mudah, hingga memandang sebelah mata profesi guru. Tidak sedikit yang berasumsi, bahwa berprofesi guru tiada lain hanya sekedar mengisi kekosongan waktu atau dalam bahasa lainnya “ untuk tidak menganggur”. Secara kasat mata, pekerjaan menjadi guru sedikit termarjinalkan di kalangan masyarakat Indonesia. Terutama mengenai penghasilan “gaji”, sangat jauh dari yang diinginkan.

Penulis melihat gejala ini melalui pengalaman, hingga saat ini berprofesi sebagai guru di salah satu lembaga pendidikan Pesantren. Keadaan ini tidak bisa dihindari, terutama perbandingannya dengan keadaan guru di Malaysia yang sangat jauh dari Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengubah pandangan masyarakat luas tentang guru, perlu adanya sebuah program yang tujuannya menaikkan profesionalisme guru.[3] Sehingga pekerjaan menjadi guru tidak dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat.

Selain keistimewaan posisi guru disebagian negara di dunia seperti Malaysia, Finlandia termasuk negara yang menganggap bahwa guru merupakan profesi favorit. Menurut Kamaruddin Amin, hampir semua guru sudah bergelar Strata Master serta menguasai pedagogik hingga materi yang akan diajarkan. Meskipun penulis belum yakin sepenuhnya kualitas guru di Finlandia unggul dari sebagian negara lainnya. Hanya menurut beberapa ahli pendidikan yang pernah survey lapangan, dikatakan bahwa kualitas Pendidikan di Finlandia untuk saat ini berada pada level atas di dunia.

Baca juga: Pesantren: Sebuah Kajian Awal dan Analisis Historis 

Sebelum penulis mengkaji lebih jauh akan profesi guru, perlu bagi penulis untuk menjelaskan definisi profesi. Sering kali mendengar kata profesi, tetapi belum tentu memahaminya secara benar. Dalam Islam profesi diartikan dengan mihnah, hirfah dan sina’ah. Sa’duddin Mus’ad Hilali salah satu guru besar Universitas Al Azhar Kairo Mesir dalam bidang Fikih Perbandingan Madzhab lebih menguatkan terhadap mihnah yang lebih tepat digunakan untuk mengartikan profesi.[4] Menurutnya, secara bahasa mihnah diartikan sebagai keahlian dalam mengerjakan sebuah pekerjaan, keahlian ini membutuhkan sebuah kecerdasan dalam pengelolaannya. Menurut para Fuqaha, hampir kebanyakan mengartikan mihnah sesuai dengan definisi bahasa. Meskipun sebagian mereka mengartikan mihnah secara dua pandangan. Pandangan pertama: mengeluarkan seluruh daya upaya dalam mengerjakan suatu pekerjaan, meskipun tanpa mendapatkan imbalan dalam hal ini adalah gaji. Dalilnya seperti yang telah diriwayatkan langsung oleh Imam Bukhori bahwa Aisyah pernah ditanya oleh Aswad bin Zaid: apakah Nabi bekerja di rumah? Lalu Aisyah menjawabnya, bahwa beliau selalu bekerja untuk keluarganya. Apabila beliau mendengar adzan maka beliau bergegas untuk shalat.[5]

Kedua: Mihnah diartikan sebagai aktifitas sehari-hari dimana seeorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan dalam menjalankan kehidupannya. Kalimat mihnah dianggap lebih luas dari hirfah, sina’ah maupun lainnya Dari dua pandangan ini, Sa’duddin Hilali lebih menguatkan pada pandangan pertama, karena lebih dikenal oleh kebanyakan masyarakat.[6] Kata profesi dapat ditemukan dalam kosa kata bahasa Indonesia melalui bahasa Inggris profession dan bahasa Belanda professie. Kedua bahasa ini merupakan bahasa latin. Dua bahasa tersebut, tersirat sebuah makna berupa pernyataan maupun pengakuan.[7]

Dari arti kedua bahasa tersebut, penulis melihat bahwa profesi sangat identik atas pengakuan seseorang terhadap suatu pekerjaannya. Tatkala ada seseorang berprofesi sebagai insinyur, maka ia telah memberitahukan kepada orang lain bahwa pekerjaan yang ia pilih adalah insinyur. Menurut Abuddin Nata, profesi untuk saat ini memiliki ketentuan yang ketat, tidak dapat suatu pekerjaan dikatakan profesi jika tidak memenuhi tiga unsur. Pertama: kegiatan yang dikatakan profesi ialah jika ada unsur mencari nafkah. Dalam artian seseorang yang bekerja untuk mencari nafkah demi memenuhi kebetuhan keluarganya dapat dikatakan pekerjaan tersebut disebut dengan profesi. Kedua: suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memenuhi nafkah harus dikerjakan dengan keahlian. Dalam hal ini keahliannya harus bertaraf tinggi bukan sedang ataupun tanpa keahlian semata-mata dikerjakan oleh orang awam, hal tersebut tidak dapat disebut sebagai profesi.

Dari kedua ketentuan ini, penulis melihat ada tiga unsur dasar yang menunjukan suatu pekerjaan disebut dengan profesi. Pertama: suatu profesi harus memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan tersebut bisa berupa individual seperti perorangan, dan juga kolektif berupa pelayanan kepada masyarakat. Kedua: ada nilai tersembuyi pada profesi berupa pengabdian. Dalam hal ini seseorang yang sedang berprofesi apapun, ia harus mengetahui pekerjaannya, sehingga dapat memberikan manfaat besar kepada masyarakat luas. Ketiga: setiap bidang profesi harus terus- menerus menyempurnakan prosedur kerja, tidak boleh berhenti. Dari beberapa ketentuan yang penulis sampaikan sebelumnya, profesionalisme pekerjaan berisikan suatu keahlian yang di dalamnya ada nilai pengabdian, keahlian ini harus selalu ditingkatkan secara terus menerus seiring perkembangan zaman yang selalu berubah-rubah.[8] Hal ini senada dengan pendapat Oemar Hamalik yang telah mengkutip pendapat  Sikun Pribadi, mendefinisikan profesi sebagai berikut:[9]

“Profesi itu pada hakekatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan  dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil  untuk menjabat pekerjaan itu”.

Definisi tersebut, Oemar Hamalik mengambil kesimpulan bahwa profesi harus mengandung unsur 3 hal: pertama; hakekat sebuah profesi merupakan pernyataan sesuatu atau janji secara terbuka, kedua; profesi harus mengandung unsur pengabdian, ketiga; profesi merupakan jabatan atau pekerjaan tertentu.

Profesionalisme dalam pekerjaan sangat penting untuk dilakukan. Jika dilihat definisi profesi pada pembahasan sebelumnya, sangat jelas akan penting keahlian pada pekerjaan. Keahlian dalam bekerja menurut penulis tidak cukup, kecerdasan akal harus disandingkan dengan keahlian yang dimiliki. Penulis akan menyampaikan sepuluh kriteria suatu bidang pekerjaan masuk kategori profesi menurut Ahmad Tafsir,[10] sebagai berikut:

  1. Profesi harus memiliki keahlian khusus
  2. Profesi dijadikan sebagai panggilan hidup
  3. Profesi harus dijalani sesuai dengan teori-teorinya
  4. Profesi harus dijadikan sebagai pengabdian kepada masyarakat bukan hanya untuk diri sendiri
  5. Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif
  6. Yang berprofesi memiliki otonom dalam melaksanakan profesinya
  7. Profesi harus memiliki kode etik
  8. Profesi harus ada klien atau sebagai pemakai jasa
  9. Profesi ada organisasinya
  10. Pemegang profesi bisa mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lainnya.

Dari sepuluh kriteria profesi yang dipaparkan oleh Ahmad Tafsir sebenarnya cukup universal untuk dipahami. Kesepuluh kriteria di atas, sangat komprehensif dan sesuai dengan kondisi terkini. Ia pun memberikan catatan penting, bahwa profesi memerlukan dua unsur penting yaitu “keahlian” dan “dedikasi”. Dalam mengerjakan profesi harus berdasarkan perintah Allah atau dalam bahasa lainnya merupakan panggilan, bukan berdasarkan paksaan. Dari sini, menjalani pekerjaan harus bersumber dari panggilan hati. Karena itu menandai, bahwa bekerja dalam Islam merupakan pengabdian kepada Allah SWT, dedikasi kepada manusia yang berkaitan dengan pekerjaan. Maka dari itu, Islam menganjurkan untuk bekerja secara profesiaonal dengan artian dilakukan secara benar.[11] Coba disimak hadits Nabi SAW berikut ini:

Rasulullah SAW berkata jika suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli, maka tunggulah kehancuran.”

Secara eksplisit, hadits ini mengajarkan agar melakukan pekerjaan harus secara profesional. Dapat dibayangkan, jika guru tidak mengajarkan ilmunya secara benar kepada anak didik, maka yang terjadi ialah kehancuran.[12] Tentu dari sekian banyak anak didik, kemungkinan ada yang menjadi guru dikemudian hari atau mungkin ia memberikan ceramah kepada masyarakatnya. Ini merupakan takwil penulis dalam memahami hadits di atas. Jika dikorelasikan hadits di atas dengan fenomena keadaan guru maupun lembaga pendidikan formal saat ini. Untuk itu pembinaan guru melalui lembaga penjamin mutu di sekolah maupun kampus harus diadakan dan berjalan, bukan hanya sekedar nama akan tetapi pemangku kebijakan tidak menjalankan amanah. Yang terjadi kedepan tiada lain akan banyak kesalahan orientasi yang dialami oleh kebanyakan guru.

Ada kebingungan yang penulis alami saat melihat profesi guru apakah termasuk pengabdian semata atau termasuk profesi yang membutuhkan keahlian. Hal ini penulis dapatkan dari analogi tentang  hukum menerima upah bagi seseorang yang mengajarkan Al Quran. Sebagian Ulama mengatakan bahwa boleh menerima upah dalam mengajarkan Al Quran. Mengajar dalam hal ini dapat dikatakan ia disewa atau dikontrak untuk mengajarkan Al Quran. Jika guru Al Quran mendapat gaji dari baitul mal atau beberapa masyarakat yang telah menyiapkan untuk menggajinya, hal ini sangat dilarang. Sebagian Ulama mengatakan bahwa menerima upah bagi pengajar Al Quran bukan dari upah manusia melainkan balasan langsung berupa pahala dari Allah SWT.

Baca juga: Pesantren dan Kedudukannya di Mata Hukum Positif 

Dugaan penulis, terjadi pada masa lalu yang tidak sama dengan urf saat ini. Kondisi terkini berbalik jauh yang mengatakan pengajar Al Quran lebih dominan menjadikan pengabdiannya sebagai profesi dengan tujuan mencari nafkah. Maka dari itu, sebagian Ulama mengatakan membolehkan pengajar Al Quran menerima upah atau gaji. Alasan mendasar dalam hal ini untuk menjaga keberlangsungan hidup bagi pengajar karena ia memiliki istri maupun anak. Ditakutkan jika tidak adanya upah, terjadi mafsadah atau kerusakan kepada pengajar Al Quran dan keluarganya. Adapun pengajar Al Quran berpindah profesi demi menjaga keberlangsungan hidupnya, akan terjadi mafsadah pula berupa hilangnya para penghafal Al Quran yang dapat mengajarkan kepada masyarakat luas. Ini disampaikan oleh Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf, berlaku  untuk Imam dan Muadzin yang dibolehkan menerima upah.[13]

Penulis menganalogikan upah pengajar Al Quran dengan profesi guru dikarenakan sama illatnya berupa mengajarkan ilmu kepada masyarakat luas. Menurut Dede Rosyada, bahwa profesionalisme dimaknai dengan kerja yang full time maksudnya guru harus bekerja dengan penuh waktu.[14] Jika anak didik masuk kelas dari jam tujuh pagi dan pulangnya jam dua siang. Maka guru harus pulang jam lima sore. Ia pun menambahkan, di Amerika para guru pulang dari sekolah jam sembilan malam.[15] Penulis memahami dari pemaparan yang disampaikan oleh Dede Rosyada, bahwa guru harus fokus dan konsentrasi penuh dalam mendidik anak didiknya selama di sekolah. Bahkan guru tidak sekedar mengajarkan ilmu, melainkan merangsang anak didik agar selalu mengoptimalkan potensi diri, bakat, minat untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Tentu potensi yang dimiliki peserta didik beragam, untuk itu bakat dan kompetensi yang dimiliki oleh anak didik harus diketahui oleh gurunya. Pastinya guru profesional akan mengerti potensi yang dimiliki peserta didik.

Ada tiga pilar pokok yang ditunjukan suatu profesi yaitu, pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Pengetahuan ialah suatu proses yang dicapai melalui proses belajar. Adapun keahlian dapat dikatakan berupa kepakaran atau yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Adapun guru profesional dapat dikatakan seseorang yang terdidik dan terlatih serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya. Sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung pada tahun 1990, ada perumusan sepuluh ciri profesi, di antaranya; memiliki fungsi signifikansi sosial, ada ketrampilan maupun keahlian yang dimiliki, keahlian  diperoleh dari teori maupun metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, disiplin ilmu yang menaungi teori tersebut, proses pendidikan dalam mendidik keprofesian, kode etik yang jelas, kebebasan memberikan judgment dalam memecahkan masalah, bertanggung jawab atas profesi, masyarakat mengakui profesinya serta memberikan imbalan.

Dapat diambil kesimpulan akan tujuan dari pengambangan profesi guru ialah sebagai upaya untuk meningkatkan mutu guru lebih profesional dalam melaksanakan segala tugas-tugasnya serta bertanggung jawab. Tujuan pengembangan ini, salah satu ikhtiar untuk mencetak guru handal dan siap berjuang karena Allah SWT.[16] Serta profesi guru tidak sekedar menjalankannya dengan mudah tanpa ada rambu-rambu yang mengatur.

Memang tidak mudah mengembangkan kualitas serta mutu guru untuk menjadi profesional.[17] Penulis sangat menyadari bahwa pengembangan guru profesional perlu ikhtiar serta kesungguhan, tidak hanya itu dibutuhkan waktu cukup dalam pengembangan disertai perencanaan yang struktrur dan terprogram. Oleh karena itu, guru profesional dapat ditempuh melalui empat persyaratan, yaitu: pertama; dasar ilmu yang dimiliki oleh guru harus kuat, kedua; guru memiliki wawasan tentang ilmu keguruan meskipun pakar salah satu bidang ilmu, ketiga; guru harus selalu mengembangkan kompetensi melalui riset ilmiah terkait dengan materi yang diajarkan, keempat; rekrutmen calon guru secara ketat dan terprogram.[18]

Dari keempat cara sebelumnya, salah satu upaya dalam pengembangan keprofesian guru. Ada pula beberapa pakar pendidikan menambahkan, perpustakaan khusus untuk guru perlu diwujudkan, sehingga guru tidak mengalami kesulitan untuk mencari referensi bahan yang akan diajarkan.[19] Perpustakaan merupakan salah satu unsur terpenting yang tidak bisa terpisahkan dengan pendidikan maupun lembaga formal. Perpustakaan merupakan ruhnya lembaga, jika suatu lembaga belum memiliki perpustakaan tanpa disadari telah menghilangkan salah satu ruh lembaga.

Ada pula upaya dalam meningkatkan profesionalisme guru terutama di lingkungan Pesantren An Nur Darunnajah Cidokom Bogor. Penulis sempat berbincang langsung bersama kepala sekolah Thawil Akhiruddin di lembaga tersebut.[20] Ia mengatakan, upaya lembaga Pesantren An Nur Darunnajah Cidokom dalam meningkatkan profesionalisme Guru dilakukan melalui tiga program. Pertama; melalui pembuatan i’dad tadris[21] atau bisa disebut juga dengan (RPP). I’dad tadris ialah sesuatu yang akan disampaikan oleh guru dari materi yang diajarkan dihimpun dalam buku khusus yang biasa dikenal dengan i’dad tadris. Menurut Thawil Akhiruddin, bahwa i’dad tadris merupakan sesuatu yang harus dilakukan karena ia merupakan hal mendasar dalam proses belajar mengajar di kelas. Keunikan dari i’dad tadris ini dilakukan setiap hari, lain dengan RPP yang hanya dilakukan sekali dalam setahun atau sekali dalam semester. Menurutnya pula, jika ada guru yang tidak membuat i’dad tadris biasanya ada sanksi yang diberikan dari pihak lembaga kepada guru yang bersangkutan.

Kedua: mengadakan supervisi atau biasa dikenal dengan naqd tadris. Proses yang berlangsung dalam naqd tadris biasanya ada beberapa guru senior ditugaskan oleh kepala sekolah untuk mensupervisi langsung salah satu guru dengan datang ke kelasnya saat proses belajar mengajar. Saat itu guru senior melihat proses belajar mengajar serta meninjau i’dad tadris yang dibuat, metodologi mengajar, serta keaktifan siswa saat mengkuti proses belajar mengajar. Tim supervisi mencatat dalam bentuk laporan saat proses belajar mengajar dan mendiskusikannnya bersama para guru lainnya saat rapat mingguan.

Ketiga: mengadakan ta’hil mudarrisin atau bimbingan dalam rangka meningkatkan karier guru terutama pada materi yang diajarakan. Proses yang terjadi pada kegiatan ini biasanya ada beberapa guru senior atau guru yang pakar salah satu bidang keilmuwan, diminta untuk mengajarkan kepada beberapa guru lainnya yang mengajar pada bidang tersebut. Proses ini, guru yang mengajar di karantina pada suatu tempat, dibagi tugas untuk mengkaji salah satu sub bab, lalu mendiskusikan bersama peserta lain. Adapun guru ahli hanya melihat, membimbing serta menambahkan terhadap sesuatu yang krusial. Setelah selesai seluruh proses, diadakan micro teaching. Satu persatu para peserta memperagakan cara mengajarnya dihadapan peserta lain. Menurut penulis upaya yang dilakukan oleh lembaga Pesantren An Nur Darunajah Cidokom perlu diapresiasi. Lembaga ini telah melakukan hal yang konkrit. Meski tiga upaya di atas dilihat sangat sederhana, tetapi pada prakteknya sangat mempengaruhi terhadap peningkatakan profesionalisme guru. Penulis tidak menafikan jika ada kekurangan yang terjadi saat meninjau ke lembaga tersebut.

Baca juga: Pendidikan Literasi: Strategi Efektif Meningkatkan Literasi Anak Gen Alpha di Era Disrupsi Teknologi

Pembahasan sebelumnya, penulis telah membahas salah satu unsur terpenting yaitu Profesionalisme Guru yang merupakan keharusan bagi para guru. Guru merupakan salah satu pekerjaan yang sangat mulia dalam Islam, karena menyampaikan sebagian ilmu yang diajarkan kepada peserta didik. Banyak ahli pendidikan mengatakan bahwa guru merupakan tenaga profesional yang membutuhkan keahlian dan tidak dapat dikerjakan oleh seseorang yang tidak memiliki keahlian tersebut.[22] Prakteknya, guru harus memiliki persiapan penuh untuk menyampaikan ilmu kepada peserta didik. Persiapan tersebut dapat dilihat melalui kepribadiannya, RPP atau i’dad tadris, alat peraga, materi yang diajarkan, dan seterusnya. Komponen-komponen yang penulis sebutkan sebelumnya, merupakan suatu keharusan untuk dilakukan bagi setiap guru.

Pendidikan Islam merupakan salah satu cara maupun ijtihad yang muncul akibat terjadinya sekulerisasi pendidikan akhir-akhir ini. Penyimpangan yang terjadi pada pola pendidikan di negeri ini perlu untuk diperhatikan dengan seksama. Dalam pendidikan Islam tidak ditekankan pada aspek keilmuwan, serta mengabaikan akhlak maupun kepribadian Islami. Islam sangat menjunjung tinggi akhlak, hal itu dapat dilihat melalui tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Untuk itu, pendidikan Islam berusaha mencetak calon guru yang Islami melalui konsep yang disampaikan oleh Ulama Klasik terdahulu. Di antara banyak ulama yang mengkonsep guru Islami ialah Imam Nawawi melalui salah satu karyanya yang berjudul Adab Al ‘Alim wa Al Muta’allim. karya Imam Nawawi merupakan salah satu yang menjawab tantangan di era modern cara dan upaya mencetak guru Islami. Memang tidak mudah menjadi guru ideal, meskipun sebagian masyarakat memandang guru merupakan profesi yang mudah. Hal ini muncul karena tidak memahami hakekat profesi guru. Tentunya setiap profesi apapun di dunia, memiliki tantangan yang harus dihadapi, begitu pula dengan profesi guru. Menurut Abuddin Nata, salah satu problematika yang dihadapi oleh guru agama saat ini dapat dilihat rendahnya pemahaman terhadap materi yang diajarkan serta kurang menguasai terhadap aspek metodologi pengajaran.[23]

Adapun menurut Qamaruddin Amin, salah satu guru besar UIN Makassar yang saat ini diamanahi menjadi Dirjen Pendidikan Islam Kementrian Agama Ia mengatakan sistem pendidikan di Indonesia merupakan salah satu sistem yang menantang di dunia. Alasannya ialah karena Indonesia memiliki luas teritorial serta perbedaan ras, suku, budaya.[24] Indonesia merupakan Negara mayoritas Islam di dunia. Tentunya Negara yang memiliki luas teritorial, memiliki tantangan besar. Aspek keberagaman dalam ras, agama, budaya, bahasa merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini distribusi guru ke beberapa daerah di Indonesia masih belum terjangkau luas. Penulis melihat daerah-daerah terpencil dibeberapa kawasan Indonesia masih minim guru, hal ini berakibat kepada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Meskipun demikian, spirit serta semangat yang dirasakan oleh generasi bangsa di beberapa daerah, tidak diragukan keberadaannya. Rasa semangat menuntut ilmu masih melekat pada jiwa generasi bangsa. Dapat disaksikan beberapa media, anak-anak harus melewati sungai, hutan, dan lainnya untuk bisa sampai ke sekolah.

Untuk saat ini pembentukan akhlak mulia merupakan hal yang semestinya dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan tidak hanya membentuk insan mulia dalam bidang keilmuwan, melainkan mampu mencetak generasi bangsa yang berakhlak mulia. Menurut Syaiful Bakhri, tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini tidak hanya pada permasalahan “krisis multidimensi”. Dengan artian bukan pada bidang keuangan semata, melainkan adanya pengelolaan yang lemah dalam urusan pemerintahan serta kekuasaan, sehingga semakin merambah meliputi semua elemen kehidupan bangsa.[25] Hal ini terjadi menurutnya karena kurang perhatian terhadap agenda penegakan akhlak mulia. Agenda penegakan akhlak mulia harus diterapkan pada setiap aspek kehidupan masyarakat, tidak hanya pada elemen pendidikan. Menjadi guru ideal harus bersamaan dengan akhlak mulia. Guru merupakan sebagai pendidik, ia pun akan dilihat oleh anak didik dalam sertiap gerakan. Tentu karakter, serta kepribadiannya dapat menunjukan akhlak mulia, berintegritas tinggi serta berkepribadian mulia. Mustahil anak didik akan menjadi manusia yang unggul jika tidak dicontohkan oleh gurunya.

Tugas kedepan pendidikan ialah terutama di sekolah maupun lembaga pendidikan formal lainnya memiliki dua komponen, pertama menyiapkan manusia yang mampu bersaing pada aspek keilmuwan dan sains teknologi, kedua pendidikan harus mampu melahirkan manusia yang memiliki kepribadian mulia. Lembaga pendidikan dapat menjadi garda terdepan untuk menerapkan kedua komponen tersebut. Terutama pembentukan akhlak, menjadi tujuan utama pendidikan.[26] Guru sebagai pemegang kendali pendidikan di sekolah, menyadari akan tujuan pendidikan berupa penanaman akhlak mulia. Jika ada oknum guru yang malas mengajar, kurang perhatian kepada anak didiknya, tidak mau mengembangkan kompetensi mengajar, dan lain sebagainya ini merupakan bukti akan lemahnya akhlak. Kualitas akhlak manusia sangat berhubungan erat dengan keimanannya. Dalam sebuah hadits dikatakan, bahwa salah satu ciri sempurnanya keimanan seseroang ialah jika memiliki akhlak mulia serta bermanfaat bagi orang banyak. Untuk itu kualitas akhlak guru di era globalisasi saat ini menjadi perhatian khusus terutama bagi para pemegang kebijakan seperti kepala sekolah, pengawas sekolah, kementrian tinggi pendidikan, tokoh masyarakat dan seterusnya. Bagi penulis, sebelum meningkatkan kualitas guru aspek pedagogik, profesionalisme, yang tidak kalah untuk menjadi perhatian khusus ialah pada aspek kepribadiannya.

Catatan Kaki

[1] Menurut Kamaruddin Amin, tugas guru bukan hanya sekedar mengajar, melainkan harus mampu meranagsang keinginan tahu anak didik, terus memotivasinya sehingga muncul rasa kritik dari murid. Hal ini jika kita korelasikan pada kondisi terkini, tidaklah mudah melihat tidak semua guru siap untuk dikritik oleh muridnya. meskipun mengkritik harus sesuai dengan etika, bukan sekedar menjatuhkan wibawa guru dimata peserta didik lainnya. penulis mendengar langsung pemaparan pandangan Kamaruddin Amin di acara seminar Nasional Profesionalisme Guru yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Uin Jakarta kamis 18 Mei 2017 di Ruang Teater Mahmud Yunus Lt 3 Gedung FITK.

[2] Rusdiana dan Yeti Heryati, Pendidikan Profesi Keguruan, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 43.

[3] Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, Bandung: Refika Aditama, 2012, hlm.  7.

[4] Salah satu alasan yang dikuatkan oleh Sa’duddin Hilali bahwa Mihnah lebih tepat untuk digunakan sebagai profesi ialah sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan langsung oleh Aisyah bahwa beliau bersabda untuk para istri:” bahwa pekerjaan kalian di rumah merupakan bagian dari jihad fi sabilillah”. Bahkan dalam riwayat lain, Nabi Isa pernah menyatakan ‘Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang bekerja, serta membenci seorang hamba menjadikan agamanya sebagai profesi’. Sa’duddin Mus’ad Hilali, Al Mihnah wa Akhlakuha, Kuwait: Universitas Kuwait Press, 2006, hlm. 58.

[5] Kalimat di hadits tersebut “mihnah ahlihi” diartikan pula dengan sayang kepada keluarga yang tidak luput dari kegiatan nafkah.

[6] Sa’duddin Mus’ad Hilali, Al Mihnah wa Akhlakuha, Kuwait: Universitas Kuwait Press, 2006, hlm. 50.

[7]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 159.

[8] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 161.

[9]Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 2.

[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2013, hlm. 162.

[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2013, hlm. 169.

[12] Rusdiana dan Yeti Heryati, Pendidikan Profesi Keguruan, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm.  45.

[13]Abdul Hayy ‘Azb, Buhuts fi Ushul Fiqh, Kairo: Univ Al Azhar, 2010, hlm. 153.

[14] Beliau menyampaikan sambutannya pada acara seminar Nasional Profesionalisme Guru di Era Digital yang diadakan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Uin Jakarta kamis 18 Mei 2017 di Ruang Teater Mahmud Yunus Lt 3 Gedung FITK.

[15] Beliau mengatakan demikian, karena pernah melakukan penelitan di beberapa sekolah Amerika. Untuk waktu tahun kunjungan saat itu, ia tidak menyebutkannya. Penulis hanya mendengar bahwa ia pernah melakukan penelitian dibeberapa lembaga pendidikan formal di Amerika tanpa menyebutkan tahun, hari, tanggal dan lain sebagainya.

[16]Aty Susanti, Efektifitas Pengelolaan Pengambangan Profesionalitas Guru Oleh Pemerintah Daerah (Disertasi), Bandung: UPI, hlm. 108.

[17] Menurut Abuddin Nata bahwa profesi suatu kosa kata bahasa Indonesia yang masuk melalui bahasa Inggris profession dalam bahasa Belanda professie. Dari kedua bahasa Barat menerima kata ini dan bahasa Latin. Dalam bahasa latin disebutkan kata professio yang artinya ialah pengakuan atau disebut juga pernyataan. Untuk itu profesi diartikan dengan pengakuan tentang bidang pekerjaan atau bidang yang dipilih. Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 159.

[18] Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, Bandung:Refika Aditama, 2012, hlm. 28.

[19] Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, hlm. 28.

[20] Penulis sempat mewawancarai Ust Thawil akhiruddin di Pesantren An Nur Cidokom.

[21] Tim sylabus KMI PM Darussalam Gontor Ponorogo, Ushul Tarbiyah wa Ta’lim, Gontor:Darussalam Press, 2011, hlm. 51.

[22] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 162.

[23] Penulis menerima hal ini saat melakukan bimbingan awal dengan beliau pada hari rabu 17 mei 2017 pukul 14.00 di kantor Yayasan Uin Jakarta. Saat itu beliau menyampaikan secara komprehensif mengenai tema yang akan penulis bahas, salah satunya ia menyebutkan beberapa kendala yang dihadapi oleh guru agama.

[24] Penulis mendengar langsung pemaparan pandangan Kamaruddin Amin di acara seminar Nasional ‘Profesionalisme Guru’ yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Uin Jakarta kamis 18 Mei 2017 di Ruang Teater Mahmud Yunus Lt 3 Gedung FITK

[25] Syaiful Bakhri, Pendidikan Global dan Globalisasi Pendidikan, makalah disampaikan dalam seminar Nasional dengan tema “Memperkuat Manajemen Pendidikan Islam dalam Menghadapi Globalisasi Pendidikan”, pada program Studi Doktor Manajemen Pendidikan Islam, Sabtu, 21 Mei 2016.

[26] Syaiful Bakhri, Pendidikan Global dan Globalisasi Pendidikan, makalah disampaikan dalam seminar Nasional dengan tema “Memperkuat Manajemen Pendidikan Islam dalam Menghadapi Globalisasi Pendidikan”, pada program Studi Doktor Manajemen Pendidikan Islam, Sabtu, 21 Mei 2016. Syaiful Bakhri merupakan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Daftar Pustaka

  • Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
  • Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Prespektif Al Quran, Jakarta: Prenada Media, 2016
  • Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2013
  • Abdul Hayy ‘Azb, Buhuts fi Ushul Fiqh, Kairo: Univ Al Azhar, 2010
  • Aty Susanti, Efektifitas Pengelolaan Pengambangan Profesionalitas Guru Oleh Pemerintah Daerah (Disertasi), Bandung: UPI
  • Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al Quran Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2007
  • Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta: AMP Press, 2014
  • Ibnu Katsir, Tafsir AL Quran Al ‘Adzim, Ditahqiq oleh Dr Sayyid Muhammad Sayyid dkk, Kairo: Darul Hadits, jilid 1
  • Ibnu Abbas, Tanwir Al Miqyas, Kairo: Dar Al Anwar Al Muhammadiyah
  • Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, Bandung: Refika Aditama, 2012
  • Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
  • Rusdiana dan Yeti Heryati, Pendidikan Profesi Keguruan, Bandung: Pustaka Setia, 2015
  • Sa’duddin Mus’ad Hilali, Al Mihnah wa Akhlakuha, Kuwait: Universitas Kuwait Press, 2006
  • Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, Bandung: PT Rosda Karya, 2016   
  • Tim sylabus KMI PM Darussalam Gontor Ponorogo, Ushul Tarbiyah wa Ta’lim, Gontor: Darussalam Press, 2011
  • Uril Bahruddin, Maharah Tadris, Malang: UIN Maliki, 2011
  • Yusuf Al Qaradhawi, Al ‘Aql wa Al ‘Ilm fi Al Quran Al Karim, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996

* Dr. Abuzar Al Ghifari, Lc., M.A., merupakan pengajar di Pesantren Darul Muttaqien Parung Bogor, Pesantren Darunnajah Jakarta, Dosen di Universitas Darunnajah Jakarta, dan peneliti di Pusat Pengembangan Pesantren dan Wakaf Universitas Darunnajah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *