“Rakyat” dalam Peristilahan Al-Qur’an

Tidarislam.co – Istilah rakyat dalam Al-Qur’an sering dikaitkan dengan istilah masyarakat.  Secara garis besar rakyat merupakan sebutan untuk komunitas manusia yang hidup di suatu wilayah tertentu dan diwajibkan untuk mematuhi segenap ketentuan perundangan yang berlaku dalam wilayah tersebut.

Term ini tentunya akan digunakan untuk kepentingan tertentu. Baik itu kepentingan konstutional atas hubungannya terhadap suatu kekuasaan atau yang lainnya. Karena keberadaan rakyat atau masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungannya sebuah institusi kekuasaan yang disebut negara atau bentuk kekuasaan lainnya.

Al-Mawardi mengatakan bahwa pemilihan kepala negara bisa dilakukan oleh rakyat dan juga bisa melengserkan kepala negara tersebut juga oleh rakyat. Jika pemimpin yang bersangkutan tidak mampu lagi menjalankan kepemimpinan negara dengan adil, atau melakukan hal-hal yang berseberangan dengan tujuan didirikannya sebuah negara.

Rakyat atau masyarakat bisa diartikan sebagai kumpulan individu-individu yang bersepakat hidup bersama, entah atas dasar kepentingan-kepentingan bersama atau atas dasar faktor-faktor ideologi.

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang bisa dijadikan atau anggapan formulasi awal atas terbentuknya suatu rakyat atau masyarakat sebagai suatu komunitas, yakni pada surat Al-Hujurat ayat 13, yang berbunyi:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lakilaki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kalian saling mengenal.

Potongan ayat tersebut memberikan pengertian bahwa terdapat suatu golongan yang berasal dari beberapa saja, sehingga menjadi sebuah komunitas besar. Rakyat sebagai komunitas dianggap sama. Yakni sama-sama menjadi makhluk sosial yang hidup saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Sedangkan sebutan istilah rakyat atau yang memiliki term yang sama yakni suatu komunitas dalam Al-Qur’an bisa diketahui melalui beberapa sebutan, yakni Qoum, Ummah, Sya’b, Qobilah, An-Nas, dan juga Tho’ifah.

Pertama, Qoum. Secara leksikal qoum bisa diartikan sebagai kelompok manusia yang dihimpun oleh suatu hubungan atau ikatan yang mereka tegakkan di tempat mereka berada. Hal itu berkonotasi bahwa qoum merupakan kelompok manusia yang mengurusi suatu urusan tertentu.

Seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 11, yang berbunyi:

إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

Artinya: sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah yang ada pada diri mereka.

Ayat tersebut menunjukkan makna qaum secara umum, yakni sekelompok manusia tanpa ada pemisahan atau pembedaan dari segi jenisnya, entah itu laki-laki maupun perempuan, atau mempunyai makna yang netral dalam artian tidak mengandung makna positif ataupun negatif.

Kedua, ummah. Kata ummah adalah bentuk tunggal berasal dari kata umam. Secara umum kata tersebut memiliki makna kelompok manusia yang berhimpun karena didorong oleh ikatan-ikatan persamaan sifat, kepentingan, cita-cita, ikatan agama, ikatan wilayah, dan ikatan waktu tertentu.

Ayat Al-Qur’an yang menunjukkan term ini terdapat pada Surat Al-A’raf ayat 181, yang berbunyi:

وممن خلقنا أمة يهدون بالحق وبه يعدلون

Artinya: dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengannya itu pula mereka berlaku adil.

Ayat tersebut juga menunjukkan makna sekumpulan manusia secara umum, sebagaimana pada kata qaum sebelumnya. Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa terdapat indikasi adanya suatu masa yang akan terulang yang di dalamnya terdapat golongan yang selalu menyeru kepada kebenaran dan menjadikan kebenaran sebagai pedoman atau pegangan untuk menjalankan kehidupan bersama.

Ketiga, Sya’b. Kata ini secara bahasa memiliki makna suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang tertentu. Keberadaannya melalui proses panjang hingga menjadi sebuah sekumpulan komunitas tertentu. Dalam kajian sosiologi, kata tersebut bisa disamakan dengan kelompok sosial khususnya yang diikat oleh kebudayaan yang sama. Persamaan ini lah yang mengangkat mereka dalam satu etnik.

Satu ayat yang berhubungan dengan kata tersebut namun disebutkan dalam bentuk jamak, yakni Sy’uub. Yakni Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13.

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا  إن أكرمكم عند الله أتقكم إن الله عليم خبير .

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lakilaki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.

Kata Sya’b dalam ayat di atas dalam bentuk yang jamak. Dalam ayat  ini Allah ta’ala mengingatkan asal-usul manusia, bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya yang bermula dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (min dzakar wa untsâ). Seluruh manusia berpangkal pada bapak dan ibu yang sama, karena itu kedudukan manusia dari segi nasabnya pun setara. Konsekuensinya, dalam hal nasab, mereka tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih mulia daripada yang lain.

Keempat, Qobilah. Kata qobilah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam bentuk jamak dan tunggal. Dan yang memiki makna suatu komunitas manusia adalah seperti yang tertera pada Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagaimana keterangan pada poin kedua. Kata tersebut memiliki makna sama, yakni sama-sama perkumpulan manusia yang berasal dari satu nenek moyang yang kemudian menjadi banyak dan terbentuklah suatu perkumpulan tertentu.

Namun Ar-Raghib mendefinisikan istilah qabilah sebagai suatu kelompok manusia yang sebagian anggotanya dapat menerim keberadaan anggota lainnya yang antara lain terwujud dalam bentuk memberikan perhatian dan solidaritas sosial.

Kelima, firqoh. Kata ini juga digunakan Al-Qur’an untuk menyebutkan istilah lain dari yang sudah ada di atas walaupun pada dasarnya ia bermakna perbedaan. Sementara ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kata firqah dalam artian suatu kelompok manusia adalah pada Surat At-Taubah ayat 122, yang berbunyi:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Kata firqah dalam ayat tersebut dianggap atau tetap dimaknai sebagai masyarakat karena mereka hidup dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menjadikan diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial. Dalam konteks ayat tersebut bisa dimaknai sebagai golongan atau kelompok yang berjihad di jalan Allah dan mereka termasuk bagian dari masyarakat Islam.

Dan terakhir adalah Tho’ifah. Kata terakhir ini juga digunakan untuk menyebutkan sekelompok orang dalam suatu perkumpulan tertentu.

Hal ini ditunjukkan pada Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 9, yang berbunyi:

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى ٱلْأُخْرَىٰ فَقَٰتِلُوا۟ ٱلَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِٱلْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Jika diperhatikan maknanya maka ayat tersebut mengadung makna sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang memiliki keahlian dalam berperang dan orang yang mengerti. Itu artinya tetap saja kata ini digunakan untuk menyebutkan perkumpulan tertentu atau bisa dikatakan orang-orang yang profesional pada bidang tertentu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *