Search

Tradisi Menghidupkan Bulan Sya’ban

Ilustrasi: membaca surat Yasin. Sumber: idntimes.com

Tidarislam.co – Bulan Sya’ban, bulan ke-8 dalam penanggalan Hijrah, merupakan salah satu bulan yang diistimewakan dalam Islam. Bulan ini didahului dengan bulan Rajab, dan diikuti dengan bulan Ramadhan.

Dalam sebuah Hadist, Rasulullah Muhammad SAW menyebut bulan Rajab adalah “Syahrullah”, atau bulannya Allah, bulan Sya’ban adalah “Syahrul Mukaffir” atau bulan pemberangus dosa, sedangkan bulan Ramadhan adalah “Syahrul Mutahhir” atau bulan penyucian diri.

Menghidupi bulan Sya’ban merupakan bagian dari rangkaian pendadaran spiritual dari bulan Rajab hingga Ramadhan yang penuh dengan pesan rohani. Menyambut datangnya bulan Sya’ban merupakan salah satu tradisi masyarakat Muslim di berbagai tempat, termasuk menyambut malam pertengahan bulan yang disebut malam Nisfu Sya’ban.

Tradisi ini dirayakan masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk masyarakat Muslim di Indonesia. Selain mengikuti perayaan tradisi secara umum, masyarakat muslim di Indonesia memiliki beragam cara untuk merayakan dan menghidupkan Bulan Sya’ban.

Baca juga: https://tidarislam.co/mutiara-hikmah-meraih-kemuliaan-di-bulan-rajab/

Malam Nisfu Sya’ban  

Pada dasarnya, seluruh malam Sya’ban adalah waktu-waktu yang penuh keutamaan dan kemuliaan, dimana Allah menaburkan ampunan dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya yang melakukan taubat dan memohon ampunan sepanjang bulan Sya’ban. Namun salah satu yang spesial di dalam bulan Sya’ban adalah momentum pengampunan pada Nisfu Sya’ban, atau malam pertengahan bulan Sya’ban.

Malam pertengahan Sya’ban ini disebut juga dengan “Lalilatul Bara’ah” atau malam pengampunan, dimana dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia untuk menebarkan 300 pengampunan kepada manusia. Malam ini menjadi momentum seorang muslim untuk memohon ampun, merenungkan kesalahan, mendekatkan diri, dan mempererat hubungan dengan Sang Pencipta.

Perayaan malam nisfu Sya’ban di sebuah masjid di Turki. Sumber: nu.or.id

Dalam sejarahnya, perayaan malam Nisfu Sya’ban telah menjadi tradisi sejak masa Tabi’in di Syam (Damaskus), dan terus dilestarikan hingga hari ini. Perayaan malam Nisfu Sya’ban sendiri biasanya dilakukan dengan memperbanyak amalan-amalan khusus seperti berpuasa, memperbanyak membaca istighfar, membaca Yasin sebanyak tiga kali, dan shalat taubat.

Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Qasthalani dalam Al-Mawahib Al-Laduniyah, para Tabiin yang menghidupkan bulan dan malam Nisfu Sya’ban sebenarnya berbeda dalam teknis menghidupan bulan Sya’ban. Ada yang mengerjakan amalan Nisfu Sya’ban seperti istighfar, membaca surat Yasin, shalat taubat sendiri-sendiri di rumah; ada juga yang melakukannya secara berjamaah di masjid sembari melakukan i’tikaf; dan keduanya didasarkan pada dasar argumennya masing-masing. Dengan demikian, perayaan malam Nisfu Sya’ban berbeda-beda dalam hal teknis dan tidak ada standar yang baku.

Umumnya masyarakat merayakan malam Nisfu Sya’ban dengan memperbanyak amalan-amalan seperti berpuasa di siang hari, beristighfar, membaca surat Yasin sebanyak 3 kali, dan amalan-amalan shalat sunnah sejak memasuki 15 Sya’ban setelah maghrib.

Ada yang menganggap (Hasibuan & Kamaluddin, 2024; Saepudin & Rusmana, 2019) bahwa memperbanyak membaca al-Quran, khususnya dengan mengamalkan bacaan Yasin sebanyak 3 kali disertai permohonan ampunan pada perayaan malam Nisfu Sya’ban, sebagai bagian dari praktik “Living Qur’an”, atau cara masyarakat membumikan al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Praktik berjamaah membaca Yasin ini masih banyak dijumpai di masyarakat kota.

Jika merujuk kepada pola tradisi masyarakat Muslim di Indonesia, secara sosiologis, terdapat ragam perbedaaan dalam merayakan Sya’ban dan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Umat muslim Indonesia di berbagai daerah merayakan Nisfu Sya’ban dengan istilah dan caranya masing-masing, tanpa kehilangan esensinya sebagai bentuk ekspresi permohonan ampunan dan kesungguhan pendekatan diri kepada Tuhan.

Regional-kompas.com juga meyiarkan pemberitaan yang sama, bahwa terdapat beragam tradisi malam Nisfu Sya’ban di Indonesia. Di Kalimantan Selatan, tepatnya di kabupaten Balangan, masyarakat menyambut malam Nisfu Sya’ban dengan beribadah, mulai shalat maghrib, shalat taubat, shalat hajat, membaca Yasih tiga kali, dan shalat tasbih secara berjamaah. Setelah itu, mereka masih membaca tahlilan bersama-sama, dan diakhiri dengan makan bersama.

Berbeda halnya dengan komunitas muslim Betawi yang bisa dilihat di beberapa tempat di Jakarta. Masyarakat Betawi biasanya merayakan malam Nisfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid dan mendengarkan ceramah pengajian, kemudian membaca yasin dan tahlil, dan ditutup dengan doa.

Di Brebes, sebagian masyarakat merayakan Nisfu Sya’ban dengan membersihkan masjid, musholla, berziarah, membersihkan makam sesepuh dan leluhur. Kemudian, pada malam harinya, mereka membaca yasih, tahlin, dan shalawat.

Di beberapa masyarakat di Riau, setelah shalat maghrib dan isya, mereka merayakan malam Nisfu Sya’ban dengan membaca yasin dan tahlil, disertai dengan menyiapkan ait putih dalam botol-botol untuk mediatisasi mengambil berkah dari pembacaan ayat-ayat al-Quran dan doa-doa yang dipanjatkan.

Baca juga: https://tidarislam.co/mengenal-tradisi-rajaban/

Ruwahan

Sebagian masyarakat di desa-desa di Pulau Jawa memanfaatkan momentum bulan Sya’ban dengan memperkenalkan tradisi yang disebut ruwahan. Orang Jawa menyebut bulan Sya’ban sebagai bulan Ruwah. Ruwah sendiri dimaknai sebagai akronim dari “ngluru arwah” atau mengenang arwah.

Artinya, di bulan Sya’ban ini adalah momentum untuk mengenang arwah leluhur, kerabat, keluarga, yang telah meninggal dunia dengan mengirimkan doa bagi keselamatan mereka. Ada yang mengidentikkan ini sebagai bagian dari tradisi sadranan.

Karena bulan Sya’ban adalah momentum pengampunan Tuhan, maka masyarakat muslim Jawa tidak hanya memohonkan ampun untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengenang, menghormati, dan memohonkan ampun bagi para leluhur mereka yang telah tiada. Mereka berziarah dan mengirim doa untuk para leluhur. Biasanya upacara ziarah juga dilaksanakan menjelang pertengahan bulan Sya’ban.

Biasanya tradisi ruwahan dilaksanakan pada akhir-akhir bulan Sya’ban, menjelang bulan Ramadhan. Ada juga yang melaksanakan menjelang pertengahan bulan Sya’ban. Sebagaimana umumnya di masyarakat Jawa, setiap upacara menghormati leluhur ini disertai dengan slametan dan kenduri dengan menghidangkan aneka makanan terbaik dan makan secara berjamaah.  

Ragam tradisi perayaan Bulan Sya’ban ini menunjukkan perbedaan cara orang mengekspresikan nilai-nilai agama di tengah kultur budaya masyarakat yang berbeda. Mereka berbeda dalam bentuk, tetapi tidak dalam isi. Perbedaan pada tataran teknis dan artikulasi juga tidak meninggalkan pesan utamanya dari perayaan bulan Sya’ban, yakni permohonan ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selain laku pendadaran diri sebagai persiapan memasuki bulan suci Ramadhan. Wallahua’lam.

Baca juga: https://tidarislam.co/harmonisasi-sosial-alam-dan-leluhur-dalam-tradisi-sadranan/

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti agama dan tradisi agama BRIN.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top