Oleh: Ancellya Putri Tunggadewi Nugroho
Tidarislam.co- Etika komunikasi merupakan nilai-nilai moral dalam proses berkomunikasi untuk menciptakan hubungan yang saling menghormati, jujur, dan penuh tanggung jawab. Etika ini mendorong penggunaan bahasa yang sopan, mendengarkan secara aktif, serta memberikan respons dengan empati. Tujuannya adalah menciptakan komunikasi yang efektif, membangun kesepahaman, dan menghindari konflik dalam interaksi sosial.
Dalam Islam, etika komunikasi berlandaskan para ajaran al-Qur’an dan hadis yang menekankan kejujuran, kesopanan, dan menjaga kehormatan orang lain. Umat Islam diajarkan untuk berbicara dengan kata-kata baik, menghindari fitnah, serta menjaga rahasia. Penerapan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari menjadi dasar dalam membangun hubungan sosial yang harmonis dan penuh rasa saling percaya.
Al-Quran sebenarnya telah memberikan petunjuk kepada kita tentang prinsip-prinsip etika berkomunikasi yang baik, di antaranya sebagai berikut:
Pertama: Kejujuran sebagai Landasan Komunikasi (Qaul Sadid)
Qaul Sadid menekankan pentingnya kejujuran sebagai dasar utama dalam komunikasi seorang mukmin. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar (qaulan sadida)” (QS. Al-Ahzab: 70). Kejujuran berarti menyampaikan informasi secara apa adanya, tanpa manipulasi atau kebohongan, sebagai bentuk integritas dan tanggung jawab di hadapan Allah dan sesama.
Hal ini juga menjadi sarana menegakkan keadilan dan menjauhkan diri dari dosa, sebagaimana peringatan dalam QS. Al-Baqarah: 42, “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.” Ucapan jujur memperkuat hubungan sosial dan menjaga keharmonisan masyarakat.
Kejujuran dalam Qaul Sadid mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat. Allah menjanjikan dalam QS. Al-Ahzab: 71, “Niscaya Allah memperbaiki amalanmu dan mengampuni dosamu,” bagi orang-orang yang berkata benar. Dalam hubungan sosial, kejujuran menciptakan rasa saling percaya yang menjadi dasar keharmonisan.
Sebaliknya, kebohongan dan penyembunyian kebenaran membawa murka Allah, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah: 159, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan dan petunjuk yang telah Kami turunkan… mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” Dengan menjadikan Qaul Sadid sebagai pedoman, komunikasi menjadi sarana untuk menebarkan kebenaran, menjaga keadilan, dan membangun masyarakat yang diberkahi.
Kedua: Kesantunan dalam Berbicara (Qaul Layyin)
Qaul Layyin adalah ajaran Al-Qur’an yang menekankan pentingnya berbicara dengan lembut dan santun, bahkan kepada orang yang menentang atau bersalah. Allah SWT berfirman, “Maka berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha: 44). Ayat ini menunjukkan bahwa kelembutan dalam komunikasi adalah strategi dakwah yang diajarkan langsung oleh Allah. Berbicara dengan santun bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk hikmah agar pesan kebenaran dapat lebih mudah diterima oleh lawan bicara tanpa menimbulkan permusuhan atau penolakan.
Kesantunan dalam Qaul Layyin juga mencerminkan akhlak mulia yang mendukung terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Islam memerintahkan umatnya untuk berkata baik kepada sesama sebagai wujud kasih sayang dan penghormatan, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 83, “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” Perkataan yang lembut mampu menciptakan kedamaian, menghindari konflik, dan mempererat hubungan antarindividu. Dengan menjadikan Qaul Layyin sebagai pedoman komunikasi, seorang muslim dapat menyampaikan kebenaran secara efektif sekaligus menjaga kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketiga: Kehati-hatian dalam Penyampaian Informasi (Qaul Baligh dan Qaul Ma’ruf)
Qaul Baligha menekankan pentingnya menyampaikan informasi dengan cara yang jelas, tepat, dan berdampak. Allah SWT berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” (QS. An-Nisa: 63). Ayat ini menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif bukan hanya tentang isi pesan, tetapi juga tentang bagaimana pesan tersebut disampaikan hingga mampu menyentuh hati dan menggugah kesadaran. Kehati-hatian dalam memilih kata dan mempertimbangkan konteks sangat penting agar pesan tidak disalahpahami dan dapat diterima dengan baik.
Qaul Ma’ruf mengajarkan untuk berkata dengan baik sesuai norma sosial yang berlaku, agar komunikasi dapat membangun suasana yang kondusif dan mempererat hubungan antarindividu. Dalam QS. Al-Baqarah: 83 Allah berfirman, “Dan ucapkanlah kepada manusia perkataan yang baik.” Ucapan yang baik mencerminkan akhlak mulia dan menjadi sarana menjaga kedamaian serta menghindari konflik. Dengan berbicara secara santun dan bijak, pesan yang disampaikan akan lebih mudah diterima dan hubungan sosial pun menjadi lebih harmonis.
Keempat: Menghindari Ghibah, Fitnah, dan Ucapan Buruk (Qaul Karim)
Qaul Karim adalah prinsip komunikasi dalam Islam yang menekankan pentingnya berbicara dengan sopan dan menjaga martabat orang lain. Allah SWT berfirman, “…dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (qaulan kariman)” (QS. Al-Isra: 23). Perkataan yang mulia mencerminkan akhlak tinggi dan penghormatan terhadap sesama, bahkan dalam situasi sulit. Ucapan yang menghargai lawan bicara tidak hanya menjaga hubungan antarindividu tetap baik, tetapi juga menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Dengan menghindari kata-kata kasar atau merendahkan, kita turut menjaga keharmonisan sosial dan meneladani akhlak mulia yang diajarkan dalam Islam.
Islam juga melarang keras ucapan yang menyakiti, seperti ghibah dan fitnah, karena merusak reputasi dan hubungan sosial. Dalam QS. Al-Hujurat: 12, Allah memperingatkan, “Dan janganlah kamu menggunjingkan keburukan orang lain… apakah kamu suka memakan daging saudaramu yang sudah mati?” Ucapan buruk seperti ini adalah dosa besar dan bertentangan dengan semangat Qaul Karim.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus menjaga lisannya dengan berbicara secara sopan, sebagaimana diperintahkan dalam QS. Al-Baqarah: 83, “Dan jika kamu menegur mereka, hendaknya kamu menegur mereka dengan perkataan yang lebih baik.” Dengan menerapkan Qaul Karim, kita menciptakan lingkungan sosial yang penuh kasih, saling menghormati, dan jauh dari permusuhan.
Kelima: Mengutamakan Persatuan dan Keharmonisan (Qaul Hasan)
Qaul Hasan mengajarkan kita untuk selalu mengucapkan perkataan yang baik dan membangun, yang dapat menciptakan keharmonisan dalam hubungan sosial. Allah SWT berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (qaulan hasanan)‘” (QS. Al-Isra: 53). Perkataan yang baik tidak hanya menghindarkan kita dari konflik, tetapi juga mempererat tali persaudaraan dan menjaga kedamaian di masyarakat.
Dengan menggunakan Qaul Hasan, kita dapat menghindari perkataan yang dapat memicu perpecahan atau kebencian. Komunikasi yang baik dan bijaksana memiliki kekuatan untuk menyelesaikan perbedaan dengan cara yang damai dan saling menghormati. Dengan menjaga lisan dan mengucapkan kata-kata yang membawa manfaat, kita dapat membangun hubungan yang kuat dan harmonis, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat.
Penutup
Demikian bahwa etika komunikasi dalam Islam merupakan penerapan nilai-nilai moral yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, seperti kejujuran (Qaul Sadid), kesantunan (Qaul Layyin), kehati-hatian dalam menyampaikan informasi (Qaul Baligh dan Qaul Ma’ruf), menjaga martabat dalam bertutur (Qaul Karim), serta mengutamakan perkataan yang baik (Qaul Hasan). Prinsip-prinsip ini bertujuan membentuk komunikasi yang penuh rasa hormat, empati, dan tanggung jawab, yang pada akhirnya menciptakan hubungan sosial yang harmonis, damai, dan saling percaya dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca juga: Nilai Tawazun dan Realisasinya dalam Pemerataan Pendidikan Nasional