Pesantren dan Masa Depan Indonesia

Tulisan ini merupakan review atas buku berjudul Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia karya Zamakhsyari Dhofir yang terbit pertama kali tahun 1983. Buku ini sebetulnya berasal dari disertasi penulis ketika menempuh studi doktoral bidang antropologi sosial di The Australian University (ANU) Canberra, Australia yang ditulis tahun 1980. Buku ini juga diterbitkan dalam versi Inggris oleh The Arizona State University dan diterjemahkan dalam bahasa Jepang.

Secara garis besar, buku ini terbagi ke dalam sepuluh bab. Bab-bab yang terkandung dalam buku ini mencoba mengeksplorasi tradisi pesantren dalam berbagai aspeknya, misalnya dari segi sejarah kemunculannya, elemen-elemen pesantren, dan berbagai hal yang menyangkut pesantren. Dalam banyak hal, buku ini cukup memuaskan dan bisa dikatakan lengkap dalam mengupas asal-usul dan perkembangan pesantren.

Buku ini amat menarik karena merekam jejak-jejak tradisi dan historiografi pesantren yang dimulai sejak tahun 1200 M. Salah satu aspek penting yang menjadikan buku ini tampak original adalah karena pendekatannya menggunakan kajian antropologi. Penulis betul-betul seperti sedang bercerita ketika menarasikan historiografi pesantren sejak kemunculannya, yakni tahun 1200 M, hingga proses perkembangannya sampai akhir abad ke-20. Sejak era kemunculan hingga abad ke-20, pesantren telah berproses dengan mengiringi berbagai perubahan zaman.

Dalam konteks historiografi Indonesia, posisi pesantren benar-benar tidak pernah bisa diabaikan. Bahkan penulis buku ini menuturkan bahwa tradisi pesantren merupakan fondasi dan tiang penyangga paling penting bangunan peradaban Indonesia sejak tahun 1200 (hal. x). Itu artinya bahwa kita mungkin tidak pernah bisa membayangkan bagaimana wajah Indonesia tanpa kehadiran pesantren.

Bila melihat bagaimana watak dan karakter praktik berkeislaman di Indonesia, maka tidak bisa dipungkiri bahwa model tradisi pesantren begitu mengakar kuat dalam pola berkeislaman masyarakat Indonesia. Ini bukan semata-mata ekspresi Islam tradisional. Lebih dari itu, bahwa tradisi pesantren mampu membangkitkan motivasi kebangsaan dan peradaban di mana masyarakat Indonesia mampu bertahan dan berkembang secara berkesinambungan di tengah perubahan zaman.

Memang, buku ini secara khusus mengkaji tradisi pesantren dan peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan faham Ahlusunnah wal Jama’ah (Sunni). Namun demikian, karena spektrum penjabaranannya sangat luas, yakni menyangkut asal-usul pesantren dan perkembangannya, maka dalam buku ini nyaris tidak tersisa lagi hal-hal yang kiranya belum ditulis tentang tradisi pesantren. Maksudnya, penulis begitu teliti dalam menarasikan berbagai aspek kebudayaan yang termuat dalam tradisi pesantren, mulai dari sejarah, ideologi, sistem pendidikan, dan yang lebih penting lagi, peran pesantren dalam mengiringi kemajuan bangsa Indonesia.

Dalam konteks ideologi atau faham keagamaan misalnya, bila kita ingin tahu mengapa mayoritas penduduk Indonesia berpaham Sunni, maka jawabannya sudah dapat dipastikan lantaran adanya eksistensi pesantren. Artinya, keberadaan pesantren bisa dibilang sebagai tonggak yang menjadi benteng pengembangan dan pemeliharaan paham Sunni.

Sementara itu, yang menjadi peran utama dalam menjaga eksistensi pesantren adalah kyai. Menurut Dhofier, para kyai sebagai pelaku sejarah kiranya telah berhasil membimbing umat Islam Indonesia dengan taat menganut paham Sunni selama lebih dari 800 tahun. Mereka memahami sedalam-dalamnya makna dan kandungan Sunni. Mereka tahu cara terbaik pengembangannya agar diikuti dan diamalkan oleh umat Islam dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ke masa depan (hal. 2).

Boleh dibilang bahwa Indonesia termasyhur sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia juga dikenal dengan pandangan keislamannya yang homogen. Para kyai sering mengungkapkan bahwa ajaran Imam Syafi’i, al-Asyari-Maturidi, dan Imam Junaidi sangat cocok dengan watak bangsa Indonesia karena mengajarkan “tawasuth” (memilih jalan tengah), “tasamuh” (toleran), dan “tawazun” (menjaga keseimbangan). Karena watak inilah, ajaran Islam begitu cocok bagi masyarakat Indonesia. Hal ini juga diperkuat bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak dilakukan dengan pedang sebagaimana banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Islam datang dengan damai dan para ulama atau kyai mampu menjembatani antara Islam dan budaya lokal masyarakat.

Menurut Dhofier, keberhasilan kyai dalam menghimpun kekuatan yang besar di Indonesia dewasa ini bukan semata-mata karena jumlah pengikutnya lebih banyak daripada Islamnya “kaum cerdik-pandai”, tetapi juga karena kuatnya hubungan sosial, kultural dan emosional antara sesama kyai dan dengan para pengikutnya. Dalam situasi periode peralihan sistem pemerintahan demokrasi dewasa ini, organisasi sosial, keagamaan dan politik yang didukung oleh para kyai memang masih mengalami sejumlah kelemahan, namun ikatan emosional, sosial, dan kultural mereka tetap kuat (hal. 9).

Meski demikian, proses perjalanan tradisi pesantren dalam lintasan sejarah tidak begitu berjalan dengan mulus. Sebagaimana direkam dalam buku ini, bahwa di masa kolonial, tradisi pesantren dan umat Islam Indonesia banyak mengalami tantangan. Salah satu tantangan terberatnya adalah kebijakan kolonial untuk memutus hubungan ulama Indonesia dengan yang ada di luar negeri. Kebijakan ini membuat umat Islam lemah karena solidaritas umat Islam secara internasional menjadi terputus dan transformasi keilmuan secara internasional juga terkendala. Ini sekaligus bantahan Dhofier terhadap tulisan Arzumardy Azra dalam buku Jaringan Ulama yang mengatakan bahwa jaringan atau keterhubungan ulama Nusantara dan Timur Tengah sudah sangat kuat sejak abad ke-18. Padahal, menurut Dhofier, ada saat di mana pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk tidak berinteraksi dengan ulama-ulama di Timur Tengah.

Terlepas dari itu semua, buku ini sangat penting karena mencoba merekam jejak-jejak pesantren dari berbagai aspeknya, sehingga apapun yang terkait dengan tradisi pesantren nyaris tergambar dengan baik. Hal ini boleh jadi karena penulis menggunakan pendekatan antropologis, yakni mengambarkan berbagai peristiwa secara apa adanya dan seolah-oleh nyata adanya.

Secara genealogis, penulis berhasil melacak asal-usul pesantren sejak abad ke-13, yang artinya usia pesantren sudah sangat tua sekali, yakni 800 tahun lebih. Dari sini, kita dapat memahami bahwa watak kebersilaman orang Indonesia bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya yang terlepas dari dimensi sejarah, bahwa apa yang kita sebut sebagai watak moderat orang-orang Indonesia sesungguhnya telah ditanamkan sejak ratusan tahun yang lalu, sehingga boleh dikatakan bahwa moral berkeislaman orang Indonesia agak berbeda dengan yang ada di Timur Tengah. Yakni praktik keberislaman yang menjujung tinggi nilai-nilai lokal dan kebijaksanaan Nusantara.

Selain itu, buku ini juga berhasil dalam menyuguhkan berbagai perspektif baru tentang Islam dan Indonesia. Misalnya, keberadaan pesantren tidak pernah bisa dilepaskan dari berbagai pergolakan kemajuan dan peradaban yang ada di Indonesia. Artinya, pesantren memiliki peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan sekaligus menjadi motor penggerak kemajuan bangsa. Tanpa pesantren, akan sangat sulit membayangkan kondisi Indonesia, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.

Pesantren bukan hanya cakar budaya yang di dalamnya bersemayam para ulama. Lebih dari itu, pesantren juga sekaligus sebagai motor penggerak dan pemelihara peradaban Indonesia. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu-ilmu Islam sebagaimana tertuang dalam kitab kuning. Pesantren juga mampu menjadi jembatan penghubung antara masyarakat dan negara, antara pengetahuan Islam dan ilmu pengetahuan modern.

Melalui pesantren, masyarakat Indonesia mudah beradaptasi dengan modernisasi dan segala nilai-nilainya. Maksudnya, umat Islam Indonesia bisa saja mengadopsi nilai-nilai modern, tapi pada saat yang sama tidak kehilangan nilai-nilai Islamnya, dan di situlah persisnya kontribusi pesantren dan kyai bagi bangsa dan negara.

Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta