Oleh: Dr. H.M. Habib Chirzin
Peraih Doktor Honoris Causa bidang Sosiologi Perdamaian dari UIN Sunan Kalijaga tahun 2022
*Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar “Pembangunan, Perdamaian dan Masa Depan” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis IKIP Muhammadiyah (sekarang UHAMKA) Jakarta yang ke-32 dan Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-9 di Jakarta, tanggal 8-9 November 1989, yang dihadiri oleh Prof. Dr. H.M.Rasyidi dan Dr. Soedjatmoko. Saat itu, IKIP Muhammadiyah Jakarta menerima penghargaan “The Messenger of Peace” dari Sekretaris Jenderal PBB Dr. Javier Perez de Quilar, yang diterima oleh Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta, Dr. Agustiar, di Markas Besar PBB, New York Amerika Serikat.
Pendahuluan
Menjelang peralihan abad XX ke abad XXI ini, pembangunan bangsa-bangsa di dunia, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia, memperoleh perspektif dan konteksnya yang baru. Semakin menyempit dan menyatunya bola dunia yang disebabkan oleh proses globalisasi dan planetisasi, baik yang disebabkan oleh berkembangnya tatanan ekonomi dunia, tatanan teknologi, dan tatanan informasi dan komunikasi dunia, maupun semakin berkembangnya kesadaran akan permasalahan dan tantangan baru yang dihadapi bersama oleh segenap penduduk dunia, semakin diperlukan dataran bersama (common ground) bagi pembangunan, perdamaian dan masa depan bersama.
Dalam laporan tahunannya pada sidang umum PBB pertengahan bulan September 1989 yang lalu, Sekretaris Jenderal PBB Javier Pérez de Cuéllar menyampaikan bahwa pada peringkat terakhir dari evolusi masyarakat global zaman kita ini, dampak perkembangan teknologi telah mengubah secara radikal cara dan alat produksi dan komunikasi, dan dalam bidang kesehatan telah menciptakan perkembangan yang cepat yang semakin meningkatkan harapan hidup dan menurunkan angka kematian. Ini semua telah membangun kemajuan kemanusiaan di berbagai lapangan.
Namun demikian, adalah suatu hal yang ironis, bahwa pada peringkat yang sama, proses tertentu dari kemajuan ini telah membawa peradaban kemanusiaan kepada suatu krisis. Secara spesifik Sekjen PBB menunjuk kepada krisis lingkungan hidup yang termanivestasi di dalam berbagai bentuk: menipisnya lapisan ozon, efek rumah kaca, memanasnya suhu bumi, desertifikasi, degradasi tanah, memiskinnya keanekaragaman biologi di planet bumi, dan bahaya yang ditimbulkan oleh pembuangan lintas batas dari limbah-limbah yang berbahaya.
Khusus tentang masalah penipisan lapisan ozon ini, PBB telah menyelenggarakan pertemuan di Montreal tentang substansi dari penipisan lapisan ozon tersebut pada tahun 1987. Sedang untuk mengatasi problem pengalihan dan pembuangan limbah berbahaya secara lintas batas, telah dilahirkan sebuah konvensi pada bulan Maret 1989 yang lalu. Selanjutnya kerjasama antara United Nations Environment Program (UNEP) dengan World Meteorogical Organization (WMO) tengah melakukan pengkajian tentang hakekat dan perkembangan dari perubahan iklim serta dampak lingkungan dan ekonomisnya yang akan dilaporkan pada Konferensi Iklim Dunia Kedua pada tahun 1990 yang akan datang.
Demikian pula Konferensi Internasional tentang lingkungan hidup dan pembangunan diusulkan untuk diselenggarakan pada tahun 1992 yang akan datang, 20 tahun setelah Konferensi Stockholm, yang akan menyediakan kesempatan untuk mengembangkan respon universal untuk melestarikan planet bumi bagi generasi mendatang. Suatu kesempatan untuk mendefinisikan kembali hubungan antara manusia dengan alam yang akan memberikan arah baru bagi peradaban manusia.
Konteks global dan planeter dari pembangunan, saling ketergantungan dan berjalin-berkelindannya secara sistemik hubungan antarbudaya dan antarbangsa, serta wawasan kelangsungan hidup manusia, kelestarian lingkungan, dan peningkatan kualitas kehidupan, yang dibarengi dengan tingkat percepatan perubahan sosial dan kemajemukan wajah perubahan tersebut, menjadikan proses pembangunan dan kerjasama antarbangsa sebagai proses belajar semua bangsa dan proses didik diri bangsa-bangsa di dunia secara terus-menerus. Terlebih-lebih bagi bangsa Indonesia yang akan segera mengakhiri program pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama, dan akan segera ditindak lanjuti dengan program pembangunan jangka panjang 25 tahun kedua yang merupakan era kebangkitan nasional kedua.
Harapan Baru bagi Pembangunan, Perdamaian, dan Masa Depan Kemanusiaan Bersama.
Kepedulian terhadap masalah perdamaian dan masa depan bersama dalam kaitannya dengan kelangsungan hidup manusia (human survival), kelestarian lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) pada saat ini merupakan titik sentral dari keprihatinan semua bangsa di dunia setelah melewati proses belajar yang panjang dan pengalaman yang tidak seluruhnya manis dari proses pembangunan selama ini. Kesenjangan yang terjadi antara negara-negara kaya dengan yang miskin, antara Utara dan Selatan masih belum dapat diatasi.
Selama dua dekade terakhir ini semakin banyak sumber daya dan kekayaan yang diserap dari Dunia Ketiga, yang bahkan melebihi jumlah dari seluruh kekayaan yang diserap pada seluruh abad sebelumnya. Pada dekade ini kita menyaksikan semakin berkembangnya akumulasi, konsentrasi, dan sentralisasi kekuatan ekonomi, politik, dan persenjataan di Utara, pembayaran kembali hutang, keuntungan, royalty, modal terbang, deteriorasi nilai tukar, dan penentuan kebijakan ekonomi oleh konglomerat besar. Bahkan pada saat ini industri perfilman dan televisi telah menentukan apakah itu yang disebut dengan hiburan dan siapakah yang harus menjadi pahlawan dan sebagainya.
Situasi yang tidak adil dan proses perkembangan yang vulgar dan salah arah ini telah pula menciptakan “Sudan Selatan di Utara” dengan berkembangnya kondisi kehidupan penduduk asli yang menyedihkan, termasuk kehidupan kelompok minoritas budaya, pekerja pendatang dan musiman, serta para tuna karya. Sebagian kemajuan dan pembangunan yang salah arah (maldevelopment) telah pula merusak kekayaan nilai dan budaya majemuk, menghancurkan kreativitas dan kemandirian rakyat lapis bawah. Sehingga, manusia semakin kehilangan kemampuan, kurang otonomi, kurang kreativitas, dan kurang manusiawi. Komunitas kecil, bahkan masyarakat miskin di negara kecil pun, semakin kehilangan otonominya. Mereka telah tersubordinasi oleh pasar dunia, kebijakan Bank Dunia, dan permainan kekuatan dari pusat kekuatan dunia.
Penyalahgunaan sumber-sumber pembangunan serta pengurasan sumber daya bagi perlombaan persenjataan, pengembangan sistem perang (war system), pembangunan kompleks industri militer (military industrial complex), peningkatan sistem persenjataan (armament system), dan berbagai percobaan persenjataan nuklir telah menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang tidak kecil. Demikian pula berbagai peperangan yang pernah terjadi dengan penggunaan senjata kimia dan penggunaan gas beracun telah semakin menambah parahnya kondisi lingkungan hidup.
Dari akibat perang Vietnam umpamanya, telah menghancurkan dan memusnahkan 4% lautan yang ada, merusak lebih dari separuh dari seluruh hutan di Vietnam, merusak 40% tanaman karet, menghancurkan 41% habitat hutan bakau, sekitar 26 % tanah sawah menjadi tidak produktif, dan ini mengakibatkan kelaparan dan kekurangan pangan di Vietnam di mana sebelumnya merupakan salah satu negara exportir bahan makanan.
Di dalam pandangan yang lebih luas, dampak lingkungan dari perang dapat terjadi lewat perubahan dan pergerakan penduduk dalam pola permukimannya. Perpindahan penduduk secara paksa dan pengungsian yang diakibatkan oleh peperangan dengan pola pemukiman barunya dapat membawa perubahan yang besar dalam pola pertanian dan tataguna tanah. Perusakan dan pembebanan yang berlebihan terhadap tanah yang beririgasi teknis serta “man-made habitats” dapat menyebabkan terjadinya deteriorasi pertanian dalam jangka panjang dan mengganggu keseimbangan ekologis. Pergerakan massal dari para pengungsi dan mereka yang terusir dari tanah air dan kampung halamannya dapat menambah tekanan demografis atas tanah dan mempercepat erosi serta berbagai kerusakan lingkungan.
Di dalam situasi global di mana masyarakat dunia menghadapi problematika dan tantangan yang sama dalam menghadapi masa depannya, mereka semakin menyadari bahwa manusia sama-sama mendiami planet bumi yang satu, dan mereka hanya memiliki masa depan kemanusiaan bersama yang satu, atau tidak memiliki masa depan sama sekali. Muncul kesadaran baru di kalangan para pemikir dan perencana pembangunan, dan terutama sekali di kalangan intelektual yang tercerahkan (the enlightened intellectual), para budayawan, para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para pemuka agama, tentang perlunya pemikiran ulang terhadap berbagai tata nilai dan dasar filsafat yang menjadi acuan pemikiran, pemilihan model pembangunan yang kita terapkan, pola peradaban kemanusiaan yang kita kembangkan, dan pola perencanaan masa depan yang kita lakukan.
Pada saat ini semakin berkembang pusat-pusat studi kebijakan (policy studies) dan masalah-masalah strategis, forum studi masa depan, forum studi perdamaian dan etika pembangunan, dan semakin aktifnya kegiatan pengkajian alternatif bagi penyusunan tatanan dunia baru dan proyek model tatanan dunia (World Order Models Project atau WOMP). Pusat-pusat dan forum-forum pengkajian tersebut mengembangkan berbagai studi yang lebih bersifat holistik dan profetik yang memberikan perspektif baru dan orientasi baru bagi pembangunan peradaban kemanusiaan di masa depan.
Demikian pula dikembangkan program aksi sosial yang bersifat partisipatoris berbarengan dengan upaya refleksi teologi pembangunan dan teologi perdamaian yang bersifat transformatif dan emansipatoris. Suatu hal yang menarik dari perkembangan yang terakhir adalah dirasakan perlunya pengkajian tentang spiritualitas dan etik bagi solidaritas dan masa depan kemanusiaan bersama yang merupakan landasan bersama (common ground) bagi pembangunan, perdamaian, dan masa depan manusia.
Suatu harapan baru telah mulai nampak dari satu generasi yang telah melibatkan dirinya secara intens di dalam dialog-dialog antar budaya dan agama, studi-studi kebijakan dan masa depan, studi perdamaian dan studi alternatif, serta dalam keterlibatan sosialnya yang terus-menerus. Suatu harapan baru yang muncul dari kesadaran baru, penghayatan nilai-nilai dan moralitas yang baru, wawasan hubungan dan kerjasama yang baru, kemampuan analisis, kecakapan manajerial dan teknis yang baru.
Spiritualitas dan etik yang mendasari kerjasama antarbudaya dan antarbangsa dan bagi kelangsungan hidup manusia (human survival) di dalam planet bumi yang semakin padat dengan tingkat kelangkaan sumber daya dan kerusakan lingkungan hidup yang semakin mencemaskan perlu menjadi mata kajian dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan pusat-pusat kajian. Demikian pula spiritualitas yang memberikan wawasan nilai dan makna hidup serta makna kerja bagi bangsa-bangsa yang sedang membangun agar memperoleh kedalaman makna dalam “transendence perspective”.
Pendidikan Perdamaian bagi Masa Depan Bersama.
Di dalam sebuah pernyataannya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa perang nuklir akan merupakan epidemi yang terakhir (nuclear conflict as the final epidemic). Sementara itu, problem perdamaian dunia terus berkembang. Berbagai bentuk ketidakdamaian (peacelessness) terus meningkat. Demikian pula berbagai macam kekerasan (violence), dari kekerasan budaya (cultural violence) sampai dengan kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan lingkungan (ecological violence).
Kalau kekerasan konvensional dalam bentuk peperangan telah mengakibatkan kematian maupun penderitaan lainnya, maka dalam kekerasan struktural ini, kematian dan penderitaan bukan merupakan hasil langsung dari tindak kekerasan fisik secara langsung seperti yang terjadi pada peperangan, tetapi ia merupakan akibat tidak langsung dari ketidakadilan dan ketidaksamaan yang terstruktur di dalam sistem sosial. Kekerasan struktural ini menampakkan dirinya pada bentuk-bentuk rendahnya tingkat harapan hidup, tingginya tingkat kematian bayi, banyaknya penyakit dan kekurangan gizi yang tidak hanya terjadi di Dunia Ketiga saja, tetapi juga terjadi di negara-negara maju.
Penderitaan yang merupakan akibat dari “kekerasan struktural” tersebut bukan timbul oleh sebab kekurangan absolut dari sumber daya dan makanan, tetapi lebih merupakan akibat dari ketidakmerataan pembagian sumber-sumber tersebut. Para aktivis penelitian perdamaian (peace research) menemukan bahwa suatu struktur sosial tertentu dapat menimbulkan korban sebagaimana yang ditimbulkan oleh bom dan peluru. Demikian pula “ecological violence” yang berupa overeksploitasi terhadap sumber daya alam, pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan hidup, penggunaan senjata kimia dan gas beracun, juga menimbulkan penderitaan.
Dr. Rajni Kothari, seorang tokoh studi perdamaian dan studi World Order Models Project serta studi-studi alternatif mengemukakan bahwa manusia modern dengan melakukan overeksploitasi terhadap sumber daya alam dengan teknologi tingginya, sebenarnya mereka sedang melakukan “penjajahan masa depan” mereka dan anak cucu mereka sendiri (colonizing the future). Upaya untuk melakukan advokasi terhadap perdamaian memerlukan studi perdamaian (peace studies) dan penelitian perdamaian serta upaya pendidikan perdamaian (peace education) dalam rangka melakukan transformasi budaya dalam perspektif upaya mencari dan mewujudkan model tatanan dunia baru (New World Order Perspective).
Studi dan pendidikan perdamaian dalam perspektif tatanan dunia baru tersebut merupakan studi dan pendidikan tentang hubungan internasional dan masalah-masalah dunia yang difokuskan pada tata cara bagaimana umat manusia dapat secara signifikan menurunkan dan mengurangi kecenderungan ke arah kekerasan internasional, dan menciptakan kondisi minimal yang dapat diterima untuk pengembangan kesejahteraan ekonomi dunia, keadilan sosial, stabilitas ekologis, dan partisipasi di dalam pengambilan keputusan.
Penekanan terhadap perlunya orientasi ke arah penyusunan tatanan dunia baru di dalam studi perdamaian dan pendidikan perdamaian ini memang karena bahaya dari ketidakadilan sosial dan kesenjangan sosial ekonomi yang betul-betul inheren di dalam sistem dunia yang ada pada saat ini. Oleh karena itu, pendidikan perdamaian maupun advokasi terhadap perdamaian tidak boleh lagi sekedar melakukan “peacemeal reformism”. Dalam pengkajian perdamaian dan pendidikan perdamaian ini perlu dikembangkan kajian tentang konsep “masyarakat utama” yang dikehendaki berikut strategi untuk mencapainya dan tata nilai yang mendasarinya.
Pendidikan perdamaian merupakan upaya untuk mengembangkan wawasan, tata nilai, dan tingkah laku yang kondusif bagi terciptanya keadilan sosial, terkembangkannya harkat dan martabat manusia dalam masyarakat yang saling menghargai dan kerjasama yang setara, serta mengembangkan model pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development), termasuk di dalamnya:
- Pengertian tentang makna hidup sebagai manusia yang hidup bersama sesamanya di dalam lingkungan alam yang tertentu.
- Pengertian tentang hakikat masyarakat lokal, nasional, dan internasional, sama halnya sebagai sub kelompok dan budaya dalam suatu bangsa.
- Pengertian tentang proses dasar di dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, kelompok, agama dan kehidupan individual, khususnya proses yang dapat menimbulkan konflik sosial, kekerasan, penindasan, deformasi sosial dan nilai-nilai.
- Pengetahuan tentang cara-cara dan jalan-jalan untuk mengajukan usulan dan penerapan alternatif, termasuk evaluasi terhadap kondisi yang terjadi pada masa sekarang dan masa lalu serta usulan bagi masa depan.
- Kecakapan dan kesadaran agar seseorang dapat keluar dari situasi budaya diam (silence culture), termasuk pengetahuan baru tentang pengenalan diri dan orang lain, cara untuk bersikap dan bertindak dalam berhubungan dengan orang lain, dan pemanfaatan kapasitas pribadi untuk pemenuhan diri dan pembebasan diri termasuk perasaan, intelek, berbagai cara komunikasi, imaginasi dan kreatifitas serta kepekaan moral dan kepekaan sosial.
- Penanaman nilai dan sikap yang memungkinkan pembebasan diri, sosial, budaya di dalam upaya pembangunan dalam situasi dinamika perdamaian.
Pendidikan perdamaian merupakan proses yang terintegrasi antara (1) penelitian sosial, (2) pendidikan sosial, dan (3) aksi sosial. Dengan metode “participatory action research” (PAR), pendidikan perdamaian dapat merupakan upaya efektif bagi pengembangan masyarakat secara partisipatif serta dakwah pembangunan yang bersifat transformatif dan emansipatoris dalam kerangka budaya “salam”.
Pegangsaan, 7 Nopember 1989
Baca juga artikel terkait:
- Perkuat Perdamaian Dunia, Kemenag Gelar KMBAAA
- Pendidikan, Perubahan Sosial, dan Tata Nilai Islam
- Membangun Kerjasama Internasional tentang Praktik Islam sebagai Rahmat bagi Semesta
- Gencatan Senjata Israel vs Palestina untuk Perdamaian Abadi