Para Pembentuk Mosaik Reformasi Islam di Asia Tenggara

Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi

Tidarislam.co – Khairudin Aljunied, seorang akademisi dan pemikir kenamaan dari Brunei Darussalam yang melakukan studi mendalam tentang Islam di Asia Tenggara, memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat perkembangan pemikiran Islam yang tumbuh di Asia Tenggara, setidaknya selama pertengahan abad ke-20 dan awal abad ke-21. Menurutnya, perkembangan pemikiran di dunia Melayu ini banyak diwarnai oleh corak pemikiran progresif yang berhaluan reformis. Pemikiran Islam reformis menginginkan pembaharuan pemahaman dan praktik keislaman bagi perbaikan kondisi umat Islam.

Namun demikian, menurut pandangan Khairudin Aljunied dalam bukunya Shapers of Islam in Southeast Asia (Oxford University Press, 2022), bahwa reformasi Islam di Asia Tenggara bukan merupakan agenda gerakan pemikiran yang tunggal yang disponsori oleh pemikiran satu orang. Selain ada faktor pembentuk utama reformasi Islam yang menjadi figur paling terkemuka atau figur pemandu yang selama ini sudah banyak dikenal publik dan memiliki pengikut yang luas, seperti Muhammad Natsir (1908-1993), Hamka (1908-1981), Nurcholish Madjid (1939-2005), dan Abdurrahman Wahid (1940-2009), sesungguhnya ada beberapa tokoh pemikiran Islam lainnya yang berhaluan reformis dan juga memiliki aspirasi yang sama tentang sebuah perubahan.

Dengan demikian, Khairudin Aljunied melihat mozaik reformasi Islam di Asia Tenggara dibentuk oleh berbagai serpihan pemikiran dari berbagai tokoh lintas disiplin, masing-masing berangkat dari latar belakang, spesialisasi, dan gaya menulis yang berbeda-benda, tetapi secara keseluruhan pada akhirnya menggambarkan tentang suatu arah baru dan corak pemikiran Islam yang berhaluan reformis.

Agenda reformasi Islam di Asia Tenggara tampak sebagai gerakan yang beragam,multilayer, pluralistik, bervariasi, sebagai sesuatu gambaran yang disusun oleh berbagai bagian yang saling menguatkan, tampak lebih progresif dan simbiosis daripada yang dibayangkan oleh kebanyakan pengamat.

“Menggunakan terminologi dalam seni, mereka seperti serpihan pemikiran atau bagian-bagian tak terpisahkan yang kemudian membentuk gambaran lebih utuh, sebuah gambaran “Mozaik Reformasi Islam” di Asia Tenggara.”

Sebagai reformis, mereka juga memiliki batasan-batasan yang jelas. Mereka berbeda dengan kelompok yang lain yang, boleh dikatakan, kelompok ultra-sekularis atau ultra-tradisionalis. Mereka yang pertama tersebut cenderung mengabaikan sumber utama al-Quran dan sunnah, sementara yang kedua cenderung konservatif dan anti kemajuan.

Pada dasarnya, pemikiran Islam reformis artinya pemikiran yang berpijak pada sumber utama al-Quran dan Sunnah, tetapi mereka bersikap kritis terhadap penafsiran dan pemahaman tentang sumber tersebut, dan mendekati al-Quran dengan cara berbeda untuk mewujudkan sebuah penfsiran yang lebih baik. Mereka menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai pijakan utama dalam melakukan ijtihad. Mereka menggunakan berbagai perangkat metodologi dalam berijtihad, misalnya, mendialogkan kembali teks dengan konteks. Mereka juga mendekati al-Quran dengan disiplin keilmuan mereka sendiri.

Para reformer tersebut dapat disebut sebagai muslihun yang bergerak dalam konteks sosial yang masing-masing. Mereka mencoba mengoreksi keadaan, melakukan ijtihad baru untuk memperbaharui (renewal) dan memperbaiki (ishlah atau reform) pemahaman keagamaan dan kondisi kehidupan Muslim, memikirkan kembali ide-ide dan pemikiran yang selama ini ada tentang Islam sebagai sebuah sistem keyakinan atau kehidupan.

Baca juga: Khairudin Aljunied tentang Hamka dan Kosmopolitanisme Islam

Selain beberapa reformis Islam seperti yang sudah disebutkan di atas, pemikiran Islam reformis di Asia Tenggara juga ditopang oleh muslim-muslim reformis yang lain yang tak kalah penting perannya dalam dunia Islam di Asia Tenggara. Mereka dari Malaysia ada Naquib Al-Attas (1931–…) dan Osman Bakar 1946–…); dari Singapura ada Ahmad Ibrahim (1916– 1999); dari Indonesia ada Harun Nasution (1919–1998) dan Kuntowijoyo (1943–2005); dari Filipina ada Cesar Adib Majul (1923–2003).

Selain mereka, ada pula pemikiran yang berasal dari kalangan kaum perempuan seperti Zakiah Daradjat (1929–2013) dari Indonesia. Sebagian mereka memberikan respon dan terpengaruh oleh ideologi sekularisme. Ada juga yang menekankan kepada semangat Islam yang lebih rasional. Sebagian lainnya menawarkan pembaharuan dengan mencoba membangun kesadaran baru tentang sejarah. Sementara ada juga yang menawarkan pendekatan berbeda dengan mencoba melakukan revitalisasi moralitas Islam.

1. Naquib Al-Attas (1931-…)

Sarjana dari Malaysia ini dikenal sebagai filsuf muslim yang menentang keras tesis sekularisme modern bahwa agama menjadi penghalang bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Menurut pendukung sekularisme, untuk mencapai sebuah kemajuan, pengaruh agama harus disingkirkan dari ruang publik. Dalam pandangan Al-Attas, sekularisme merupakan ideologi dan sistem pemikiran dari Barat yang dapat menjauhkan dan mengasingkan umat Islam dari nilai-nilai Islam, selain juga dapat mengakibatkan krisis keimanan.

Untuk itu, guna menentang sekularisme, ia mengusung ide-ide, di antaranya, islamisasi kehidupan masyarakat, khususnya islamisasi yang dimulai dari bidang ilmu pengetahuan. Gerakannya kemudian disebut sebagai IOK, atau Islamization of Knowledge melalui institusi yang dikembangkannya, yakni the Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Dengan agenda ini, ia berharap bisa mengembalikan ilmu kepada hakikatnya yang sejati, dan bisa menangkal pengaruh epistemik dari sekularisme. Aljunied menyebutnya sebagai tokoh Muslim pengusung de-sekularisasi atau “de-sekularis”.

2. Osman Bakar (1946-…)

Berbeda dengan al-Attas yang melakukan “kritik ideologi” sekulerisme, figur yang lain berusaha mereformasi pemikiran Islam dalam bidang teori ilmu pengetahuan Islam. Osman Bakar dikenal sebagai filsuf ilmu yang berusaha menunjukkan adanya krisis pengetahuan modern dan ancamannya bagi kemanusiaan, sehingga memerlukan upaya pembaharuan kembali pemikiran epistemologi Islam. Kecenderungan ilmu modern yang sekular menegasikan entitas Tuhan dan entitas religius lainnya dari kerja-kerja ilmu pengetahuan. Menurutnya, kita sekarang memerlukan rekonseptualisasi tentang “ilmu” yang dibangun di atas fondasi tauhid, sehingga agama dan Tuhan tidak lagi dianggap sebagai bagian terpisah dari kerja ilmu pengetahuan.

Untuk itu, ia mendorong perlunya paradigma ilmu pengetahuan Islam (Islamic science) yang lebih holistik. Ia berpijak pada ide-ide besar filsuf muslim di masa lalu, seperti al-Farabi, al-Ghazali, al-Shirazi, dan mengekspresikan kembali secara lebih tegas pemikiran filsuf kontemporer seperti Sayyid Husein Nasr, Naquib Al-Attas, dan filsuf pengetahuan muslim yang lain. Dengan begitu, Osman Bakar mencoba membangun sintesis antara tradisi dan modernitas, dengan itu berupaya membangun paradigma ilmu yang sesuai dengan nafas spirit Islam. Kritik empistemologi ilmu ini mengukuhkan reputasi Osman Bakar di mata Aljunied sebagai seorang “epistemolog” Islam.

3. Harun Nasution (1919-1998)

Pemikir Islam lainnya juga berangkat dari kegelisahan tentang “krisis” dan “kemunduran” dalam bidang capaian ilmu pengetahuan yang dialami dunia Islam modern. Harun Nasution adalah figur lain juga bergerak dalam “kritik epistemologi Islam”, sembari mencoba menawarkan sebuah pemikiran Islam yang lebih rasional, dan mengemukakan konsep rasionalitas Islam yang dinamis. Dengan gagasannya tentang Islam Rasional memungkinkan mengevaluasi kembali bangunan teologi dan pemikiran Islam, dan penafsiran-penafsiran keagamaan yang selama ini diterima begitu saja.

Dengan demikian, Harun Nasution adalah reformis Islam yang mencoba mengajak untuk mendudukkan kembali peran “akal” (reason) pada posisinya yang tinggi dalam Islam, dan mengaktifkannya sebagai alat untuk mengembangkan peradaban Islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, budaya, maupun pendidikan Islam. Memerankan akal pada proporsinya, dalam sejarah Islam, telah menciptakan berbagai kemajuan ilmu dan teknologi, sebelum akhirnya umat Islam mengalami deklinasi oleh karena umat Islam meninggalkan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya. Aljunied menyebut ini sebagai reformisme dari seorang Islam “rasionalis”.

4. Ahmad Ibrahim (1916-1999)

Tokoh yang lain, Ahmad Ibrahim, bergerak dalam bidang reformasi hukum Islam. Pemikiran Ibrahim mencoba mendiskusikan fondasi “syariah” dalam hukum Islam, dan hubungan tak terpisahkan antara norma-norma Islam dengan hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, kebebasan, inklusivitas, egalitarianisme, rule of law, dan nilai-nilai yang dijunjung dalam hukum sipil. Ia berkeyakinan, bahwa dengan universalitas syariah Islam, semestinya tidak ada kontradiksi antara hukum Islam dengan hukum positif, sehingga  sistem hukum Islam dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam norma-norma hukum yang sesuai syariah Islam semestinya dapat diterima secara universal. Untuk menuju kesana, perlu reformasi dan reformulasi pemikiran tentang hukum Islam. Dengan pendekatan itu, Ahmad Ibrahim merupakan representasi seorang “legalis” Islam yang concern pada isu perbaikan hukum Islam.

5. Kuntowijoyo (1943-2005)

Kuntowijoyo adalah seorang ahli sejarah yang membawa semangat reformasi Islam dengan pendekatan sejarah, dan ingin membangun kesadaran Muslim tentang arti penting sejarah bagi perubahan sosial. Ia mencoba melihat peran sejarah tidak sekedar ekpertasi formal akademik. Lebih dari itu, sejarah merupakan faktor utama yang paling determinan yang membentuk realitas segala sesuatu.

Oleh karena itu, ia menjadikan sejarah sebagai perangkat aktif untuk menggugah kesadarah historis (historical consciousness) umat Muslim dalam mengubah keadaan. Untuk mendukung agenda mereformasi umat Islam, ia menawarkan paradigma baru tentang Ilmu Sosial Profetik, yang menjadikan ilmu sosial dan sejarah sebagai kekuatan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Semangat ini, menurutnya, mengambil inti dari nilai perjuangan Nabi Muhammad dengan risalah Islam yang diemban di muka bumi.

Kekuatan membangun paradigma keilmuan ke depan, dengan demikian, bukan hanya kekuatan akal dan observasi empiris, tetapi juga inspirasi wahyu al-Quran dan nilai-nilai kenabian yang membebaskan. Pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan dari mitologi, rasisme, eurosentrisme, dan ideologi-ideologi lainnya yang tidak selaras dengan nilai-nilai hakiki Islam. Aljunied menyebut semangat reformis dengan pendekatan sejarah Kuntowijoyo ini sebagai Muslim “historis”.

6. Cesar Adib Majul (1923-2003)

Dengan pendekatan yang sama, Cesar Adib Majul juga menggunakan perangkat sejarah untuk mendorong reformasi. Namun, jika berangkat dari pijakan Kuntowijoyo tentang sejarah sebagai determinasi perubahan di atas, Majul berpandangan bahwa sejarah hanya mampu membawa perubahan jika umat Islam mampu berperan sebagai “pembuat sejarah” atau history maker, dan mampu menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam sebuah bangsa.

Dalam konteks ini, pemikiran reformis Majul sangat menitikberatkan pada eksistensi dan peran kelompok minoritas. Ia juga melakukan “kritik sejarah”, bahwa minoritas Muslim di Asia Tenggara juga memiliki peran sejarah yang besar dalam membentuk bangsa-bangsa di Asia Tenggara, sehingga dengan itu ia mengkritik “historiografi” yang bias di Asia Tenggara, karena sejarah hanya dibentuk oleh orang-orang yang berkuasa dan menghilangkan peran kelompok-kelompok marginal. Terhadap peran Muslim, banyak sejarahwan yang teralienasi karena faktor sentimentalisme.

Di sisi lain, ia juga mengkritik peran Muslim yang kurang determinatif sehingga menjadikan mereka teralienasi dalam sejarah. Untuk itu, ia mendorong pendekatan yang lebih menekankan empati, toleransi, dan pendekatan yang tidak bias dalam melihat sejarah. Barangkali ini merepresentasikan pandangan kelompok Muslim minoritas seperti di Filipina. Aljunied melihat misi reformasi Majul sebagai seorang “integrasionis”.

7. Zakiah Darajat (1929-2013)

Beberapa figur muslim yang lain menitikberatkan pada persoalan moral dalam dunia Islam, salah satunya adalah Zakiah Darajat, yang memberikan perhatian besar pada aspek “kesehatan mental” (mental well-being) dan peningkatan kualitas moral bagi umat Islam. Hal ini karena Zakiah Darajat adalah tokoh ulama perempuan yang berlatar psikologi sebagai pendidik dan psikiater. Menurutnya, untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks yang dihadapi umat Islam hari ini, kita harus memberikan perhatian pada “kesehatan pikiran” umat Islam. Hal ini karena pikiranlah yang akan memandu seorang individu dalam memberikan respon terhadap apa yang dihadapi dalam lingkungannya.

Berdasarkan praktik dan pengalamannya, ia mengkritik bahwa jika dilihat dari sisi kualitas pikiran umat Islam di Indonesia hari ini masih jauh dari kualitas psikologis yang baik. Maka tak heran masih terdapat banyak problem psikologis seperti kenakalan remaja, kehamilan di luar nikah, tingginya angka perceraian, bunuh diri, dan berbagai persoalan psikosomatis di kalangan Muslim karena bermula dari persoalan lemahnya pikiran.

Untuk itu, ia menawarkan perlunya membangun ilmu kejiwaan yang berbasis agama (ilmu jiwa agama), ilmu psikologi modern yang diperkuat dengan nilai-nilai Qurani dan spiritualitas Islam. Dengan pendekatan psikologis dan moral dalam memperbaiki kondisi umat Islam ini, Aljunied mengkategorikan Zakiah Darajat sebagai seorang reformis “moralis”.

Beberapa figur Muslim reformis yang disebutkan di atas, tanpa mengabaikan kemungkinan figur lainnya yang sesungguhnya juga patut dipertimbangkan, mencerminkan perbedaan dalam mendiagnosa persoalan “krisis” multidimensi yang sedang dihadapi umat Islam secara keseluruhan, sehingga juga mempengaruhi perbedaan dalam pendekatan, konsep, dan solusi untuk mengatasinya.

Mereka mencerminkan karakteristik dan pemikiran masing-masing, dan kesemuannya mendorong pada semangat yang sama untuk memperbaiki kondisi umat yang sedang menghadapi kemunduran dalam berbagai bidang. Perbedaan peran dan cara pendekatan mereka, kembali lagi, menggambarkan sebuah Mosaik Reformasi Islam yang sedang berlangsung di Asia Tenggara. Di tengah populasi umat Islam Asia Tenggara yang jumlahnya mendekati 300 juta, kontribusi mereka dalam dunia Islam global memang patut diperhitungkan.

Baca juga: Deliar Noer dan Sejarah Modernisasi Islam di Indonesia

Sumber acuan: Aljunied, Khairudin. Shapers of Islam in Southeast Asia. Oxford University Press, 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *