Ngaji Gus Baha: Rahasia di Balik Keimanan Seorang Muslim

Tidarislam.co – Dalam sebuah acara peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW di Masjid Istiqlal (27 Januari 2025) bersama Majelis Rasulullah, dan dihadiri Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar dan sejumlah tokoh, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau dikenal sebagai Gus Baha, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Rembang Jawa Tengah, menyampaikan beberapa mutiara hikmah terkait rahasia keimanan umat Nabi Muhammad kepada Allah SWT.

Pertama: Keterbatasan Manusia Justru Meneguhkan Keimanan dan Tauhid kepada Allah

Kita diberi keterbatasan fisik oleh Allah SWT dalam hal kemampuan panca indera, tetapi itu sesungguhnya juga menyimpan rahasia yang menjadi kelebihan kita dalam hal beriman kepada Allah.

Sebagai manusia biasa seperti kita (basyar) Nabi Muhammad juga memiliki keterbatasan. Tetapi sebagai Nabi, Nabi Muhammad adalah Rasul yang paling mengenal Allah, dan beliau mengajarkan bagaimana beriman kepada Allah. Untuk itulah beliau membawa risalah Islam untuk mengajarkan tentang keimanan, dan beliau mencontohkan sendiri bagaimana beriman kepada Allah.

Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang sejatinya disampaikan untuk seluruh umat manusia. Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyampaikan pesan Islam kepada semua umat manusia. Oleh karena itu, kebenaran yang disampaikan agama Islam sesungguhnya dapat dicerna dengan logika akal sehat yang dimiliki oleh siapa saja, manusia di manapun dan kapanpun. Di antaranya adalah kebenaran tentang keberadaan Allah, dan bahwa Allah  itu satu (ajaran tauhid).

Logika tauhid tentang keesaan Allah ini dapat dicerna dengan nalar common sense, misalnya, bahwa segala asal muasal berasal dari satu titik wujud. Sebagai ilustrasi, ketika kita menggambar sesuatu, tentu berawal dari satu titik. Itu sebagai ilustrasi bahwa segala sesuatu wujud alam semesta ini berasal dari satu wujud hakiki, Allah SWT yang tunggal.

Penerimaan kita terhadap keberadaan Allah justru semakin kuat ketika kita diberi keterbatasan oleh Allah, dan menyadari ketidakmampuan kita sebagai manusia melihat hal-hal ghaib dengan kemampuan inderawi, termasuk untuk melihat Allah, malaikat, surga, atau neraka. Untuk menerima kebenaran itu, Nabi Muhammad mengajarkan tentang keimanan yang sejati.

Salah satu keistimewaan umat Muhammad SAW adalah bagaimana Nabi Muhammad SAW mengajarkan tentang keimanan yang sejati, iman yang kokoh, baik iman kepada Allah, maupun beriman kepada semua hal-hal yang ghaib, termasuk surga dan neraka.

Iman yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, dan diteruskan ajarannya oleh para ulama pewaris ajaran Nabi, sungguh istimewa, karena mereka mampu meyakini hal-hal yang gaib dengan penerimaan iman yang mantab, yang tidak pernah dimiliki bahkan oleh malaikat yang gaib sekalipun. Hal itu karena manusia diberi anugrerah “nalar” untuk menjustifikasi kebenaran itu. Dengan kemampuan nalar itu pula manusia memiliki cara-cara alternatif dalam memuji keagungan Allah SWT.

Baca juga: Ngaji Tasawuf Bersama Menteri Agama

Dalam sebuah hadist di kitab Sahih Bukhari (6408):

– إنَّ لِلَّهِ مَلائِكَةً يَطُوفُونَ في الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أهْلَ الذِّكْرِ، فإذا وجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنادَوْا: هَلُمُّوا إلى حاجَتِكُمْ قالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بأَجْنِحَتِهِمْ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، قالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ -وهو أعْلَمُ منهمْ- ما يَقولُ عِبادِي؟ قالوا: يَقولونَ: يُسَبِّحُونَكَ ويُكَبِّرُونَكَ، ويَحْمَدُونَكَ ويُمَجِّدُونَكَ، قالَ: فيَقولُ: هلْ رَأَوْنِي؟ قالَ: فيَقولونَ: لا واللَّهِ ما رَأَوْكَ، قالَ: فيَقولُ: وكيفَ لو رَأَوْنِي؟ قالَ: يقولونَ: لو رَأَوْكَ كانُوا أشَدَّ لكَ عِبادَةً، وأَشَدَّ لكَ تَمْجِيدًا وتَحْمِيدًا، وأَكْثَرَ لكَ تَسْبِيحًا، قالَ: يقولُ: فَما يَسْأَلُونِي؟ قالَ: يَسْأَلُونَكَ الجَنَّةَ، قالَ: يقولُ: وهلْ رَأَوْها؟ قالَ: يقولونَ: لا واللَّهِ يا رَبِّ ما رَأَوْها، قالَ: يقولُ: فَكيفَ لو أنَّهُمْ رَأَوْها؟ قالَ: يقولونَ: لو أنَّهُمْ رَأَوْها كانُوا أشَدَّ عليها حِرْصًا، وأَشَدَّ لها طَلَبًا، وأَعْظَمَ فيها رَغْبَةً، قالَ: فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ؟ قالَ: يقولونَ: مِنَ النَّارِ قالَ: يقولُ: وهلْ رَأَوْها؟ قالَ: يقولونَ: لا واللَّهِ يا رَبِّ ما رَأَوْها، قالَ: يقولُ: فَكيفَ لو رَأَوْها؟ قالَ: يقولونَ: لو رَأَوْها كانُوا أشَدَّ مِنْها فِرارًا، وأَشَدَّ لها مَخافَةً، قالَ: فيَقولُ: فَأُشْهِدُكُمْ أنِّي قدْ غَفَرْتُ لهمْ، قالَ: يقولُ مَلَكٌ مِنَ المَلائِكَةِ: فيهم فُلانٌ ليسَ منهمْ، إنَّما جاءَ لِحاجَةٍ، قالَ: هُمُ الجُلَساءُ لا يَشْقَى بهِمْ جَلِيسُهُمْ.

Pesan hadist ini adalah, bahwa Nabi menjelaskan tentang keterbatasan manusia justru menjadi kelebihan manusia untuk mengenal Allah, dan itu dibenarkan oleh malaikat. Karena dengan keterbatasan manusia untuk mengenal Allah dengan penglihatan langsung, mereka justru bisa mengenal Allah melalui kemurnian iman mereka. Keimanan manusia justru menjadi istimewa ketika mereka tidak mampu melihat wujud Allah. Tidak demikian halnya dengan malaikat yang dalam hadist tersebut menyaksikan keberadaan Allah.

Dalam kitab penjelasan hadist Bukhari, di kitab Fathul Baari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan hadist di atas, bahwa manusia justru memiliki kelebihan dengan kelemahan dan keterbatasan inderawi mereka untuk mengenal Allah secara langsung; karena dengan kelemahan itu mereka justru akan sungguh-sungguh mengenal Allah melalui keimanan yang teguh. Keimanan yang kuat dan ditopang dengan argumen dan keyakinan logis itulah yang dimiliki oleh Bani Adam, tidak dimiliki oleh malaikat.

Disini juga, keistimewaan keimanan umat Nabi Muhammad tampak dalam keimanan kepada Nabi, bahwa beliau pernah menyatakan: “sungguh beruntung orang yang melihatku kemudian beriman kepadaku; tetapi lebih beruntung mereka yang belum pernah menyaksikan keberadaanku, tetapi mereka mau beriman kepadaku.”

Baca juga: Gus Baha, Ulama Ahli Tafsir dari Rembang

Kedua: Keistimewaan Menjadi Pengikut Nabi Muhammad SAW dalam Referensi Ulumul Quran

Selain beriman kepada keberadaan Allah, kita juga beriman secara sungguh-sungguh kepada kenabian Muhammad. Salah satu keistimewaan umat Nabi Muhammad SAW adalah kita memiliki pemimpin yang paling mulia di hadapan Allah, dan pemimpin yang kita andalkan ketika kita harus mempertanggungjawabkan hidup di hadapan Allah kelak di hari akhir.

Nabi Muhammad, manusia paling utama, yang diberi kemuliaan derajat oleh Allah sebagai kekasih Allah, memiliki banyak keistimewaan, baik beliau sebagai Nabi, maupun sebagai manusia biasa. Sebagai Nabi, Nabi Muhammad memiliki keistimewaan “syafaat” atau “pertolongan” ketika kita harus mempertanggunjawabkan amal perbuatan di hadapan Allah.

Dalam sebuah kitab al-Mufradat fi Gharib al-Quran, karangan Raghib al-Isfahani, menjelaskan bahwa begitu cintanya Nabi Muhammad kepada para umatnya. Nabi Muhammad lah yang nanti akan diandalkan untuk memberikan syafaat atau pertolongan di hadapan Allah di hari akhir. Pada hari penghisaban, ketika terjadi huru hara hari akhir, ketika manusia dihadapkan pada pengadilan Allah di mahsyar, saat itulah setiap manusia mempertanggungjawabkan nasibnya sendiri, bahkan para Nabi yang lain pun mementingkan nasibnya sendiri di hadapan Allah. Tapi justru Nabi Muhammad memikirkan umatnya dan bertanggungjawab atas nasib umatnya, dan beliau mengatakan: “ana laha”, aku akan memberikan syafaat pertolongan kepada mereka.

Salah satu contoh keimanan Nabi Muhammad adalah bahwa sampai pada hari akhir pun, Nabi Muhammad SAW tetap memuji Allah. Itu menunjukkan keimanan Nabi Muhammad didasarkan pada rasa cinta yang kuat kepada Tuhan. Dan, pada hari akhir itu pun, disitulah Nabi Muhammad tetap memuja-muji Allah, memohon kepada Allah, dengan pujian yang luar biasa, untuk mengharapkan pertolongan untuk umat manusia. Dari situlah Muhammad dikenal dilangit sebagai “Ahmad”, yang secara kebahasaan berarti “yang lebih banyak pujian” kepada Allah daripada seluruh manusia di manapun, termasuk para Nabi-nabi. Nabi Muhammad memuji Allah untuk mengajukan permohonan syafaat untuk seluruhnya umatnya.

Baca juga: Keberanian untuk Beriman

Ketiga: Keistimewaan al-Quran sebagai Mukjizat Nabi Muhammad SAW

Allah memberikan mukjizat kepada setiap Nabi berupa “kemampuan luar biasa” dalam rangka untuk mengajak umatnya agar beriman kepada Allah. Kebanyakan para Nabi diberikan mukjizat yang berbentuk keistimewaan fisik dan bersifat sementara, seperti kemampuan menghidupkan orang mati (Nabi Isa), kemampuan menyibak lautan dengan tongkat (Nabi Musa), dan lain-lain.

Namun mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah mukjizat paling istimewa yang tidak diberikan kepada Nabi yang lain, yaitu al-Quran, dan dengan mukjizat itulah Nabi Muhammad SAW akan mendapatkan pengikut umat yang paling banyak sampai hari kiamat.

Kemukjizatan al-Quran itu tidak bersifat fisik, tetapi terletak justru pada “rasionalitas” kebenaran al-Quran yang dapat diterima akal manusia secara universal, dan dengan itu manusia dapat beriman kepada Allah. Al-Quran menjelaskan tentang hal-hal yang alamiah, dan itu menunjukkan kebesaran Allah dalam proses penciptaan alam semesta.

Berbeda dengan mukjizat para Nabi yang lain yang disaksikan kebenarannya dengan “mata inderawi” oleh umat-umatnya, sementara kebenaran dalam al-Quran yang dibawa Nabi Muhammad disaksikan dengan “akal sehat” manusia, dan juga dengan hati nurani yang jernih (bashiroh) sehingga menjadikan kebenaran mukjizat itu berbeda, karena dapat diterima oleh manusia dari latar belakang apapun, di manapun, dan kapanpun sampai hari kiamat.

Perbedaan yang lain adalah, ketika mukjizat-mukjizat Nabi-nabi hanya terjadi pada satu peristiwa tertentu dan terbatas waktu, sementara mukjizat “rasionalitas” al-Quran itu berlaku dan dapat dilihat sampai hari kiamat.

Beberapa kitab para ulama membenarkan keistimewaan keimanan umat Nabi Muhammad SAW. Seperti kitab Burdah karangan Imam Busyiri, yang meneguhkan keistimewaan umat Nabi Muhammad SAW, bahwa kita ditakdirkan untuk menjadi umat seorang Nabi yang digelari “yang penuh kasih sayang”, “yang memiliki hak syafaat”, dan itu menjadi keistimewaan tersendiri kedudukan umat Nabi Muhammad SAW di hadapan Allah SWT.

Gus Baha memungkasi dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa “setiap Nabi memiliki jatah doa yang mustajab, dan para Nabi telah menggunakan hak doa itu di dunia; tetapi aku menangguhkan jatah doaku itu kelak untuk memberikan hak syafaat untuk umatku di hari kiamat”. Wallahu a’lam.

Baca juga: Ngaji Kitab al-Maqshid al-Asna

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *