Search

Negara dalam Perspektif Cendekiawan Muslim

Ilustrasi gambar: beritariau.com

Oleh: Mahdum Kholid Al Asror

Tidarislam.co – Perdebatan tentang hubungan agama dan negara telah berlangsung cukup lama dalam kalangan cendikiawan Muslim, karena dengan keduanya sama-sama berperan dalam pencapaian kemaslahatan kehidupan di dunia, bahkan dengan keduanya, manusia mampu menerawang persoalan transendental, yakni kepercayaan pada Dzat yang telah mengatur seluruh denyut kehidupan di alam kosmos. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini telah berlangsung sejak hampir satu abad yang lalu.

Sementara itu, Hussein Muhammad menyebutkan bahwa dalam Islam terdapat dua model hubungan agama dan negara, model hubungan pertama disebut dengan hubungan integralistik atau totalistik, dan yang kedua disebut dengan hubungan simbiosis-mutualistik

Dalam hubungan integralistik, agama dan negara dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan (integral), model hubungan ini memberikan pengertian bahwa negara adalah merupakan lembaga politik sekaligus lembaga agama. Konsep hubungan ini memiliki keidentikan dengan paham teokrasi.

Ali Maschan Moesa dalam NU, Agama dan Demokrasi menyatakan bahwa al-Maududi dan para pakar politik Syi’ah merupakan penggagas konsep hubungan integralistik ini. Dalam paradigma ini, kedaulatan Ilahi yang hanya dimiliki Tuhan memiliki peran tertinggi dalam penyelenggaraan kenegaraan. Secara faktual, Ali Maschan mencontohkan penerapannya pada model pemerintahan Iran. Karena di Iran, imamah dianggap sebagai legitimasi dari Tuhan yang di turunkan melalui Nabi Muhammad dan dilanjutkan secara estafet oleh para keturunan beliau. Kedaulatan model Iran adalah “kedaulatan Tuhan”, dan konstitusi yang dipakai harus berdasarkan wahyu Tuhan. Oleh karena itulah, Iran disebut sebagai negara teokrasi.

Ali juga mengategorikan pandangan al-Maududi dalam tipologi ini, karena ia memandang bahwa negara harus berlandaskan pada empat prinsip, yaitu mengakui kedaulatan Tuhan, menerima otoritas Nabi Muhammad, memiliki status wakil Tuhan dan menerapkan musyawarah. Negara merupakan sarana politik untuk mengaplikasikan hukum Tuhan. Menurut al-Madudi, kekuasaan dalam negara Islam terbagi dalam dua bagian, yaitu kepala negara dan lembaga legislatif. Kepala negara memiliki posisi yang sangat dominan karena seorang kepala negara yang loyal terhadap hukum Tuhan memiliki hak menveto keputusan yang telah disepakati oleh Dewan Penasihat.  

Sedangkan dalam model hubungan kedua, agama dan negara merupakan dua institusi yang saling berhubungan dan membutuhkan. Terbentuknya masyarakat religius hanya bisa terbentuk jika ada lembaga yang disebut negara, sebaliknya negara tidak diperbolehkan berjalan tanpa adanya kontrol dari agama, sebab akan terjadi banyak tindak amoral dan kekacauan dalam negara.

Baca juga: Tafsir Transformatif, Upaya Muffasir Kontemporer Menjawab Kebutuhan Umat

Menurut Ali Maschan, hubungan simbiotik ini didukung oleh al-Mawardi dan al-Ghazali dalam karya monumental mereka al-Ahkam as-Sulthâniyah dan Ihya Ulûmuddien. al-Mawardi memandang negara dan agama memiliki hubungan yang simbiotik, sebab Imam bertugas meneruskan misi kenabian untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam hubungan ini, agama berperan sebagai pengontrol negara. Selanjutnya Ali Maschan mengutip pendapat al-Ghazali. Menurutnya, negara dibutuhkan oleh masyarakat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan industri dan profesi. Sementara kepala negara membutuhkan sumber legimitimasi keagamaan. Industri yang dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat ialah pertanian dan tenun yang didukung oleh stabilitas pembangunan dan politik. Profesi politik yang dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat ialah sub-profesi pengukuran tanah, sub-profesi ketentaraan, sub-profesi kehakiman, dan sub-profesi ilmu hukum. Setelah melihat begitu pentingnya peranan politik, al-Ghazali memposisikan politik di bawah satu tingkat dengan agama.

Ibnu Taimiyah dalam as-Siyâsah mengatakan bahwa agama dan negara benar-benar terjalin berkelindan. Tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Sementara itu, negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini senada dengan pendapat al-Ghazali dalam Al-iqtishâd fi al-I’tiqâd, di sana al-Ghazali menegaskan bahwa agama dan negara adalah dua anak kembar. Agama adalah dasar, dan penguasa/kekuasaan negara adalah penjaga. Segala sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur, dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan sia-sia.

Dalam konteks keIndonesiaan, agama dan negara memiliki hubungan yang seimbang dan dinamis, tidak ada pemisahan antara keduanya. Hubungan ideal oleh jam’iyyah Nahdlatul Ulama dibuktikan dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan dan agama sebagai akidah. Rumusan tersebut ditetapkan oleh KH. Ahmad Siddiq selaku Rais Am PBNU pada Muktamar tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur. Hubungan agama dan negara yang ideal digambarkan dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang kesempurnaan agama Islam jika dipahami dan diamalkan secara substantif, bukan dipahami secara literalistik. NU memandang tidak adanya kewajiban mendirikan agama Islam, tetapi mendorong pengamalan agama secara substantif serta membangun kemaslahatan masyarakat secara luas dalam bingkai negara.

Mahdum Khalid Al-Asror. Mahasiswa S3 Ilmu Syariah IAIN Metro, Lampung

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top