Nabi Muhammad SAW: Teladan Umat dalam Keadilan

Oleh: Adimas Septian Fatkhuridho

Tidarislam.co- Dalam sejarah panjang umat manusia, ada tokoh-tokoh besar yang dikenang karena kebijaksanaan dan keadilannya. Namun di antara mereka, sosok Nabi Muhammad SAW menempati posisi istimewa. Beliau tidak hanya mengajarkan tentang keimanan kepada Allah, tetapi juga membumikan nilai-nilai kemanusiaan, terutama keadilan. Nilai itulah yang membuat beliau dikenang, diteladani, dan dijadikan panutan oleh jutaan umat Muslim di seluruh dunia—dari abad ke-7 hingga hari ini.

Siapa Nabi Muhammad SAW dan Bagaimana Keadilan Melekat dalam Dirinya?

Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah tahun 570 M, dari keluarga terhormat Bani Hasyim. Sejak muda, beliau telah mendapat julukan “Al-Amin”, artinya yang terpercaya karena kejujurannya. Saat menerima wahyu pertama di Gua Hira pada usia 40 tahun, beliau mengemban tanggung jawab besar sebagai penyampai risalah ilahi. Namun yang menarik, dalam dakwahnya, Rasulullah tidak hanya berbicara soal tauhid dan ibadah. Ia juga menekankan pentingnya sikap adil dalam seluruh aspek kehidupan: mulai dari relasi keluarga, masyarakat, hingga pemerintahan.

Keadilan yang beliau tegakkan bukan sekadar aturan hukum, melainkan perwujudan dari kasih sayang, integritas, dan keberanian moral. Dalam Al-Qur’an Allah menegaskan:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرً

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisa’: 58)

Ayat ini menjadi dasar sikap kenabian dalam memutuskan perkara, menyelesaikan konflik, dan membangun masyarakat yang setara.

Apa Contoh Nyata Keadilan Nabi Muhammad SAW?

Dalam berbagai peristiwa kehidupan Rasulullah, sikap adil beliau muncul begitu nyata. Salah satunya adalah ketika ada seorang perempuan bangsawan dari Bani Makhzum mencuri, dan sebagian sahabat menyarankan agar hukuman tidak dijatuhkan. Rasulullah menjawab dengan tegas:

“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR. Bukhari)

Kalimat ini bukan sekadar pernyataan hukum. Ia adalah manifestasi keberanian moral. Betapa Nabi menempatkan prinsip keadilan di atas hubungan darah, status sosial, dan tekanan publik. Baginya, hukum adalah cermin tanggung jawab kepada Allah, bukan alat kompromi kekuasaan.

Dalam skala lebih besar, ketika Nabi memimpin di Madinah, beliau menggagas Piagam Madinah sebuah konstitusi sosial yang menyatukan Muslim, Yahudi, dan suku-suku Arab dalam satu masyarakat majemuk. Di dalamnya terdapat jaminan perlindungan, toleransi, dan keadilan bagi semua pihak. Ini membuktikan bahwa Islam sejak awal mengajarkan pluralitas dan hidup berdampingan secara adil.

Baca juga: Wasiat Terakhir Nabi Muhammad SAW di Haji Wada

Kapan dan Di Mana Keadilan Menjadi Pijakan Masyarakat?

Setelah hijrah ke Madinah pada tahun 622 M, Nabi mulai membangun masyarakat yang menjunjung keadilan. Hukum ditegakkan secara proporsional, hak perempuan diakui, anak – anak yatim dilindungi, dan kaum miskin dibela. Nabi juga menetapkan zakat dan larangan riba sebagai bentuk distribusi kekayaan yang adil.

Lebih dari itu, Rasulullah melarang fanatisme buta terhadap suku atau kelompok. Beliau bersabda:

“Bukanlah dari golongan kami orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan), dan bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)

Ini memperlihatkan bahwa keadilan dalam Islam melampaui batas identitas sosial. Yang diutamakan adalah kemaslahatan umat, bukan kepentingan golongan.

Mengapa Teladan Keadilan Rasulullah Relevan Hingga Kini?

Dunia hari ini sedang mengalami krisis keadilan dalam banyak aspek politik, ekonomi, hukum, bahkan dalam relasi sosial. Ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin nyata. Hak asasi manusia sering dikorbankan atas nama kepentingan elit. Dalam situasi seperti ini, umat Islam harus kembali menengok warisan Nabi Muhammad SAW yang menempatkan keadilan sebagai pilar utama kehidupan.

Di Indonesia, nilai-nilai keadilan yang diajarkan Nabi bisa dilihat dalam semangat para ulama dan organisasi Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama. NU tidak hanya bicara tentang keislaman, tetapi juga keindonesiaan. Melalui program pendidikan, pemberdayaan, dan advokasi, NU berusaha menghadirkan Islam yang membela yang lemah dan memihak pada keadilan sosial.

Bagaimana Kita Meneladani Keadilan Nabi Hari Ini?

Meneladani Nabi tidak cukup dengan mengagumi, melainkan dengan menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita seorang pemimpin, berlaku adillah kepada bawahan. Jika seorang guru, bersikap adillah kepada murid. Jika seorang orang tua, berlaku adillah kepada anak. Karena Rasulullah bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan dalam ranah yang paling sederhana seperti rumah tangga atau komunitas kecil, nilai keadilan tetap wajib ditegakkan. Ketika kita memberi hak orang lain sesuai porsinya, ketika kita tidak memihak karena kepentingan pribadi, ketika kita berani bersuara untuk mereka yang tertindas—itulah cara hidup Rasulullah yang sesungguhnya.

Ketika Islam Dipersempit atas Nama Keadilan

Namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa hari ini ada kelompok-kelompok yang menggunakan istilah “keadilan Islam” untuk membenarkan kekerasan atau eksklusivitas kelompok. Padahal keadilan dalam Islam tidak pernah berarti menindas yang berbeda. Keadilan Rasulullah justru membuka ruang untuk dialog, rekonsiliasi, dan pengampunan. Ingatlah bagaimana beliau memaafkan penduduk Makkah saat Fathu Makkah, padahal mereka pernah mengusir dan menyakitinya.

Baca juga: Surat Nabi Muhammad SAW Kepada Raja Oman

Dalam hal ini, kita harus pandai memilah antara ajaran yang benar-benar warisan Rasulullah dan klaim-klaim yang hanya membajak nama Islam. Spirit keadilan yang diajarkan Nabi harus dilandasi kasih sayang dan rahmat, bukan dendam dan kekuasaan.

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruhalam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Ayat ini adalah pengingat bahwa keadilan Rasulullah adalah bagian dari rahmat, bukan alat kekuasaan.

Penutup

Nabi Muhammad SAW telah wafat lebih dari 1400 tahun yang lalu. Namun ajaran dan keteladanannya tidak pernah mati. Di setiap ruang pengadilan yang menegakkan hukum dengan benar, di setiap keluarga yang saling menghormati hak satu sama lain, di setiap kebijakan publik yang berpihak pada kaum lemah—di situlah ruh keadilan Rasulullah hidup.

Sebagai umat yang mencintai beliau, tugas kita adalah menjaga warisan itu. Menjadi Muslim tidak cukup hanya dengan mengenakan identitas, tetapi juga dengan memikul tanggung jawab moral untuk berlaku adil, jujur, dan penuh kasih.

Jika hari ini kita melihat ketidakadilan merajalela, maka itu adalah isyarat bahwa umat ini harus kembali pada warisan Nabinya. Dan semoga kita tidak hanya menjadi penyampai cerita tentang Nabi, tetapi benar-benar menjadi pewaris akhlaknya.

Shollu ala Nabi Muhammad  (صلّوا على النبي محمد)

Adimas Septian Fatkhuridho, merupakan mahasiswa program studi akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *