Muslim Dinamis

Kehidupan adalah gerak maju. Hukum semacam inilah yang mengatur dunia. Dalam perjalanan ini tak mungkin berhenti. Tinggal diam berarti mati. Hidup adalah abadi, selalu gemetar, selalu muda. Satu-satunya yang tetap di dunia ialah perubahan.

(Muhammad Iqbal)

Tidarislam.co –Muhammad Iqbal (1877-1938) adalah seorang tokoh muslim kontemporer dari Lahore. Dengan karya-karya sastranya yang memuat ide-ide kreatif yang mendalam, Muhammad Iqbal dikenal sebagai filsuf sekaligus pujangga dan sufi. Juga dikenal sebagai cendekiawan muslim penggagas ide dinamisme Islam, atau pemikiran “Islam dinamis” sebagai bentuk kritik terhadap kondisi dan perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir, dimana umat Islam mengalami banyak stagnasi bahkan kemunduran. Umat Islam berada pada lingkaran kejumudan sejak kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[1]

Perjalanan hidup Iqbal sendiri juga mencerminkan perjalanan yang dinamis, dengan banyak berkiprah dalam dunia intelektual, politik, maupun kebudayaan. Lahir di Sialkot, Punjab, Pakistan pada tanggal 9 November 1877, Iqbal mengenyam pendidikan formal dalam bidang sastra di Scottish Mission School. Studi sarjana ia selesaikan di Government College University Lahore pada tahun 1897. Adapun gelar masternya ia raih dalam bidang filsafat pada tahun 1899, hingga menjadi dosen di almamaternya di Sialkot Pakistan. Atas dorongan gurunya, Sir Thomas Arnold, Iqbal melanjutkan studinya di Trinity College Cambridge London untuk mengambil studi hukum dan politik. Di sana ia banyak mempelajari filsafat moral pada James Ward dan JE. Mc Taggart, seorang filsuf neo-Hegelian. Ia kemudian melanjutkan studi dan mengadakan penelitian di Universitas Munich Jerman, hingga meraih gelar doktor filsafat, doctoris philosophy grandum pada tahun 1907 dengan desertasinya The Development of Metaphysic in Persia.[2]

Di Universitas London, Iqbal menggantikan gurunya Thomas Arnold menjadi guru besar bahasa dan sastra dan menjadi ketua jurusan bidang filsafat dan kesusastraan. Namun tak berselang lama, Iqbal kembali ke Lahore sebagai guru besar di Government College University Lahore dan menjadi pengacara. Ditanah airnya, ia banyak menulis syair-syair hingga mencapai puncak popularitasnya hingga mendapatkan gelar “Sir” dari pemerintah pada sekitar tahun 1922. Dalam karir politiknya, ia pernah menjadi presiden sidang Liga Muslim di Allahabad yang menelorkan gagasan pendirian negara Pakistan sebagai alternatif atas persoalan Hindhu Muslim di India. Sebagai ketua Liga Muslim, ia banyak berkomunikasi dengan tokoh muslim Muhammad Ali Jinnah, pendiri negara Pakistan. [3]

Muhammad Iqbal meninggal pada tanggal 20 April 1938, meninggalkan banyak karya-karya monumental berupa syair-syair yang ditulis dalam bahasa Persia dan Urdu. Syair panjangnya Asrar-i Khudi (Rahasia Diri,1915) menjelaskan tentang bagaimana seseorang dapat mencapai predikat insan kamil; Rumuz-i Bikhudi (Misteri Diri, 1915) merupakan kelanjutan pemikiran mengenai insan kamil; selain itu ada juga Payam-i Masyriq (Pesan dari Timur, 1923), Bang-i Dara (Suara Khalifah, 1924), The Reconstruction of Religious Though in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dalam Islam, 1930) yang salah satu bagiannya membahas tentang konsep ego-insani, Javid Namah (Kitab Keteladanan), Zabur-i Ajam (Kitab Suci Dari Timur), Bal-i Jibril (Cincin Jibril, 1935), Letters and Writings of Iqbal (Kumpulan surat dan artikel Iqbal), Musafir (Lahore, 1936), dll.[4] 

Gambar 1. Sumber: themadyan.com

Pandangan Dunia yang Dinamis, Tidak Statis

Muhammad Iqbal menggagas pemikiran spiritualisme yang dinamis, progresif, revolusioner, mendorong karakter muslim yang berpikir dinamis. Banyak ide dan pemikiran filosofis dilontarkan Iqbal melalui syair-syairnya, antara lain cara pandangnya terhadap hakikat “subjek manusia” sebagai entitas yang selalu bergerak dinamis membawa misi ilahi. Ia mendasarkan pada ayat al-Quran bahwa manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi.

Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu diatas yang lain untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”.[5] 

Dengan kekhalifahan manusia di bumi, berarti manusia pada dasarnya ikut serta dalam proses kreatif Tuhan dalam kehidupan di dunia. Sejak berakhirnya kenabian, manusia tidak lagi mendapat tuntunan dari Tuhan lewat Nabi dan wahyu. Memang, dalam pandangan Iqbal, manusia tidak seharusnya terus-menerus dituntun dengan cara demikian. Manusia tidak bisa lain, kecuali kembali kepada kemampuan sendiri. Dengan al-Quran sebagai wahyu terakhir dan sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai teladan, manusia dituntut untuk menyelesaikan persoalannya sendiri di dunia ini.

Di alam inilah manusia menentukan eksistensinya sebagai manusia yang kongkret yang harus senantiasa bergerak dinamis dan kreatif. Sementara konsep dinamis tentang alam adalah kelanjutan logis dari kreativitas Tuhan yang tidak pernah berhenti. Alam akan berkembang terus-menerus. Perkembangan itu merupakan gerak yang terus maju menuju keadaan yang lebih kompleks dan lebih sempurna. Di tengah-tengah lingkaran yang dinamis itulah manusia diberi tempat untuk hidup. Manusia yang lemah akan dimangsa oleh lingkungan yang dinamis itu. Hanya manusia yang kuat yang dinamislah yang mampu menyesuaikan diri, dan pada saat lain memberi warna kepada lingkungannya. Dan hanya manusia yang kuatlah yang sanggup ikut serta dalam kehidupan kreatif Tuhan dalam mengelola ciptaan-Nya.

Hidup manusia di dunia, demikian pula, penuh gerak dan penuh perjuangan yang merupakan hukum tetap dari kehidupan dunia. Hidup berarti membuka dunia baru untuk berjuang mencapai kemuliaan pribadi dan umat manusia. Perjalanan hidup ini berarti gerak maju terus dengan saling menyerbunya pribadi manusia ke dalam lingkungannya, dan juga menyerbunya lingkungan ke dalam pribadi manusia. Kegiatan yang terus menerus melahirkan cita-cita baru, yang berarti, bernilai untuk meningkatkan manusia ke derajat yang lebih baik.[6] 

Dalam hal ini, Tuhan adalah rekan manusia secara timbal balik. Dalam proses itu, inisiatif harus datang dari pihak manusia. Takdir adalah kemungkinan yang belum menjadi realitas. Manusia dibebaskan memilih takdirnya sendiri, namun ada pula syarat-syaratnya. Tidak ada yang statis dalam kehidupan nafsil-insaniah. Semua bergerak dalam suatu gerak pasang-surut tanpa henti. Perubahan yang menerobos itu tidak bias dipikirkan tanpa waktu. Berdasarkan analogi dari pengalaman itu, eksistensi yang sadar berarti kehidupan yang berjalan dalam waktu. Alam semesta berada dalam genggaman waktu. Maka alam harus dipahami sebagai suatu organisme yang selalu tumbuh. Pertumbuhan itu tidak mempunyai batas keluar yang berkesudahan. Batas satu-satunya adalah ke dalam, yaitu hukum yang memelihara keseluruhannya. Seperti kata al-Quran:

Sesungguhnya kepada (hukum) Tuhanmulah batas itu”.[7] 

Dengan pemahaman ini, Iqbal mengkritik keras pemahaman umat Islam selama ini yang cenderung statis dalam memandang kehidupan. Menurutnya, kondisi statis berarti sebuah kematian. Kekeliruan umat Islam dalam memahami al-Quran terletak pada pola pemikiran yang berlena-lena dengan gejala yang serba abstrak, dan tidak ada hubungannya dengan yang kongkret. Umat Islam harus meninggalkan pojok-pokok zuhud mereka, terjun dalam arus persoalan dunia yang deras lajunya, dan berjuang menghadapi kenyataan sehari-hari. Disinilah manusia ditakdirkan untuk hidup dan berperan di muka bumi. Sebab di akhirat, manusia hanya akan merasakan senang atau duka, akibat dari punya peran atau tidaknya dimuka bumi dalam kontek ikut sertanya bersama kehidupan kreatif Tuhan. Inilah mengapa Iqbal mengatakan eksistensi manusia sebagai hal yang kongkret.

Pandangan Iqbal terhadap umat Islam sangat prograsif. Menurutnya kekeliruan pemahaman umat Islam tentang eksistensinya sendiri membuat umat Islam mengalami kemunduran sendiri. Banyak lembaga pendidikan bergerak statis sehingga tidak mampu menghasilkan pemikiran yang realistis, kontemporer, serta maju. Umat Islam perlu pemahaman baru tentang pembaruan ijtihad, mengingat ijtihad adalah sangat penting sebagai budaya Islam, dan terutama bagi generasi manusia sesudah terputusnya kenabian dan wahyu. Ide-ide tentang gerakan dalam struktur Islam dicurahkan dalam syair-syairnya dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Pemikiran Iqbal mengobarkan semangat umat Islam untuk maju. Bahkan gagasannya sangat luas sehingga mengasosiasikan bahwa seorang kafir yang aktif lebih baik dari pada seorang muslim yang malas.

Dengan kata-kata keras tersebut, bukan berarti Iqbal sepakat dengan kalangan Barat yang mendominasi sistem kapitalisme yang bercorak materialistis. Baginya, pada satu sisi, umat Islam harus mengambil hal-hal positif yang digagas oleh dunia Barat terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun harus menghindari pengkultusan terhadap materialisme yang cenderung anti religiusitas. Ilmu pengetahuan dan pengalaman agama tidaklah berbeda; keduanya kongkret. Perbedaannya hanya terletak pada alat dan cara. Intelektualitas diraih melalui pencerapan indra, sedang agama dengan hati. Kedua alat itu dimiliki oleh eksistensi manusia yang kongkret. Umat Islam harus memperoleh keseimbangan dalam kedua hal yang sangat penting tersebut, kapasitas intelektual dan kualitas keagamaan.

Dalam hal inilah Iqbal mengkritik kecenderungan di dunia Barat. Dehumanisasi di Barat menurutnya adalah karena sistematisasi masyarakat yang cenderung totaliter dan berlebihan. Di sela-sela kemajuan iptek seharusnya sifat kemanusiaan tidak boleh tercabut. Inilah yang tidak ada di Barat, menurutnya, dimana mereka tidak menilai manusia dalam eksistensinya yang kongkret secara benar. Manusia yang kongkret memiliki intelek dan intuisi atau hati. Barat hanya berpedoman pada intelek dengan mengesampingkan unsur spiritualitas. Dengan kemampuan intuisilah manusia secara langsung menangkap ilham, prinsip-prinsip moral dan pengalaman agama. Visi atau ilham mampu untuk menyebabkan peningkatan moral, namun tidak sanggup membangun budaya yang bisa bertahan. Ia membutuhkan kekuatan lain, dan kekuatan itu bisa diperoleh dari ilmu. Sedangkan ilmu yang diceraikan dari visi akan cenderung menjadi kekuatan yang merusak.  

Manusia sebagai Individu yang Unik dan Kreatif

Bagi Iqbal, membahas manusia harus dipersepsikan bahwa manusia sebagai individu yang mempunyai keunikan. Individu artinya berdiri dalam eksistensinya sendiri dan tidak memikul beban orang lain, dan hanya berhak atas hasil kerjanya sendiri. Disebut individu yang unik, disebabkan karena manusia adalah pilihan Tuhan dan dimaksudkan menjadi khalifah di bumi. Individu itu adalah pribadi yang merdeka, dan mempunyai resiko yang ditanggung sendiri.[8] 

Pemikiran Muhammad Iqbal tentang individu didasarkan pada pentingnya individu mengembangkan potensi “ego” yang dimilikinya.[9] Untuk mengenali lebih jauh tentang siapakah manusia sebagai individu, maka harus memahami tentang hakikat “ego”. Ego adalah kesatuan dari keadaan-keadaan mental manusia. Gejala atau keadaan mental manusiawi tersebut saling menyusun dalam sturuktur ego. Keadaan atau gejala mental bersifat hierarkis, bertingkat-tingkat dalam keseluruhan yang rumit yang disebut sebagai pikiran. Wujud ego sebagai kesatuan mental berwujud immaterial, tidak seperti wujud barang material yang terpisah-pisah, saling terisolasi, dan berdiri sendiri.

Ego mempunyai essensi tersendiri. Ego adalah “aku” yang mempunyai ciri kesendirian. Ilustrasi Iqbal dalam pemahaman aku adalah seperti sakit gigi, kenikmatan, penderitaan, dan keinginan-keinginan akan sesuatu itu benar-benar khas milik saya. Keakuan saya tidak mampu dirasakan oleh keakuan orang lain. Benar, dokter simpati dan kasihan terhadap kesakitan saya, tetapi ia tidak dapat merasakan betapa dokter itu simpati kepada saya seperti yang saya rasakan. Bahkan Tuhan pun tidak merasakan seperti apa yang kurasakan ini. Ciri kesendirian ego itulah maka disebut dengan “aku”.

Bagi Iqbal ego bukanlah substansi jiwa. Ego bukan substansi penyusun kesatuan jiwa. Menurutnya, ego tidak menampakkan diri dalam pengalaman dan tidak memberi keterangan yang lengkap tentang kepribadian yang berubah-ubah. Nafs yang disebutkan dalam al-Quran yang sering dipahami sebagai jiwa merupakan pemahaman yang keliru. Yang tepat adalah nafs sebagai kepribadian, keakuan. Ungkapan al-nafs al-lawwamah dan al-nafs-al mutmainnah dipahami sebagai keadaan-keadaan, aspek-aspek, watak-watak, atau kecenderungan pribadi manusia. Itu adalah merupakan mental, dan pikiran tidak boleh dipahami sebagai substansi yang terpisah.[10] 

Jiwa sama dengan ego kedua-duanya sama-sama bercirikan individual yang unik. Individualitas ego sama dengan aku. Kesatuan kesadaran yang rumit tidak lain adalah aku itu sendiri. Kesatuan kesadaran, jiwa, ego, merupakan istilah yang sama yang direalisasikan dalam bentuk tindakan kongkret. Iqbal mengatakan….the system of experiences call soul or ego is also a system of act (Sistem pengalaman dapat disebut sebagai jiwa, ego atau juga sistem gerak. Sehingga ego mempunyai dinamika dan gerakan).

Gerak dan dinamika ego adalah sebagai sifat, sekaligus sebagai landasan organisasi kehidupan manusia. Ia mencakup seluruh kesadaran tentang kehidupan. Dinamika ego bergerak progresif menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan  diri pada ego mutlak, Tuhan. Oleh karena itu, kehidupan manusia dalam keeogannya adalah perjuangan terus menerus menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Rintangan yang terbesar bagi ego adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, misalnya, daya indra, daya nalar, dan lain sebagainya, yang membantunya menyesuaikan penghalang-penghalangnya. Manusia juga harus terus-menerus menciptakan hasrat  dan cita-cita dalam kilatan cinta, keberanian, dan kreativitas yang merupakan esensi dari keteguhan pribadi.[11]

Sementara itu, kodrat esensial ego adalah memimpin, karena bertolak dari tenaga Tuhan yang juga bersifat memimpin. Pengalaman-pengalaman ego merupakan serentetan gerak atau tindakan yang satu sama lain saling berhubungan, dan seluruhnya diikat oleh kesatuan tujuan yang bersifat memimpin. Realitas ego secara keseluruhan terletak pada sikap yang mengarah kepada kepemimpinan. Kepemimpinannya mempersiapkan, membuat pertimbangan, dan berkemauan, sekaligus ego memimpinnya untuk berkreasi dan memberikan makna tertentu bagi kehidupan. Begitu pula pemahaman terhadap amri (urusan) yang terdapat dalam al-Quran tentang konsep ruh.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“.[12]

Eskatologi (Nasib Manusia Setelah Mati)

Kemana tujuan manusia? Menurut Iqbal, ego manusia bersifat abadi dan kekal. Ego terbatas (baca: manusia) akan mendekati ego tak terbatas (baca: Tuhan) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individual. Ia berpendapat bahwa penghancuran alam semesta yang berlangsung (baca: kiamat) tak akan mengganggu perasaan tenang ego yang telah tumbuh sempurna. Kematian, menurutnya, hanyalah ujian pertama untuk kegiatan sintetik ego dalam mempertahankan dan meluluhkan dirinya. Kematian sebagai perbuatan ego menghancurkan dan mempersiapkan kerja selanjutnya. Prinsip kerjanya adalah mempertahankan keabadian. Jika kerja ego masa kini telah cukup memperteguhkan ego, maka keluluhannya itu (kematian) sebenarnya hanyalah menghantarkannya menuju alam barzah. Alam barzah tidak lebih sebagai suatu kesadaran baru yang ditandai perubahan pada sikap ego terhadap ruang dan waktu.

Setelah peristiwa keluluhan jasmani, ego memasuki dunia barzah. Di sana ego tetap dalam kondisi tegang. Ego tetap berada dalam gerak dan bekerja demi kesempurnaannya. Barzah adalah suatu keadaan dimana ego menangkap kilatan-kilatan realitas baru. Saat berada di alam barzah adalah saat pengrusakan keseimbangan fisik yang luar biasa yang berakibat hancur leburnya ego-ego yang tak dapat mengatasinya. Sisa ego masih berjuang terus sampai saat kebangkitan. Kebangkitan tak lebih sebagai proses diri di dalam ego dan bukan merupakan lahirnya kembali sifat individual. Kebangkitan hanyalah sebuah fakta yang tidak dapat dimengerti kodrat dan wataknya. Ia berkeyakinan tidak ada unsur jasmaniah, juga tidak ada unsur rohaniah.

Selanjutnya, ego tidak berhenti bergerak. Ia muncul akibat ia mempunyai penglihatan tajam, sebagaimana yang dikatakan dalam al-Quran:  

Sesungguhnya kamu dalam keadaan lalai akan (peristiwa) ini, maka kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”.[13] 

Penglihatan tajam itu adalah untuk mengetahui kembali nasib yang telah dibangun. Kemudian apakah ego ke neraka atau ke surga adalah berdasarkan nasib pada waktu itu. Surga dan neraka bukan tempat, tetapi hanyalah keadaan atau fakta batin. Neraka hanyalah sebagai penyadaran yang pedih bagi kegagalan ego. Keadaan pedih neraka tidaklah kekal, sebab kata “abadi” dalam al-Quran, dalam penafsiran Iqbal, adalah jangka waktu tertentu, berdasarkan ayat al-Quran:

mereka tinggal didalamnya berabad-abad lamanya”.[14] 

Oleh karena itu, seluruh waktu terpakai untuk perkembangan kepribadian. Atas evolusi ego menuju kesempurnaan, suatu saat akan lepas dari penderitaan itu. Surga diartikan kenikmatan dan kemenangan terhadap kekuatan-kekuatan disintegrasi. Artinya keutuhan ego-ego itu. Pendapat ini diperkuat dengan dalil al-Quran:

Hai jiwa yang aman dan damai. Kembalilah pada Tuhanmu senang kepadanya dan disenangi oleh-Nya. Masuklah kau diantara hamba-hambamu dan masuklah ke dalam tamanku bahagia”.[15]

Dengan demikian, jika ditelaah kembali, ego adalah kesatuan mental yang senantiasa bergerak dinami dan mengalami proses menuju kesempurnaan. Ia selalu bergerak menuju “insan kamil”-nya. Hingga di alam barzah, ego terus bergerak dan menangkap kenyataan-kenyataan baru yang bersifat rohaniah. Demikian juga baginya apa yang akan dialaminya nanti di surga dan neraka. Nyatalah konsistensi pendapat Iqbal bahwa realitas ego adalah sebuah proses spiritual, gerak, dan keabadian.[16]

Penutup

Manusia sebagai kesatuan kesadaran yang jiwani (immaterial) dan jasmani (material) menjadi satu dan mengalami proses gerak dan transformasi secara dinamis. Manusia merupakan khalifah Tuhan yang membawa misi kreatif di muka bumi. Dalam perannya sebagai khalifah di muka bumi, eksistensi manusia bersifat dinamis dan bergerak ke depan seiring dengan fakta penciptaan di alam semesta yang selalu berproses dan juga terus mengalami perubahan. Dalam kedinamisan itulah manusia tidak boleh terlena dan bersikap statis, dan harus bergerak. Manusia juga harus menjaga keseimbangan antara pengetahuan dan agama sebagai wujud penguatan gerak dinamis di dunia. Ego atau kesatuan potensi mental manusia bergerak hingga menikmati hasil kerjanya sesuai kadarnya, baik menerima kondisi kebaikan atau kebahagiaan yang dipersepsikan sebagai “surga”, atau kondisi penyesalan dan keburukan yang dipersepsikan sebagai “neraka”. Hingga pada akhirnya, ego manusia menuju kepada kesempurnaannya, kembali kepada ego yang tak terbatas, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna.

Dengan pemikiran yang demikian, Iqbal adalah seorang yang “panentheis”, yang meyakini keterlibatan Tuhan dan manusia dalam proses kreatif pemeliharaan alam semesta, berkebalikan dengan keyakinan “dheisme”, yang menolak peran keterlibatan Tuhan setelah penciptaan alam semesta. Sebagaimana keyakinan dasar dalam Islam, Ia mendorong peran manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, tetapi kekhalifahan seorang muslim di muka bumi bersifat aktif dan dinamis. Dengan menggali kembali eksistensi manusia dalam peran kehidupan di muka bumi dan mendorong determinasi dan kebebasan manusia, Iqbal juga kental dengan sisi paham “eksistensialis”, dan karya-karya sastranya menjadi sarana dalam melontarkan pikiran-pikiran reflektif yang mendalam bagi filsafat Iqbal yang bercorak eksistensialis-Islam. Wallahua’lam bishawab.

Catatan:

[1] Abdillah M Hasan, Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, 269.

[2] A Khundori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar) 300; Yayah Nurmaliyah, “Hakikat Manusia Menurut Muhammad Iqbal”, Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, Vol. 21 No. 1, 2018.

[3] Ibid, 302.

[4] Ready Susanto, 100 Tokoh Abad ke -20 Paling Berpengaruh, 168.

[5] Q.S.Al-An’am: 165.

[6] Sukamto MM, Dinamika Islam dan Humaniora, (Indika Press,Solo,1994) 3.

[7]  (Q.S An-Najm/ 53:42)

[8] Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996) 92.

[9] Riffat Hasan, The main philosophical idea in the writings of Muhammad Iqbal (1877-1938), Durham Theses, Durham University, 58.

[10] Ibid, hal 93.

[11] Khundori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, 302.

[12] Q.S. Al-Isra: 85.

[13] Q.S. Qaaf: 22.

[14] Q.S. An-Naba: 23.

[15] Q.S. Al-Fajr: 27-30.

[16] Lihat: Epistemogi Dalam Tasawuf Iqbal, hal 96 – 99.

One thought on “Muslim Dinamis

Comments are closed.