![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2025/01/buku-damardjati-1-1024x778.jpg)
Tidarislam.co – Tulisan singkat ini hendak mereview sebuah buku menarik tentang filsafat Islam-Jawa berjudul “Islam-Jawa: Menyingkap Ajaran Keutamaan dalam Agama, Spiritualisme, dan Filsafat Jawa Damardjati Supadjar” karya Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, terbitan Pustaka Peradaban, 2023.
Tokoh yang diulas dalam buku ini merupakan seorang pemikir sekaligus pelaku spiritual ajaran Islam-Jawa, beliau adalah Ki Damardjati Supadjar (1940-2014). Bagi siapa saja yang menggeluti kajian Islam-Jawa, figur Ki Damardjati kiranya tidaklah begitu asing, beliau adalah Guru Besar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, sekaligus Guru Besar aliran spiritual di Jawa (Paguyuban Hardo Pusoro). Sang Zahid dari Losari ini, begitu tutur penulis buku ini, merupakan intelektual cum spiritualis.
Buku yang ditulis oleh Alumnus Master Filsafat UGM ini (yang juga peneliti BRIN) kiranya telah berhasil dalam menyingkap dan menyajikan gagasan Ki Damardjati secara menyelusuh. Bahkan, Irfan Afifi, seorang budayawan muda dan pelaku Islam-Jawa, memuji karya ini dengan mengatakan, “Buku ini, dari sekian karya yang mengulas sosok dan ajaran almarhum Damardjati, menurut saya adalah yang paling komprehensif, utuh, dan berhasil”.
Baca juga: Visi dan Ragam Gerakan Green Islam di Indonesia
Sebagai pembaca awam nan orang Jawa, ketika membaca buku ini saya merasa seperti menemukan kembali identitas dan jatidiri saya sebagai orang Jawa. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, saya merasa nilai kejawaaan saya sebagai orang Jawa telah menyusut karena selama ini saya lebih banyak bergelut dengan Islam ala santri dengan tradisi syariat yang begitu ketat, dan kurang begitu mengenal khazanah kepustakaan Islam-Kejawen. Dengan membaca buku ini, saya menjadi lebih mengerti bahwa khazanah pemikiran Islam-Jawa sangatlah kaya, membumi, dan bahkan tidak bisa dibandingkan dengan pemikiran manapun di dunia ini.
Sedikit Kisah
Perkenalan pertama saya dengan Ki Damardjati Supadjar adalah ketika saya sedang menempuh pendidikan Master Filsafat di UGM, ketika itu saya mengambil matakuliah Etika yang diampu oleh Dr. Ali Mudhofir (Pak Aldo). Dalam sesi perkuliahan, pak Aldo sering menceritakan kisah unik dan menarik tentang sosok Ki Damardjati. Saya sendiri tidak pernah berjumpa secara langsung dengan Ki Damardjati selama sepanjang hidup.
Dikisahkan, saat kuliah S1 di Fakultas Filsafat UGM, Damardjati muda adalah sosok yang brilian, cerdas, dan sudah memiliki tanda-tanda bahwa beliau akan menjadi seorang pemikir besar. Namun, beliau tidak terlalu aktif di perkuliahan dan lebih memilih untuk jadi kernet angkot, sehingga perkuliahan Damardjati terbengkalai dan tak kunjung lulus hingga akhir semester. Ketika pihak Fakultas menyadari potensi dan kapasitas Damardjati, beliau oleh pihak kampus dipaksa untuk mengerjakan skripsi di sebuah ruangan di Fakultas dan setiap pagi beliau disuruh duduk dan menyelesaikan skripsinya.
Setelah lulus S1, beliau langsung dikirim ke Belanda oleh pihak kampus untuk melanjutkan jenjang magister dan doktor. Saat akhir perkuliahan doktoralnya, beliau juga memiliki kisah menarik. Diceritakan bahwa sebelum menyelesaikan disertasi doktoralnya, beliau tiba-tiba pulang ke Indonesia, dan ini membuat pembimbing disertasinya terheran-heran dan memaksa sang pembimbing untuk menemui dan menjemputnya di Indonesia.
Baca juga: Asal-Usul Ilmu Kalam dalam Tradisi Pemikiran Islam
Kisah di atas dapat menjadi sedikit gambaran bahwa sejak masa perkuliahan, Ki Damardjati merupakan sosok yang sangat unik, bahkan pihak kampus (Indonesia dan Belanda) sudi mengalah dan mau ngurusi beliau agar cepat lulus, sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi di kampus manapun. Ini menunjukkan bahwa beliau memang dianggap memiliki potensi yang cukup baik dan dirasa perlu untuk diberdayakan sebagai tenaga pendidik di kampus UGM, sesuatu yang akhirnya terwujud.
Terlepas dari itu semua, buku yang ditulis oleh M.N. Prabowo Setyabudi ini seperti oase di tengah gurun yang dapat menjadi inspirasi sekaligus pegangan bagi siapa saja yang hendak menyelami lebih dalam khazanah pemikiran dalam kepustakaan Islam-Jawa, terutama menggali gagasan-gagasan otentik dari seorang filsuf Jawa, Ki Damardjati Supadjar.
Titik Fokus
Buku ini terbagi dalam lima bab; bab pertama berisi pendahuluan yang mengurai persoalan inti filsafat keutamaan, sebuah teori filsafat yang dijadikan dasar oleh penulis buku ini untuk menggali pemikiran Ki Damardjati Supadjar; bab dua mengurai biografi intelektual Damardjati Supadjar. Di bab ini, penulis berusaha menyusun dan menata ruang lingkup pemikiran sang tokoh dengan menelurusi latar historis dan biografis; bab tiga membahas tentang konsep etika filsafat keutamaan dalam tradisi filsafat Barat sekaligus menghubungkan konsep itu dengan tradisi filsafat Islam-Jawa melalui konsep Mawas Diri; bab keempat menggali dan menganalisis gagasan inti Ki Damardjati Supadjar tentang konsep Mawas Diri dalam tradisi filsafat Islam-Jawa; bab kelima berisi tentang pemikiran Damardjati tentang kemenyatuan konsep etika dan intelektualitas untuk menuju pada dunia yang lebih tinggi, yakni dimensi ketuhanan; terakhir buku ini ditutup dengan ikhtisar untuk membangun karakter manusia melalui kesalehan holistik.
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah dengan sudut pandang filsafat etika, khususnya teori etika keutamaan (virtue ethics). Tanpa bermaksud menyederhanakan pemikiran Ki Damardjati, penulis buku ini mencoba membaca gagasan Ki Damardjati dalam koridor filsafat etika, sehingga menghasilkan suatu gagasan yang memiliki kecenderungan pada wilayah etika, terutama etika Islam-Jawa. Meskipun, penelitian secara intertekstualis memungkinkan bagi penulis buku ini untuk menghubungkan gagasan-gagasan etika Ki Damardjati dengan gagasannya yang lain seperti spiritualisme, mistisisme, atau tasawuf. Sehingga apa yang kita sebut sebagai pemikiran etika Ki Damardjati sesungguhnya adalah sebuah etika holistik yang bertautan antara dimensi moral dan spiritual.
Menurut penulis, konsep Mawas Diri telah menjadi lokus perjumpaan antara spiritualisme Islam dan kebatinan Jawa, bahkan juga dengan tradisi etika keutamaan dalam filsafat Barat. Artinya, konsep “Mawas Diri” dalam pemikiran Ki Damardjati, yang merupakan ajaran tentang pengenalan diri sejati manusia, juga dapat ditemukan padanannya dalam tradisi spiritual Islam dan juga dalam tradisi filsafat Barat. Misalnya, dalam tradisi Yunani, spirit ken uzelf (know your self) adalah spirit kemawasdirian, yang dalam tradisi sokratik diserukan dengan slogan: gnoti seauton “kenalilah dirimu sendiri”. Dalam tradisi tasawuf juga dikenal “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (barangsiapa mengenal dirinya maka ia telah mengenal Tuhannya”. Dalam sebuah petikan kalimat sloka mangkunegaran berbunyi “mulat sarira hangsara wani”, artinya, “berani untuk melihat (introspeksi) diri sendiri” (hal. ix).
Baca juga: Globalisasi, Demokrasi, dan Otoritarianisme di Dunia Arab-Islam
“Mawas Diri” dalam Etika Islam-Jawa
Dalam tradisi etika Jawa, istilah Mawas Diri merupakan ajaran moral yang paling fundamental sebagai bagian dari laku penghayatan orang Jawa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mawas Diri dalam khazanah kefilsafatan Jawa dikenal sebagai sikap moral yang hendak membentuk pribadi yang mulat sarira, artinya pribadi yang mampu mengenali, mengawasi, dan mengendalikan diri (h. 70).
Sederhananya, Mawas Diri merupakan sebuah refleksi terhadap diri, upaya untuk mengawasi diri kita sendiri. Contohnya, berbagai pengalaman pahit dalam hidup yang membuat kita marah, sedih, cemas, ataupun rasa gembira ketika mendapatkan kesenangan, kita lalu mengawasi perasaan-perasaan itu sebagai sesuatu yang sementara, bahkan mungkin juga hanya sebuah ilusi semata. Mawas Diri merupakan pengendalian terhadap emosi dan pikiran-pikiran yang muncul dalam diri kita.
Namun demikian, menurut penulis buku ini, konsep Mawas Diri melampau dari sekedar introspeksi, yang dalam filsafat Jawa makna Mawas Diri adalah ilmu laku spiritual dan upaya ultimasi kesadaran seolah seorang hamba menyelami pengalaman spiritual dengan Tuhan, dan tidak sekedar menyematkan identitas agama. Laku Mawas Diri dianggap sebagai jalan atau tarikat yang berarti cara pencarian jati diri agar seseorang menanggalkan sikap ngukur sarira dan nanding sarira dan menjadi mulat sarira.
Dalam pemikiran Ki Damardjati Supadjar, terdapat tiga transformasi dalam laki mawas diri; pertama, “diri yang tunggal”, yaitu diri yang masih nandhing sarira atau ngukur sarira (nafsu amarah), diri ke-iblis-an, diri yang terasing dari kedirian sejati; kedua, diri yang masuk dalam proses “pendaftaran diri”, yang sudah mulai menatap jenjang yang lebih tinggi (nafsu lawwamah), untuk kemudian terus menjalani laku agar masuk jenjang kualitas paripurna ; ketiga, kedirian sejati (nafsu mutmainnah), diri ke-Adam-an yang “sujud”, dialah diri yang kembali “diakui” dan “disamakan” dengan persepsi ilahiah, ‘gayung bersambut diambil-oper oleh yang Ilahi setelah berhasil mendekatkan diri’, secara metaforis diibaratkan sebagai iluminati cahaya yang “terang-terus terus-terang” (h. 69).
Laku Mawas Diri bukan saja sebuah perilaku moral yang menghubungkan antar hamba, tetapi ia merupakan jalan spiritual yang dapat menghantarkan seorang hamba kepada Tuhannya. Melalui tingkatan yang paling tinggi, yakni kedirian sejati, seseorang menjadi mawas, yang tahu akan dirinya sendiri, dan menjadi pribadi yang memiliki keluasan dalam spiritualitas. Dalam konteks ini, mawas diri merupakan perjalanan ruhani menuju Tuhan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa Mawas Diri merupakan sebuah jembatan menuju realitas sejati, yakni Tuhan.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta