Oleh: Rohmatul Izad
Tidarislam.co – Dalam tradisi Islam, tumbuh suburnya budaya penindasan terharap perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Arab tempat agama ini lahir, tetapi sebagiannya dipengaruhi secara normatif oleh banyaknya hadits misoginis yang memposisikan perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki.
Terlepas bagaimana hadits misoginis menggambarkan situasi masyarakat Arab masa awal Islam, hadits-hadits itu telah mendorong berbagai praktik budaya patriarki masyarakat Muslim dalam sepanjang sejarahnya. Keulamaan laki-laki sebagai pemegang otoritas dalam memproduksi hukum Islam juga menjadi faktor mengapa perempuan selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan.
Sebagai contoh, beberapa hadits tentang ‘perempuan sebagai sumber fitnah’ menjadi salah satu pemicu utama pengurungan perempuan dari ruang publik, mengucilkan perempuan hanya di ranah domestik, perempuan hanya dilihat sebagai objek seksual, dan lebih tragis lagi perempuan dipandang sebagai sosok berbahaya layaknya setan yang menggoda umat manusia.
Hadits-hadits ‘Perempuan Sumber Fitnah’
Beberapa hadits perempuan sebagai sumber fitnah dapat disebutkan di sini. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Bumi ini subur dan indah, dan Tuhan telah menyerahkan amanah kepada kalian untuk melihat amal perbuatan kalian. Jika muncul godaan dunia, berhati-hatilah kalian, dan berhati-hatilah terhadap perempuan, karena fitnah pertama yang menimpa orang Israel adalah fitnah yang berasal dari perempuan”.
Abu Allah ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Seluruh tubuh perempuan adalah aurat sehingga ketika mereka keluar rumah, setan menjadikan mereka sebagai sumber godaan seksual”. Dalam hadist lain Nabi bersabda, “Saya tidak meninggalkan umat saya dengan fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah yang dibawa kaum perempuan”.
Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, “Perempuan adalah perangkap setan”. Riwayat lainnya malah ada yang menggiring pada sebuah kesan ke arah logika yang sangat berlebihan. Yakni menyebutkan bahwa perempuan seharusnya menikah atau mati saja. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Nabi bersabda, “Seorang perempuan memiliki sepuluh aurat, ketika mereka menikah, suaminya menutup salah satu auratnya, dan ketika ia meninggal, maka liang kubur akan menutup semuanya”.
Baca juga: Surat Nabi Muhammad SAW kepada Raja Oman
Tak pelak lagi, hadits terakhir di atas menggiring pada satu kesimpulan bahwa ketika masih hidup perempuan sesungguhnya tidak mampu menutup aurat secara keseluruhan, ia hanya bisa menutup aurat sepenuhnya ketika sudah meninggal. Artinya, agar perempuan dapat berperilaku penuh kesopanan, perempuan harus mati atau dikubur di liang lahat. Yang menjadi pertanyaan, benarkan ini semua merupakan ajaran Islam yang bersumber dari Nabi? Bukankah hadits-hadits tersebut terkesan sangat kejam pada perempuan dan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai universalitas Islam?
Apa itu Fitnah?
Sekarang mari kita pahami dulu apa itu fitnah dan mengapa perempuan seolah dianggap sebagai sumber fitnah? Pembahasan ini diperlukan untuk melihat secara empiris dan rasional apakah perempuan memang layak disebut sebagai sumber fitnah? Bukankah laki-laki juga seringkali menjadi sumber kejahatan yang begitu kejam?
Menurut Khalid Abu el-Fadl dalam bukunya berjudul “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women”, fitnah mengandung sebuah gagasan bahwa hal atau perilaku tertentu menghasilkan sejenis godaan. Perilaku tertentu, seperti khalwat (berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan dalam tempat tertutup atau sunyi” dipandang berbahaya karena perilaku tersebut dapat melahirkan fitnah, yakni terjadinya aktivitas seksual yang dilarang.
Dalam al-Qur’an, penggunaan kata ‘fitnah’ biasanya merujuk pada godaan yang bersifat nonseksual, seperti uang, serta ujian dan persoalan berat. Adapun mengenai seksualitas, selain larangan melakukan zina, al-Qur’an memerintahkan orang-orang Islam, baik perempuan atau laki-laki, untuk menundukkan pandangan mereka, berpenampilan sederhana, dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali di saat dan di tempat yang sepatutnya, seperti di depan suami atau istri.
Dalam konteks hukum Islam, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan, apa bukti empiris sesuatu disebut sebagai fitnah? Bagaimana kita mengetahui bahwa sesuatu dapat menimbulkan fitnah? Apakah sebuah penetapan tentang fitnah dipandang sebagai persoalan empiris atau doktrinal-normatif? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini bergantung pada apakah bukti-bukti empiris dipandang relevan dengan penetapan tentang fitnah atau tidak, dan bergantung pada sejauh mana larangan tentang fitnah berlaku.
Menguji secara Empiris dan Rasional
Pertama-tama, penulis hendak mengatakan bahwa hadits-hadits tentang perempuan sebagai sumber fitnah sangat sulit dibuktikan keabsahannya, apalagi bila disandarkan kepada Nabi, terutama dapat perspektif empiris dan rasional. Hal ini dikarenakan kebanyakan penetapan tentang masalah fitnah bersandar pada logika yang tidak jelas, yaitu bahwa perempuan harus membayar mahal perilaku laki-laki yang tidak saleh.
Misalnya, bila fitnah berkaitan dengan ‘perempuan sebagai sumber godaan seksual’ bagi laki-laki, mengapa perempuan yang harus menanggung beban kesalahan itu, bukankah lebih tepat bila memusatkan pada pembatasan orientasi seksual laki-laki yang tak terbendung itu. Bila kodisi yang mengandung potensi fitnah itu muncul karena adanya laki-laki yang memiliki libido tinggi, mengapa pula perempuan yang harus diasingkan atau dibatasi geraknya? Bukankah ini merupakan sebentuk pelanggaran terhadap prinsip bahwa pihak yang tidak bersalah tidak harus membayar ganti rugi atas kelalaian orang lain.
“Fakta bahwa laki-laki juga sering menjadi sumber kejahatan sekaligus sumber godaan bagi perempuan menegaskan bahwa hadits-hadits tentang fitnah perempuan sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan realitas empiris. Dalam ilmu hadits dikatakan, setiap redaksi hadits yang berlawanan dengan pengalaman manusia tidak bisa dipandang sebagai hadits yang shahih.”
Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa setiap Muslim tidak akan menanggung kesalahan atau dosa orang lain, artinya, setiap individu tidak dibebani tanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Sebaliknya, setiap individu harus mampu mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan. Inilah prinsip ajaran Islam yang sangat logis dan adil, sehingga bila laki-laki memiliki orientasi seksual yang sulit dikendalikan, maka beban seksualitas itu tidak boleh dilimpahkan kepada perempuan, tetapi laki-laki itulah yang harus menanggung beban itu.
Baca juga: Tradisi Menghidupkan Bulan Sya'ban
Pemahaman bahwa perempuan sebagai sumber fitnah akan menggiring pada rasio yang menghawatirkan bagi posisi sosial perempuan. Misalnya, banyak ahli hukum Islam membuat penetapan bahwa fitnah selalu mengiringi perempuan dalam semua perbuatan mereka dan, ke mana pun mereka pergi tidak menyadari bahwa hal tersebut bukanlah ciri alamiah perempuan, tetapi merupakan proyeksi laki-laki. Sehingga, yang seharusnya menjadi oknum dipersalahkan adalah laki-laki tetapi kenapa malah dibebankan kepada perempuan.
Dalam memandang perempuan sebagai perwujudan daya tarik fisik, para ahli hukum seringkali tidak memasukkan norma kesopanan di dalamnya, tetapi malah mengusung norma yang tidak bermoral. Yakni, bukannya memalingkan pandangan dari atribut fisik perempuan, secara obsesif mereka malah memandang perempuan semata dari bentuk fisiknya. Pada prinsipnya, ini mendorong pada pemahaman bahwa perempuan hanyalah objek seksual laki-laki, dan tentunya ini adalah bentuk pelanggaran moral yang sangat serius.
Oleh karena itu, bila masalahnya adalah bagaimana mengakhiri godaan, maka prinsip keadilan harus menjadi pertimbangan utama. Hal ini lantaran laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menimbulkan fitnah – kalau memang harus dikatakan demikian. Dan, bila pokok pangkalnya adalah kebobrokan moral laki-laki, maka perempuan tidak boleh dipaksa memikul kesalahan laki-laki. Dalam konteks ini, nilai-nilai yang lebih tinggi, seperti keadilan, kesetaraan, pendidikan, dsb, tidak boleh dikorbankan hanya untuk mencegah fitnah yang secara salah kaprah diduga bersumber dari perempuan.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta