![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2024/12/musasyariedotwordpressdotcom.webp)
Ilustrasi foto: musasyarie.wordpress.com
Tidarislam.co – Sepanjang tahun 2024, beberapa kasus intoleransi agama terjadi di Indonesia, misalnya Intimidasi terhadap jemaat Gereja Tesalonika pada 20 Mei 2024 dan kasus intoleransi pada Hari Raya Nyepi di Bali 2024. Terbaru, kasus penolakan terhadap acara tahunan yang diselenggarakan oleh Jemaah Ahmadiyah di Manislor, Kuningan. Kasus yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah ini cukup menarik, karena acara mereka mendapat penolakan langsung dari pemerintah setempat dengan alasan ketertiban dan kondusifitas. Dalam kasus ini, pemerintah yang seyogyanya menjadi teladan untuk dapat mengayomi masyarakat justru menjadi aktor utama dalam praktik intoleransi agama.
Menurut catatan tempo.co, telah terjadi sedikitnya 23 kasus pelanggaran kebebasan beragama sepanjang 2024. Artinya, angka itu menggambarkan betapa tindakan intoleransi agama masih marak terjadi di Indonesia. Salah satu alasan mengapa intoleransi beragama sangat menghawatirkan adalah karena praktik ini dapat menimbulkan konflik sosial yang sangat serius, misalnya seperti penentangan pembangunan rumah ibadah atau pelarangan kelompok agama tertentu beribadah.
Dengan banyaknya kasus intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2024, pertanyaannya, apakah ini menandakan bahwa kondisi kerukunan umat beragama sedang mengalami ancaman? Sebab, kasus-kasus itu bukan hanya terjadi di satu titik saja, tetapi ia tersebar di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Ini menegaskan bahwa di seluruh wilayah yang ada di Indonesia telah terjadi berbagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Di tahun 2023, Setara Institute juga telah melaporkan bahwa kota Depok, Cilegon, dan Banda Aceh menjadi tiga besar kota paling intoleran di Indonesia, ini artinya bahwa di kota-kota tersebut telah terjadi banyak kasus intoleransi agama. Sementara tiga besar kota-kota paling toleran diduduki oleh kota Singkawang, Bekasi, dan Salatiga. Banyaknya kasus intoleransi dalam beberapa tahun terakhir ini telah menegaskan bahwa Indonesia belum ada di posisi yang sangat memuaskan bagi terciptanya kondisi kerukunan di level tertingginya, tentu ini menjadi PR bagi pemerintah dan segenap umat beragama untuk terus meningkatkan kerukunan dan keharmonisan dalam relasi antar umat beragama.
Indeks Kerukunan Umat Beragama
Di tahun 2024 ini, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama merilis hasil survei tentang indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Dalam tiga tahun terakhir, indeks KUB di Indonesia menunjukkan tren positif. Misalnya, indeks KUB 2022 sebesar 73,09, 2023 sebesar 76,02, dan pada tahun 2024 sebesar 76,47.
Ada tiga dimensi yang menjadi varibel survei mengenai KUB ini; toleransi antar umat beragama, kesetaraan antar umat beragama, dan kerja sama. Survei ini dilakukan di seluruh wilayah Indonesia dengan melibatkan setidaknya 12 ribu responden yang meliputi penganut agama Islam, Kristen, Budha, Katolik, Hindu, dan Khonghucu. Sedangkan metode yang dipakai adalah multistage random sampling.
Baca juga: Ahmadiyah di Manislor dan Refleksi Kasus Intoleransi Agama di Indonesia
Indeks KUB 2024 sebesar 76,47 merupakan akumulasi dari tiga dimensi; masing-masing di antaranya; kerja sama sebesar 77,15, toleransi 74,83, dan kesetaraan 77,42. Menurut indeks KUB per Provinsi, Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi paling rukun di Indonesia dengan skor 84,25, dilanjukan dengan Riau dan Kepulauan Riau yang ada di posisi kedua dan ketiga. Sedangkan provinsi yang paling tidak rukun ditempati Jambi, sementara Aceh dan Banten di posisi kedua dan ketiga.
Menarik dicatat bahwa Aceh menjadi wilayah yang secara berturut-turut menempati posisi bawah sebagai kota paling tidak toleran di Indonesia. Ini menjelaskan bahwa tren kerukunan di wilayah tersebut berjalan di tempat dan kurang mengalami perbaikan secara signifikan. Apa sebabnya?
Menurut beberapa peneliti, sebab utama Aceh sulit keluar dari jeratan intoleransi karena ada regulasi yang salah dan tidak adanya birokrasi yang progresif. Inilah yangs seringkali menjadi penyebab terjadinya diskriminasi terhadap kelompok minoritas, seperti agama, gender, dan minoritas ras. Dalam konteks ini, pemerintah telah menjadi kunci bagi tumbuh suburnya praktik intoleransi di provinsi tersebut.
Terlepas dari tren yang terjadi di Aceh, secara keseluruhan tahun 2024 menunjukkan bahwa tren indeks kerukunan umat beragama telah menuju ke arah yang lebih baik. Terbukti, sejak tahun 2018, tren tersebut terus mengalami kenaikan dan peningkatan secara jelas.
Salah satu alasan penting mengapa tren ini mengalami peningkatan yang cukup memuaskan adalah karena adanya kinerja proaktif antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk terus meningkatkan kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama. Program moderasi beragama menjadi salah satu program pemerintah yang juga telah berdampak bagi terwujudnya toleransi yang makin baik.
Karenanya, adanya berbagai praktik intoleransi yang masih banyak terjadi tidak lantas membuat kondisi toleransi agama di Indonesia di posisi yang menghawatirkan. Hal ini karena kondisi rukun bukanlah sesuatu yang begitu saja diberikan, tetapi ia diusahakan terus-menerus hingga ke level terbaiknya. Sehingga masih adanya berbagai konflik dan gesekan di masyarakat adalah sesuatu yang wajar terjadi mengingat keragaman dan perbedaan sangat berpotensi menimbulkan konflik. Meskpun, adanya kasus-kasus ini tetap harus ditangani secara serius agar kita dapat terus menuju ke arah yang lebih baik.
Tentunya, tren membaik terhadap kondisi kerukunan yang terjadi di tahun 2024 ini harus terus dipertahankan dan ditingkatkan, mengingat seringkali berbagai praktik intoleransi terjadi secara tiba-tiba dan tidak terprediksi. Upaya tanpa lelah untuk terus meningkatkan kerukunan merupakan tanggung jawab bersama dalam mewujudkan kondisi masyarakat yang rukun, adil, dan harmonis.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pingback: Pemberantasan Konten Radikalisme-Terorisme Sepanjang Tahun 2024 – Tidar Islam