Oleh: Rohmatul Izad
Mayoritas umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw benar-benar melakukan perjalanan ajaib serba tidak masuk akal yang dikenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Dikisahkan, Nabi melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Makah ke Masjidil Aqsa (Isra’) di Yerussalem, Palestina dan selanjutnya menuju langit ketujuh lalu ke Sidratul Muntaha yang ditempuh hanya dalam satu malam.
Bila dipahami secara sederhana menggunakan akal sehat, peristiwa tersebut sangat mustahil dilakukan, dan tentunya sulit dibuktikan kebenarannya, lebih-lebih dibuktikan secara empiris. Namun demikian, kendati peristiwa itu di luar jangkauan akal, umat Islam tetap meyakini bahwa peristiwa itu benar-benar dialami oleh sang Nabi, tidak peduli apakah ia di luar nalar atau tidak. Intinya, Nabi telah mengalami malam penuh keajaiban dan umat Islam harus mempercayainya.
Dari sudut pandang sains, peristiwa Mi’raj Nabi ini seolah nyaris tidak bisa dipahami dengan jernih dan rasional, bagaimana tidak, sebuah perjalanan amat jauh yang bahkan teknologi pesawat paling canggih pun tidak mungkin bisa menempuhnya dalam waktu sesingkat itu. Jangankan menempuhnya, mengimajinasikan langit yang berlapis-lapis saja nyaris mustahil, apalagi sampai ke Sidratul Muntaha yang entah ada di mana persisnya.
Baca juga: Hikmah Peristiwa Isra' Mi'raj
Namun, seiring dengan kemajuan sains dan teknologi paling mutakhir, peristiwa Mi’raj Nabi ternyata bukan sesuatu yang benar-benar mustahil dipikirkan. Sebab, teknologi terbarukan, seperti fisika kuantum dan komputer kuantum dapat menjadi jembatan untuk memahami peristiwa Mi’raj tersebut.
Dalam perspektif sains, pengalaman meta-empirik biasanya disebut dengan teleportasi, suatu proses atau perbuatan memindahkan orang atau barang dengan psikokinesis di mana benda-benda jasmani dapat bergerak melalui kekuatan pikiran atau kemauan seseorang.
Konsep teleportasi juga sangat persis dengan ilmu kanuragan, di mana orang sakti mandraguna bisa dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan sekejab. Dalam bahasa Jawa biasanya disebut dengan ilmu rogo sukmo.
Pada intinya, hal-hal yang dianggap majic dalam cerita Nabi-nabi, termasuk peristiwa Mi’raj, makin ke sini makin terbuka lebar untuk bisa dibuktikan dan diwujudkan oleh teknologi dan sains. Sebagai contoh, teleportasi bisa dibuktikan dengan kaidah fisika kuantum dan computer kuantum. Kita dapat jelaskan fakta-fakta ilmiah sebagai berikut:
Pertama, fisika kuantum. Dalam penelitian saintifis, fisika kuantum telah dibuktikan oleh para ilmuwan dalam kaitannya dengan memindahkan suatu partikel dalam suatu ruang ke ruang lain, meskipun partikel yang dipindahkan itu masih berupa partikel-partikel kecil seperti atom.
Teorinya begini, atom merupakan partikel kecil yang terdiri dari proton, neutron, dan elektron. Partikel-partikel ini kemudian dikacaukan menggunakan sebuah alat sehingga ia bisa hancur dari tempat sebelumnya dan pindah ke tempat lain dengan wujud yang sama.
Bila fakta ilmiah ini dihubungkan dengan peristiwa Mi’raj Nabi yang luar biasa ajaib itu, maka agaknya bisa diterima bila Nabi Muhammad mampu dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan sekejab, yakni naik ke langit hingga ke lapisan paling tinggi. Pengalaman meta-empirik ini juga dapat menjelaskan bagaimana seorang Nabi atau wali dapat dengan mudah memindahkan satu benda jasmaniah ke tempat yang diinginkan.
Baca juga: Mengenal Tradisi Rajaban
Baik orang maupun benda, keduanya sama-sama bersifat jasmaniah dan material sebagaimana dalam penjelasan teori berpindahnya atom. Tentu saja, proses permindahan ini tidak sekonyong-konyong begitu saja, tetapi ada prosesnya, ada alat yang digunakan sehingga seseorang dapat dengan mudah berpindah dan memindahkan sesuatu ke tempat lain. Dalam konteks Nabi, alat itu barangkali disebut dengan Buraq.
Sejauh ini umumnya kita hanya percaya begitu saja fenomena di luar nalar seperti peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad. Dengan adanya perspektif baru dari fisika kuantum ini, tentu peristiwa penuh keajaiban itu, dan peristiwa yang lainnya, dapat dijelaskan secara perlahan. Artinya, ada titik terang yang memungkinkan peristiwa itu bukan hanya benar-benar terjadi, tetapi juga dapat dibuktikan secara ilmiah.
Kedua, komputer kuantum. Biasanya, komputer kuantum dihubungkan dengan proses pemindahan atau transfer data. Menurut berbagai sumber, komputer kuantum memungkinkan dilakukannya transfer data dengan ribuan kali lebih cepat dari jenis komputer yang biasanya dipakai seperti sekarang.
Untuk memahami secara jelas bagaimana komputer kuantum ini bekerja, kita perlu tahu tentang teknologi pemograman. Jadi gini, teknologi pemograman itu kan asalnya dari angka 0 dan 1. Sampai sejauh ini komputer memakai 0 dan 1 (bilangan biner) yang kecanggihannya bisa kita saksikan secara langsung. Artinya, bahasa pemograman itu asalnya cuma dua angka itu. Kedua angka itu pun tak bisa disatukan, maksudnya 0 dan 1 itu elemen yang terpisah, kalau tidak 0 pasti 1.
Tapi bila kita melihat perkembangan teknologi, komputer kuantum bisa memiliki kecepatan yang sangat dahsyat karena bisa membuat 0 dan 1 dalam waktu yang bersamaan. Tidak ada 0 tidak ada 1, keduanya bisa menjadi satu sama lain. Semakin 0 dan 1 itu tidak terpisahkan semakin cepat transfer komputernya.
Pada titik inilah kita bisa menemukan bukti-bukti ilmiah yang sedikit bisa menjelaskan fenomena luar biasa dari pengalaman kenabian. Misalnya, adanya konsep kemenyatuan antara Nabi dengan Allah, atau seorang hamba dengan Allah (manunggal), merupakan sesuatu yang mungkin terjadi. Bila dikaitan dengan komputer kuantum, semakin manunggal seorang hamba dengan Tuhannya, maka semakin saktilah ia. Dalam pengertian ini, mukjizat dapat muncul dari model kemenyatuan ini sebagaimana tampak dalam peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad.
Baca juga: Kontroversi Peristiwa Mi'raj, Benarkah Nabi Muhammad Melihat dan Berdialog dengan Allah?
Misalnya saja, Allah sebagai entitas 0, dan Nabi entitas 1, akibat proses transfer data yang super cepat, kedua entitas itu kemudian menyatu secara cepat seolah tak terpisahkan, padahal, keduanya adalah entitas yang berbeda, tetapi dapat berdekatan secara cepat kendati keduanya saling berjauhan.
***
Kita barangkali masih meragukan apakah kedua teori di atas benar-benar dapat diterapkan pada peristiwa mu’jizat Nabi, seperti pengalaman Mi’raj. Tetapi paling tidak, ada kesamaan logika di mana kedua teori tersebut mampu menjelaskan secara sistematis, logis, dan ilmiah terkait hal-hal yang sejauh ini masih sulit diterima oleh nalar kita.
Kita tunggu saja dengan sabar, ke depan teori sains akan makin canggih dan terbarukan. Bukan sesuatu yang mustahil bila alat-alat saintis dapat meneropong segala sesuatu yang selama ini dianggap meta-empirik atau di luar jangkauan pengalaman manusia.
Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta