Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi
Tidarislam.co- Hadirnya al-Quran dalam versi berbagai bahasa dunia sekarang ini merupakan buah dari proses panjang penerjemahan al-Quran. Kitab al-Quran diturunkan dan ditulis mula-mula dalam bahasa asli masyarakat Arab, yakni bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Quran sendiri beberapa kali (Q.S. Yusuf: 2; Q.S. Taha, 113; Q.S. Zumar: 28). Penerjemahan al-Quran kepada bahasa non-Arab merupakan konsekwensi dari tersebarnya Islam ke berbagai daerah, dan masyarakat di setiap daerah menuntut al-Quran diterjemahkan ke dalam bahasa mereka agar dapat dimengerti maknanya.
Penerjemahan al-Quran berlangsung seiring perkembangan Islam dari masa ke masa. Untuk memetakannya, tulisan ringkas ini mencoba membagi penerjemahan al-Quran secara kasar ke dalam beberapa periode, sebagaimana yang biasanya dipakai dalam membagi periodesasi penafsiran al-Quran, sejak periode klasik (mencakup masa Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in), hingga periode kontemporer.
Periode Rasulullah
Sebagian ahli berpendapat, bahwa penerjemahan al-Quran sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Saat itu tentu al-Quran belum dalam bentuk satu kitab utuh, karena kodifikasi al-Quran baru sempurna pada masa Sahabat Utsman. Penerjemahan pada masa awal formasi Islam itu sangat sederhana, hanya untuk kepentingan surat-menyurat dan mengabarkan tentang kenabian dan agama Islam. Nabi pernah mengirimkan beberapa surat kepada penguasa-penguasa kerajaan sekitar Arab, dan dalam surat tersebut seringkali Nabi memerintahkan untuk mencantumkan ayat-ayat al-Quran untuk menunjukkan kebenaran pesan Tuhan. Penulisan dan penerjemahan itu tentu dilakukan oleh tim penulis Nabi.
Baca juga: Surat Nabi Muhammad SAW Kepada Raja Oman
Periode Sahabat
Tercatat dalam sejarah, bahwa penerjemahan berikutnya dilakukan oleh generasi Sahabat untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang mulai memeluk Islam di beberapa daerah. Salman al-Farisi, seorang sahabat Nabi yang berasal dari Isfahan Persia, pertama kali menerjemahkan surat al-Fatihah untuk memenuhi permintaan orang Persia. Penerjemahan surat al-Fatihah dilakukan ke dalam bahasa Persia.
Sejarah juga mencatat, ketika beberapa Sahabat hijrah ke Ethiopia untuk menyebarkan Islam, mereka menghadap Raja Najasyi, dan Raja meminta Ja’far bin Abi Thalib untuk menerjemahkan beberapa ayat al-Quran yang disampaikannya ke dalam bahasa Habsyah.
Periode Tabi’in
Pada masa kekuasaan Islam dipegang Dinasti Bani Umayyah di Damaskus, tercatat Khalifah Abdullah bin Umar bin Abul Aziz tahun 884 M memerintahkan untuk menerjemahkan al-Quran untuk menjawab kebutuhan masyarakat di India. Konon penerjemahan saat itu sudah mulai dilakukan secara lengkap.
Pada masa Bani Abbasiyah di Baghdad, kira-kira abad 11 M, sebuah terjemahan al-Quran sempat dalam bahasa Persia yang berjudul Quran Quds, tetapi sayangnya tidak teridentifikasi persis siapa yang menerjemahkan al-Quran tersebut. Penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Persia terus dilakukan oleh para ulama di kemudian hari.
Baca juga: Mengenal Beberapa Manuskrip al-Quran Tertua
Periode Pertengahan
Perkembangan kebudayaan Eropa seringkali disebut dengan periode pertengahan (Abad Pertengahan) yang ditandai dengan kekuasaan Kristen Romawi. Sementara pusat kekuasaan Islam ada di Turki dengan Kekhilafahan Turki Utsmani. Ketika Islam mulai menyebar ke Eropa, hingga Andalusia, dan bersentuhan dengan budaya Eropa yang sangat dipengaruhi agama Kristen, al-Quran mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa Eropa. Penerjemahan ini terutama banyak dilakukan oleh para orientalis dan teolog-teolog Kristen untuk kepentingan kajian Timur (orientalisme) dan misionarisme.
Sejarah mencatat nama Petrus Agung atau Peter The Venerable dari Perancis, seorang biara Gereja Cluny, adalah orang yang pertama kali menerjemahkan al-Quran di dunia Barat secara utuh pada tahun 1143 M. Selain Petrus Agung, tim penerjemahan juga dibantu oleh para teolog seperti Robertus Ketenensis dari Inggris dan Hermannus Dalmatin atau Herman dari Carinthia. Tim ini berhasil menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Latin dengan judul: Lex Mahumet Pseudoprophete.
Gambar 1: Manuskrip Lex Mahumet Pseudoprophete
Dengan demikian, Peter Agung sering disebut sebagai tokoh perintis penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa orang Eropa. Terjemahan Peter Agung tersebut sempat diterbitkan ulang oleh penerbit di Eropa tahun 1543 di bawah pengawasan seorang berkebangsaan Swiss, Theodor Bibliander.
Diterbitkannya Lex Mahumet Pseudoprophete menginspirasi penerjemahan al-Quran pada tahun-tahun berikutnya oleh para orientalis Kristen. Kebanyakan mereka menerjemahkan al-Quran dengan tendensi untuk tujuan mengkritik dan mencari kelemahan al-Quran.
Tercatat beberapa nama yang menerjemahkan al-Quran ke dalam Bahasa Latin dan Bahasa Inggris. Seorang pastur dari Italia dan professor Bahasa Arab di sebuah Universitas di Roma, Louis Maracci (1612-1700), menerjemahkan al-Quran ke dalam Bahasa latin. Terjemahan Maracci, selain menyertakan teks Arab, juga menyertakan komentar dan kritik terhadapnya.
Gambar 2: Manuskrip Maracci
Penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Perancis diidentifikasi pertama kali dilakukan oleh seorang orientalis dan sekaligus diplomat, Andre du Ryer (antara 1580-1660) yang berjudul L’Alcoran de Mahomet. Pengalaman diplomatnya terutama di Turki menjadikannya menguasai bahasa Arab dengan baik. Karya terjemahan ini sering disebut karya terjemahan ke tiga ke dalam bahasa Eropa.
Gambar 3: Manuskrip L’Alcoran de Mahomet.
Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Jerman pertama kali dilakukan oleh Salomon Scweigger, seorang pendeta Gereja Noremberg, antara 1551-1622, yang diberi judul Alcoranus Mahometicus.
Gambar 4: Manuskrip Alcoranus Mahometicus.
Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Italia dilakukan pertama kali oleh Andrea Arrivabene yang berjudul L’Alcorano di Macometto pada tahun 1547. Meski ada yang menyebut terjemahan ini adalah edisi terjemahan dari edisi Bibliander, tetapi terjemahan ini disebut langkah inovatif dan dilengkapi ilustrasi tentang kehidupan Muhammad.
Gambar 5: Manuskrip L’Alcorano di Macometto
Hendrik Jan Glasemaker merupakan orang pertama yang pertama kali menerjemahkan al-Quran ke dalam versi bahasa Belanda, yang ia terjemahkan dari versi terjemahan al-Quran berbahasa Perancis. Terjemahan Glasemaker ini diberi judul Mahomets Alkoran.
Gambar 5: Manuskrip Mahomets Alkoran
Sementara itu, terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Inggris pertama kali dilakukan oleh Alexander Ross, yang dibuat tahun 1649, yang ia terjemahkan dari terjemahan al-Quran versi bahasa Perancis karya Andre du Ryer, L’Alcoran de Mahomet.
Gambar 6: Manuskrip The Alcoran of Mahomet
Penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Eropa terus mengalami perkembangan pada abad 19, meski kebanyakan mereka masih dalam paradigma orientalisme klasik yang menulis al-Quran untuk tujuan menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran. Beberapa dari mereka bahkan mengubah urutan al-Quran berdasarkan urutan turunnya surat (versi kronologis). Beberapa penerjemah al-Quran pada masa orientalis abad ke-19 tersebut seperti Gustav Flugel (1834), JM Rodwell (1861), E.H. Palmer (1876), Regis Blechere (1947) dan banyak lagi.
Bersamaan dengan era Pertengahan dengan karya-karya para orientalis di Eropa, sebenarnya al-Quran juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Asia, termasuk Indonesia. Salah satu penerjemah al-Quran melayu adalah Abdul Rauf Singkil, yang hidup pada abad 17 di Aceh. Bersamaan dengan itu, penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa melayu juga dilakukan di wilayah melayu yang lain seperti Malaysia, dan Brunei Darussalam. Paling banyak terjemahan al-Quran yang dihasilkan sampai hari ini adalah ke dalam bahasa Melayu, selain bahasa Indonesia dan Turki.
Periode Kontemporer
Periode kontemporer, pada abad ke-20 dan 21, masih terus berlangsung penerjemahan al-Quran. Penerjemahan ini banyak dimotivasi oleh respon Muslim terhadap orientalisme yang anti-Islam, sehingga memerlukan penerjemahan al-Quran oleh sarjana-sarjana Muslim ke dalam bahasa Inggris yang lebih tepat untuk mengklarifikasi beberapa kesalahan penerjemahan. Sementara itu, beberapa orientalis juga lagi bernuansa apologitik, yang menerjemahkan al-Quran untuk tujuan menyerang Islam dan mencari titik kelemahan. Salah satu orientalis semacam ini adalah Karel Steenbrink, yang menulis De Jezusversen in de Koran atau The Jesus Verses of the Quran.
Beberapa terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris yang paling populer pada masa kontemporer ini di antaranya adalah The Meaning of the Holy Quran, karya Abdullah Yusuf Ali. Terjemahan bahasa Inggris ini adalah termasuk yang paling luas digunakan saat ini.
Gambar 7: The Meaning of The Holy Quran karya Abdullah Yusuf Ali
Ada juga terjemahan al-Quran karya sarjana-sarjana Muslim India, seperti Muhammad Abdul Hakim Khan, dan seorang sarjana Ahmadiyah Maulana Muhammad Ali yang diterbitkan pertama kali di Lahore tahun 1934. Buku terjemahan The Holy Qur’an: with English Translation and Commentary ini banyak mendapatkan reputasi sebagai salah satu edisi terjemahan al-Quran berbahasa Inggris yang terbaik.
Gambar 8. The Holy Quran with English Translation and Commentary by Maulana Muhammad Ali
Kelompok Ahmadiyah adalah kelompok yang sangat aktif dalam proyek-proyek penerjemahan al-Quran, dan menjadikan terjemahan al-Quran ke dalam bahasa dunia sebagai salah satu misi utama dakwah mereka. Mereka mengklaim telah menerjemahkan al-Quran ke dalam 70 bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Beberapa sarjana Muslim di Nusantara juga berusaha menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia. Di antara sarjana yang melakukan penerjemahan al-Quran bahasa Indonesia antara lain: Alquran dan Terjemahnya karya Mahmud Yunus, Al-Furqan karya A. Hassan, Al-Bayan karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Alquran dan Maknanya M. Quraish Shihab, dan masih banyak lagi.
Selain individu, penerjemahan al-Quran ini juga disponsori oleh pemerintah, dalam hal ini Tim Kementerian Agama, sehingga melahirkan beberapa versi terjemahan resmi negara dengan standard Kementerian Agama. Beberapa kampus Islam seperti UII juga mensponsori penerjemahan al-Quran. Kementerian agama juga telah menerjemahkan al-Quran ke dalam 30 bahasa lokal di Indonesia.
Penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia memang cukup mengundang kontroversi. Sebagian menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak cukup lengkap untuk menerjemahkan kosa kata bahasa Arab. Sehingga, terjemahan al-Quran bahasa Indonesia, bagaimanapun, tidak akan memenuhi makna al-Quran seutuhnya. Namun, sebagian lain menganggap penerjemahan al-Quran adalah suatu keharusan, untuk kepentingan transmisi dakwah Islam yang harus terus dilestarikan.
Periode kontemporer ini juga ditandai dengan munculnya berbagai proyek riset yang, menyadari berbagai problematik dalam terjemahan al-Quran, sehingga menjadikan terjemahan al-Quran sebagai subjek penelitian. Beberapa orientalis yang meneliti terjemahan al-Quran seperti Johanna Pink di Alberd-Ludwig–Universität Freiburg Jerman. Mereka meneliti terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa dunia, termasuk ragam terjemahan al-Quran di Indonesia, yang menurut mereka terjemahan al-Quran bahasa Indonesia memiliki berbagai keunikan tersendiri.
Baca juga: Kajian Manuskrip al-Quran di Pesantren Darul Muqoddas