Status Imam
Tidarislam.co – Seorang Imam atau Khatib di beberapa masjid utama memiliki status sebagai Imam Tetap atau Imam Besar sehingga memiliki ikatan formal dengan pemerintah, khususnya di Masjid Negara dan Masjid Nasional yang pengurus dan imamnya ditunjuk secara resmi oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Mereka memiliki status sosial yang tinggi sebagai seorang ulama sebagai Imam dan Khatib. Namun kebanyakan, otoritas dan kedudukan Imam dan Khatib secara umum terjalin secara kultural dan alamiah dan tidak memiliki ikatan formal dengan pemerintah. Mereka sepenuhnya bekerja di masyarakat. Kepercayaan masyarakat kepada mereka terbangun secara kultural dan tidak mendapatkan subsidi dari negara. Seorang Imam atau Khatib dipilih atau ditujuk oleh masyarakat, dan bertanggungjawab kepada pengurus Masjid, yang setiap saat bisa diganti. Mereka tidak memiliki status khusus yang mendapat jaminan khusus dari negara kecuali mendapat hak-hak sebagaimana warga negara yang lain. Artinya, status Imam dan Khatib tidak menjadi privilege di hadapan negara. Namun di hadapan masyarakat, seorang Imam dan Khatib kebanyakan mendapat status dan otoritas yang positif sebagaimana seorang pemuka agama.
Sementara di lingkungan pesantren di Indonesia, seorang Kyai atau Ajengan maupun Ustadz sebagai pemimpin pesantren atau tenaga pengajar di pesantren tersebut sekaligus menjalankan peran sebagai Imam dan Khatib di masjid di pesantren atau di desa. Mereka biasanya secara moral bertanggungjawab memimpin shalat 5 waktu bagi santri-santri (siswa-siswi pesantren) dan masyarakat. Seorang Ustadz atau Kyai memiliki status sosial yang terhormat karena kemampuan mereka dalam membina umat dalam urusan keagamaan, menjadi sandaran bagi umat untuk melayani pertanyaan-pertanyaan terkait urusan keagamaan.
Baca juga: Masjid dan Imam di Indonesia (Bag. 1)
Imam sebagai Profesi
Prosedur untuk bekerja sebagai Imam di Indonesia sangatlah bervariatif. Masjid-masjid besar dan nasional memberlakukan pemilihan dan penunjukan bagi untuk menentukan seorang Imam Tetap. Namun pada umumnya tidak ada rekruitmen khusus secara terbuka yang diberlakukan Pemerintah untuk menjadi Imam atau Khatib di sebuah masjid layaknya seleksi seorang pejabat. Kebanyakan orang menjadi Imam atau Khatib adalah karena panggilan hati dan kesepakatan kolektif dalam sebuah masyarakat.
Namun di beberapa daerah tertentu yang memiliki kultur Islam yang lebih ketat di Indonesia juga memiliki peraturan-peraturan daerah yang mengatur dan melindungi status hukum sebagai Imam Desa sebagai pemimpin agama di masyarakat yang memberikan pelayanan dan pembinaan keagamaan. Untuk menjadi seorang Imam Desa harus melalui pencalonan, pengangkatan, dan suatu saat dapat diberhentikan melalui mekanisme musyawarah dan digantikan oleh Imam yang lebih muda. Mereka juga mendapatkan penghasilan dari anggaran daerah setempat.
Selain memimpin ritual peribadatan di Masjid Desa, mereka mendapatkan tugas untuk: menjaga dan mengawal aqidah Islam dan umat Islam, melakukan pembinaan di bidang keagamaan khususnya umat muslim di wilayahnya, menjawab hal-hal yang dipertanyakan oleh masyarakat tentang Islam, membina kerukunan hidup antar umat beragama, membina kerukunan sesama muslim dalam wilayahnya, menyelenggarakan fardhu kifayah, melaksanakan penyelenggaraan jenazah, dan melayani hajat masyarakat muslim dalam wilayahnya.
Dalam urusan kemasjidan, mereka yang ditujuk sebagai Imam Tetap atau Khatib lazimnya mengurusi segala urusan ibadah di masjid. Selebihnya, mereka juga secara individual melakukan pelayanan keagamaan (religious services). Mereka juga memiliki tanggungjawab moral membantu memakmurkan masjid dalam hal organisasi dan manajemen (idarah), kemakmuran program dan aktivitas masjid (imarah), dan pemeliharaan dan pembangunan masjid (riayah).
Mayoritas umat Islam di Indonesia melaksanakan tata cara peribadatan dengan kaidah madzhab Syafi’i dan dalam naungan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Namun demikian, beberapa komunitas minoritas di luar madzhab Syafi’i melaksanakan sesuai dengan tuntutan madzhab mereka masing-masing. Seperti sebagian kecil komunitas Syiah di Indonesia melaksanakan ibadah shalat dengan tata cara menurut tuntutan Imam dan madzhab Syiah Imam Dua Belas.
Sampai tahun 50-an, pekerjaan Imam mungkin lebih rumit karena masih sering terjadi pertentangan khilafiah antar-madzhab seputar shalat di Indonesia. Misalnya dalam perkara mengeraskan pelafalan niat sebelum dimulai shalat berjamaah. Akibat perbedaan pemahaman itu, tak jarang sebagian kelompok Muslim menuduh yang lain sebagai pelaku bid’ah, atau sebagian Muslim dahulu tidak mau ber-makmum kepada Imam yang berbeda pendapat. Hari ini, berkat keluasan berpikir masyarakat terhadap perkara-perkara khilafiah dalam agama, persoalan tersebut tidak menjadi polemik di tengah masyarakat.
Ekonomi Imam
Di beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, menjadi Imam dan Khatib dianggap sebagai profesi resmi. Mereka mendapatkan gaji dari pemerintah sebagai imbalan dari kerja profesional mereka, sehingga mereka memiliki standari hidup yang cukup mewah. Sementara di belahan negara lain seperti di Bangladesh, beberapa Imam hidup dengan penuh keterbatasan bahkan kemiskinan (Gazi, 2020). Tidak demikian halnya di Indonesia, sebab menjadi Imam dan Khatib tidak dianggap sebagai sebuah profesi yang menghasilkan gaji dan memiliki dana pensiun khusus, tetapi umumnya mereka mengandalkan pada pekerjaan sambilan baik sebagai guru pengajar di madrasah atau pekerjaan lain. Para Imam dan Khatib di Indonesia umumnya, dapat dikatakan, berperan pada sektor swasta terutama di luar Masjid pemerintah). Mereka hanya melakukan tugas sebagai Imam dan Khatib sebagai tanggungjawab moral melakukan pelayanan keagamaan dan mendapatkan bantuan finansial yang tak sebanding dibandingkan di negara dimana Imam dan Khatib diakui secara resmi sebagai sebuah profesi keagamaan yang diakui oleh negara dan mendapatkan gaji resmi dari pemerintah.
Umumnya para Imam dan Khatib di Indonesia mendapatkan keuntungan materi dari sumbangan dari yayasan pengelola masjid atau para jamaah yang dikelola oleh pengurus Masjid. Umumnya besaran keuntungan materi disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan dan kemampuan Masjid. Namun para Imam dan Khatib, baik Ustadz maupun Kyai, yang memiliki reputasi sosial yang tinggi di tengah masyarakat umumnya juga memiliki tarif yang beragam sampai tingkatan paling fantastis sampai puluhan bahkan ratusan juga sebagai imbalan atas pekerjaan ceramah mereka. Mereka mendapatkan undangan sebagai da’i untuk menyampaikan ceramah keagamaan (pengajian) atau memimpin ibadah pada momentum keagamaan tertentu. Fenomena komsersial semacam ini terjadi baik di desa maupun di kota. Pada kenyataannya, banyak Imam dan Khatib, Ustadz dan Kyai, yang sangat mapan secara ekonomi dari pekerjaan keagamaan semacam ini. Mereka menjadi “elit sosial” baru di tengah masyarakat.
Atribit Imam
Tidak ada atribut khusus yang mengidentikkan seorang Imam dan Khatib di Indonesia. Umumnya mereka menggunakan pakaian sebagaimana yang dipakai kebanyakan Muslim Indonesia, yaitu baju muslim koko dan peci atau songkok. Mereka juga menggunakan sarung sebagaimana umumnya muslim di Indonesia.
Koko merupakan pakaian polos yang umumnya dipakai kaum laki-laki. Pakaian ini diadopsi dari tui-khim yang merupakan pakaian sehari-hari laki-laki Tionghoa. Baju ini identik dengan baju Muslim juga sering dijuluki sebagai “baju takwa”. Pakaian ini sangat populer di Indonesia dan dipakai dalam beribadah maupun dalam acara-acara keagamaan umat Islam.
Peci atau penutup kepala berwarna hitam yang telah melekat sebagai simbol identitas nasional di Indonesia biasanya berpasangan dengan baju koko. Peci diadopsi dari penutup kepada ala Maroko tetapi mengalami penyederhanaan bentuk di Indonesia. Baju koko dan peci biasanya juga dilengkapi dengan mengenakan surban.
Berbeda dengan koko yang polos, mereka yang cenderung lebih modern tak jarang menggunakan pakaian batik sebagai salah satu identitas populer di Indonesia. Batik merupakan ornamen-ornamen tertentu dengan beragam motif dan corak yang dilukiskan dalam kain dengan aneka ragam pola dan warna. Pakaian resmi jas juga menjadi simbol tertentu bagi modernitas yang telah melekat pada seorang Imam.
Selain koko dan peci, pakaian khas Indonesia yang sering dipakai oleh Muslim di Indonesia adalah sarung. Sepotong kain lebar yang dijahit di kedua ujungnya sehingga berbentuk menyerupai pipa. Sebagian Muslim juga memasangkan koko dan peci dengan celana kain sebagaimana umumnya pakaian laki-laki.
Sosiologi Peran Imam di Indonesia
Indonesia, meskipun bukan secara resmi mendeklarasikan sebagai negara Islam, tetapi masyarakatnya religius dan menghargai peran agama dalam kehidupan. Kehidupan keagamaan di masyarakat seringkali juga bersinggungan erat dengan adat, sehingga menciptakan akulturasi antara adat dan agama di beberapa daerah, sehingga muncul slogan, misalnya, adat bersendikan agama, dan agama bersendikan kitab suci.
Di sebagian masyarakat Jawa klasik, juga terjadi beberapa bagian Sulawesi, peran Imam juga dekat dengan politik sehingga kehadiran Imam terbatas pada area pusat kekuasaan dan turut memperkuat otoritas politik seorang Raja atau Sultan. Mereka menjadi pelayan kekuasaan untuk menjaga syariat Islam pada masa kerajaan. Selain menjadi Imam masjid yang memimpin ibadah di Masjid Agung, mereka menjadi penghulu kerajaan, penasehat spiritual bagi raja, memimpin ritual-ritual adat Islam di kerajaan, dan mengambil putusan dalam pengadilan keagamaan. Fenomena kedekatan Imam Kerajaan semacam ini masih dapat dijumpai hari ini, misalnya, di Bima Nusa Tenggara Barat (Burhanuddin, 2012:42; Sila, 2021:24). Dalam masa tertentu, khususnya periode kolonial Belanda, kehadiran Imam sebagai penghulu yang dekat dengan otoritas politik dan birokrasi kerajaan semacam itu pernah mengalami konflik serius dengan Imam-imam tradisional yang anti-kolonial, karena mereka tidak mau mengakui otoritas ulama yang ditujuk oleh pemerintah kolonial sehingga ibadah-ibadah ritual bersama yang mereka lakukan bahkan dianggap tidak absah (Burhanuddin & Dijk, 2013:66)
Di beberapa daerah di Jawa Timur hari ini, Imam banyak berasal dari kalangan Kyai tradisional. Mereka menjadi guru ngaji (pengajar) yang mendedikasikan waktu dan ilmu untuk mengajar para santri di Pesantren. Bahkan menjadi pemimpin tarekat yang memimpin ritual-ritual ala tarekat di Masjid dan pesantren. Mereka biasanya berlatar pesantren atau tarekat atau memiliki garis nasab pesantren sebelumnya, yang kemudian mewarisi pesantren atau mendirikan pesantren baru. Di setiap pesantren memiliki Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan. Kyai biasanya dari kalangan tua. Peran dan posisi Kyai sebagai seorang Imam sangat penting baik sebagai pemimpin ritual maupun pengasuh di masyarakat sekitar (Turmudi, 2006:22).
Di beberapa bagian wilayah Indonesia, khususnya di dalam tradisi matrilineral Islam yang lama tumbuh di Sulawesi Barat, peran dan fungsi Imam-Khatib tidak identik dengan pekerjaan kaum laki-laki. Pekerjaan ini dilakukan oleh ulama perempuan, sebagaimana terjadi di Balingka yang memiliki tradisi Imam-Khatib perempuan. Tradisi ini menandai keragaman praktik dan pemahaman fikih Islam tentang Imam dan Khatib di Indonesia, serta dinamika praktik adat dalam Islam di Indonesia (Ikhwan et.al., 2022). Di beberapa pesantren klasik di Jawa Timur, bahkan ulama-ulama perempuan berperan penting dalam melatih bacaan al-Quran para Imam-imam laki-laki di pesantren dan di desa-desa, sekalipun mereka tidak bermaksud melanggar batasan fikih mainstrem tentang absahnya otoritas perempuan menjadi Imam shalat (Srimulyani, 2012:91).
Kini, seorang Imam yang identik dengan pemimpin ibadah shalat memiliki peran yang rangkap dalam komunitas-komunitas lokal di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal Indonesia, makna Imam lebih dari sekedar pemilik otoritas sebagai pemimpin ibadah (religious services). Mereka seringkali merangkap sebagai pemuka adat setempat yang memediasi urusan-urusan adat dan urusan-urusan agama. Mereka juga terlibat dalam pelayanan sosial (social services) yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Selain sebagai pemimpin ritual ibadah, mereka juga menjadi pemuka agama, yang melayani dan mendampingi urusan-urusan keagamaan di luar ritual sehari-hari (see. Robinson, 2021:10). Mereka, khususnya di belahan Indonesia Timur, seringkali seorang Imam Desa menjadi juru damai konflik masyarakat (Seanong, 2021:44). Bahkan di beberapa daerah mereka berperan juga sebagai konsultan spiritual, tujuan meminta barakah, penghulu pernikahan, memimpin pemakaman, dan pemangku adat tukang sunat dan tempat bertanya dalam urusan kesehatan.
Lebih dari itu, kini peran Imam lebih luas lagi sebagai pengampu urusan keagamaan di tengah masyarakat, melainkan juga melayani kehidupan masyarakat di dunia modern yang selalu bersentuhan dengan nilai-nilai modernitas. Pengaruh mereka seringkali tidak hanya terasa dalam aspek keagamaan, tetapi juga dalam aspek-aspek di luar keagamaan. Terlebih dalam masyarakat digital dan pengaruh masifnya teknologi, audiens seorang Imam seringkali tidak sebatas orang-orang di sekitarnya, tetapi juga masyarakat di dunia maya yang menembus batas-batas teritorial. Khutbah mereka tidak hanya didengar oleh jamaah pengajian di sekelilingnya, tetapi juga melamapui batas ruang dan waktu menembus jamaah di media sosial. Mereka berperan dalam praktik sosial secara lebih luas dan masif di tengah masyarakat. Mereka berinteraksi dengan Islam trans-nasional di dunia luar dengan mudah.
Otoritas seorang Imam hari ini semakin kompetitif dan melampaui apa yang dibayangkan dalam masyarakat tradisional di masa lalu sebagaimana seorang Ustadz, Ulama, atau Kyai (Saat & Burhani, 2020:1). Tidak serta merta mereka yang berusia tua dan memahami ilmu agama secara tradisional serta merta dijadikan sebagai Imam dan panutan. Imam tidak hanya berasal kalangan muslim konvensional, akademisi yang religius, tetapi banyak juga Imam yang berasal dari penceramah pendatang baru kalangan muda yang atraktif dan memiliki banyak jamaah dianggap otoritatif oleh komunitasnya dan dianggap layak dijadikan Imam, meski tidak oleh komunitas yang lain. Wallahualam.
Referensi
Burhanuddin, Jajat. Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia. (Jakarta: MIZAN, 2012)
Burhanuddin, Jaja & Dijk, Kees van (eds.). Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations. (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013)
Gazi, Abdul Karim. “The Livelihood Patters of the Imams in Rural Bangladesh: A Qualitative Analysis”. International Journal on Integrated Education, Volume 3, Issue X, October 2020, pp. 37-40.
Ikhwan et.al. “The dialectic of fiqh understanding and the female Imam-Khatib tradition in Balingka, West Sumatra, Indonesia”, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 12, No. 2 (2022), pp. 313-339.
Norshahril Saat & Ahmad Najib Burhani. The New Santri: Challenges to Traditional Religious Authority in Indonesia. (Singapore: Yusof Ishak Institute, 2020)
Robinson, Kathryn M (ed.). Mosques and Imams Everyday Islam in Eastern Indonesia. (Singapore: NUS Press, 2021)
Saenong, Faried F. “Mediating Religious and Cultural Disputes: Imam Desa and Conflict Resolution in Rural Indonesia”, dalam Robinson, Kathryn M (ed.). Mosques and Imams Everyday Islam in Eastern Indonesia (Singapore: NUS Press, 2021, pp. 44-63) .
Sila, Muhammad Adlin. “Lebe and Sultan: Serving the Mosque and Sustaining Royal Authority”, dalam Robinson, Kathryn M (ed.). Mosques and Imams Everyday Islam in Eastern Indonesia (Singapore: NUS Press, 2021, pp. 24-43)
Sila, Muhammad Adlin. “Imam and Royal Mosque” dalam Being Muslim in Indonesia: Religiosity, Politics and Cultural Diversity in Bima (Chapter Four). (Netherlands: Leiden University Press, 2021, pp. 83-110)
Srimulyani, Eka. Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia: Negotiating Public Spaces. (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2012)
Turmudi, Endang. Struggling for The Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java. (Australia: ANU Press, 2000)
Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, merupakan peneliti agama di Pusat Riset Masyarakat dan Agama BRIN.